"Dikrii sudah kehilangan segalanya, In," kata Irwan pelan, mencoba mengurangi ketegangan di antara mereka. "Dia sudah jatuh dalam-dalam. Kalah dalam pemilihan legislatif, papanya di penjara, Tante Ira terpuruk, Denik hamil tanpa suami. Sekarang seluruh hidupnya berantakan. Keluarganya hancur. Aku kasihan padanya." Irwan tidak berani menatap mata istrinya yang penuh amarah dan kekecewaan.Indah mendengkus pelan. "Apa yang ditabur itu yang dituai, Mas. Dan Mas kasihan padanya? Dikri sudah menghancurkan hidup adikku dan Mas masih bisa bilang kasihan pada sepupumu yang hidupnya berantakan karena ambisinya sendiri?" Indah merasa dunia terbalik. Bagaimana mungkin suaminya bisa lebih bersimpati pada sepupunya yang melakukan kesalahan sebesar itu.Air mata yang dia coba tahan akhirnya mengalir di pipi. Indah hanya ingin suaminya mengerti betapa dalam rasa sakit yang keluarganya rasakan. Tapi sikap Irwan sungguh menyakitkan.Seharian tadi ke mana dia? Kalau dilihat dari caranya bicara, Irwan t
"Jadi Mbak Indah bergaduh dengan Mas Irwan karenaku?" tanya Puspa saat dia ke rumah ibunya dan bertemu Indah siang itu."Bukan karenamu. Kamu nggak salah, Pus. Dasar Mas Irwan saja yang nggak tegas. Yang bikin aku tambah jengkel, bisa-bisanya dia nyurigai ayah karena Dikri nggak mendapatkan satu suara pun di desa kita. Di desa lain pun hanya dapat di bawah angka lima.""Karena masalahku, Mbak Indah jadi berselisih sama Mas Irwan." Puspa merasa bersalah."Jangan kamu pikirkan hal itu." Indah juga menceritakan tentang sejumlah uang pribadi Irwan yang digunakan untuk berkampanye membantu sepupunya." Indah diam sejenak, kemudian kembali memandang sang adik. "Beneran Dikri pernah mengutarakan perasaannya padamu?"Puspa mengangguk. "Kamu tolak?""Ya iyalah, Mbak. Dia sudah bertunangan, aku sendiri menyukai Rayyan. Kami hampir jadian dan Dikri menghancurkan kehormatanku." Puspa selalu sesak mengingat peristiwa itu. "Tapi Mbak, janganlah sampai pisah sama Mas Irwan. Kasihan Naina. Aku yakin,
PERNIKAHAN - Cinta Sejati "Maafkan papa, Dik," ucap Pak Maksum pelan tanpa berani memandang putranya, setelah mereka terdiam beberapa saat. Duduk berhadapan yang dibatasi dengan meja.Dikri menghela nafas panjang. Perasaannya antara kasihan dan marah. Lihatlah laki-laki yang selalu berkuasa, angkuh, senantiasa bersikap arogan dan percaya diri itu terlihat sangat tidak berdaya. Wajah papanya pucat, mata yang dulu penuh kekuasaan dan otoritas kini tampak layu, seolah-olah dunia telah menghisap habis sisa-sisa kebanggaannya. Dikri merasa bagaikan melihat orang asing di hadapannya. Sang papa yang dulu selalu tampak kuat dan berkuasa, kini hanyalah bayangan dari sosok yang dulu. Padahal baru tiga hari ini dia mendekam di tahanan."Bagaimana kabar mama?" tanya Pak Maksum pelan."Mama nggak baik-baik saja, Pa," jawab Dikri datar dan dingin.Sejak kecil, ia selalu mengagumi sosok papanya. Papa yang selalu tampak superior, selalu mengatur semua hal di rumah dengan otoritas yang tak terbantah
"Rumah yang mana, Pa? Mungkin kita nggak akan tinggal di rumah itu lagi, bahkan rumah yang lainnya. Cepat atau lambat, aset akan disita oleh pihak yang berwenang. Papa, juga harus siap menanggalkan jabatan."Pak Maksum pias dan lemas. Benar-benar hancur sudah.Dikri berdiri karena waktu sudah habis. Pertemuan singkat yang hanya menambah hatinya terasa sesak, penuh dengan perasaan kecewa dan marah yang sulit dijelaskan. Ia sudah berusaha keras untuk tidak membiarkan emosinya meledak, tapi ia juga tahu bahwa tidak ada gunanya lagi berdialog dengan papanya yang kini hanya bisa meminta maaf tanpa solusi.Sejenak Dikri menatap sang papa dengan penuh kekecewaan. Di depannya sekarang hanyalah seorang lelaki yang kehilangan segalanya, termasuk kehormatan dan martabatnya sendiri. Sang papa yang selalu bersikap arogan, memandang rendah orang lain, dan selalu merasa bahwa ia bisa mengendalikan segalanya. Kini segala kontrol itu hilang bahkan bayangannya pun sirna juga."Aku pulang, Pa.""Kamu ng
"Mas, kita nggak nganterin Vanya dan Sony untuk menjenguk neneknya yang sakit?" tanya Puspa setelah duduk di depan suaminya siang itu. Di ruang kerja Bram."Tidak usah. Bu Harso tidak sakit," jawab Bram mengalihkan perhatian dari laptop kepada istrinya. Begitulah Bram, selalu menghargai orang yang mengajaknya bicara."Kok Mas tahu?""Mas nyari tahu, Sayang. Beliau memang tidak sakit." Bram tidak heran dengan peristiwa seperti ini. Dulu kalau Sandra agak kendor memberikan perhatian pada ibu atau adiknya, pasti ada saja cara mereka supaya Sandra terburu-buru ke sana."Nggak sakit kok bilang sakit. Apa nggak takut kalau dikasih ganjaran sakit betulan."Bram hanya menjawab perkataan istrinya dengan senyuman. "Mas, mau kubikinkan kopi apa teh?""Nanti saja.""Oke. Aku terusin jahit dulu." "Jangan ditutup pintunya," ujar Bram saat Puspa melangkah meninggalkannya.Wanita itu duduk di kursi mesin jahit untuk menyelesaikan gamis milik ibunya. Bulan depan ada kerabat mereka yang nikahan. Bra
PERNIKAHAN - Harga Diri "Jelas maksudku, Mas. Sebenarnya mempunyai permasalahan pribadi yang harus kita selesaikan." Indah memasukkan baju Naina ke dalam tas.Irwan berkeringat dingin. Raut wajahnya pias dan kebingungan. Dia tidak mengira kalau Indah benar-benar mengembalikan uang yang sudah dikeluarkannya. Seminggu istrinya tampak anteng, tapi sore ini membuat kejutan."Aku paham kok, Mas. Kalau Dikri itu saudaramu. Dalam keadaan terpuruk, wajar sebagai saudara saling membantu dan menguatkan. Tapi kamu nggak bisa menempatkan dirimu, Mas. Nggak bisa bersikap netral."Kamu nggak ada empati sama sekali terhadap adikku dan yang paling menyakitkan lagi, tuduhan terhadap ayahku. Ini bukan cuma tentang uang, Mas. Ini soal kepercayaan. Kamu nggak percaya sama keluargaku, nggak percaya sama aku. Kamu lebih percaya sepupu kamu yang sudah merusak hidup adikku dan sekarang kamu malah nuduh ayahku. Aku nggak ngerti lagi bagaimana kamu bisa berpikir seperti ini."" Indah menarik napas panjang, me
"Dikri benar-benar tersudut dan harus menghadapi semuanya sendirian. Aku tahu dia salah, tapi dia sekarang butuh dukungan.""Oke. Dukung saja dia. Dikri bukan hanya salah, tapi biadab. Mas, bisa membedakan antara salah dan biadab, kan?" Indah menarik napas panjang. "Sudahlah, Mas cerna sendiri apa yang terjadi. Seminggu ini kamu lebih mementingkan mereka daripada membujukku dan Naina kembali ke rumah. Terkadang perempuan nih, membutuhkan effort lebih dari pasangannya. Tapi melihat cara Mas, sepertinya aku dan Naina bukan prioritas utama."Irwan membeku di tempatnya. Sedangkan Indah membuang pandang. "Andai sejak awal Mas bisa menjaga ucapanmu, mungkin aku nggak akan sekecewa ini. Kalau Mas curiga pada ayahku, selidikilah dulu. Benar nggak ayahku nilep uangmu. Kalau ada bukti, silakan tanyakan. Bukan main tuduh begitu saja. Ternyata ayahku begitu rendah bagimu, Mas. Dan untuk ini yang nggak bisa aku dan Puspa terima."Bahkan kamu nggak peduli sama perasaan keluargaku. Kamu lebih memil
Bram mengusap pelan rambut Naina, kemudian mengikuti langkah istrinya ke dalam. Ternyata di dapur ada Pak Lurah juga yang sedang menikmati kopi di cangkir kesayangannya. Mereka bertiga langsung berhenti bicara karena kaget melihat kedatangan Bram dan Puspa."Cicipi kukis pandan ini, Pus. Mbak bikin dengan resep baru." Indah menggeser toples ke depan adiknya. Mereka memang sibuk membuat kue kering untuk acara nikahan saudara dari Pak Lurah."Hmm, gurih, Mbak," ujar Puspa setelah mencomot satu kukis."Mas Bram, mau kopi apa teh. Biar kubikinkan." Indah beranjak berdiri, tapi Bram menolaknya. "Nggak usah, Mbak. Saya sudah ngopi tadi. Saya ke sini ada perlu dengan ayah."Tanpa basa-basi, Bram membahas soal lahan yang digadaikan ayah mertuanya. Puspa minta maaf kalau terpaksa memberitahu sang suami, karena Bram pun awalnya tahu dari Pak Carik sendiri. "Nggak usah, Nak Bram. Ayah rela kok. Lagian masih ada beberapa sawah dan kebun yang bisa digarap," tolak Pak Lurah saat Bram mengutarakan
"Bagaimana, May?" teriak Dikri. Tidak sabar menyambut Maya yang keluar dari kamar mandi malam itu."Bentar!"Dikri mondar-mandir menunggu. Dia berharap ada kabar bahagia malam ini. Sudah membayangkan memiliki anak perempuan yang cantik. Biar terobati rindunya pada Denik.Maya keluar dari kamar mandi."Bagaimana?" "Aku hamil," ucap Maya dengan suara bergetar dan netra berkaca-kaca. Menunjukkan testpack dengan garis dua di tangannya.Mata Dikri membelalak dan langsung memeluk Maya dengan erat, hampir tak percaya dengan kabar bahagia itu meski harapannya begitu besar. "Alhamdulillah."Akhirnya setelah dua bulan menikah, Maya baru hamil. Biar menepis dugaan sebagian orang kalau mereka menikah diam-diam karena Maya hamil duluan.Tidak adanya resepsi dan nikah dadakan membuat beberapa orang berprasangka buruk. Apalagi Maya seorang janda."Besok kita cek ke dokter, Mas. Baru ngasih tahu orang tua kita.""Iya." Dikri masih speechless. Tak henti ia mengucap syukur. Masih diberikan kesempatan
"Sampai sekarang Rayyan belum tahu kalau akulah yang menghancurkan harapannya. Semoga sampai kapanpun dia nggak akan pernah tahu, Ma.""Baiklah kalau gitu. Kita nggak usah ngadain resepsi saja." Bu Ira mengelus punggung putranya sambil tersenyum. Dalam hati berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Dikri dan Maya bahagia.***L***Dua bulan sudah Dikri dan Maya menjadi pasangan suami istri. Mereka tinggal di rumah orang tua Maya karena Bu Anang di Surabaya menunggui Mika yang hendak bersalin. Tiap akhir pekan mereka menginap di rumah orang tua Dikri atau berkunjung ke Surabaya.Maya membuka jendela dapur saat matahari pagi sudah menerobos masuk. Tiap selesai salat subuh, ia akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Selalu memastikan pagi mereka dimulai dengan sarapan bersama sebelum berangkat kerja. Meski sama-sama sibuk. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengatur makan siang bersama setidaknya dua kali seminggu. Kalau Dikri ada acara di luar kantor, ia akan menjemput Maya untu
PERNIKAHAN - Bidadari Kecil "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Di depan pintu ada Rayyan bersama Najiya yang tengah hamil besar."Hai, Ray. Ayo, masuk!" Dikri bangkit dan menyambut tamunya. Mereka jarang sekali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon. Rayyan pasti lebih sibuk setelah menikah.Maya memperhatikan pasangan itu. Dia belum pernah melihatnya. Karena hampir kenal semua teman-teman Dikri."Nikah nggak ngabarin sih, Mas," protes Rayyan sambil bersalaman. Kemudian ia dan Najiya menyalami Maya, Pak Maksum, dan Bu Ira. Dikri mengenalkan Maya pada Rayyan dan Najiya."Mari silakan duduk," ujar Bu Ira."Maaf, rencananya kan mau tunangan dulu. Tapi kami langsung nikah siri atas saran keluarga. Baru nanti mendaftarkan pernikahan ke KUA. Kapan kalian datang?""Tadi pagi. Dan kami dikasih tahu sama Budhe. Alhamdulilah, saat berulang kali kutanyai Mas Dikri bilang nggak punya pacar. Eh tiba-tiba saja nikah. Rupanya main rahasia selama ini."Dikri tertawa. "Tanyakan ke Budhe, giman
"Apa dulu itu, kamu menyukai gadis lain, Dik? Makanya dengan berbagai alasan kamu menunda pernikahan kita?" Namun pertanyaan itu hanya terucap dalam dada. Dia tidak akan menanyakannya dan tidak usah tahu. Yang penting mereka sekarang berkomitmen untuk melangkah beriringan membina masa depan. Lupakan masa lalu. Sepahit apapun itu. Dirinya sudah menerima Dikri dan menerima seluruh kisahnya."Kita akan saling mencintai sampai kapanpun, May." Dikri mengecup puncak kepala istrinya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki Maya. Dikri berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Maya, melindunginya, dan menjadi suami yang setia.Maya mengeratkan pelukan. Keduanya terhanyut dalam perasaan dan tuntutan kebutuhan ragawi. Ternyata Maya sudah mengenakan gaun istimewa untuk suaminya. Membuat mereka tidak sabar untuk segera tenggelam menikmati malam pernikahan.Sarangan menjadi saksi keduanya untuk menyempurnakan hubungan. Maya tidak pernah tahu, bahwa dia bukan yang pertama bagi Dikri. "Dik, kita
"Setelah ini kamu dan Dikri harus mulai membahas mau tinggal di mana, May. Sebab Dikri pun sekarang menjadi anak tunggal. Jangan sampai hal begini akan jadi masalah. Kalau Mas, maunya kamu nemenin Mama," kata Bayu."Mas Bayu, nggak usah khawatir deh. Mama akan ikut aku ke Surabaya. Nungguin aku lahiran. Jangan khawatir, ada ART di rumah jadi Mama hanya duduk mengawasi saja saat kami tinggal kerja. Iya kan, Ma?" Si bungsu merangkul bahu mamanya.Sejak menikah, Mika memang mau mengajak mamanya tinggal bersama. Tapi Bu Anang menolak dengan alasan, kasihan Maya sendirian."Sekarang Mbak Maya kan sudah menikah, Ma. Ada suami yang jagain. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."Bu Anang memandang Maya. Anak yang paling dekat dengannya. Dibanding dengan kedua saudaranya. Maya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Itu pun karena ada andil orang tua yang memaksakan kehendak."Nggak apa-apa Mama ikut ke Surabaya. Kalau pengen pulang ke Nganjuk kan bisa kami jemput. Pengen ke Surabaya bisa
PERNIKAHAN- Semalam di Telaga Sarangan "Mbak, dulu dia mengulur-ulur waktu nikahin aku. Sekarang dia maunya buru-buru. Kami nikah secepat kilat kayak habis di gropyok hansip saja.""Sssttt, jangan ngomong begitu. Memang takdir jodoh kalian baru sekarang," jawab sang kakak ipar seraya mengaplikasikan bedak di wajah Maya. "Apapun yang pernah terjadi, Mbak salut kalian bisa kembali bersama. Ini jodoh yang sempat belok arah namanya." Nafa, istrinya Bayu terkekeh. "Mbak aja kaget waktu dikabari mama.""Aku sendiri rasanya nggak percaya. Padahal aku sudah mengubur dalam-dalam harapan itu.""Kalian ini jodoh yang tertunda. Mbak doain kalian bahagia. Jangan tunda, segeralah punya momongan. Usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, kan?"Maya mengangguk. Make up sudah selesai. Maya membuka lemarinya dan mengambil kebaya warna putih tulang. Itu baju yang ia pakai di hari pernikahan adik perempuannya. Mika. Baru setahun yang lalu, pasti masih muat. Modelnya simple, masih mewah kebaya pengantin saat
