Tepat jam sebelas siang, Bu Ira bangkit dari duduknya dan masuk kamar sang anak. Dikri tampak masih terlelap dengan lengan kanan posisi menumpang di keningnya. Bu Ira tidak tega membangunkannya, Dikri tampak sangat kecapekan. Tapi jika tidak dibangunkan, nanti kena marah di kantor karena terlambat."Dik, bangun, Nak. Sudah jam sebelas." Disentuhnya pelan tangan Dikri.Spontan Dikri langsung membuka mata. Biasanya kalau dibangunkan, dia bisa malas-malasan dan memejam lagi. Tapi itu dulu. Berbeda dengan Dikri yang sekarang. Semenjak badai memporak-porandakan keluarganya, dia jadi lelaki yang cepat tanggap. "Sudah jam sebelas, Ma?""Iya. Kamu jadi ngantor?""Ya.""Kamu nggak apa-apa, kan?"Dikri bangun dari pembaringan. "Aku nggak apa-apa. Aku mau mandi dulu." Dia bangkit dan melangkah keluar. Diikuti sang mama yang langsung ke dapur. Menyiapkan lunch box untuk diisinya dengan kue dari Najiya tadi. Juga menaruh potongan buah mangga di sana. Setelah itu menyiapkan makan siang."Makan dulu
"Nggak apa-apa. Mau sampai kapan seperti ini. Kadang kita harus benar-benar menyesuaikan diri dengan keadaan. Aku sudah bahagia dengan keluargaku, Mbak. Suami yang luar biasa dan anak-anak yang hebat. Lalu untuk apa aku masih harus kucing-kucingan dengan masa lalu. "Capek juga selalu seperti ini. Lebih baik benar-benar berdamai. Untuk dekat mungkin tidak bisa. Namun tidak selalu harus menghindar. Menjalani saja seperti air yang mengalir."Sambil makan, netra Indah berkaca-kaca. Dia sangat paham dengan perasaan Puspa. Andai dia tidak merawat Denny, mungkin Puspa tidak akan merasa sesulit ini. Memaksa diri untuk paham dan kembali mengalah. Namun Denny bukan sebuah hambatan. Tidak ada penyesalan merawat anak itu. Puspa juga sangat menyadarinya. Sejauh ini hubungan mereka baik-baik saja. Tak pernah Puspa berkata yang menyakitinya."Maafkan mbak, Pus.""Sudahlah, Mbak nggak usah minta maaf. Kita ditakdirkan seperti ini. Kalau waktu itu Mbak Indah sampai berpisah dengan Mas Irwan, aku juga
PERNIKAHAN - Keputusan "Mama, ingin ngomong apa?" tanya Dikri setelah beberapa kali menyuap nasinya. Mereka sudah duduk di ruang makan."Tentang Jiya, Dik.""Ada apa dengan Jiya?" Tanggapan Dikri begitu biasa. Tidak ada yang aneh dan mengejutkan. Bu Ira tidak yakin dengan apa yang hendak disampaikannya."Kamu nggak menyukainya?""Menyukai bagaimana maksud, Mama?" Ah, Dikri sebenarnya sudah paham maksud sang mama. Namun ia pura-pura tidak mengerti. Ia pun tahu kalau hendak disatukan dengan Najiya oleh mamanya dan Bu Ramini. Gelagat itu sudah terbaca oleh Dikri semenjak beberapa bulan yang lalu. "Ya, tertarik sebagai pria dan wanita. Kalian kan sudah kenal dan akrab. Kamu apa nggak ingin lebih serius lagi. Melamarnya menjadi istrimu. Mama setuju, Dik. Jiya gadis yang baik." Bu Ira langsung ke pokok pembahasan karena dipikir Dikri tampaknya tidak mengerti."Kami hanya teman biasa, Ma.""Sudah tiga tahun semenjak kejadian itu. Kamu masih belum bisa melupakan semuanya? Mama paham dengan
Apa istimewanya wanita itu. Diusia setengah abad lebih masih berdandan seseksi itu. Sungguh tidak sadar usia bahkan sudah punya cucu. Meski mamanya selalu berdandan dan modis, tapi Bu Ira sadar umur. Berpakaian sesuai dengan usianya.Ah, Dikri sama sekali tidak punya pikiran seperti sang mama. Ia yakin papanya sudah berhenti dari semua itu. Namun sekarang ia mulai ragu, benarkah yang dikatakan sang mama. Orang yang mengenal papanya lebih dalam dari siapa pun.Apa prasangka ini yang membuat mamanya sudah tidak peduli dan diam selama ini. Tidak pernah membahas lagi tentang pernikahan mereka?"Ma, aku yakin papa sudah berubah." Dikri berusaha menepis praduganya sendiri."Alhamdulillah kalau papamu menyadari kekeliruannya. Namun menikah lagi bukan sebuah kesalahan untuk papamu, Dik. Disaat hubungan dengan mama nggak jelas seperti ini."Ibu dan anak saling pandang. Dikri harus mencari tahu tentang papanya. Selama ini mereka hanya berkomunikasi biasa saja. Dikri yakin papanya tidak mengajak
