"Tidak, Bu. Aku tidak mau dijodohkan dengan Akbar!" tolakku tegas.
"Akbar itu orangnya baik, ibu juga kenal baik sama kedua orangtuanya. Pokoknya kamu harus menerima perjodohan ini atau angkat kaki dari rumahku!" tegas ibu padaku yang merupakan anak sematawayangnya.
Aku bingung, lalu mengusap wajah gusar karena tidak pernah suka dengan kata perjodohan. Bagiku itu adalah takdir buruk karena menjalani kehidupan rumah tangga tanpa dasar cinta.
Apalagi hati telah dihuni oleh lelaki tampan bernama Gio Syaputra. Dia laki yang rajin ke masjid juga sering membantu orang lain yang sedang kesusahan.
Pertemuan kami bermula di sebuah masjid ketika Gio sedang asik memberi makan seekor kucing jalanan. Saat itu aku menatap dari jauh, kemudian memberanikan diri untuk mendekat.
"Nanti mereka akan datang ke rumah dan kamu harus menerimanya. Ini semua demi kebaikan kamu, Ayu!" lanjut ibu lagi.
Perempuan paruh baya yang sedang bicara denganku tahu betul kalau aku sedang dekat dengan Gio sehingga meminta sahabatnya untuk menjodohkan kami. Jika dinilai dari agama, kata ibu, Akbar pemenangnya.
"Apa Ibu tahu bagaimana sulitnya menikah tanpa landasan cinta? Ibu tidak boleh egois karena aku tahu kisah di masa lalu," ucapku pelan. Bagaimana pun juga, takut membangkang orangtua.
"Kisah apa yang kamu tahu?"
"Ibu menikah siri sama ayah karena dijodohkan juga, kan?"
Ibu mengembus napas kasar, lalu mengakui kebenaran itu, tetapi alasannya berbeda. Aku juga tahu kalau ibu nekat menikah siri tanpa restu orangtua karena dijodohkan dengan anak juragan sapi yang terkenal pemabuk.
Sementara itu, aku melangkah cepat ke luar kamar. Namun, kaki berhenti melangkah ketika melihat sang ayah sedang duduk di kursi goyang.
"Kamu mau ke mana, Ayu?" tegurnya.
"Aku tidak tahu, Ayah. Pastinya aku tidak mau menerima perjodohan ini. Aku punya hak untuk memilih kelak menikah dengan siapa."
"Tapi Akbar itu lelaki yang baik. Ayah yakin dia bisa menjadi imam untuk kamu."
Aku tidak peduli, kemudian menyambar kunci motor yang selalu tergantung di paku. Pikiran saat ini kacau dan hendak menyampaikan berita itu pada Dian, sahabat lamaku.
***
Hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di rumah Dian Fahirah. Aku langsung menghambur dalam pelukan perempuan yang juga memakai jilbab itu.
"Dijodohkan?" Dian memekik kaget setelah mendengar cerita dariku.
"Iya, padahal kamu tahu sendiri bagaimana aku mengharapkan Gio." Kini mata sudah berembun.
"Memang Akbar itu siapa?" tanya Dian lagi. Baginya nama itu terdengar familiar.
Tanpa ragu aku mengedikkan bahu tanda tidak tahu. Orangtua kami memang bersahabat, tetapi keduanya tidak pernah membawa anak untuk ikut serta kala makan bersama. Entah aku yang sibuk atau memang sedang malas bergerak.
Hati merasa menikah dengan Akbar hanya sebuah malapetaka. Jangankan sikap, rupa saja belum tahu bagaimana bentuknya. Ingin pasrah juga enggan karena menikah adalah ibadah, bukan ajang coba-coba.
"Rumit," keluhku dengan pipi yang sudah basah oleh air mata.
"Gio sudah tahu?" Aku menggeleng, Dian pun kembali melanjutkan, "kalau Gio tahu, mungkin ada solusi. Entah dia yang datang menghadap orangtua kamu atau apa gitu. Perempuan butuh kepastian, bukan janji manis belaka."
"Gio serius, cuman uangnya belum cukup. Kamu tahu sendiri kalau Gio punya adik perempuan yang masih sekolah sementara ibu dan ayahnya sudah lama pisah."
Dian memutar otak. Dia mengaku setuju kalau aku mau mencoba kenal dengan Akbar karena lelaki yang baik adalah memberi kepastian juga bukti bukan hanya omong kosong.
Semua orang bisa berjanji, tetapi sedikit yang menepati. Dian tidak mengenal Akbar, sementara Gio adalah teman dari saudara kembarnya yang bernama Dani.
"Ini tidak adil!" kataku lagi.
Mendengar itu, kedua alis Dian terangkat karena merasa bingung. Sementara bibir terus menggerutu, menggaungkan kalimat penolakan juga umpatan yang terdengar sedikit kasar.
"Kamu harus sabar, Ayu. Ingat, sabar itu bagian dari iman. Kamu beriman, kan?"
Tangan memilin ujung pashmina yang dipakai, kemudian menunduk dalam. Hati menyimpan sesak yang luar biasa. Aku hanya butuh Gio seorang.
Lelaki yang selalu membantu. Bagiku, Gio adalah malaikat penolong. Dia selalu ada di saat teman kesusahan dalam hal apa pun bahkan lelaki itu lebih mementingkan kebutuhan aku daripada dirinya sendiri.
Kami dekat tanpa sebuah ikatan. Gio pernah mengajak pacaran, tetapi aku menolak karena takut salah dalam melangkah. Hubungan kami biasa saja, hanya saja lelaki itu meminta menunggu.
"Tidak ada solusi yang bisa aku berikan, Yu. Apalagi orangtua kamu yakin kalau Akbar itu orangnya baik. Siapa tahu memang betul adanya, kan? Sekarang kabari Gio tentang perjodohan itu. Dia lelaki, pasti bisa mengambil keputusan!" tegas Dian.
"Tidak, Gio tidak boleh tahu. Aku harus menyembunyikan kabar itu darinya. Kalau Gio tahu, dia bisa sakit hati," lirihku lagi berusaha menolak kenyataan.
Aku mengangkat wajah menatap sendu pada Dian. Mata yang basah ini menyimpan banyak luka. Sudah banyak manusia terutama perempuan di luar sana bunuh diri karena ditinggal sang kekasih.
Jika Gio mati, sudah tentu hati hancur tanpa kepingan. Aku akan merasa dunia kejam sehingga hanya menghabiskan waktu dalam kamar dengan segala kerinduan yang selalu terpatri dalam hati.
"Ay, tidak selamanya kita menyatu dengan orang yang kita cintai. Cinta butuh pengorbanan, mungkin ini sudah jalannya. Allah tidak selalu memberi apa yang kita inginkan, tetapi apa yang kita butuhkan."
"Aku tahu itu. Kamu selalu bilang, kadang kita mengharapkan sekuntum bunga, tetapi Allah memberi segudang bahkan lebih. Itu semua juga butuh proses yang panjang."
"Nanti aku beritahu Dani masalah ini biar dia yang membantumu menyampaikan ke Gio. Aku tahu hatimu berat untuk menerima atau menolak perjodohan–"
"Tidak, aku tidak berat menolak perjodohan itu!" sangkalku cepat.
Aku merasa sedikit menyesal curhat pada Dian karena dia malah mendukung Akbar. Seperti sebuah lagu, 'walau dunia menolak kutetap cinta kamu!'Tangan memijit kening begitu mendengar nasihat dari Dian yang memintaku menimbang keputusan dengan matang.
"Sikap ceroboh sering membuat kita menyesal, Ayu. Kamu harus ingat hal itu, apalagi kita bukan remaja yang baru mengenal cinta."
"Cinta itu pondasi pernikahan, Dian. Aku tidak pernah membayangkan pernikahan tanpa cinta. Teman SMA kita dulu dijodohkan, lihat sekarang dia sudah jadi janda. Ada lagi teman kuliah dulu, dia dilamar duda dan sekarang apa dia bahagia?"
Kepala sedikit pening memikirkan hal itu. Aku tidak ingin jadi janda dalam waktu dekat apalagi usia masih bisa dibilang muda.
Namun, Dian tidak pernah putus asa untuk mengingatkan aku. Dia tersenyum lantas mengingatkan, "antara cinta dan rida orang tua, menurut kamu mana yang lebih penting?"
Bibir hanya terkatup rapat karena bingung harus menjawab apa.
Aku pulang ke rumah dengan perasaan gamang. Hati memang menginginkan rida orangtua, tetapi cinta pada Gio terlalu besar. Jangankan untuk pisah selamanya, mengetahui ada perempuan yang fans sama Gio saja aku sudah terbakar api cemburu. Bagaimana pun hati menolak untuk jatuh cinta, tetap saja gagal. "Apa kamu tidak tahu pekerjaan Dania?" "Ibunya Gio?" "Dania itu seorang kupu-kupu malam. Apa kamu mau punya mertua yang kerjanya suka gonta-ganti pasangan?" Aku terkejut bukan main. Pantas saja Gio selalu memberi banyak alasan ketika diminta memperkenalkan aku pada ibunya. Ternyata seorang wanita malam. "Tapi, Bu, bisa aja kan ibunya sudah taubat dan berhenti dari pekerjaan itu?" Aku masih mencoba mencari cara agar bisa mendapat restu. "Belum. Dania itu sangat terkenal." Malang sekali nasib yang menimpa, aku hanya bisa mengembus napas kasar. Ada sedikit rasa takut untuk terus melawan apalagi menentang terang-terangan keputusan orangtua. Padahal jika boleh dikata, kenapa harus melihat
Sekarang masanya kembali bekerja karena pemilik toko sudah kembali dari kampung halamannya. Baru pukul delapan pagi, tentu saja masih sepi pelanggan. Saat menguap, mataku tertuju pada seorang laki-laki yang membuka pintu. Dia memindai sekitar, lalu tersenyum ramah. Gegas aku mendekat untuk menyapa, "selamat datang di Toko Fashion Muslim dan Muslimah. Cari apa, Mas?" "Cari baju koko, Mbak." Dia menjawab ramah. Lelaki di hadapanku terbilang tampan dan bersih, jadi kurasa pakaian model dan warna apa pun akan cocok dengannya. Dia melangkah pelan dengan mata fokus melihat koko yang terpajang di patung manekin. Baju kokonya ada logo yang asing di mataku, tetapi di bagian dada sebelah kanan tertera nama Akbar Wijayuda. Aku jadi teringat tentang perjodohan yang disampaikan ibu, apakah dia? "Mbak, aku mau yang model ini. Berapa harganya?" tanya lelaki itu lagi sambil menunjuk kurta Azzaky warna taro. "Harganya dua ratus tiga puluh sembilan, Mas." "Boleh, ambil dua. Satunya warna navy."
Malam ini keluarga dari Akbar akan datang ke rumah untuk meminang. Acaranya sederhana saja sesuai permintaan aku pada ibu karena jangan sampai mereka malu jika hati nekat menolak. Aku hanya mengenakan pakaian muslim biasa, lalu melilit jilbab sesuai model yang aku tiru di Yo*Tube tadi. Huh, sekalipun akan menolak, tetap saja ada rasa gugup. "Mereka sudah tiba, ayo ke luar!" perintah ibu. Sebenarnya sedikit malu keluar dengan mata sembab begini, tetapi kalau tetap diam di kamar nanti ibu yang menerima lamaran itu dengan dalih aku mengiyakan saja keputusan orangtua. Teringat kemarin pesan Dian ketika Gio sudah benar-benar pergi bahwa rida orangtua harus kita kejar apalagi ibu. Jangan pernah menolak lamaran laki-laki baik atau akan ditimpa musibah. "Cepet!" panggil ibu lagi. Aku melangkah malas ke luar dari kamar menuju ruang tamu. Kepala terus menunduk enggan menatap calon suami. Ah, menyebutnya dengan panggilan itu membuat aku ingin mengamuk. Kalau saja bukan karena Dian yang sel
[Apa kamu ada hati sama orang lain? Maaf, kalau pertanyaan ini terkesan lancang. Namun, aku tidak ingin menaruh harap sama orang yang tidak pernah ada niat untuk menerimaku. Katakanlah sekarang sebelum akhirnya kita melangkah lebih jauh dan sulit untuk kembali ke titik awal.] Membaca pesan itu membuatku semakin dilema. Kasihan juga Akbar kalau harus diberi harapan sementara hati fokus memikirkan Gio. Ya, dalam hati dan pikiran selalu terbesit nama Gio Syaputra. Aku sampai heran kenapa bisa sesuka itu sama dia. Entah karena sifatnya yang suka menolong orang atau memang sudah menjadi takdir. [Tidak, Akbar.] Hanya itu yang bisa aku kirim padanya. Ini tidak berbohong karena aku hanya mengatakan tidak, bukan menjelaskan secara rinci. Aku mengaku tidak bisa memberitahunya tentang Gio karena lelaki itu saja sudah mengaku kalah. Mungkin Gio merasa ragu untuk berjuang mengingat status ibunya yang seorang kupu-kupu malam. Ibu merasa khawatir jika kelak aku menjadi menantunya, akan dipaksa u
Sesampainya di depan toko, aku memaksa senyum pada Mbak Rina karena sepanjang jalan tadi mendapat omelan dari ibu. Sungguh aku tidak mengerti kenapa ibu harus mempermasalahkan pekerjaan orangtua Gio.Padahal jika telah menikah nanti, kami bisa pisah rumah. Lagi pula tentu saja ibunya Gio tidak akan mau serumah dengan kami atau akan mempersulit dirinya sendiri."Sebenarnya ada apa, sih, Yu? Mbak bukannya kepo cuman kalau ada masalah, kamu bisa cerita." Mbak Rina mulai penasaran."Gak ada apa-apa, kok, Mbak.""Gak apa-apa gimana? Tadi aja ibu kamu langsung marah-marah pas tau mbak bilang ke rumah sahabatmu. Dia juga marahin mbak karena ngeberi izin gitu."Aku membuang napas kasar. Ternyata ibu sangat benci jika aku masih berusaha dekat dengan Gio atau dengan orang-orang yang akrab dengannya. Namun, kenapa harus memarahi Mbak Rina juga?"Maafkan ibu, Mbak." Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan sebelum akhirnya kembali ke meja kasir.Mbak Rina manggut-manggut mengerti. Mungkin dia peka
"Ayu!" Gio meraih pergelangan tanganku. Kami tidak bersentuhan langsung karena piyamaku menjadi perantara. Menyadari itu, Gio langsung melepasnya. "Kamu mau bunuh diri? Sadarlah, itu dosa.""Aku gak peduli. Selama kamu menyerah, aku akan tetap mengakhiri hidup.""Jangan bunuh diri. Pikirkan perasaan orangtua kamu, juga Dian sebagai sahabatmu.""Bagaimana dengan perasaanmu sendiri, Gio? Apa kamu tidak sedih atau malah senang jika aku pergi dari dunia ini?"Gio membuang napas kasar. "Bukan seperti itu. Kamu tidak bisa memahami apa keinginanku karena dibelenggu obsesi. Cinta tidak selamanya berakhir indah.""Bagaimana jika aku ingin cinta kita berakhir indah?""Jangan melawan takdir, Ayu!"Aku tersentak mendengar respons Gio. Sungguh, aku bukan mau melawan takdir karena sama saja durhaka kepada Tuhan. Hanya saja berusaha bangkit dan meminta agar takdir itu diubah menjadi indah.Bukankah senjata orang mukmin adalah doa? Allah tidak pernah melarang hamba-Nya untuk berdoa, lalu kenapa Gio b
Lelah rasanya setelah melakukan live streaming di Facebo0k. Pasalnya lelang kali ini lumayan banyak daripada tahun lalu dan alhamdulillah peminatnya banyak juga. Kami sampai banjir orderan.Selain aku, ada satu karyawan baru lagi. Ah, mungkin saja saudara Mbak Rina karena setahu aku dia bukan asli sini, ketahuan dari muka.Dia mem-packing barang dengan cekat, aku sampai melongo melihatnya. Atau mungkin juga karena dia seorang lelaki berpengalaman sampai bisa secepat dan serapi itu."Tempelin gih!" perintah Mbak Rina menyerahkan tumpukan stiker info pemesan yang berisi nomor pesanan, nama, nomor telepon, alamat serta ucapan terimakasih. "Mbak mau ke warung sebentar, laper!"Laki-laki itu sangat pintar karena sudah menandai tiap paket dengan nomor pesanan sehingga aku tidak perlu bingung. Tentu saja aku menempel stiker itu dengan hati-hati, takut mendapat sensor."Rafael, panggil saja Rafa.""Eh?" Aku terkejut karena tiba-tiba saja dia memperkenalkan diri."Nama kamu siapa?" tanya Rafa
"Gak, aku gak mau pulang sebelum berhasil menyadarkanmu!" tolak Dian dengan senyum pongah."Lagian kenapa, sih? Aku kan gak kesurupan!""Sudah kukatakan, rasa berharapmu pada Gio harus dikikis, Ayu." Dian sudah kembali melembutkan suara."Hatiku pedih!" tukasku cepat, kemudian berakhir dengan embusan napas kasar.Memang semua ini salah dan aku menyadari itu, tetapi kita tidak bisa mengatur hati untuk bersikap biasa saja. Aku juga tahu bahwa masalah apa pun yang menimpa baik itu berupa ujian pada harta, keluarga atau kekasih, kita harus kembali kepada Allah.Setiap malam aku bermunajat pada-Nya meminta pertolongan agar bisa menerima Akbar hadir dalam kehidupanku. Nyatanya cinta pada Gio yang semakin tumbuh megah. Umpama ilalang yang rimbun tanpa disiram."Kepedihan bagiku adalah sebuah panggilan dari Tuhan untuk kembali pada-Nya. Wahai hambaku, segeralah kembali, mendekat ke sisi-Ku. Kamu sudah lama merasa hebat sehingga lupa dan lalai dari mengingat-Ku," tutur Dian menohok hati.Air m
Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Jam sudah menunjuk angka empat sore. Tepat ketika Akbar selesai salat asar, dia langsung membantu sang istri untuk bangun. Mereka menuju ruang tengah dan latihan jalan di sana.Ayu memejamkan mata kuat karena perutnya sedikit merasakan nyeri. Namun, dia harus bertahan untuk sembuh karena kata dokter, semakin sering beraktivitas, maka mempercepat pemulihan.Akan tetapi, Ayu juga diingatkan untuk tidak bergerak lebih lama jangan sampai lelah atau melakukan aktivitas berat. Akbar pun terlihat tidak ingin melepas tangan istrinya walau sedetik."Susah, By. Susah geraknya.""Enggak, kok. Kita latihan lagi ya. Kamu ingat pesan ibu tadi siang, kan? Harus semangat untuk sembuh biar Allah kabulkan doa kita.""Kok ibu cepet pulangnya, By? Aku aja gak liat ibu pulang gara-gara ketiduran." Ayu sedikit memanyunkan bibir karena masih rindu pada ibunya."Loh kan ada aku di sini. Kemarin waktu aku kerja kan ibu lama nemenin kamu." Akbar menghela napas. "Lanjut lagi, Sayang."Perlahan Ayu mengangkat ka
Lima hari di rumah sakit, Ayu sudah diperbolehkan pulang. Meski sudah bisa makan, tetapi rasa nyeri itu selalu ada terutama ketika mau buang air. Padahal sejak zaman gadis, dia selalu berprinsip untuk menghindari caesar.Bagaimana tidak, dia tahu bagaimana sakitnya setelah obat bius hilang dari cerita teman-temannya. Apalagi resiko yang sangat besar harus dia lalui termasuk banyaknya pantangan yang wajib dihindari.Ayu ingin membuang napas kasar, tetapi takut menimbulkan rasa nyeri lagi. Membayangkan saja sudah membuat wanita itu merasa ngilu. Sekarang pun dia harus membuka mulut untuk menerima suapan dari suami tercinta."Kamu harus banyak makan protein, Sayang, biar jahitannya cepat kering. Jangan nonton atau baca buku humor dulu, harus semangat untuk sembuh. Sore nanti kita latihan jalan lagi, ya?""Sakit.""Enggak, kok.""Enggak, enggak. Kamu mana tahu, aku yang ngalamin, By! Sakit asli kalau nyeri datang lagi, serasa dikoyak-koyak. Duh, ngilu."Akbar tersenyum membenarkan Ayu kal
"Iya, kamu akan selalu salah di mata orang yang tidak suka atau tidak mengerti kamu. Tapi saya yakin kalau istrimu tidak akan menyalahkanmu," lanjut Pak Hatta."Benar begitu, Pak? Apa istriku gak bakal marah kalau dia sudah sadar?""Iya, benar. Satu yang perlu kamu ingat, Nak, bahwa sepahit apa pun hidup, kita tidak boleh berputus asa. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saat sedang depresi, sungguh istrimu saat ini begitu ingin untuk sembuh dan tertawa bersamamu lagi. Kamu percaya?""Bagaimana kalau aku sulit percaya, Pak? Mertuaku saja menyalahkan aku termasuk beberapa orang yang ada di lokasi kejadian tadi.""Maka paksa dirimu, paksa hatimu untuk percaya. Semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir dari Tuhan. Mereka menyalahkanmu mungkin karena masih shock. Kalau saja istrimu kecelakaan saat bersama sahabatnya, kamu pasti refleks menyalahkannya juga, kan?"Akbar kembali menangis, ada amarah dalam hatinya untuk menghabisi lelaki yang berani menyentuh istrinya. Kalau saj