"Sudah kubilang kalau itu bukan masalah bagiku. Kamu nggak harus berkata panjang lebar, May. Cukup bilang, ya atau tidak. Aku sudah mengerti." Dikri memandang Maya. Sedangkan Maya memandang gerimis di hadapannya. Pemandangan sore ini begitu indah. Wanita itu menoleh pada lelaki di sebelahnya. "Ya," ucapnya pasti.Senyum Dikri merekah,terlihat sangat lega. Kali ini sesuai seperti apa yang ia harapkan. "Aku akan membicarakannya dengan papa dan mama. Sudah pasti dalam waktu dekat ini, aku akan datang untuk melamarmu.""Aku ingin acara yang sederhana saja.""Aku setuju. Bagaimana kalau hari Minggu ini kami ke rumahmu.""Minggu ini?" Maya kaget. Dia pikir tidak akan secepat ini meski pun sudah mengiyakan."Iya.""Dik, aku belum ngabarin Mas Bayu. Belum tentu kalau dadakan gini dia bisa pulang. Dia yang sekarang menjadi waliku setelah papa tiada.""Ya, aku ngerti. Kalau gitu, kutunggu kabar darimu. Tapi nanti aku ingin ketemu mamamu sebentar saja.""Oke." Keduanya saling pandang. Kemudian
"Kita bisa berjuang bersama-sama, May. Jangan lagi menyesali masa lalu. Kita buka lembaran baru.""Dik, kasih aku waktu untuk bicara dengan mamaku.""Apa aku perlu bicara langsung dengan beliau sekarang.""Jangan. Biar aku saja. Besok sepulang kerja kita bisa ketemuan. Aku sudah merasa lebih baik, jadi besok bisa masuk kerja."Dikri mengangguk. "Baiklah. Kalau gitu, aku pamit pulang. Aku mau pamitan sama mamamu." Dikri memandang pintu tengah yang menghubungkan dengan ruang belakang."Bentar." Maya bangkit dari duduknya dan mencari mamanya di belakang.Bu Anang muncul seraya tersenyum. "Mau balik, Nak Dikri?""Ya, Bu. Terima kasih untuk makan malamnya. Saya ke sini malah ngerepotin.""Nggak ngerepotin. Hati-hati ya! Salam buat Pak Maksum dan Bu Ira.""Iya, Bu." Dikri mencium tangan Bu Anang, kemudian melangkah keluar di antar oleh Maya hingga ke teras. "Besok pagi kujemput. Kuantar ke tempat kerjamu. Biar sorenya kita bisa ketemuan.""Nggak usah. Aku bisa berangkat bareng temanku.""Ok
PERNIKAHAN - Mendadak NikahMaya spontan membeku dan bertambah pucat. Apa dia tidak salah dengar. Namun lelaki di hadapannya ini tampak sangat serius. Maya menghela nafas panjang untuk menghilangkan debaran dalam dada."Dik, kemarin dokter bilang aku hanya kecapekan, sekarang kamu ingin membuatku jantungan? Jangan bercanda, deh!""Aku nggak bercanda, May. Sumpah!"Suhu tubuh Maya yang mulai normal, kini rasanya kembali panas dingin. Sama sekali dia tidak kepikiran lagi bisa kembali bersama Dikri, meski hubungan mereka membaik belakangan ini."Aku serius, May."Maya serasa menggigil. Dia memang mencintai Dikri, tapi sejak putusnya pertunangan mereka dan Maya menikah dengan laki-laki lain, ia berusaha melupakan perasaan itu. Mengubur harapannya. Ada hal-hal yang tidak dipahami oleh Maya tentang Dikri. Di mana lelaki itu tidak begitu peduli dengan hubungan mereka disaat masih terikat pertunangan. Maya pun sebenarnya merasakan hal itu, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengun