Bram membantu melepaskan mukena sang istri. Setelah kehamilannya membesar, Puspa memang kesulitan untuk menunduk. Juga semakin sering merasa lelah. Tiba-tiba ia tersenyum kecil ketika merasakan bayi mereka bergerak di dalam perut."Dia nendang lagi?" Bram ikut mengusap permukaan perut sang istri."Iya. Aktif banget sekarang." Puspa dibantu duduk oleh Bram. Bersandar di kepala ranjang."Bulan depan Dita nikahan, Mas. Kira-kira kita bisa datang nggak, ya?" Terlihat Puspa menatap penuh harap pada sang suami. Tapi ia sedang hamil delapan bulan, mana mungkin Bram akan mengizinkannya perjalanan jarak jauh."Kamu ingin datang?""Aku ikut saja keputusan, Mas Bram."Mereka saling pandang. Wajah sang suami menunjukkan raut keberatan. "Kalau kita tidak bisa datang, pasti Dita mengerti, kan?""Iya. Dia tahu aku sedang hamil tua." Puspa sebenarnya sedih, tapi ia paham kekhawatiran sang suami."Kita telepon dan mengirimkan kado saja. Nanti setelah anak kita bisa diajak perjalanan jauh, kita pergi k
PERNIKAHAN- Harapan Seorang PendosaSenyum haru terbit saat bayi umur lima bulan menoleh dan diam memperhatikan. Melepaskan botol susu yang dipegangnya. Pak Maksum menyentuh tangan kecilnya Denny yang menggemaskan."Ini Kakek, Denny," ujar Indah.Denny masih diam. Matanya yang bulat bening memandang bergantian antara Pak Maksum dan mamanya."Ini Kakek," Indah mengulang.Pak Maksum mengulurkan tangan untuk meraih sang cucu. Denny masih terlihat bingung karena baru pertama kali bertemu kakek kandungnya. Namun ia menyambut uluran tangan itu dan berpindah gendongan.Irwan dan Indah memperhatikan dengan perasaan haru. Dikri yang duduk di sofa, juga diam memandang papa dan sang keponakan. Bayi lelaki itu sesekali juga menoleh ke arahnya. Kalau dengan Dikri, Denny sudah terbiasa. Sepulang kerja, Dirki sering mampir sejenak untuk mengantarkan susu atau snack buat Naina. Melihat Denny, pikirannya spontan teringat Denik. Diciumnya bocah lelaki itu berulang kali. Biasanya Denny tidak mau digen
"Soal itu Mama nggak usah merasa nggak enak. Sudah tanggungjawabku itu. Kalau buka orderan, apa Mama sanggup ngerjainnya?""Mama masih sanggup. Kalau nanti rame, ya mama ngajak Budhe sebelah rumah itu untuk bantuin. Kasihan dia pun nganggur dan pengen punya kegiatan."Dikri tampak diam sesaat. "Yang penting Mama bahagia dan senang ngerjainnya, gitu aja.""Mama akan ngukur kemampuan mama, Dik.""Mama jangan sampai kecapekan.""Iya." Bu Ira lega setelah diberi lampu hijau oleh putranya. Sekarang ada apapun dia wajib mendiskusikan dengan Dikri. Sebab Dikri yang bertanggungjawab terhadapnya."Kalau kamu dapat kabar Puspa lahiran, kasih tahu mama, ya. Mama mau ngasih kado."Ibu dan anak saling bersipandang. "Apa nggak sebaiknya, kita menjaga jarak, Ma. Aku khawatir mereka nggak nyaman.""Bukan selalu kita berinteraksi dengan mereka. Ini kan momen pas Puspa lahiran. Setelah itu ya sudah. Puspa itu adiknya Indah Dik. Yang ngerawat Denny dengan sangat baik. Makanya kita juga harus ngasih tim
Sebulan kemudian ...."Kita turun, Ma." Dikri bicara setelah mobil berhenti beberapa saat di halaman hotel. Di mana acara pernikahan Maya berlangsung.Wanita yang memakai kebaya warna pastel, tampak tegang."Kalau Mama ragu, kita pulang saja," kata Dikri lagi karena mamanya belum menjawab."Nanggung sudah sampai sini. Mama nggak apa-apa. Nama masih ingat dengan apa yang pernah kamu katakan ke mama. Bagian tersulit dari hidup adalah bertahan. Bertahan untuk tetap baik-baik saja dan waras dalam menghadapi hukuman tak tertulis dari lingkungan luar. Di mana kita pernah menjadi bagian dari mereka. Bertahan mengendalikan rasa sesal yang terkadang hampir membuat putus asa."Mama bangga sama kamu. Mama berterima kasih banyak atas upaya kamu membuat mama tetap waras menghadapi prahara dalam keluarga kita." Bu Ira meneteskan air mata. Dikri menarik dua helai tisu untuk mamanya. "Nggak usah diingat lagi, Ma.""Jujur mama nggak bisa lupa, Dik. Karena mama pernah menghancurkan hidupmu. Sekalipun k
PERNIKAHAN- Welcome, A'imDikri keluar lebih dulu dari musholla rumah sakit. Tidak bertemu muka dengan mereka memang jauh lebih baik. Terkadang berdamai, tidak harus menjalin hubungan kembali."Mas, Mbak Indah." Dikri bertemu sepupunya di lorong rumah sakit."Kami mau jenguk Puspa dulu, Dik. Dia mau melahirkan. Tadi kami sudah ke kamar perawatan papamu. Beliau masih tidur," kata Irwan."Aku tadi melihat Pak Lurah dan Mas Bram di mushola. Denny di rumah sama siapa, Mbak?" Dikri memandang Indah."Dijagain sama mama dan Naina.""Oke. Semoga Puspa lahirannya lancar.""Kami pergi dulu." Indah diikuti sang suami melangkah tergesa ke ruang bersalin. Indah pun ikut tegang dan cemas.Sedangkan Dikri kembali ke kamar perawatan Pak Maksum."Puspa katanya mau melahirkan, Dik. Tadi Indah yang mampir sini sebentar dan ngasih tahu kalau adiknya sudah masuk rumah sakit sejak tadi pagi.""Iya, Ma. Aku tadi ketemu Mbak Indah dan Mas Irwan di lorong. Di mushola aku juga sempat melihat Pak Lurah dan sua
Bram menghapus air bening itu dengan jemarinya. Ia tidak tahu harus bicara apa, selain memeluk dan mengecup kening Puspa berulang kali. Padahal dirinya pun dilanda kecemasan luar biasa. Sadar bahwa melahirkan bukanlah proses yang mudah. Ini momen yang paling menegangkan dan mendebarkan dalam hidup mereka. Meski sudah dilalui Bram untuk yang kesekian kali."Sayang, kamu perempuan paling kuat yang pernah mas kenal. Anak-anak kita pasti bangga memiliki bunda sepertimu." Bram tersenyum seraya mengusap pipi istrinya yang lembut. Mencoba menghibur dengan ucapan yang tidak bermakna apa-apa bagi Puspa karena tidak bisa mengalahkan rasa sakitnya.Wajah Puspa memerah setiap kali menahan sakit saat kontraksi datang. Tubuh Bram pun ikut mandi keringat melihat Puspa yang kesakitan. Namun ia berusaha tetap terlihat tenang.Bu Lurah mengusap perut putrinya sambil terus komat-kamit membaca doa. Di luar ruangan, Pak Lurah yang duduk bersebelahan dengan Irwan tak kalah cemas.Akhirnya Indah diminta kel
Seluruh ruangan diwarnai bias kebahagiaan. Bram bersyukur dengan keadaan keluarganya yang sudah bisa seperti sekarang ini. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan lagi."Kak Vanya, tetap yang paling cantik di antara kami bertiga," ujar Sony."Iya, dong," jawab Vanya dengan bangga dan senyum mengembang. Tatapannya tak beralih dari wajah mungil yang dulu tidak diharapkannya. Tapi sekarang dia sangat menyukainya."Adeknya dikasih nama siapa, Pa?" tanya Sony memandang sang papa."Ibrahim Tri Bramasta. Kita panggil dia A'im.""Keren," jawab Sony sambil tersenyum. ***L***Pagi itu, Dikri berkemas-kemas di ruang perawatan papanya. Pak Maksum sudah boleh pulang. Dikri sudah selesai memberesi administrasinya."Dik, setelah papa istirahat beberapa hari di rumah. Papa izin mau ke Surabaya." Pak Maksum bicara hati-hati pada putranya."Ke Surabaya untuk apa, Pa?""Ada teman papa yang nawarin pekerjaan.""Kerja apa?""Bantu dia ngawasi proyek perumahan di Surabaya. Papa harus kerja, Dik. Seadanya. Papa