"Kami lumayan dekat. Hampir setiap hari kalau makan siang sering bertemu.""Apalagi yang kamu tunggu? Jangan sampai terlepas.""Besok sore kami bertemu di Surabaya. Akan kukenalkan dia pada orang tuaku.""Siipp, gitu dong.""Usianya dua tahun di atasku. But age is just a number, right?""Kamu benar." Dikri mengambil kopi pesanannya dari atas nampan yang di antar untuknya. Usia hanya angka. Puspa pun sangat bahagia dengan Bram meski usia mereka selisih jauh. Tapi kalau lelakinya yang lebih dewasa, sudah biasa."Mas Dikri, sendiri bagaimana?" Rayyan pun penasaran dengan kisah asmara temannya. Selama ini Dikri tidak pernah menceritakan satu perempuan pun.Dikri hanya tersenyum. Dia belum bisa menceritakan tentang Najiya. Karena semua yang dibahas dengan sang mama tadi, baru sebuah rencana.Kemudian mereka berbincang tentang berbagai tema. Pekerjaan, juga kedekatan Rayyan dengan gadis yang belum disebutkan namanya."Kutunjukin cewek itu, Mas. Kalau kami ada jodoh, mungkin aku akan tinggal
PERNIKAHAN - Apa masih ada harapan?Indah lega melihat rombongan keluarganya sudah sampai. Dia tersenyum ketika bersipandang dengan sang adik. "Mbak bahagia banget kamu beneran datang," bisik Indah saat Puspa menghampiri.Puspa tersenyum. Lantas menyalami semua orang yang telah hadir lebih dulu di sana. Bu Wanto pun memeluk Puspa. "Kamu tambah cantik saja, Puspa," pujinya seraya mencium pipi Puspa. Dulu Indah sering mengajaknya berkunjung ke rumah sang mertua."Makasih, Bu." Kemudian beralih pada Bu Ira. Dadanya berdegup kencang saat bersipandang dengan wanita yang memandangnya dengan tatapan sendu."Puspa." Bu Ira memeluknya. Air matanya ikut merambat turun. Hal yang sempat membuat Bu Wanto heran. Ada apa iparnya sampai menangis?Puspa tidak bicara apa-apa selain membalas senyum wanita itu. Kemudian ia beralih memandang Dikri dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Baru kali ini mereka berada dalam jarak yang begitu dekat. Dikri membalas dengan menangkupkan tangannya juga,
Acara ulang tahun akhirnya selesai. Satu per satu tamu pulang. Dikri juga pamit lebih dulu, memberikan anggukan sopan kepada Puspa dan Bram sebelum meninggalkan ruangan bersama sang mama tanpa banyak kata. Puspa merasa ada beban yang sedikit terangkat dari hatinya, meski bayangan masa lalu itu mungkin tak sepenuhnya akan hilang. Namun, pertemuan ini membuatnya menyadari bahwa dia lebih kuat dari yang pernah ia bayangkan.Masa lalu memang tak bisa dihapus, tapi dia memiliki kesempatan untuk menyusun masa depan lebih baik bersama Bram yang selalu disisinya.***L***"Terima kasih untuk malam ini, Mas," ucap Puspa pada sang suami yang berdiri di sebelahnya. Memegang tangan Bram dengan penuh kelembutan. "Mas tahu, aku bisa melalui semua ini karenamu."Bram merangkul bahu Puspa. Saat itu mereka sedang berada di samping baby crip. Di mana A'im sudah terlelap dengan pulas."Kamu sendiri perempuan yang hebat. Berterima kasihlah para diri sendiri, Puspa. Di mana kamu mampu melewati semua ini."
