“Bagaimana keadaan Abimanyu?” tanya Lastri khawatir. Ia menatap Hartanto kemudian kamar anaknya yang tertutup rapat. Wajahnya tidak bisa berbohong, ia sungguh mengkhawatirkan anaknya itu. Ia takut anaknya cacat, setelah penobatan yang gagal ia tidak mau mendapat hal buruk lagi.“Dia baik-baik saja. Pergilah,” usir Hartanto, ia tidak ingin diganggu saat mengobati Abimanyu pasca pertarungannya dengan Abah. Ia memang tidak menyukai cara Abimanyu dan Lastri yang memaksakan menguasai wilayah mereka, tetapi nuraninya tidak bisa dibohongi bahwa mereka tetaplah keluarga. Yang mana akan merasakan sakit jika salah satu ada yang terluka.“Mana mungkin aku bisa melakukan apa pun jika keadaan anakku saja belum pasti. Dia sudah lama tidak bangun, kamu tidak paham betapa khawatirnya aku sebagai ibunya,” sergah Lastri sambil memaksa masuk kamar Abimanyu.Semenjak masuk kamar itu, Hartanto melarangnya masuk. Ia sudah bersusah payah mencari keberadaan Abimanyu setelah beberapa waktu menghilang. Kini ia
“Kamu kenapa? Kok pucat?” Tanya Dion menautkan alis sambil fokus menyetir, sesekali ia melirik Adisti yang kian memucat. Tak kunjung ada jawaban, akhirnya Dion memilih menepikan mobil lalu menghentikannya. Laki-laki itu memiringkan tubuhnya menghadap Adisti, disentuhnya wajah ayu yang kini memucat. “Are you okay?” tanya Dion sekali lagi. Suaranya terdengar lembut dan mampu menghipnotis Adisti untuk menatapnya. “A–aku ....” Adisti tidak mampu meneruskan kalimatnya. Di satu sisi ia tidak tega melihat Dion kembali bersusah payah memikirkan nasibnya, tetapi jika dirinya diam bisa saja janin itu akan berkembang pesat seperti sebelumnya. Dion menaikkan alisnya, kemudian kedua tangannya berakhir di pundak Adisti. Ditatapnya dalam-dalam wanita yang telah mencuri hatinya sejak lama itu. Mencoba menelaah apa yang terjadi padanya. “Katakan saja, ada apa? Siapa tahu aku bisa membantu.” Lagi, suara lembut Dion membuat Adisti semakin dilema. Antara tidak tega dan memikirkan nasibnya sendiri s
“Ada apa dengan perutku? Kenapa tiba-tiba keras sekali?” gumam Adisti keheranan.Sekali lagi ia meraba perutnya yang masih tampak datar. Kemudian ia mengetuknya perlahan, suara seperti besi dipukul terdengar lirih.Kembali wajah Adisti memucat. Ada apa dengan kehamilannya kali ini? Seingatnya, kehamilan yang sebelumnya tidak seperti itu. Lantas, apa yang membuat berbeda kali ini?Adisti mengerang frustrasi, ia mengacak rambutnya dengan kasar, ditatapnya wajah yang kini terlihat pucat. Bagaimana ia menyelesaikan masalahnya kali ini? Apa Ia harus pergi ke rumah Ustaz Ramli sendirian tanpa memberitahu Dion, tetapi apa itu solusi yang baik? Apa yang harus ia katakan pada Dion nantinya?“Sialan!” umpat Adisti kesal karena tidak menemukan cara yang tepat. Ia melirik jam di tangan, masih terlalu pagi jika pergi ke rumah Ustaz Ramli sekarang.“Harus bagaimana ini?” gumam Adisti lelah. Ia benar-benar lelah mental dan fisik menghadapi masalahnya yang tak kunjung berakhir. Jika sebelumnya kehami
