PERNIKAHAN- Harapan Seorang PendosaSenyum haru terbit saat bayi umur lima bulan menoleh dan diam memperhatikan. Melepaskan botol susu yang dipegangnya. Pak Maksum menyentuh tangan kecilnya Denny yang menggemaskan."Ini Kakek, Denny," ujar Indah.Denny masih diam. Matanya yang bulat bening memandang bergantian antara Pak Maksum dan mamanya."Ini Kakek," Indah mengulang.Pak Maksum mengulurkan tangan untuk meraih sang cucu. Denny masih terlihat bingung karena baru pertama kali bertemu kakek kandungnya. Namun ia menyambut uluran tangan itu dan berpindah gendongan.Irwan dan Indah memperhatikan dengan perasaan haru. Dikri yang duduk di sofa, juga diam memandang papa dan sang keponakan. Bayi lelaki itu sesekali juga menoleh ke arahnya. Kalau dengan Dikri, Denny sudah terbiasa. Sepulang kerja, Dirki sering mampir sejenak untuk mengantarkan susu atau snack buat Naina. Melihat Denny, pikirannya spontan teringat Denik. Diciumnya bocah lelaki itu berulang kali. Biasanya Denny tidak mau digen
"Soal itu Mama nggak usah merasa nggak enak. Sudah tanggungjawabku itu. Kalau buka orderan, apa Mama sanggup ngerjainnya?""Mama masih sanggup. Kalau nanti rame, ya mama ngajak Budhe sebelah rumah itu untuk bantuin. Kasihan dia pun nganggur dan pengen punya kegiatan."Dikri tampak diam sesaat. "Yang penting Mama bahagia dan senang ngerjainnya, gitu aja.""Mama akan ngukur kemampuan mama, Dik.""Mama jangan sampai kecapekan.""Iya." Bu Ira lega setelah diberi lampu hijau oleh putranya. Sekarang ada apapun dia wajib mendiskusikan dengan Dikri. Sebab Dikri yang bertanggungjawab terhadapnya."Kalau kamu dapat kabar Puspa lahiran, kasih tahu mama, ya. Mama mau ngasih kado."Ibu dan anak saling bersipandang. "Apa nggak sebaiknya, kita menjaga jarak, Ma. Aku khawatir mereka nggak nyaman.""Bukan selalu kita berinteraksi dengan mereka. Ini kan momen pas Puspa lahiran. Setelah itu ya sudah. Puspa itu adiknya Indah Dik. Yang ngerawat Denny dengan sangat baik. Makanya kita juga harus ngasih tim
Sebulan kemudian ...."Kita turun, Ma." Dikri bicara setelah mobil berhenti beberapa saat di halaman hotel. Di mana acara pernikahan Maya berlangsung.Wanita yang memakai kebaya warna pastel, tampak tegang."Kalau Mama ragu, kita pulang saja," kata Dikri lagi karena mamanya belum menjawab."Nanggung sudah sampai sini. Mama nggak apa-apa. Nama masih ingat dengan apa yang pernah kamu katakan ke mama. Bagian tersulit dari hidup adalah bertahan. Bertahan untuk tetap baik-baik saja dan waras dalam menghadapi hukuman tak tertulis dari lingkungan luar. Di mana kita pernah menjadi bagian dari mereka. Bertahan mengendalikan rasa sesal yang terkadang hampir membuat putus asa."Mama bangga sama kamu. Mama berterima kasih banyak atas upaya kamu membuat mama tetap waras menghadapi prahara dalam keluarga kita." Bu Ira meneteskan air mata. Dikri menarik dua helai tisu untuk mamanya. "Nggak usah diingat lagi, Ma.""Jujur mama nggak bisa lupa, Dik. Karena mama pernah menghancurkan hidupmu. Sekalipun k
PERNIKAHAN- Welcome, A'imDikri keluar lebih dulu dari musholla rumah sakit. Tidak bertemu muka dengan mereka memang jauh lebih baik. Terkadang berdamai, tidak harus menjalin hubungan kembali."Mas, Mbak Indah." Dikri bertemu sepupunya di lorong rumah sakit."Kami mau jenguk Puspa dulu, Dik. Dia mau melahirkan. Tadi kami sudah ke kamar perawatan papamu. Beliau masih tidur," kata Irwan."Aku tadi melihat Pak Lurah dan Mas Bram di mushola. Denny di rumah sama siapa, Mbak?" Dikri memandang Indah."Dijagain sama mama dan Naina.""Oke. Semoga Puspa lahirannya lancar.""Kami pergi dulu." Indah diikuti sang suami melangkah tergesa ke ruang bersalin. Indah pun ikut tegang dan cemas.Sedangkan Dikri kembali ke kamar perawatan Pak Maksum."Puspa katanya mau melahirkan, Dik. Tadi Indah yang mampir sini sebentar dan ngasih tahu kalau adiknya sudah masuk rumah sakit sejak tadi pagi.""Iya, Ma. Aku tadi ketemu Mbak Indah dan Mas Irwan di lorong. Di mushola aku juga sempat melihat Pak Lurah dan sua
Bram menghapus air bening itu dengan jemarinya. Ia tidak tahu harus bicara apa, selain memeluk dan mengecup kening Puspa berulang kali. Padahal dirinya pun dilanda kecemasan luar biasa. Sadar bahwa melahirkan bukanlah proses yang mudah. Ini momen yang paling menegangkan dan mendebarkan dalam hidup mereka. Meski sudah dilalui Bram untuk yang kesekian kali."Sayang, kamu perempuan paling kuat yang pernah mas kenal. Anak-anak kita pasti bangga memiliki bunda sepertimu." Bram tersenyum seraya mengusap pipi istrinya yang lembut. Mencoba menghibur dengan ucapan yang tidak bermakna apa-apa bagi Puspa karena tidak bisa mengalahkan rasa sakitnya.Wajah Puspa memerah setiap kali menahan sakit saat kontraksi datang. Tubuh Bram pun ikut mandi keringat melihat Puspa yang kesakitan. Namun ia berusaha tetap terlihat tenang.Bu Lurah mengusap perut putrinya sambil terus komat-kamit membaca doa. Di luar ruangan, Pak Lurah yang duduk bersebelahan dengan Irwan tak kalah cemas.Akhirnya Indah diminta kel
Seluruh ruangan diwarnai bias kebahagiaan. Bram bersyukur dengan keadaan keluarganya yang sudah bisa seperti sekarang ini. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan lagi."Kak Vanya, tetap yang paling cantik di antara kami bertiga," ujar Sony."Iya, dong," jawab Vanya dengan bangga dan senyum mengembang. Tatapannya tak beralih dari wajah mungil yang dulu tidak diharapkannya. Tapi sekarang dia sangat menyukainya."Adeknya dikasih nama siapa, Pa?" tanya Sony memandang sang papa."Ibrahim Tri Bramasta. Kita panggil dia A'im.""Keren," jawab Sony sambil tersenyum. ***L***Pagi itu, Dikri berkemas-kemas di ruang perawatan papanya. Pak Maksum sudah boleh pulang. Dikri sudah selesai memberesi administrasinya."Dik, setelah papa istirahat beberapa hari di rumah. Papa izin mau ke Surabaya." Pak Maksum bicara hati-hati pada putranya."Ke Surabaya untuk apa, Pa?""Ada teman papa yang nawarin pekerjaan.""Kerja apa?""Bantu dia ngawasi proyek perumahan di Surabaya. Papa harus kerja, Dik. Seadanya. Papa
PERNIKAHAN- Tanggungjawab Bu Ira memandang ke arah pintu samping, di mana seorang gadis berdiri di sana dan tersenyum. "Apa kabar, Tante?" Dengan sopan gadis berambut sebahu menyalami Bu Ira."Kabar baik. Masuk Najiya. Udah lama kamu nggak sambang ke budhemu?""Seminggu yang lalu saya ke sini juga, Tan. Tapi cuman sebentar. Kebetulan hari ini saya cuti karena sepupu nikahan, makanya saya mampir sekalian mengantarkan budhe pulang. Saya nganterin kue buat Tante dan Mas Dikri." Gadis itu mengulurkan sekotak kue pada Bu Ira."MasyaAllah, kok repot-repot sih, Jiya.""Nggak apa-apa, Tan. Ayo masuk!Najiya mengikuti Bu Ira.Dua wanita beda generasi itu ngobrol di ruang makan. Bu Ira membuatkan teh hangat dan menyuguhkan kue. Najiya ini keponakannya tetangga sebelah rumah. Gadis yang tinggal di lain desa dan bekerja di luar kota.Dulu waktu SMA, Najiya sempat tinggal dengan budhenya selama tiga tahun karena sekolah di Nganjuk. Setelah kuliah dan mendapatkan pekerjaan di lain daerah, Najiya
Tepat jam sebelas siang, Bu Ira bangkit dari duduknya dan masuk kamar sang anak. Dikri tampak masih terlelap dengan lengan kanan posisi menumpang di keningnya. Bu Ira tidak tega membangunkannya, Dikri tampak sangat kecapekan. Tapi jika tidak dibangunkan, nanti kena marah di kantor karena terlambat."Dik, bangun, Nak. Sudah jam sebelas." Disentuhnya pelan tangan Dikri.Spontan Dikri langsung membuka mata. Biasanya kalau dibangunkan, dia bisa malas-malasan dan memejam lagi. Tapi itu dulu. Berbeda dengan Dikri yang sekarang. Semenjak badai memporak-porandakan keluarganya, dia jadi lelaki yang cepat tanggap. "Sudah jam sebelas, Ma?""Iya. Kamu jadi ngantor?""Ya.""Kamu nggak apa-apa, kan?"Dikri bangun dari pembaringan. "Aku nggak apa-apa. Aku mau mandi dulu." Dia bangkit dan melangkah keluar. Diikuti sang mama yang langsung ke dapur. Menyiapkan lunch box untuk diisinya dengan kue dari Najiya tadi. Juga menaruh potongan buah mangga di sana. Setelah itu menyiapkan makan siang."Makan dulu
PERNIKAHAN - Nikah, yuk!Dikri memperhatikan seorang perempuan yang memakai setelan kantoran warna abu-abu berdiri di seberang jalan. Segera disusulnya Maya untuk diseberangkan. Karena lalu lintas sangat ramai."Kamu istirahat sampai jam berapa?" tanya Dikri saat mereka berjalan beriringan masuk ke rumah makan."Jam satu lebih tiga puluh lima menit. Tapi aku harus salat zhuhur juga."Mereka duduk dan langsung memesan makanan. "Kamu biasa makan siang di sini?" tanya Dikri."Nggak. Biasanya aku bawa bekal atau makan di kantin. Kebetulan hari ini aku nggak bawa karena tadi aku dan mama bangun kesiangan. Siang ini pas banget dapat traktiran." Maya terkekeh. Dia terlihat ceria daripada saat bertemu Dikri beberapa waktu yang lalu. "Oh ya, tadi kamu bertemu klien di mana?""Di Kertosono.""Setelah ini nanti langsung kembali ke kantor?""Iya. Kamu pulang jam berapa?""Jam empat. Kalau banyak kerjaan, kadang jam tujuh malam baru nyampe rumah.""Makan dulu, May." Dikri mempersilakan saat pra
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya memandangi suasana alun-alun yang selalu ramai di Minggu pagi.Meski mereka sudah berbincang-bincang, tapi Dikri tidak memberitahu bahwa ia pernah melihat mantan suami Maya bersama wanita lain di dalam mobil."Oh ya, kamu belum punya anak?""Pernikahanku sebenarnya dibilang baik-baik saja hanya dua bulan, Dik. Selebihnya kami pisah rumah hingga bercerai. Dia sudah membawa wanita lain ke rumah semenjak ketahuan selingkuh. Mungkin ini balasanku karena ninggalin kamu disaat sedang butuh dukungan.""Nggak, May. Jangan punya pikiran seperti itu. Anggap semuanya takdir." Dikri tidak ingin Maya punya pikiran demikian, karena dirinya juga bukan tunangan yang baik. "Nomer teleponmu masih sama?""Aku sudah ganti nomer semenjak menikah.""Boleh minta?""Iya."Keduanya menyimpan nomer masing-masing. Dilanjut berbincang hingga hari beranjak siang. "Sudah siang, aku mau pulang dulu, Dik. Kapan-kapan ketemuan lagi.""Kamu naik apa?"
Maya diam sejenak. Ada jeda yang panjang, Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Wajah Maya tertunduk. Sejujurnya, sejak ia bercerai, ia kerap membayangkan jika takdir membawanya bertemu Dikri lagi. Namun itu sungguh tidak tahu diri. Dia yang tega memutuskan pertunangan mereka disaat Dikri sedang terpuruk."Dikri, aku …" Maya menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku setelah kita ....""Setelah kamu menikah?" potong Dikri seolah tidak ada beban. Dia sudah melupakan dan tidak pernah dendam pada Maya setelah ditinggalkan.Maya mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya. "Iya. Pernikahan itu nggak seperti yang kubayangkan. Setelah beberapa bulan, suamiku mulai berubah. Dia kasar, dan ternyata dia juga selingkuh. Aku malu cerita seperti ini sama kamu. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkanmu di saat-saat sulit demi menuruti keinginan orang tuaku."Kami memutuskan hubungan pertunangan waktu itu juga
PERNIKAHAN- Teman Lama"Kamu pakai baju seperti itu?" seloroh Bu Ira saat melihat Dikri keluar kamar hanya memakai kaus dan celana pendek."Iya, Ma. Memangnya kenapa?"Bu Ira tampak termangu sejenak. Kalau sang anak memakai baju seperti itu, berarti dia tidak sedang janjian sama cewek. "Oh, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan. Kamu mau ketemuan sama temanmu di mana?""Di car free day, Ma.""Jam segini car free day sudah buyar, Dik." Bu Ira memandang jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan."Kami cuman mau ngopi sama ngobrol. Siapa tahu ada prospek bisnis yang bisa kujadikan sampingan.""Ya sudah.""Aku pergi dulu, Ma. Motornya kubawa. Assalamu'alaikum.""Iya, hati-hati. Wa'alaikumsalam," jawab Bu Ira seraya membereskan meja makan. Kecewa. Ternyata belum ada tanda-tanda Dikri dekat dengan perempuan.Motor Dikri melaju pelan di jalan desa pinggir sawah. Sinar matahari semakin terang, membuat embun di dedaunan perlahan-lahan menguap dan menghilang. Namun, kesejukan pagi masih
"Semoga kamu selalu sehat sampai lahiran. Mbak ikut bahagia, Pus." Netra Indah berkaca-kaca. "Aamiin." Puspa merangkul sang kakak. Sekali pun sudah ikhlas menerima kondisinya, tapi dalam hati Indah, pasti berharap bisa hamil lagi. Untung ada Denny yang sangat menghiburnya.Dalam kesempatan itu, mereka foto bersama-sama dengan seluruh keluarga. Bram menggendong A'im seraya memeluk pinggang sang istri. Di samping kiri dan kanan berdiri Vanya, Sony, orang tua mereka dan kerabat yang lain. Angin yang semilir dan bulan purnama di angkasa sana, seolah menjadi saksi kebagian Bram dan keluarganya.***L***"Siapa yang ngasih lapis Surabaya ini, Ma?" tanya Dikri yang baru keluar dari kamarnya. Mencomot satu potong kue dan memakannya. Biasa kalau libur kerja, habis salat subuh kembali tidur dan bangun sekitar jam delapan pagi."Jiya yang ngasih. Semalam baru datang. Tadi Rayyan juga mencarimu ke sini. Mama bilang kalau kamu belum bangun.""Dia masih di sini?" Bram melihat ke luar lewat pintu.
Rayyan mengangguk. "Jiya juga asli sini, Mas. Cuman kerjanya di Kediri. Kantornya bersebelahan dengan kantor saya." Rayyan mengulas sedikit kedekatan mereka, juga menyebutkan tempat tinggal Najiya. Bram yang asli kota angin, tahu desa tempat tinggal gadis itu.Pesanan mereka datang dan langsung makan sambil berbincang. Puspa lega, Rayyan sudah menemukan tambatan hatinya. Tidak terbelenggu lagi oleh kisah mereka yang tidak pernah kesampaian.Puspa menghindari bertemu pandang dengan lelaki itu. Karena binarnya masih terlihat ada cinta untuknya. Bram bisa membawa keadaan menjadi sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya, juga menceritakan tentang kondisi perekonomian sekarang ini. Berbagi pendapat dengan Rayyan. Bram yang disangkanya kaku oleh Rayyan, bisa seramah itu dan cukup enak diajak berbincang.Tentu saja. Sebab Bram seorang wirausaha yang sering berhadapan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Tentang cemburu, bukan tidak ada lagi rasa itu. Namun dia tahu bagaimana cara menge
PERNIKAHAN- Masih Normal "Kenapa Mbak Santi itu nggak pernah bersikap ramah sedikit saja sama aku ya, Mas?" Puspa penasaran. Saat itu mereka sudah di perjalanan."Kamu kepikiran tentang hal itu?" "Nggak, sih. Heran saja.""Nggak usah heran. Memang ada orang yang seperti itu. Sudah tabiatnya. Jika nasehat manusia tidak bisa menyadarkannya, biar Allah saja yang menegur dengan cara-Nya."Puspa merinding mendengar ucapan suaminya. Pak Maksum, istrinya, dan Dikri saja bisa menyadari kesalahannya dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik. Kenapa Santi yang tidak separah mereka, tidak juga mau berubah.Mungkin dia menganggap sikapnya itu hal yang wajar. Jadi tidak pernah merasa keliru. Kalau terlalu fatal seperti keluarga Pak Maksum, sangat kentara dan akhirnya membuat mereka bisa instrospeksi diri.Bram pun sudah tidak mempermasalahkan keluarga mertuanya hendak seperti apa. Bukan urusannya lagi, selagi mereka tidak menghasut Vanya dan Sony. Anak-anak pun sekarang sudah mengerti, mana
"Nggak apa-apa, Pa. Aku sudah bisa menerima semuanya. Setahun ini, aku merasa hidupku jauh lebih tenang. Aku sekarang lebih fokus ke Dikri, memastikan dia segera menikah. Usianya sudah tiga puluh satu tahun.""Papa juga mengingatkan Dikri untuk segera berumahtangga."Kembali keheningan menerpa. Dikri yang diam-diam menajamkan pendengaran dari balik pintu kamar, cukup geram. Kedua orang tuanya masih juga berbelit-belit seperti anak muda."Kalau Papa ingin menikah lagi, monggo. Di usia tua, perlu juga pendamping hidup supaya ada teman. Tapi selesaikan dulu urusan di antara kita." Bu Ira bicara dengan pembawaan yang kalem. Tidak ada amarah dan emosi seperti dulu.Pak Maksum menghela nafas panjang. "Apa papa sudah nggak diberikan kesempatan lagi untuk kembali bersama kalian, Ma? Papa tahu terlalu sering menyakiti. Namun papa sudah menyadari kesalahan itu."Papa ingin menghabiskan masa tua dengan keluarga kita. Biar Dikri tenang dan bisa memikirkan untuk masa depannya."Bu Ira memandang l
Ponsel Bram di atas meja kecil berdering. Puspa melihat siapa yang menelepon. "Mas, ada telepon dari Bu Harso.""Angkat saja.""Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bukan suara Bu Harso, tapi suaranya Santi."Ada apa, Mbak?""Aku mau bicara sama Mas Bram.""Mas Bram lagi sibuk, Mbak. Ada pesan apa nanti saya sampaikan.""Sebentar saja. Bisa nggak?" Wanita di seberang memaksa."Nggak bisa diganggu Mas Bram-nya, Mbak. Jangan khawatir, nanti pasti saya sampaikan." Puspa jadi geram. Memangnya mau bicara apa. Bram pun sudah memberitahu Santi atau Bu Harso, kalau ada urusan yang mungkin perlu disampaikan ke Vanya dan Sony, bisa bicara langsung pada Puspa. Tapi wanita itu sepertinya tidak percaya padanya."Besok malam, ada acara arisan keluarga di rumah mama. Vanya dan Sony disuruh datang atau biar aku yang jemput mereka.""Oke. Nanti aku kasih tahu ke Mas Bram."Panggilan langsung ditutup begitu saja tanpa mengucapkan salam. Bram mendekat sambil mengendong A'im. "Ada apa?""Mbak Sant