Sadar yang melakukan penyerangan bukanlah para perompak, melainkan polisi laut, Avani langsung merasa lega. Ia merasa akhirnya ada pihak berwajib yang berhasil menemukannya. Inilah saat yang tepat bagi dirinya untuk pulang ke keluarganya. Berjalan keluar dari tempat persembunyian, Avani mencoba menyerahkan diri agar lebih mudah di identifikasi. "Hai aku di sini!" seru Avani. Ia berjalan keluar dari celah sempit tempat ia bersembunyi, sembari mengangkat kedua tangannya ke udara. Pria berseragam polisi laut itu terkejut, lalu mengarahkan pistolnya ke arah Avani. "Bukan-bukan, aku bukan ingin melawanmu." Avani menggelengkan kepala cepat. "Aku hanya ingin kau menyelamatkanku," ujar gadis bermata kecil itu. Ia masih terus mengangkat tanganya ke atas, sebagai bukti ia telah menyerahkan diri. Pria berseragam polisi itu tampak bingung lalu berjalan mendekati Avani. Dengan pistol yang masih tersiaga, ia menggeledah pakaian gadis cantik itu, untuk memeriksa apakah ia membawa itu senj
"Baiklah nona, saatnya memulai pertunjukan," ucap pria berpangkat itu.Ia menggerakkan bola matanya, memberikan isyarat pada dua pria yang berdiri di depannya untuk mendekat. Dua pria muda berseragam yang di maksud, sadar akan isyarat dari atasannya, dan tanpa banyak bertanya segera datang menghadap."Siap menerima perintah!" seru keduanya. "Bawa nona Avani ke haluan, jebak Rin Leung di sana agar ia tak bisa kabur. Kita harus menangkapnya hidup-hidup," perintah pria berpangkat itu. Dua pria muda berseragam itu langsung menegakkan badan dan serempak mengatakan."Siap, Laksanakan!"Mereka berdua kemudian berjalan mendekati Avani. "Mari nona ikuti kami," perintah dua pria muda itu.Avani mengangguk, memasukkan pisau lipat di genggamannya ke dalam saku coatnya, lalu berjalan mengikuti dua orang pria muda berseragam yang kini berada di kanan dan kirinya. Sepanjang perjalanan menuju haluan, hati Avani dipenuhi dengan perasaan cemas dan was-was. Ia takut, Rin tiba-tiba muncul dan menggag
Gemetar. Avani menyentakkan tangannya yang masih digenggam oleh Rin Leung ke udara. Ia mundur beberapa langkah menjauhi mafia muda itu. Ia ketakutan. Dadanya berdegup kencang, pupil matanya melebar dengan wajah pucat pasi. Sedangkan, Rin, terlihat menatap pisau yang tertancap dalam di dada kirinya dengan ekspresi tak percaya. Ia tak menyangka, Avani Lie, berani melakukan itu padanya. Ia limbung, terhuyung ke belakang, ke pembatas besi di area haluan kapal. Giginya mengerat, meringis menahan sakit. "Gadis gila," umpatnya. Ia buang pelampung di tangannya, kemudian ia cabut pisau yang tertancap di dada kirinya menggunakan ke dua tangannya. "Arrggghh ... " pekik Rin kesakitan. Beruntung ia adalah seorang dokter bedah, jadi tahu betul bagaimana harus mencabut luka tusukannya agar tak terlalu mengeluarkan banyak darah. "Pranggg ... " Ia buang pisau lipat itu ke lantai, kemudian ia tekan pelan bagian dadanya yang terluka. Terlihat jelas, darah segar berwarna merah mulai mere