"Aku tahu, Ma. Aku fokus dulu ke karirku. Doakan aku segera mendapatkan promosi jabatan.""Doa-doa mama, hanya tentang kamu, Denik, dan Denny."Dikri terharu. "Makasih, Ma. Oh ya, mungkin aku pulangnya larut malam. Mama, nggak usah nunggu. Aku bawa kunci sendiri. Sebab aku mesti nganterin papa dulu ke rumahnya. Papa cuti seminggu, Ma." Dikri diam sejenak, kemudian kembali memandang sang mama. "Kalau kecurigaan Mama nggak benar dan papa ternyata selama ini tetap sendirian, apa Mama masih membuka peluang papa untuk kembali?"Bu Ira menghabiskan teh di gelas, lantas memandang serius ke putranya. "Kenapa kamu sangat yakin kalau papamu ingin kembali? Bukankah selama ini papamu diam saja dan itu berarti sudah nyaman dengan keadaannya? Sampaikan ke papamu, Dik. Mama nggak mempermasalahkan kalau papamu ingin menikah lagi. Silakan dengan wanita mana saja yang pernah dekat dengannya. "Mama sudah nggak memikirkan lagi hidup berumahtangga. Sekarang papamu sudah punya banyak uang. Dia bisa mengur
"Bagaimana, May?" teriak Dikri. Tidak sabar menyambut Maya yang keluar dari kamar mandi malam itu."Bentar!"Dikri mondar-mandir menunggu. Dia berharap ada kabar bahagia malam ini. Sudah membayangkan memiliki anak perempuan yang cantik. Biar terobati rindunya pada Denik.Maya keluar dari kamar mandi."Bagaimana?" "Aku hamil," ucap Maya dengan suara bergetar dan netra berkaca-kaca. Menunjukkan testpack dengan garis dua di tangannya.Mata Dikri membelalak dan langsung memeluk Maya dengan erat, hampir tak percaya dengan kabar bahagia itu meski harapannya begitu besar. "Alhamdulillah."Akhirnya setelah dua bulan menikah, Maya baru hamil. Biar menepis dugaan sebagian orang kalau mereka menikah diam-diam karena Maya hamil duluan.Tidak adanya resepsi dan nikah dadakan membuat beberapa orang berprasangka buruk. Apalagi Maya seorang janda."Besok kita cek ke dokter, Mas. Baru ngasih tahu orang tua kita.""Iya." Dikri masih speechless. Tak henti ia mengucap syukur. Masih diberikan kesempatan
"Sampai sekarang Rayyan belum tahu kalau akulah yang menghancurkan harapannya. Semoga sampai kapanpun dia nggak akan pernah tahu, Ma.""Baiklah kalau gitu. Kita nggak usah ngadain resepsi saja." Bu Ira mengelus punggung putranya sambil tersenyum. Dalam hati berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Dikri dan Maya bahagia.***L***Dua bulan sudah Dikri dan Maya menjadi pasangan suami istri. Mereka tinggal di rumah orang tua Maya karena Bu Anang di Surabaya menunggui Mika yang hendak bersalin. Tiap akhir pekan mereka menginap di rumah orang tua Dikri atau berkunjung ke Surabaya.Maya membuka jendela dapur saat matahari pagi sudah menerobos masuk. Tiap selesai salat subuh, ia akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Selalu memastikan pagi mereka dimulai dengan sarapan bersama sebelum berangkat kerja. Meski sama-sama sibuk. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengatur makan siang bersama setidaknya dua kali seminggu. Kalau Dikri ada acara di luar kantor, ia akan menjemput Maya untu
PERNIKAHAN - Bidadari Kecil "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Di depan pintu ada Rayyan bersama Najiya yang tengah hamil besar."Hai, Ray. Ayo, masuk!" Dikri bangkit dan menyambut tamunya. Mereka jarang sekali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon. Rayyan pasti lebih sibuk setelah menikah.Maya memperhatikan pasangan itu. Dia belum pernah melihatnya. Karena hampir kenal semua teman-teman Dikri."Nikah nggak ngabarin sih, Mas," protes Rayyan sambil bersalaman. Kemudian ia dan Najiya menyalami Maya, Pak Maksum, dan Bu Ira. Dikri mengenalkan Maya pada Rayyan dan Najiya."Mari silakan duduk," ujar Bu Ira."Maaf, rencananya kan mau tunangan dulu. Tapi kami langsung nikah siri atas saran keluarga. Baru nanti mendaftarkan pernikahan ke KUA. Kapan kalian datang?""Tadi pagi. Dan kami dikasih tahu sama Budhe. Alhamdulilah, saat berulang kali kutanyai Mas Dikri bilang nggak punya pacar. Eh tiba-tiba saja nikah. Rupanya main rahasia selama ini."Dikri tertawa. "Tanyakan ke Budhe, giman
"Apa dulu itu, kamu menyukai gadis lain, Dik? Makanya dengan berbagai alasan kamu menunda pernikahan kita?" Namun pertanyaan itu hanya terucap dalam dada. Dia tidak akan menanyakannya dan tidak usah tahu. Yang penting mereka sekarang berkomitmen untuk melangkah beriringan membina masa depan. Lupakan masa lalu. Sepahit apapun itu. Dirinya sudah menerima Dikri dan menerima seluruh kisahnya."Kita akan saling mencintai sampai kapanpun, May." Dikri mengecup puncak kepala istrinya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki Maya. Dikri berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Maya, melindunginya, dan menjadi suami yang setia.Maya mengeratkan pelukan. Keduanya terhanyut dalam perasaan dan tuntutan kebutuhan ragawi. Ternyata Maya sudah mengenakan gaun istimewa untuk suaminya. Membuat mereka tidak sabar untuk segera tenggelam menikmati malam pernikahan.Sarangan menjadi saksi keduanya untuk menyempurnakan hubungan. Maya tidak pernah tahu, bahwa dia bukan yang pertama bagi Dikri. "Dik, kita
"Setelah ini kamu dan Dikri harus mulai membahas mau tinggal di mana, May. Sebab Dikri pun sekarang menjadi anak tunggal. Jangan sampai hal begini akan jadi masalah. Kalau Mas, maunya kamu nemenin Mama," kata Bayu."Mas Bayu, nggak usah khawatir deh. Mama akan ikut aku ke Surabaya. Nungguin aku lahiran. Jangan khawatir, ada ART di rumah jadi Mama hanya duduk mengawasi saja saat kami tinggal kerja. Iya kan, Ma?" Si bungsu merangkul bahu mamanya.Sejak menikah, Mika memang mau mengajak mamanya tinggal bersama. Tapi Bu Anang menolak dengan alasan, kasihan Maya sendirian."Sekarang Mbak Maya kan sudah menikah, Ma. Ada suami yang jagain. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."Bu Anang memandang Maya. Anak yang paling dekat dengannya. Dibanding dengan kedua saudaranya. Maya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Itu pun karena ada andil orang tua yang memaksakan kehendak."Nggak apa-apa Mama ikut ke Surabaya. Kalau pengen pulang ke Nganjuk kan bisa kami jemput. Pengen ke Surabaya bisa
PERNIKAHAN- Semalam di Telaga Sarangan "Mbak, dulu dia mengulur-ulur waktu nikahin aku. Sekarang dia maunya buru-buru. Kami nikah secepat kilat kayak habis di gropyok hansip saja.""Sssttt, jangan ngomong begitu. Memang takdir jodoh kalian baru sekarang," jawab sang kakak ipar seraya mengaplikasikan bedak di wajah Maya. "Apapun yang pernah terjadi, Mbak salut kalian bisa kembali bersama. Ini jodoh yang sempat belok arah namanya." Nafa, istrinya Bayu terkekeh. "Mbak aja kaget waktu dikabari mama.""Aku sendiri rasanya nggak percaya. Padahal aku sudah mengubur dalam-dalam harapan itu.""Kalian ini jodoh yang tertunda. Mbak doain kalian bahagia. Jangan tunda, segeralah punya momongan. Usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, kan?"Maya mengangguk. Make up sudah selesai. Maya membuka lemarinya dan mengambil kebaya warna putih tulang. Itu baju yang ia pakai di hari pernikahan adik perempuannya. Mika. Baru setahun yang lalu, pasti masih muat. Modelnya simple, masih mewah kebaya pengantin saat
"Sudah kubilang kalau itu bukan masalah bagiku. Kamu nggak harus berkata panjang lebar, May. Cukup bilang, ya atau tidak. Aku sudah mengerti." Dikri memandang Maya. Sedangkan Maya memandang gerimis di hadapannya. Pemandangan sore ini begitu indah. Wanita itu menoleh pada lelaki di sebelahnya. "Ya," ucapnya pasti.Senyum Dikri merekah,terlihat sangat lega. Kali ini sesuai seperti apa yang ia harapkan. "Aku akan membicarakannya dengan papa dan mama. Sudah pasti dalam waktu dekat ini, aku akan datang untuk melamarmu.""Aku ingin acara yang sederhana saja.""Aku setuju. Bagaimana kalau hari Minggu ini kami ke rumahmu.""Minggu ini?" Maya kaget. Dia pikir tidak akan secepat ini meski pun sudah mengiyakan."Iya.""Dik, aku belum ngabarin Mas Bayu. Belum tentu kalau dadakan gini dia bisa pulang. Dia yang sekarang menjadi waliku setelah papa tiada.""Ya, aku ngerti. Kalau gitu, kutunggu kabar darimu. Tapi nanti aku ingin ketemu mamamu sebentar saja.""Oke." Keduanya saling pandang. Kemudian
"Kita bisa berjuang bersama-sama, May. Jangan lagi menyesali masa lalu. Kita buka lembaran baru.""Dik, kasih aku waktu untuk bicara dengan mamaku.""Apa aku perlu bicara langsung dengan beliau sekarang.""Jangan. Biar aku saja. Besok sepulang kerja kita bisa ketemuan. Aku sudah merasa lebih baik, jadi besok bisa masuk kerja."Dikri mengangguk. "Baiklah. Kalau gitu, aku pamit pulang. Aku mau pamitan sama mamamu." Dikri memandang pintu tengah yang menghubungkan dengan ruang belakang."Bentar." Maya bangkit dari duduknya dan mencari mamanya di belakang.Bu Anang muncul seraya tersenyum. "Mau balik, Nak Dikri?""Ya, Bu. Terima kasih untuk makan malamnya. Saya ke sini malah ngerepotin.""Nggak ngerepotin. Hati-hati ya! Salam buat Pak Maksum dan Bu Ira.""Iya, Bu." Dikri mencium tangan Bu Anang, kemudian melangkah keluar di antar oleh Maya hingga ke teras. "Besok pagi kujemput. Kuantar ke tempat kerjamu. Biar sorenya kita bisa ketemuan.""Nggak usah. Aku bisa berangkat bareng temanku.""Ok
PERNIKAHAN - Mendadak NikahMaya spontan membeku dan bertambah pucat. Apa dia tidak salah dengar. Namun lelaki di hadapannya ini tampak sangat serius. Maya menghela nafas panjang untuk menghilangkan debaran dalam dada."Dik, kemarin dokter bilang aku hanya kecapekan, sekarang kamu ingin membuatku jantungan? Jangan bercanda, deh!""Aku nggak bercanda, May. Sumpah!"Suhu tubuh Maya yang mulai normal, kini rasanya kembali panas dingin. Sama sekali dia tidak kepikiran lagi bisa kembali bersama Dikri, meski hubungan mereka membaik belakangan ini."Aku serius, May."Maya serasa menggigil. Dia memang mencintai Dikri, tapi sejak putusnya pertunangan mereka dan Maya menikah dengan laki-laki lain, ia berusaha melupakan perasaan itu. Mengubur harapannya. Ada hal-hal yang tidak dipahami oleh Maya tentang Dikri. Di mana lelaki itu tidak begitu peduli dengan hubungan mereka disaat masih terikat pertunangan. Maya pun sebenarnya merasakan hal itu, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengun