Seperti biasa kalau sedang cuti bekerja, Gio akan mengajak Dani untuk nongkrong di depan rumahnya. Mereka bercerita banyak hal tentang cinta yang kandas begitu saja atau dia yang hatinya sulit didapatkan."Ya, sebenarnya sih aku masih ada rasa sama dia, cuman ya namanya orang udah nikah pasti setia lah sama suaminya. Lagian sebentar lagi Ayu juga bakal jadi ibu kok.""Serius Ayu bakal jadi ibu? Kata siapa?""Serius." Gio pun menceritakan semua yang terjadi pagi tadi di saat dia ingin keluar membeli pulsa.Dia yang tidak sengaja menatap pintu rumah Ayu berharap wanita itu keluar, tertangkap basah oleh Akbar dan juga Dian. Sebenarnya sudah beberapa hari ini dia sengaja lewat di depan rumah Ayu berharap bisa melihat wanita itu walau dari jauh.Gio tidak ada maksud apa-apa, hanya ingin mengobati rindu pada istri orang. Gio tahu kalau semua itu hanya akan melukai hatinya, tetapi kalau dipendam, rindu itu semakin membara. Dia khawatir akan melakukan sesuatu yang nekat yang bisa merusak nama
"Kamu jangan salah paham, aku menyebut 'Ay' bukan karena masih mencintaimu. Nama kamu Ayu, kan? Ya wajar kalau aku panggilnya gitu." Gio berusaha mengelak.Salah lelaki itu sendiri malah kelepasan memanggil 'Ay'. Bagaimana Ayu tidak salah paham karena selama dekat dengan Gio, dia selalu dipanggil seperti itu.'Ay' yang bermakna Ayang dengan panggilan manja. Namun, sekarang lelaki yang pantas menggunakan itu hanya Akbar."Benar? Benar kamu tidak mencintaiku lagi?""Ayu, sekarang kamu masuklah. Sebentar lagi pasti Akbar selesai mandi. Daripada kepergok suami, lebih baik menyimpan rasa penasaran itu, kan? Kenapa juga harus penasaran sementara Gio sungguh tidak mencintaimu lagi, Yu. Kamu sahabat Dian, tentu aku gak mau ngeliat kamu kayak ngemis gitu.""Aku tidak percaya sebelum–""Ay, kamu ngapain di situ?" panggil Akbar yang sebenarnya sejak tadi berdiri di balik pagar. Sebenarnya dia tidak ada maksud mengintip, tetapi tadi lupa mengambil sampo karena persediaan di kamar mandi sudah habi
"Kenapa kamu cemburu? Kamu masih suka sama dia?"Gio mengangguk lemah."Astagfirullahaladzim, Gio. Kamu kayak gak ada cewe lain aja. Dia sudah menikah, sudah menikah!" tekan Dani sengaja pada kalimat terakhir."Aku sudah berusaha, Dan. Kamu sendiri kan lihat gimana usahaku buat cuekin Ayu barusan?""Kamu usaha buat cuekin Ayu karena apa?""Ya karena dia sudah menjadi istrinya Akbar. Tidak mungkin kan aku selalu meresponnya dengan baik?"Dani tertawa kecil. Rupanya Gio tidak sadar atau mungkin lupa dengan pengakuannya barusan. Percayalah bahwa tidak akan ada rasa cemburu kalau cinta belum bersemayam dalam hati.Gio mengaku cemburu, maka berarti mengaku masih cinta. Dia sadar kalau Ayu telah menikah, tetap saja terlihat seperti enggan melupakan.Kalau saja Gio serius mau melupakan Ayu, maka seharusnya dia tidak mau mengakui apa yang terlintas dalam hatinya. Dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa sembuh dari luka."Bukan cuekmu di hadapan Ayu yang bisa menjadi bukti kalau kamu t
Pukul sembilan malam Akbar belum juga kembali. Hal itu membuat Ayu khawatir, jangan sampai lelaki itu pulang ke rumah orang tuanya. Ya memang mungkin bagi orang lain itu tidak mungkin karena ada perbedaan antara lelaki dan perempuan.Namun, selama menunggu di depan rumah, Ayu juga tidak melihat Gio lewat. Ketika bertanya pada Dani, katanya, waktu motor-motoran sore tadi mereka pisah di jalan karena Gio ada urusan mendadak. Dengan ini Dani berprasangka bahwa Gio ingin pergi ke suatu tempat di mana dia bisa menenangkan pikirannya."Aduh, By, kamu di mana, sih? Ini udah pukul 09.00 malam juga belum balik-balik. Ditelepon nggak aktif, di-WA apa lagi. Aduh, kalau kayak gini terus mah aku nggak tahu harus ngapain lagi." Ayu terus bermonolog sambil mondar-mandir di depan rumahnya menatap keluar gerbang.Tidak ada tanda-tanda Akbar kembali padahal kalau dipikir-pikir dia tidak pergi jauh karena mobilnya masih terparkir di depan rumah. Ponsel Ayu berdering, ia segera menekan ikon hijau. Panggi
Lelaki hidung belang itu semakin mendekat, dia terus menampilkan seringai yang menakutkan. Ketika Ayu hendak berlari melewati pagar, tangannya sudah dicekal duluan.Wanita itu berteriak dalam heningnya malam. Entah, seperti tidak ada yang mau menolongnya. "Kamu siapa?" tanya Ayu menangis."Aku orang suruhan Akbar dan sekarang kamu sudah menjadi milikku!""Akbar?""Iya, suami kamu. Akbar Wijayuda kan nama dia? Dia sudah menjualmu.""Nggak, nggak mungkin! Kamu pasti bohong kan?""Bacot lu!" geram lelaki itu, kemudian menarik Ayu secara paksa.Di detik yang sama, lelaki tambun itu terlempar sedikit jauh padahal badannya penuh dengan lemak. Ya, dia memang besar, tetapi hanya dipenuhi lemak jahat bukan otot yang bisa memberi kekuatan tersendiri.Ayu tentu saja kaget melihat pemandangan itu. Siapa yang mencoba menyelamatkan dirinya? Apakah benar menyelamatkan atau justru ingin mengambil alih tugas lelaki hidung belang itu?"Pergi atau kupecahkan kepalamu!" Suara yang tidak asing itu membuat
Akbar datang dengan kondisi wajah yang penuh dengan luka lebam. Kepalanya terus menunduk lemah membuat Ayu bergegas membuka pintu.Lelaki itu kini jatuh di pelukan sang istri, dia tidak lagi kuat menopang berat badan. Walau dalam keadaan hamil muda dan masih gemetar, Ayu tetap memposisikan diri dengan baik. Dia memapah suaminya ke sofa, setelah itu mengunci pintu rumah kembali."Aku ambilkan air ya, By."Baru saja wanita itu hendak berdiri ketika tangannya sudah dicekal kuat. Akbar menggeleng pelan sambil meringis menahan sakit. "Tidak, aku sudah minum tadi. Tetaplah di sini, aku merindukanmu."Hati Ayu begitu teriris mendengar kalimat yang Akbar lontarkan barusan. Namun, dia menepikan perasaan larut itu untuk kemudian berlari kecil ke dapur. Dia memasukkan es baru ke dalam mangkuk, meraih kain tebal persegi dan membawanya ke sofa di ruang tamu."Kenapa bisa begini, Sayang?" Ayu bertanya sambil mengompres luka lebam itu. Akbar menahan sakit, dia memejamkan mata membuat Ayu semakin pen
"Iya, By. Seriusan, mereka nolongin aku loh."Akbar menautkan kedua alisnya. "Emangnya ada kejadian apa? Kenapa mereka harus nolongin kamu?"Dengan suara pelan Ayu menceritakan semua kejadian sejak Akbar pergi dari rumah, mengobrol dengan Dani dan juga Dian sampai harus nekat menunggu di depan pagar."Laki-laki?""Iya, By. Masa laki-laki itu bilang dia suruhan kamu, katanya kamu itu ngejual aku. Jujur, tadi aku sempet kecewa, tetapi Dani sama Gio ngeyakinin kalau dia itu bohong.""Terus mereka mana?""Balik ke rumahnya mungkin.""Syukurlah kalau kamu selamat. Aku jadi penasaran apa yang terjadi sebenarnya. Kamu ngerasa ada yang ngeganjal gak sih?"Ayu memaksakan senyum, dia menggeleng pelan berusaha menutupi ketakutannya. Dia mengajak Akbar masuk kamar saja karena malam pun sudah semakin larut.Sementara di tempat lain, tepatnya pada sebuah rumah besar yang berdiri kokoh di samping kediamana Ayu dan Akbar berkumpul tiga orang dewasa.Mereka adalah Gio, Dani dan Dian. Ketiganya duduk m
Pukul tiga subuh, alarm berbunyi membangunkan Dani yang tidur dalam keadaan duduk. Dia mengucek kedua mata karena pandangan masih mengabur.Lelaki itu berdiri, melangkah gontai menuju pintu kamar di mana adik kembarnya berada. Dia ketuk dengan pelan sambil terus memanggil namanya. Butuh lima menit untuk Dian bisa beranjak dari tempat tidur.Kepala gadis itu berdenyut sakit, dia sampai memejamkan mata keras berulang kali. Begitu pintu terbuka lebar, dia langsung dikejutkan oleh perkataan Dani. "Gio tidak di sini. Kita harus segera pulang sebelum Tante Dania kembali!""Gio ke mana?""Entahlah, kamu tidak perlu tahu. Sekarang siap-siap, kita harus segera pulang!"Dani menarik lengan kiri adiknya, kemudian menuruni anak tangga bersama. Cahaya remang membantu mereka melihat pintu keluar. "Cepat!" bisik Dani merasa was-was.Pintu utama sudah mereka buka, kemudian Dani kembali menarik lengan kiri Dian membawanya menjauh dari sana. Di kejauhan terlihat sebuah mobil berwarna putih sedang menya
Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Jam sudah menunjuk angka empat sore. Tepat ketika Akbar selesai salat asar, dia langsung membantu sang istri untuk bangun. Mereka menuju ruang tengah dan latihan jalan di sana.Ayu memejamkan mata kuat karena perutnya sedikit merasakan nyeri. Namun, dia harus bertahan untuk sembuh karena kata dokter, semakin sering beraktivitas, maka mempercepat pemulihan.Akan tetapi, Ayu juga diingatkan untuk tidak bergerak lebih lama jangan sampai lelah atau melakukan aktivitas berat. Akbar pun terlihat tidak ingin melepas tangan istrinya walau sedetik."Susah, By. Susah geraknya.""Enggak, kok. Kita latihan lagi ya. Kamu ingat pesan ibu tadi siang, kan? Harus semangat untuk sembuh biar Allah kabulkan doa kita.""Kok ibu cepet pulangnya, By? Aku aja gak liat ibu pulang gara-gara ketiduran." Ayu sedikit memanyunkan bibir karena masih rindu pada ibunya."Loh kan ada aku di sini. Kemarin waktu aku kerja kan ibu lama nemenin kamu." Akbar menghela napas. "Lanjut lagi, Sayang."Perlahan Ayu mengangkat ka
Lima hari di rumah sakit, Ayu sudah diperbolehkan pulang. Meski sudah bisa makan, tetapi rasa nyeri itu selalu ada terutama ketika mau buang air. Padahal sejak zaman gadis, dia selalu berprinsip untuk menghindari caesar.Bagaimana tidak, dia tahu bagaimana sakitnya setelah obat bius hilang dari cerita teman-temannya. Apalagi resiko yang sangat besar harus dia lalui termasuk banyaknya pantangan yang wajib dihindari.Ayu ingin membuang napas kasar, tetapi takut menimbulkan rasa nyeri lagi. Membayangkan saja sudah membuat wanita itu merasa ngilu. Sekarang pun dia harus membuka mulut untuk menerima suapan dari suami tercinta."Kamu harus banyak makan protein, Sayang, biar jahitannya cepat kering. Jangan nonton atau baca buku humor dulu, harus semangat untuk sembuh. Sore nanti kita latihan jalan lagi, ya?""Sakit.""Enggak, kok.""Enggak, enggak. Kamu mana tahu, aku yang ngalamin, By! Sakit asli kalau nyeri datang lagi, serasa dikoyak-koyak. Duh, ngilu."Akbar tersenyum membenarkan Ayu kal
"Iya, kamu akan selalu salah di mata orang yang tidak suka atau tidak mengerti kamu. Tapi saya yakin kalau istrimu tidak akan menyalahkanmu," lanjut Pak Hatta."Benar begitu, Pak? Apa istriku gak bakal marah kalau dia sudah sadar?""Iya, benar. Satu yang perlu kamu ingat, Nak, bahwa sepahit apa pun hidup, kita tidak boleh berputus asa. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saat sedang depresi, sungguh istrimu saat ini begitu ingin untuk sembuh dan tertawa bersamamu lagi. Kamu percaya?""Bagaimana kalau aku sulit percaya, Pak? Mertuaku saja menyalahkan aku termasuk beberapa orang yang ada di lokasi kejadian tadi.""Maka paksa dirimu, paksa hatimu untuk percaya. Semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir dari Tuhan. Mereka menyalahkanmu mungkin karena masih shock. Kalau saja istrimu kecelakaan saat bersama sahabatnya, kamu pasti refleks menyalahkannya juga, kan?"Akbar kembali menangis, ada amarah dalam hatinya untuk menghabisi lelaki yang berani menyentuh istrinya. Kalau saj