"Byurrr... " Jatuh dari atas haluan kapal.Tubuh Avani menghantam air laut kemudian tenggelam.Terlihat, gelembung-gelembung udara keluar dari dalam mulutnya, membentuk cincin-cincin air berukuran raksasa. Ia pikir, kisah hidupnya telah sampai pada titik akhirnya. Tapi dinginnya air laut segera menyadarkannya, bahwa ia belum mati. Setidaknya tidak dengan cara seperti ini. Ia buka matanya kecilnya, lalu dengan kekuatan yang tersisa ia mulai berenang kembali ke permukaan. " ... Bup-blup ... bwahh." Avani menyembulkan kepalanya ke atas air. Ia gelapan. Dengan dada yang masih berdegup kencang dan napas yang tersengal-sengal tak beraturan, gadis cantik itu berusaha untuk tetap tenang dan menguasai keadaan. Ia ambil napas dalam-dalam, lalu ia atur jalannya pernapasan. Ia berusaha tetap tenang, dan tak panik. Ini adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan, saat terdampar di tengah lautan. Di kondisi seperti ini, fokus dan tenang adalah kunci keselamatan. Ketika napasnya mulai
Tapi tak berselang lama ... terdengar suara tawa lemah tak jauh dari tempat Avani berada. "Hei ... aku di sini," seru Rin."Diam dan berhenti berteriak-teriak memanggil namaku," hardiknya. Terlihat ia tengah berusaha mengapungkan dirinya.Avani menoleh ke arah sumber suara, dan mata kecilnya langsung mengenali siapa pria yang menyahut panggilannya. Ia tersenyum. Tanpa banyak bicara, gadis cantik itu langsung berenang ke arah sang mafia dan langsung memeluknya."Aku kira aku kehilanganmu," ucap Avani dengan suara bergetar. Ia mengambil napas lega, kemudian mempererat pelukannya."Auw-auw ... Lepaskan aku! Apa kau berencana membunuhku," teriak mafia muda itu sembari meringis kesakitan. Avani terperangah dan langsung melepaskan pelukannya. Ia lupa, dada Rin terluka dan pelukannya yang terlalu kuat, telah menekan lukanya."Maaf! Aku lupa," ucap Avani spontan.Ia tatap Rin dengan saksama. Terlihat wajah pria itu pucat dan kuyu, seperti sedang menahan sesuatu. "Kau tak apa?" tanya Ava
Laut China Selatan di malam hari.Suasananya sunyi, sepi dan hening. Tak ada angin, tak ada gelombang, tak ada suara, selain suara keheningan.Lautan luas itu, kini tampak seperti cermin raksasa berukuran super besar. Avani meniup lighter di tangannya berkali-kali, berharap akan ada kapal yang melintas dan mendengar siulannya.Lagi.Lagi.Dan lagi.Sebelum akhirnya ia menyerah.Tak nampak ada kapal yang datang. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah kegelapan.Gelap.Gelap.Dan gelap.Hanya pantulan sinar bulan dan cahaya bintang-bintang, yang jadi penerang.Bibir pucat Avani bergetar. Ia genggam erat lighter hitam di tangannya dengan penuh keputus asaan."Tak apa, kita akan baik-baik saja. Sebentar lagi, pasti sebentar lagi, akan ada kapal yang lewat kemari," ucap Avani dengan suara bergetar. Ia hampir menangis.Ia masukkan lighter hitam itu ke dalam saku coatnya, kemudian menoleh ke arah suaminya.Terlihat, Rin hanya diam membisu di atas tong kayu di sampingnya. Wajah pucat p
Sebuah kapal militer berukuran besar, terlihat berlayar pelan di gelapnya Laut China Selatan yang mulai tenang usai badai besar menerjang. Kapal itu hitam, besar, dengan tiang lampu menyala berwarna merah dan putih di ujungnya. Sebuah landasan pesawat yang luas, dan dua buah radar terlihat berputar-putar tanpa henti di atas kapal. Berlayar pelan, kapal militer itu menyalakan lampu sorot besar dari atas haluan mengarahkannya ke permukaan air yang gelap, seperti sedang mencari sesuatu. Di kejauhan .... Avani menatap kapal besar itu dengan tubuh gemetar, basah dan pucat. Tangan kecilnya, memeluk erat tubuh suaminya yang terdiam kaku di atas tong kayu. Ia tersenyum. "Sayang, ada kapal melintas di dekat kita. Kau tenang saja aku akan memberitahu mereka kita ada di sini," ucap Avani dengan suara bergetar. Bibirnya gemeletuk menahan dingin. Segera, tangan kecilnya, merogoh saku coat abu-abunya lalu mengeluarkan lighter pemberian Rin dari dalam sana. Gemetar, ia genggam erat ligh
Lotus Hall. Tak terasa sudah hampir dua bulan Maeera dikurung di mansion tanpa pernah ke luar. Selain di kurung, Gin juga membatasi aksesnya menghubungi orang luar dengan menyita kembali ponsel yang ia berikan. Gadis bodoh itu, kini menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar, belajar dan belajar. Belajar cara menjadi seorang wanita kaya dan terpelajar. Belajar cara menjadi seorang Avani Lie yang sempurna, dan hasilnya tak terlalu buruk, ia kini berubah menjadi sedikit lebih anggun dan tau cara membawakan diri. Selama menghabiskan lebih banyak waktu di mansion, hubungannya dengan Gin Yuta dan Kai Yuta kini menjadi semakin dekat. Kini ia menjadi pusat perhatian dua orang tuan muda di keluarga Yuta. Saat siang sang adik tiri, Kai Yuta akan datang dan bermain-main dengannya dan saat malam, sang kakak Gin Yuta akan menemaninya. Untungnya, selama dua bulan ini, Gin tak tau jika adik tirinya sering berkunjung ke mansion, jika tahu, pasti perang besar akan terjadi. Tak hanya
'Nuuutttttt .... ' suara ponsel berdering memanggil. Tak lama panggilan itu tersambung. "Halo asisten Eri! Apa kau sudah mengurus berkas tanah dan rumah di desa yang kuberikan padamu," tanya Gin pada asistennya itu melalui sambungan telepon. Maeera seketika terperanjat mendengar kata rumah dan tanah di desa. Ia sangat yakin jika yang dibicarakan Gin Yuta dan asisten Eri adalah rumah dan tanahnya di desa. Pria gila itu pasti melakukan ini untuk memberikan tekanan padanya.Sadar rumah dan tanahnya tak lagi aman, Maeera buru-buru menyela pembicaraan Gin Yuta dengan asisten Eri untuk menenangkan keadaan. "Aku tak memiliki hubungan apa pun dengan adik tirimu, sungguh!!!" ucap Maeera dengan suara bergetar. Ia mencoba meyakinkan Gin Yuta bahwa ia benar-benar tak memiliki hubungan apa pun dengan Kai Yuta. Gin berheti berbicara, menutupi separuh teleponnya dengan tangannya, lalu menoleh ke arah Maeera dengan tatapan kecewa. . "Kau bahkan masih terus berbohong. Seberharga itukah hubungan
Setibanya di mansion.Gin menggenggam erat pergelangan tangan Maeera, menarik paksa gadis itu keluar dari dalam mobil, lalu menggelandangnya masuk ke dalam mansion. "Pulangkan semua orang di mansion kecuali penjaga!!" seru Gin pada asisten Eri yang berjalan mengekor di belakangnya dengan wajah penuh kekhawatiran. "Memulangkan mereka semua??" tanya asisten Eri mencoba mengulang perintah bosnya. Gin menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya ke belakang, menatap asistennya itu dengan wajah dingin."Apa ada masalah dengan perintahku?!!" tanya Gin Yuta dengan raut wajah tak senang. Asisten Eri terdiam. Ia bergegas menggelengkan kepala cepat. "Tidak. Tidak ada tuan. Baik akan segera saya laksanakan," jawab pria berkacamata itu. Berjalan cepat, asisten Eri meninggalkan bosnya menuju area lain dari mansion.Sementara itu, di sisi lain, Maeera, hanya bisa diam melihat perangai dingin suami palsunya.Ia tak bisa berbuat apa-apa karena merasa berada dipihak yang salah. Maeera sadar, ia te
"Berandall!!! Berani-beraninya kau menyentuh istriku!!!" umpat Gin Yuta sembari mencengkeram erat kerah baju Kai yang kini terkapar tak berdaya di depannya. Kai tersenyum tipis mengangkat salah satu sudut bibirnya, saat tahu sosok menghajarnya membabi buta itu ternyata adalah kakak tirinya, Gin Yuta.Ia menyipitkan matanya, menatap kakak tirinya yang terlihat kalap itu dengan hina. "Kenapa??!! Kenapa aku tak boleh menyentuhnya. Dia bukan istrimu, kau tahu itu," tanya Kai mencoba mempertanyakan sikap possesif kakaknya. Gin menggeram menatap tajam Kai Yuta. Giginya mengatup erat dan rapat menahan amarah yang membuncah di dada. Ia mencoba menahan emosi, tak ingin kepalan tangannya kembali melayang ke wajah saudara tirinya."Aku sudah memperingatkanmu. Jangan campuri urusanku!!" bentak Gin sembari terus mencengkeram erat kerah baju Kai Yuta. Kai tertawa lirih mendengar perkataan kakak tirinya."Aku tak pernah mencampuri urusanmu!! Aku hanya mengurusi Maeera, karena dia wanitaku!" teg
Di dalam mobil. Gin meremas lembar-lembar foto di tangannya. Foto-foto yang memperlihatkan kemesraan antara adik tirinya, Kai Yuta dan istri palsunya, Maeera, yang baru saja diberikan oleh ibu tirinya, nyonya Isihiika. Geram, wajah tampan Gin berubah menjadi garang, penuh kemarahan. Matanya berkilat-kilat penuh emosi. "Jadwalkan ulang perjalananku ke Singapura!!" perintah Gin pada asisten Eri yang tengah sibuk menyetir mobil. "Tapi tuan, ini ... ??" "Jangan membantah!!" bentak Gin dengan suara keras, memotong kata-kata asisten Eri. Seketika asisten Eri langsung diam dan mengangguk pelan. "Baik tuan muda," jawab asisten Eri dengan gugup. Ini adalah kali pertama, selama lima tahun bekerja sebagai asisten pribadinya, Gin membentak dirinya dengan kasar. Melihat bagaimana reaksi bosnya, asisten Eri sangat yakin, jika pria tampan itu saat ini sedang sangat kalut dan gelisah. "Cepat cari di mana dia berada!!" perintah Gin. Ia mengambil ponsel di dalam saku jasnya dan langsun
Akhir pekan akhirnya tiba. Tuan muda pewaris grup Liong, Gin Yuta, terlihat sudah berpakaian rapi, memakai setelan jas berwarna hitam, berkacamata. Ia berdiri tegak di samping sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di depan mansion Lotus Hall. Pintu mobil sudah terbuka, dengan seorang pria berdiri memegangi pintunya. Disamping Gin, berdiri Maeera, yang terlihat masih kumal dan acak-acakan. Gadis itu, terlihat seperti baru bangun tidur dan langsung di seret ke luar untuk berpamitan dengan suaminya. Lebih tepatnya, suami palsunya, yang hendak pergi dinas ke Singapura. "Aku akan pergi selama beberapa hari. Kau! Jangan pergi kemana pun dan jangan buat masalah apa pun selama aku pergi. Mengerti!!!" gertak Rin Gin dengan nada setengah mengancam, pada Maeera yang berdiri di sampingnya. "Hemmm ... Aku mengerti. Kau tak perlu khawatir!" ucap Maeera asal-asalan sembari menggaruk-garuk pelan rambutnya yang masih acak-acakan. Ia terlihat malas mendengar omelan suami palsunya di pagi-pagi
Avani terbangun.Bau harum masakan yang menusuk-nusuk hidungnya, membuat gadis cantik itu tak lagi bisa memejamkan mata. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia mencoba mengamati keadaan sekitar.Terkejut!! ia mendapati dirinya kini berada di sebuah ruangan kecil berukuran 3x4 meter dengan dinding batu bata merah yang belum di plester. "Di mana aku?" gumam gadis cantik itu lirih. Ia memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar. "Di mana ini?" tanyanya lirih sembari mengamati keadaan sekitar dengan lebih seksama. Terlihat, ia kini berada di sebuah kamar yang cukup kecil dan sempit. Dindingnya masih berupa batu bara merah yang belum di plester, kasar dan bergelombang di sana-sini.Di sudut kamar terlihat sebuah lemari kayu tua berukuran besar dengan kaca berbentuk oval di bagian depannya. Di samping lemari, sebuah pintu yang ditutupi gorden warna merah, terlihat melambai-lambai pelan di tiup angin. Gorden itu terlihat kusam dan kotor, seperti tak pernah di cuci berminggu-ming
Di ruang kerja Rin. Bau alkohol bercampur dengan obat-obatan, berbaur menjadi satu dengan aroma buku-buku lama dan kayu-kayu tua, menciptakan aroma khas yang sulit dijelaskan oleh kata-kata. Bertelanjang dada, Rin duduk di sofa di dekat jendela, menghadap ke arah luar. Mata tajamnya, mengamati sekumpulan burung gereja yang sedang terbang rendah di antara pohon-pohon palem yang di tanam di luar manor. Mereka tampak gembira dan tanpa beban. Matahari, terlihat mulai condong ke arah barat, menyisakan siluet panjang di kaca jendela yang menghadap ke arah luar, menyinari tato naga yang ada bagian atas punggung kanan Rin Leung yang menjalar hingga ke lengan dan dada bagian depan. Weilu, duduk di belakang Rin. Pria muda itulah terlihat sibuk menuangkan cairan infus ke dalam baskom kecil yang di dalamnya terdapat sebuah handuk yang biasa digunakan untuk menyeka tubuh. Dengan penuh ke hati-hatian, pria muda itu mengambil handuk kecil itu, memerasnya, kemudian dengan perlahan dan hati
"Plak .... " Sebuah sabetan rotan, membekas merah di punggung Rin Leung. Ia meringis menahan sakit. "Plak ... Plak ... Plak ... " Tiga buah sabetan rotan kembali mendarat di punggungnya. Terlihat jelas sudah ada lebih dari sepuluh sabetan rotan membekas di punggung mafia muda itu. "Plak .... " sebuah sabetan rotan kembali menyentak punggungnya. Ia menggertakkan giginya dengan keras dan mengepalkan tangannya erat untuk menahan sakit. Para mafia yang ada di alun-alun itu, ikut meringis menahan sakit setiap kali rotan itu menyentuh kulit punggung Rin. Mereka seakan ikut merasakan sakit yang dirasakan oleh sang ketua. "Plak, plak ... " Dua buah sabetan rotan datang bertubi-tubi membuat darah segar, merembes keluar dari dada kanannya yang terluka. Rin membungkuk kesakitan setiap kali rotan itu mengenai punggung kanannya yang segaris dengan luka dadanya. Tak ada yang berani menolongnya. Ini adalah sebuah hukuman, yang harus ia terima. Dan sang ayah sendiri, tuan Koch Leung, yang m
Sore hari di tengah Samudra Hindia yang damai. Laut terlihat tenang, tanpa gelombang. Mirip sebuah cermin raksasa besar yang memantulkan cahaya kuning keemasan, dari hasil pembiasan cahaya matahari yang hampir tenggelam. Di ufuk barat, matahari terlihat seperti bola api raksasa berwarna merah kekuningan yang sedang terbakar dan tenggelam di telan lautan.Bola api raksasa itu, kini sudah separuh perjalanan dan sebentar lagi akan benar-benar tenggelam, menyisakan semburat warna jingga ke emasan di kaki-kaki langit jelang akhir hidupnya. Berdiam seorang diri di atas perahu kecilnya, Avani membiarkan angin laut yang berhembus pelan memainkan rambut panjangnya.Ia hanya duduk meringkuk diam termenung. Kakinya yang panjang, ia tekuk ke belakang, kemudian ia peluk erat dengan kedua tangannya. Perlahan, ia rebahkan kepalanya ke atas lutut, sembari menatap kosong heningnya lautan yang sunyi dan sepi. Ia biarkan perahu kecil itu terombang-ambing dan mengapung tanpa arah dan tujuan, karena s