“Mas Dion, kamu laki-laki terbaik yang selama ini aku kenal. Tapi, maafkan aku yang tidak sempurna ini selalu memberimu banyak masalah. Jika kamu membaca surat ini, itu artinya mungkin aku telah pergi jauh. Salam.” Bibir Dion bergetar membaca setiap kata yang tertulis pada secarik kertas itu. Ia takpercaya Adisti menulis demikian, apa yang kurang dengannya selama ini? Mengapa wanita itu tega meninggalkannya di saat dirinya mulai merasa bahagia? Padahal dirinya tidak mempermasalahkan yang terjadi selama ini, tetapi mengapa Adisti menyerah dan pergi darinya?Dion meremas selembar kertas itu dengan perasaan campur aduk. Antara marah, cemas, dan kecewa menjadi satu. ia mengacak rambut dengan kasar. pergi ke mana lagi wanitanya itu? seingatnya Adisti tidak memiliki banyak teman, kecuali ... Sesil. Ya, hanya wanita itu yang ia ketahui dekat dengan Adisti. Apakah mungkin Sesil tahu ke mana perginya Adisti? Tidak. Mustahil Adisti memberitahu Sesil tentang masalahnya. Sesil tidak pernah menan
“Pergi ke mana kamu, Adisti,” gumam Dion sambil menatap trotoar, berharap menemukan Adisti dari sekian banyak pejalan kaki.Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, itu artinya sekitar 2 jam dirinya memutari kota demi mencari Adisti. Namun, Dion sama sekali belum menemukan sosok Adisti. Pikirannya campur aduk, memikirkan keberadaan Adisti dan misteri testpack yang ia temukan. Ia yakin itu anak Abimanyu karena selama menikah ia belum menyentuh Adisti sama sekali.Ada sesal di hati Dion, mengapa tidak segera membawa istrinya ke rumah Ustaz Ramli.Tiba-tiba Dion mengernyit, ia teringat dengan Ustaz Ramli. Mengapa dirinya tidak meminta bantuan untuk mencari sosok Adisti? Ya, setahu Dion Ustaz Ramli bisa mencari orang yang hilang dengan mata batinnya.Senyum tersungging di wajah Dion, segera ia menginjak pedal gas lalu membelokkan mobil menuju rumah Ustaz Ramli. Namun, naas baginya karena tidak fokus menatap jalan dari arah berlawanan sebuah truk membunyikan klakson menabrak mobilnya dengan c
“Sudah Anda bersihkan semua?” Tanya Kartilan was-was. Ia takut terjadi hal buruk lagi pada diri cucu satu-satunya. “Insyaallah, Mbah.” Ustaz Ramli tersenyum menanggapi pertanyaan Kartilan. Ia paham bagaimana khawatirnya sang kakek itu. Lagi pula, semua yang terjadi pada Adisti salah satunya karena dirinya tidak segera membersihkan tubuh wanita itu. Sehingga Abimanyu kembali menguasai Adisti. “Alhamdulillah. Saya sangat takut Ustaz kejadian sebelumnya kembali terjadi. Karena hanya dia satu-satunya keluarga yang saya miliki.” Ustaz Ramli mengangguk. Kemudian tersenyum lagi pada Kartilan, kemudian ditatapnya Adisti yang duduk di sebelah Kartilan. “Apakah masih ada yang sakit?” tanya Ustaz Ramli pada Adisti saat melihat wanita itu memijat pelipisnya. “Tidak ada, Ustaz. Hanya sedikit pusing saja.” “Baiklah. Setelah pulang dari sini jangan lupa solat tobat dan berzikir seribu kali. Jangan tinggalkan solat lima waktu dan rajinlah mengaji. Semua penyakit dan kejadian yang kita alami mu
Lastri dan Abimanyu menyusuri jalan setapak yang mengarah ke Bukit Sa’i. Wanita itu terus menyeret anaknya agar menjajarkan langkah, ia ingin segera sampai di puncak bukit untuk menghilangkan pengaruh Hartanto pada Abimanyu.“Tidak bisakah kita berjalan pelan?” tanya Abimanyu tampak kepayahan, kondisi tubuhnya belum sepenuhnya normal seperti semula.“Tidak! Kita harus segera sampai di atas sana.” Lastri tidak memedulikan bagaimana wajah Abimanyu yang mulai memucat. Yang ada dalam pikirannya hanya satu, yaitu segera sampai di puncak bukit untuk mengembalikan ingatan Abimanyu.Sebelumnya Lastri sudah mengantisipasi Kedatangan Hartanto, sengaja ia menghilangkan jejak sejak keluar dari gerbang rumah. Lastri tidak mau suaminya itu mengganggu ritualnya nanti.“Masih lama?” tanya Abimanyu lirih. Napasnya mulai tersengal-sengal.“Sebentar lagi kita sampai puncak, Abimanyu. Sudah, diamlah!” bentak Lastri kesal.Demi menghindari kemarahan Lastri, Abimanyu memilih diam sekarang. Kepalanya sakit
“Sialan! Hei! Aku perlu tahu dan bukti keberadaan istrimu.” Bella tidak mau mengalah. Ia masih berharap Dion membuka hati untuknya. Ia tidak tahu mengapa hatinya mudah terpaut pada Dion, yang notabene baru saja dikenalnya saat menolong laki-laki itu yang kecelakaan. “Bukti?” tanya Dion sambil mengernyit. Ia membalikkan badan sebelum membuka pintu. Ditatapnya wajah Bella yang hampir sempurna itu dengan tatapan kagum. Ya, dirinya kagum dengan wajah Bella yang terpahat sempurna. Hanya saja, Dion adalah laki-laki yang memegang teguh kesetiaan. Dia tidak akan mudah berpaling tanpa alasan yang masuk akal. Adisti tidak pernah mengecewakan dirinya secara sadar, jadi bagi Dion tidak ada alasan untuk berpaling. “Iya! Tetapi, walaupun aku tahu siapa dan bagaimana rupa istrimu, tetap saja hal itu tidak menggoyahkan keinginanku untuk mendapatkan kamu!” tantang Bella. Sudut bibirnya terangkat sebelah. Ditatapnya dengan tajam wajah Dion yang tampak kesal. “Buang buang waktu!” sergah Dion kesal sa
Baskara menyemburkan api ke arah Ustaz Ramli. Dengan cepat laki-laki itu menghindar dengan cara berguling ke samping sebelum terkena semburan Baskara. Baskara tidak patah arang, makhluk itu kembali menyemburkan api, tapi lagi-lagi gagal karena Ustaz Ramli cepat menghindar. “Sialan!” umpat Baskara kesal. Emosinya memuncak hingga ubun-ubun karena merasa gagal mengalahkan Ustaz Ramli. “Kejahatan pasti akan kalah karena ada Allah yang akan membantu,” ucap Ustaz Ramli tenang. “Jangan sebut-sebut nama Tuhan! Dia hanyalah sebuah nama tanpa kekuasaan.”Ustaz Ramli beristigfar lalu menggeleng. “Kalianlah yang harusnya sadar diri, derajatmu tidak lebih baik dari kamu.”“Banyak omong kamu!” Baskara kembali menyemburkan api ke arah Ustaz Ramli karena terlambat menghindar, lengan laki-laki itu terkena api. Beruntung, sebelum api membesar Ustaz Ramli mampu memadamkannya dengan ujung jarinya. Baskara tampak tersenyum puas karena bisa melukai lawannya. Namun, senyumnya sirna saat Ustaz Ramli be
“Aku sangat merindukan bertempur dengan kalian lagi,” ucap Lastri terlihat tenang.Ustaz Ramli pun tak kalah tenang, ia memberi kode pada Aldi untuk mundur. Pertempuran kali ini sepertinya akan sedikit sengit, tidak seperti sebelumnya karena Lastri pasti sudah menyiapkan semuanya. Tak mungkin menunggu dirinya dengan tangan kosong.“Lepaskan mereka!” ucap Ustaz Ramli datar. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun. Setenang air di danau.Berbeda dengan Lastri yang memiliki ambisi ingin menang agar Baskara tidak menghukumnya.“Tidak akan! Mereka akan menjadi budak kami, tentu saja kalian juga akan menyusul mereka,” sanggah Lastri. Ia mendekati Ustaz Ramli, detik berikutnya wujud Lastri berubah menjadi raksasa berekor ular.Ustaz Ramli mundur selangkah, pun dengan Aldi. Belum sempat mereka mempersiapkan diri, ekor Lastri terayun ke arah mereka, membuat 2 laki-laki itu terpental hingga menabrak tembok.“Hanya begitu saja kekuatan kalian? Masih permulaan sudah tidak berdaya,” sindir Lastri
Belum sempat berteriak meminta tolong, dirinya sudah dibawa pergi oleh Lastri. Wanita itu tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mengecoh Ustaz Ramli dan Aldi. Mau dicari ke mana pun, Dion tidak akan ditemukan karena Baskara membawa laki-laki itu ke alam mereka sama seperti Adisti. Kini di sinilah mereka berada, di dalam penjara terpisah dengan tangan terikat. Dion tak sadarkan diri saat Adisti datang, bahkan saat wanita itu memanggil namanya, laki-laki itu bergeming. Merasa percuma meminta tolong dan memanggil Dion, akhirnya Adisti memilih diam. Ia terus berdoa dalam hati agar Ustaz Ramli mengalahkan Abimanyu dan menyelamatkan dirinya. Bibir Adisti tampak terus bergerak membaca doa, ia tidak tahu akan segera Allah kabulkan atau tidak, tetapi yang jelas ia ingin berusaha dulu. “Lama sekali Abimanyu!” ucap Lastri mondar-mandir di depan penjara. Sesekali ia melirik Dion dan Adisti’ bergantian. Bibirnya terkatup rapat, enggan berbicara dengan Adisti atau memanasinya. “Biarkan s
Malam itu Adisti dan Dion memutuskan ke rumah Ustaz Ramli untuk mengusir Abimanyu agar tidak lagi mengganggu hidup mereka. Untung saja di rumah Ustaz Ramli ada acara istighosah dan syukuran, sehingga jam 3 lagi masih terjaga semua.Dion melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju rumah Ustaz Ramli. Sepanjang jalan mereka terus beristighfar, berharap selamat sampai tujuan.Adisti tidak menginginkan bertemu Abimanyu lagi. Mengingatnya saja membuat dirinya merinding, apalagi saat ingat bagaimana pertemuan mereka, pernikahan, hingga memiliki anak Abimanyu.Adisti menyesal mengenal makhluk itu, mengapa dulu ia begitu mudah digoda Abimanyu untuk menuruti keinginannya. Jika waktu bisa diulang kembali, Adisti memilih untuk tidak mengenal Abimanyu sama sekali. Hidupnya benar-benar kacau karena makhluk itu.Namun, saat beberapa ratus meter lagi sampai di rumah Ustaz Ramli, tiba-tiba mobil Dion berhenti. Hal itu membuat Adisti sontak terkejut.“Astagfirullah!” pekik Adisti, “mobilnya kenap
“Bodoh banget kamu!” umpat Abimanyu begitu wanita itu masuk kamar. Makhluk tak kasatmata itu terlihat penuh amarah, wajahnya memerah dan bibirnya kini terkatup rapat. Siska terkejut melihat kedatangan Abimanyu yang tak disangkanya. Ia mundur saat makhluk itu semakin mendekati dirinya. “A-aku ....” Ucapan Siska terputus saat Abimanyu melesat cepat ke arahnya lalu mencekik leher Siska. “Kamu memang tidak berguna! Apa susahnya memisahkan mereka? Dasar lamban!” bentak Abimanyu. Siska tidak bisa berkata-kata lagi, lehernya sakit dan mulai sulit bernapas. Semakin lama cekikan itu tidak kendur, justru semakin kencang. Beberapa detik kemudian, Siska memejamkan mata dan terkulai lemas. “Kamu memang pantas mati!” ucap Abimanyu, “sayang sekali, wanita secantik kamu ternyata sangat bodoh. Melakukan tugas yang mudah saja tidak bisa.” Setelah yakin Siska tidak lagi bernapas, Abimanyu segera pergi dari kamar Siska. Namun, ia tidak pulang ke rumahnya. Ingat apa yang dikatakan Baskara, bahwa in
Malam itu Siska sengaja pulang agak malam, ia pura-pura sibuk membuat laporan keuangan untuk diserahkan pada Adisti. Padahal ia sudah merencanakan sesuatu untuk Dion. Dikeluarkannya botol kecil dari saku bajunya, lalu tersenyum miring.“Aku harus memainkan peran wanita tersakiti malam ini,” gumamnya lirih.Siska melirik Dion dan Adisti yang tengah mengobrol di salah satu kursi untuk pelanggan. Sesekali Dion tersenyum pada Adisti, jemarinya menggenggam tangan Adisti erat, seolah takut kembali terpisahkan.“Mau saya bikinin minuman?” tawar Siska mendekati mereka.“Boleh,” jawab Adisti singkat sambil tersenyum.“Oh ya, laporannya selesaikan malam ini ya. Kalau bisa sebelum jam 9 malam.”Siska mengangguk paham. Sebenarnya laporan itu sudah ia selesaikan sejak sore tadi, ia berpura-pura masih mengerjakan untuk mengulur waktu.“Kasian dia, Mas. Janda anak satu,” ucap Adisti setelah kepergian Siska ke dapur.“Oh, makanya kamu tetep kekeh buka warung ini?” tanya Dion.Adisti mengangguk. “Aku
Pagi itu Adisti berkutat di dapur. Sengaja ia ingin memasak untuk suaminya, ingin menebus kesalahannya selama ini dan berusaha menjadi istri yang baik untuk Diion. Adisti baru menyadari bahwa hanya Dion, laki-laki yang menerimanya apa adanya. Bahkan saat dirinya berbohong masalah kepergiannya, laki-laki masih memaafkannya. Ke mana lagi mencari laki-laki sebaik Dion?“Masak apa nih?” tanya Dion yang masih mengenakan baju koko dan sarung. Sepertinya ia baru saja salat subuh. Adisti menoleh ke sumber suara, lagi-lagi ia terpesona, kali ini wajah Dion yang bersinar mengalihkan konsentrasinya. Beberapa detik Adisti terpaku pada sosok laki-laki agamis itu. Kemudian tersadar. “Masak ayam rica, sayur sop, dan nanti mau goreng kerupuk.” Adisti mengalihkan pandangannya, ia meneruskan menumis ayam. “Enak kayaknya,” seru Dion sambil melangkah ke arah Adisti. “Ada yang bisa kubantu?” tanya Dion.Posisi mereka yang terlalu dekat, membuat Adisti merasa canggung. Tak kunjung mendengar jawaban
Malam itu Dion dan Adisti tampak berbincang di balkon bersama Kartilan. Laki-laki tua itu sangat bahagia melihat kedatangan Dion, ia berharap cucu menantunya itu bisa membujuk Adsti untuk kembali bersama.“Mbah sangat bersyukur kamu bisa menemukan kami, Dion,” ucap Kartilan sambil menyesap rokoknya.Dion tersenyum, tangannya terulur mengambil pisang goreng di atas meja yang berada di tengah mereka. “Dion pun senang mbah akhirnya bisa bertemu di sini. Allah sangat baik memberi petunjuk pada Dion selama ini.”Kartilan mengangguk paham. “Tentu saja Allah pasti akan menolong hamba-Nya yang membutuhkan bantuan. Mbah percaya pasti kamu akan datang dan sekarang terbukti, bukan?”Kartilan menghadap Adisti yang sejak tadi terdiam. “Bukankah kamu mau kembali bersama Dion? Dan kembali ke rumah kalian?” tanya Kartilan pelan.Adisti menatap Kartilan dan Dion bergantian, lalu mengembuskan napas dengan berat. “Adisti merasa berdosa, Mbah. Aa pantas Adisti bersama mas Dion? Padahal Adisti banyak mela
“Kamu tampan sekali, Sayang,” gumam Siska sambil membelai wajah laki-laki tampan yang berada di depannya. Seolah terhipnotis, wanita itu menuruti setiap ucapan yang keluar dari bibir laki-laki itu. Bibir laki-laki tersenyum senang, mudah sekali baginya menggoda Siska. Tidak hanya dengan memperlihatkan wajah tampannya, tetapi juga memberikan banyak harta dalam bentuk perhiasan. Tidak menunggu lama, Siska tergoda dengan rayuannya, dengan begitu ia bisa dengan mudah mendekati Adisti lagi. Ya, laki-laki yang sedang menggoda Siska adalah Abimanyu. Makhluk tak kasatmata itu berhasil datang ke dunia manusia setelah diobati oleh kakeknya. “Tentu saja aku tampan. Kamu tidak akan menemukan wajah setampan ini di mana pun,” goda Abimanyu sambil mencolek pipi Siska yang dibalas dengan senyum malu-malu. “Aku menginginkanmu, Sayang.” Abimanyu mencium tengkuk Siska, tetapi sebelum adegan berlanjut, ketukan dan suara Doni mengejutkan mereka. Seketika Abimanyu menghilang tepat saat pintu terbuka. “