PERNIKAHAN- Tanggungjawab Bu Ira memandang ke arah pintu samping, di mana seorang gadis berdiri di sana dan tersenyum. "Apa kabar, Tante?" Dengan sopan gadis berambut sebahu menyalami Bu Ira."Kabar baik. Masuk Najiya. Udah lama kamu nggak sambang ke budhemu?""Seminggu yang lalu saya ke sini juga, Tan. Tapi cuman sebentar. Kebetulan hari ini saya cuti karena sepupu nikahan, makanya saya mampir sekalian mengantarkan budhe pulang. Saya nganterin kue buat Tante dan Mas Dikri." Gadis itu mengulurkan sekotak kue pada Bu Ira."MasyaAllah, kok repot-repot sih, Jiya.""Nggak apa-apa, Tan. Ayo masuk!Najiya mengikuti Bu Ira.Dua wanita beda generasi itu ngobrol di ruang makan. Bu Ira membuatkan teh hangat dan menyuguhkan kue. Najiya ini keponakannya tetangga sebelah rumah. Gadis yang tinggal di lain desa dan bekerja di luar kota.Dulu waktu SMA, Najiya sempat tinggal dengan budhenya selama tiga tahun karena sekolah di Nganjuk. Setelah kuliah dan mendapatkan pekerjaan di lain daerah, Najiya
"Bagaimana, May?" teriak Dikri. Tidak sabar menyambut Maya yang keluar dari kamar mandi malam itu."Bentar!"Dikri mondar-mandir menunggu. Dia berharap ada kabar bahagia malam ini. Sudah membayangkan memiliki anak perempuan yang cantik. Biar terobati rindunya pada Denik.Maya keluar dari kamar mandi."Bagaimana?" "Aku hamil," ucap Maya dengan suara bergetar dan netra berkaca-kaca. Menunjukkan testpack dengan garis dua di tangannya.Mata Dikri membelalak dan langsung memeluk Maya dengan erat, hampir tak percaya dengan kabar bahagia itu meski harapannya begitu besar. "Alhamdulillah."Akhirnya setelah dua bulan menikah, Maya baru hamil. Biar menepis dugaan sebagian orang kalau mereka menikah diam-diam karena Maya hamil duluan.Tidak adanya resepsi dan nikah dadakan membuat beberapa orang berprasangka buruk. Apalagi Maya seorang janda."Besok kita cek ke dokter, Mas. Baru ngasih tahu orang tua kita.""Iya." Dikri masih speechless. Tak henti ia mengucap syukur. Masih diberikan kesempatan
"Sampai sekarang Rayyan belum tahu kalau akulah yang menghancurkan harapannya. Semoga sampai kapanpun dia nggak akan pernah tahu, Ma.""Baiklah kalau gitu. Kita nggak usah ngadain resepsi saja." Bu Ira mengelus punggung putranya sambil tersenyum. Dalam hati berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Dikri dan Maya bahagia.***L***Dua bulan sudah Dikri dan Maya menjadi pasangan suami istri. Mereka tinggal di rumah orang tua Maya karena Bu Anang di Surabaya menunggui Mika yang hendak bersalin. Tiap akhir pekan mereka menginap di rumah orang tua Dikri atau berkunjung ke Surabaya.Maya membuka jendela dapur saat matahari pagi sudah menerobos masuk. Tiap selesai salat subuh, ia akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Selalu memastikan pagi mereka dimulai dengan sarapan bersama sebelum berangkat kerja. Meski sama-sama sibuk. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengatur makan siang bersama setidaknya dua kali seminggu. Kalau Dikri ada acara di luar kantor, ia akan menjemput Maya untu
PERNIKAHAN - Bidadari Kecil "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Di depan pintu ada Rayyan bersama Najiya yang tengah hamil besar."Hai, Ray. Ayo, masuk!" Dikri bangkit dan menyambut tamunya. Mereka jarang sekali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon. Rayyan pasti lebih sibuk setelah menikah.Maya memperhatikan pasangan itu. Dia belum pernah melihatnya. Karena hampir kenal semua teman-teman Dikri."Nikah nggak ngabarin sih, Mas," protes Rayyan sambil bersalaman. Kemudian ia dan Najiya menyalami Maya, Pak Maksum, dan Bu Ira. Dikri mengenalkan Maya pada Rayyan dan Najiya."Mari silakan duduk," ujar Bu Ira."Maaf, rencananya kan mau tunangan dulu. Tapi kami langsung nikah siri atas saran keluarga. Baru nanti mendaftarkan pernikahan ke KUA. Kapan kalian datang?""Tadi pagi. Dan kami dikasih tahu sama Budhe. Alhamdulilah, saat berulang kali kutanyai Mas Dikri bilang nggak punya pacar. Eh tiba-tiba saja nikah. Rupanya main rahasia selama ini."Dikri tertawa. "Tanyakan ke Budhe, giman
"Apa dulu itu, kamu menyukai gadis lain, Dik? Makanya dengan berbagai alasan kamu menunda pernikahan kita?" Namun pertanyaan itu hanya terucap dalam dada. Dia tidak akan menanyakannya dan tidak usah tahu. Yang penting mereka sekarang berkomitmen untuk melangkah beriringan membina masa depan. Lupakan masa lalu. Sepahit apapun itu. Dirinya sudah menerima Dikri dan menerima seluruh kisahnya."Kita akan saling mencintai sampai kapanpun, May." Dikri mengecup puncak kepala istrinya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki Maya. Dikri berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Maya, melindunginya, dan menjadi suami yang setia.Maya mengeratkan pelukan. Keduanya terhanyut dalam perasaan dan tuntutan kebutuhan ragawi. Ternyata Maya sudah mengenakan gaun istimewa untuk suaminya. Membuat mereka tidak sabar untuk segera tenggelam menikmati malam pernikahan.Sarangan menjadi saksi keduanya untuk menyempurnakan hubungan. Maya tidak pernah tahu, bahwa dia bukan yang pertama bagi Dikri. "Dik, kita
"Setelah ini kamu dan Dikri harus mulai membahas mau tinggal di mana, May. Sebab Dikri pun sekarang menjadi anak tunggal. Jangan sampai hal begini akan jadi masalah. Kalau Mas, maunya kamu nemenin Mama," kata Bayu."Mas Bayu, nggak usah khawatir deh. Mama akan ikut aku ke Surabaya. Nungguin aku lahiran. Jangan khawatir, ada ART di rumah jadi Mama hanya duduk mengawasi saja saat kami tinggal kerja. Iya kan, Ma?" Si bungsu merangkul bahu mamanya.Sejak menikah, Mika memang mau mengajak mamanya tinggal bersama. Tapi Bu Anang menolak dengan alasan, kasihan Maya sendirian."Sekarang Mbak Maya kan sudah menikah, Ma. Ada suami yang jagain. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."Bu Anang memandang Maya. Anak yang paling dekat dengannya. Dibanding dengan kedua saudaranya. Maya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Itu pun karena ada andil orang tua yang memaksakan kehendak."Nggak apa-apa Mama ikut ke Surabaya. Kalau pengen pulang ke Nganjuk kan bisa kami jemput. Pengen ke Surabaya bisa
PERNIKAHAN- Semalam di Telaga Sarangan "Mbak, dulu dia mengulur-ulur waktu nikahin aku. Sekarang dia maunya buru-buru. Kami nikah secepat kilat kayak habis di gropyok hansip saja.""Sssttt, jangan ngomong begitu. Memang takdir jodoh kalian baru sekarang," jawab sang kakak ipar seraya mengaplikasikan bedak di wajah Maya. "Apapun yang pernah terjadi, Mbak salut kalian bisa kembali bersama. Ini jodoh yang sempat belok arah namanya." Nafa, istrinya Bayu terkekeh. "Mbak aja kaget waktu dikabari mama.""Aku sendiri rasanya nggak percaya. Padahal aku sudah mengubur dalam-dalam harapan itu.""Kalian ini jodoh yang tertunda. Mbak doain kalian bahagia. Jangan tunda, segeralah punya momongan. Usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, kan?"Maya mengangguk. Make up sudah selesai. Maya membuka lemarinya dan mengambil kebaya warna putih tulang. Itu baju yang ia pakai di hari pernikahan adik perempuannya. Mika. Baru setahun yang lalu, pasti masih muat. Modelnya simple, masih mewah kebaya pengantin saat
"Sudah kubilang kalau itu bukan masalah bagiku. Kamu nggak harus berkata panjang lebar, May. Cukup bilang, ya atau tidak. Aku sudah mengerti." Dikri memandang Maya. Sedangkan Maya memandang gerimis di hadapannya. Pemandangan sore ini begitu indah. Wanita itu menoleh pada lelaki di sebelahnya. "Ya," ucapnya pasti.Senyum Dikri merekah,terlihat sangat lega. Kali ini sesuai seperti apa yang ia harapkan. "Aku akan membicarakannya dengan papa dan mama. Sudah pasti dalam waktu dekat ini, aku akan datang untuk melamarmu.""Aku ingin acara yang sederhana saja.""Aku setuju. Bagaimana kalau hari Minggu ini kami ke rumahmu.""Minggu ini?" Maya kaget. Dia pikir tidak akan secepat ini meski pun sudah mengiyakan."Iya.""Dik, aku belum ngabarin Mas Bayu. Belum tentu kalau dadakan gini dia bisa pulang. Dia yang sekarang menjadi waliku setelah papa tiada.""Ya, aku ngerti. Kalau gitu, kutunggu kabar darimu. Tapi nanti aku ingin ketemu mamamu sebentar saja.""Oke." Keduanya saling pandang. Kemudian
"Kita bisa berjuang bersama-sama, May. Jangan lagi menyesali masa lalu. Kita buka lembaran baru.""Dik, kasih aku waktu untuk bicara dengan mamaku.""Apa aku perlu bicara langsung dengan beliau sekarang.""Jangan. Biar aku saja. Besok sepulang kerja kita bisa ketemuan. Aku sudah merasa lebih baik, jadi besok bisa masuk kerja."Dikri mengangguk. "Baiklah. Kalau gitu, aku pamit pulang. Aku mau pamitan sama mamamu." Dikri memandang pintu tengah yang menghubungkan dengan ruang belakang."Bentar." Maya bangkit dari duduknya dan mencari mamanya di belakang.Bu Anang muncul seraya tersenyum. "Mau balik, Nak Dikri?""Ya, Bu. Terima kasih untuk makan malamnya. Saya ke sini malah ngerepotin.""Nggak ngerepotin. Hati-hati ya! Salam buat Pak Maksum dan Bu Ira.""Iya, Bu." Dikri mencium tangan Bu Anang, kemudian melangkah keluar di antar oleh Maya hingga ke teras. "Besok pagi kujemput. Kuantar ke tempat kerjamu. Biar sorenya kita bisa ketemuan.""Nggak usah. Aku bisa berangkat bareng temanku.""Ok
PERNIKAHAN - Mendadak NikahMaya spontan membeku dan bertambah pucat. Apa dia tidak salah dengar. Namun lelaki di hadapannya ini tampak sangat serius. Maya menghela nafas panjang untuk menghilangkan debaran dalam dada."Dik, kemarin dokter bilang aku hanya kecapekan, sekarang kamu ingin membuatku jantungan? Jangan bercanda, deh!""Aku nggak bercanda, May. Sumpah!"Suhu tubuh Maya yang mulai normal, kini rasanya kembali panas dingin. Sama sekali dia tidak kepikiran lagi bisa kembali bersama Dikri, meski hubungan mereka membaik belakangan ini."Aku serius, May."Maya serasa menggigil. Dia memang mencintai Dikri, tapi sejak putusnya pertunangan mereka dan Maya menikah dengan laki-laki lain, ia berusaha melupakan perasaan itu. Mengubur harapannya. Ada hal-hal yang tidak dipahami oleh Maya tentang Dikri. Di mana lelaki itu tidak begitu peduli dengan hubungan mereka disaat masih terikat pertunangan. Maya pun sebenarnya merasakan hal itu, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengun