Rina lelah harus diekori Adit kemana-mana. Seakan-akan cowok itu sudah berubah profesi sebagai bayangannya.
Dia tak boleh jauh-jauh dan hilang dari awasan Adit. Pria itu mengikutinya dan mengawasinya kemanapun dia pergi atau bahkan saat hanya bergerak sejengkal saja.Hanya toilet ceweklah satu-satunya tempat dimana Rina bisa pergi TANPA Adit!Rina mulai merasa seperti TAHANAN saja, yang digandeng kemana saja dan harus melapor kemanapun dia mau pergi. Tak ada lagi waktu baginya untuk dihabiskan dengan sendirian. Adit selalu muncul dan memantaunya setiap saat.Hal ini membuat Rina malu dan super risih. Apalagi kebiasaan Adit yang keranjingan menyentuhnya disana-sini tanpa bertanya dulu pada Rina. Adit bertindak seakan-akan Rina adalah miliknya dan dia berhak melakukan apapun yang dia suka pada pacar barunya itu.Adit tidak tahu bahwa Rina tak suka terlalu banyak bersentuhan dengan orang lain. Dia terbiasa menjaga jarak dan cuek dengan lingkungan sekitarnya, terutama keluarganya. Kedua orang tua yang jarang ada dirumah dan tak begitu suka menunjukkan kasih sayang satu sama lainnya, membuatnya tertular dan mengikuti kebiasaan mereka tersebut.Ditambah lagi semakin dewasa wajah dan penampilan Rina tidaklah seperti apa yang diharapkan papa mamanya. Mereka berkali-kali membandingkan Rina dengan anak-anak teman mereka yang tampaknya kelihatan jauh lebih cantik menurut papa mamanya.Memang orang tuanya selalu rajin menjaga penampilan dan menuntut semua orang disekitarnya juga melakukan hal yang sama. Para karyawan yang terlihat sedikit gemuk atau tak memakai full make up akan dipecat langsung. Itulah yang membuat mereka malu saat melihat anak mereka justru terlihat gemuk dan sedikitpun tak mau berdandan.Untung saja Rina termasuk anak yang pintar dan sedikit membuat papa mamanya bangga. Namun rasa bangga itupun dengan cepat menguap saat melihat penampilan anak mereka yang lama-kelamaan jauh dari kata 'cantik'. Kebiasaan anak mereka yang lebih suka belajar daripada bergaul dengan orang lain juga membuat mereka semakin kecewa dan menyebabkan mereka sedikit enggan menghabiskan waktu dengan Rina, putri semata wayang mereka.Pasalnya, Adit berbeda dengan papa mamanya. Dia terlalu suka bersentuhan dan selalu saja berada didekatnya. Ini membuat Rina 'tak bisa bernafas'. Orang yang suka menghabiskan waktu sendiri, kini harus membawa cowok yang dibencinya itu kemana-mana.Hal ini sebenarnya cukup mengagetkan Rina. Setahu Rina, Adit biasanya menghabiskan waktu untuk tidur saja waktu di kelas atau sesekali terlihat bergerombol di lapangan basket dengan beberapa gengnya untuk merokok sehabis pulang sekolah disana. Tapi tak pernah sekalipun Rina melihat anak itu akrab dengan orang lain bahkan sampai menyentuh mereka.Karna itulah, saat Adit pertama kali menggandeng tangannya, dia berpikir itu hanya akan terjadi sekali dan setelah itu Adit akan meninggalkannnya sendirian. Toh menurut Rina mereka hanya 'jadian' untuk menghindari hukuman yang jauh lebih berat dari guru.Namun ternyata dia salah. Begitu cowok itu menggandengnya, dia tak mau melepaskannya.Dimulai dari dia menuntut untuk duduk sebangku dengan Rina, menemani Rina saat mengerjakan tugas-tugas sekolah dan bahkan ikut-ikutan belajar disampingnya. Adit juga ikut-ikutan membawa makanannya ke dalam kelas supaya bisa makan bersama Rina. Teman-teman sekelas banyak yang meledek dan menertawakan Adit, tapi si iblis yang terkenal dingin dan kasar itu mengabaikannya.Beberapa kali Rina marah-marah dan menyuruh Adit pergi, terkadang bahkan mendorongnya kasar saat cowok itu mendekat, tapi percuma saja, Adit malah nempel terus dan semakin posesif.Pernah ada salah satu teman sekelas mereka, yang tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja mampir ke tempat duduk Rina dan mengajaknya mengobrol. Aneh sebenarnya karna sebelum ini, anak itu selalu cuek pada Rina. Alhasil, Adit yang baru datang langsung menyeretnya menjauh.Hadiah pun satu persatu diberikan Adit pada pacar barunya itu. Tidak mahal memang harganya, mengingat Adit bukanlah anak orang kaya, tapi terlihat benar dia ingin menyenangkan Rina. Namun berhubung semua barang itu rata-rata harganya murah, Rina hanya melihatnya sekilas, memasukkannya ke tas dan langsung melemparkannya saja ke dalam laci begitu dia sampai di rumah tanpa sedikit pun membukanya.Rina tak segan juga menghina dan memarahi Adit di depan banyak orang. Itu dilakukannya supaya Adit membencinya dan meninggalkannya sendirian. Namun usahanya itu gagal karena Adit malah tersenyum geli dan justru menghadiahinya hadiah lagi untuk meredakan amarah Rina.Yang Adit tak tahu bahwa reaksinya itu malah membuat pacarnya itu tambah marah. Dengan sengaja Rina menjauhi Adit dan tak mau diajak bicara.Awalnya Adit menanggapinya dengan tenang dan berusaha merayu. Tapi saat melihat usahanya tak ada hasil, Adit jadi emosi dan mulai mencak-mencak.Setelah pulang sekolah, Adit menarik tangan Rina yang hendak menuju mobilnya dan menyuruhnya naik ke atas motor Adit. Rina tak bisa menolak karena melihat amarah Adit di wajah dan gerak-gerik tubuhnya. Hal itu membuatnya takut dan tak bisa melawan.Motor itu melaju kencang dan yang menyetirnya tak sedikitpun memberi tahu kemana mereka akan pergi. Karena ini pertama kalinya Rina naik motor dan ditambah lagi kecepatannya yang super kencang, membuatnya tak sadar memegang dan menarik jaket Adit sangat erat.Mereka akhirnya sampai di sebuah cafe di tengah kota yang sudah jadi langganan Adit selama ini. Dia juga pernah bekerja paruh waktu di tempat itu dulu, sehingga dia kenal betul semua karyawan dan bahkan pemiliknya juga dekat dengan dia.Rina mulai mengomel saat masuk ke dalam. "Kalau mau ngajak ke cafe, kenapa harus ke tempat yang jauh sih?! Kan bisa yang dekat sekolahan?""Cafe langgananku ini. Semua karyawan sini kenalanku semua.""Aku nggak perduli! Mau ini cafe langgananmu kek, pokoknya aku nggak suka! Antar aku pulang, aku nggak nyaman di sini!" bentak Rina hingga membuat beberapa orang yang berada di sekitar mereka menoleh."Duduk dulu, aku mau bicara!" Suara dalam Adit yang menyiratkan perintah aku-tak-mau-dibantah itu, membuat Rina menurut dan duduk, walaupun masih dengan wajah kesal."Aku nggak suka melihat tingkahmu beberapa hari ini! Tiba-tiba saja nggak mau bicara kayak orang bisu, didekati malah menjauh. Emang aku penderita kusta apa sampai harus dijauhi?" tambah Adit dengan nada suara menuntut."Masak masih nggak ngerti juga kenapa aku bertingkah seperti itu? Aku ini nggak suka dengan KAMU! Mau kamu berusaha kayak apapun, aku nggak akan peduli. Berandalan kayak kamu benar-benar bukan tipeku!"Wajah Adit tampak datar dan tak terlihat tersinggung sedikitpun. "Trus tipemu memangnya yang kayak gimana?""Yang pintar dan tak urakan sepertimu! Kalau saja kau peringkat pertama, pasti akan kuterima dengan senang hati. Nggak usah peringkat pertama, ranking tiga pun nggak apa-apa. Sayangnya... lihat saja dirimu! Masih untung kamu bisa naik kelas!" cerocos Rina sambil membolak-balik halaman menu tanpa terlihat tertarik sedikitpun dengan isinya."Oke. Kalau gitu kalau aku benar juara satu semester ini, kamu nggak boleh lagi ngomel-ngomel lagi ya. Kamu harus dengan ikhlas menerima!""Kamu pikir semudah itu jadi juara satu? Apalagi dengan nilaimu yang parah itu!""Kamu nggak usah khawatirkan nilaiku! Pokoknya... jangan lupa janjimu saja.""Oke... deal! Tapi ingat kalau kamu nggak berhasil, berarti kita putus!" jawab Rina santai. Dia tau betul Adit hanya membual dan hal itu nggak mungkin bisa terjadi.***Tapi Rina yang terkenal pandai tak pernah tahu kalau musuh yang paling dibencinya adalah pria dengan IQ 146 yang terkenal jenius di sekolahnya dulu.Tak ada yang bisa mengalahkan Adit dalam mata pelajaran apapun sewaktu SD sampai SMP. Bahkan olimpiade Inggris dan Matematika seluruh tingkat Jawa timur, dialah yang selalu menjadi peringkat pertama.Ayah Adit yang berprofesi sebagai dosen di sebuah universitas bergengsi di Surabaya membesarkannya dengan ambisi kuat agar anaknya jauh lebih unggul dari anak lainnya. Otak Adit yang encer pun tampaknya cocok dengan ambisi dan impian ayahnya.Dari mulai les mata pelajaran, Kumon, Inggris, Mandarin, Komputer, sampai les tenis pun harus dilakoni Adit tiap minggunya untuk membahagiakan Ayahnya.Tak pernah sekalipun Adit mengeluh atau memprotes keputusan ayahnya itu. Dia hanya menganggap semua itu sebagai rutinitas sehari-hari yang memang harus dilakukannya.Dia tahu hanya dia satu-satunya harapan ay
Adit terlihat terburu-buru menuntun motornya dari parkiran ke arah depan gerbang sekolah dan menunggu Rina di sana untuk diajak pulang bareng. Memang dia ragu kalau cewek itu langsung setuju, tapi kalau dia tak berusaha, lama-lama hubungan mereka hanya jalan di tempat terus, tak ada kemajuan sama sekali."Dit ngapain? Nongkrong yuk di giras sebelah sambil godain cewek lewat!"ajak Rudi, teman genknya, yang juga baru keluar dari parkiran"Jangan sekarang! Aku lagi mau ngantar Rina pulang!" jawab Adit singkat."Ya udah kita tunggu aja kamu di sana, ntar kalau uda selesai, kamu nyusul aja ke giras! Kita disana sampai sore kok!" timpal Ivan yang berada di belakang Rudi."Nggak ah! Aku mau pulang trus belajar.""Hah... belajar? Kok tiba-tiba? Aghhh... ini pasti karena kamu ketularan si kutu buku itu. Dit, pacaran itu boleh tapi nggak usah terlalu berlebihan gini lah!" protes Ivan dengan nada yang agak meninggi.Tiba-tiba Adit melihat R
Rina sebal kenapa harus setiap hari Valentine semua cewek di kelasnya menggila dan girang tak karuan. Semua jadi tampak pink setiap kali hari yang diklaim sebagai hari cinta kasih ini tiba. Coklat dan boneka bertebaran di sana-sini, seakan-akan hal itu wajib dan bagi yang tidak merayakannya akan tersisih dan tampak menyedihkan.Menurut Rina semua itu sia-sia dan terlalu membuang banyak waktu serta biaya. Baginya aneh merayakan hari kasih sayang yang ujungnya juga tak abadi. Bukannya saat berpisah, cokelat itu takkan terasa manis lagi dan boneka-boneka itu hanya akan jadi sampah saja.Pernah satu kali mamanya memberinya boneka sebagai lambang kasih sayang di hari Valentine. Tanpa pikir panjang, Rina langsung memberikannya pada cucu pembantunya. Mamanya yang tampaknya menjunjung tinggi hari kasih sayang itu benar-benar tak tahu kalau yang dibutuhkannya bukan boneka tapi waktu mengobrol sebentar saja dengannya.Baginya adalah aneh melihat orang-orang yang tak
Otak Rina sebenarnya tidak bisa mengerti kenapa dia bisa-bisanya mau disuruh-suruh buat kue coklat segala oleh si Adit. Bukankah harusnya dia lebih melawan dan menolak permintaan Adit? Lagipula memang kenapa kalau gara-gara itu Adit terus-terusan ngambek dan tak mau bicara lagi dengannya? Bukankah ini seharusnya bagus mengingat dia tak suka tingkah Adit yang selalu saja menguntitnya kemanapun dia pergi?Bukannya malah mengambil kesempatan emas ini, Rina malah memilih menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk membuat sebuah kue coklat untuk Adit. Alhasil dia membuat Mbok Sa pun jadi ketambahan kerjaan karena harus membantu dia di dapur. Manalagi kuenya berkali-kali gagal dan membuat meja dapur semakin berantakan dengan bekas alat-alat masak yang dia pakai dan semua loyang yang berisi kue gagal miliknya.Setelah hampir delapan jam kue tersebut akhirnya jadi juga. Bentuknya memang tak seindah kue-kue buatan toko-toko terkenal yang pernah dikunjunginya, tapi jika diban
Adit membawa Rina ke tempat bibinya, yang tinggal di Batu, Malang. Dia tahu benar mereka akan diterima baik di situ. Bibinya sejak dulu sangat menyayangi dia dan kakaknya. Seringkali beliau berani melawan kakaknya demi membela kedua keponakannya. Bibi kesayangan Adit ini hidup sendiri di rumahnya, yang telah ditempatinya dari mulai dia menikah dulu. Sayangnya, bibinya ini tak pernah mempunyai keturunan dan suaminya meninggal karna kecelakaan sepuluh tahun setelah pernikahan mereka. Semua keluarga mendesak beliau menikah kembali supaya tidak kesepian, tapi beliau begitu setia dengan almarhum suaminya yang sangat dicintainya itu. Itulah yang membuat Adit dan kakaknya sering mengunjungi dan menginap di rumah bibinya. Dengan cara itu, mereka berharap bibinya bisa menghilangkan rasa kesepiannya, walau sedikit saja.Mereka sampai di sana pas jam enam sore dan seperti dugaannya, bibinya itu terlihat girang saat membukakan pintu pagar untuk Adit. Beliau memandang bingung
Yang pertama menarik bibirnya dan melepaskan pelukan adalah Rina. Dia mengalihkan pandangannya begitu dia menyudahi kecupan itu. Adit memperhatikan perubahan ekspresi cewek itu dari terlihat bingung hingga berubah menjadi malu dan kesal. Tanpa disangka, Rina menjauh dan berjalan keluar dari sungai itu, meninggalkan Adit begitu saja.Adit bingung dan tak habis pikir, bagaimana bisa emosi cewek itu berubah secepat itu. Jelas-jelas tadi Rina membalas ciumannya dan juga tak kalah bersemangatnya saat menyambut ciumannya tadi. Lalu kenapa hanya beberapa detik saja sikapnya tiba-tiba berubah. Adit sama sekali tak merasa dia ada melakukan kesalahan apapun."Jangan-jangan dia merasa jijik padaku, gara-gara apa yang barusan terjadi tadi!" pikir Adit dalam hati. Tak ayal dia merasa sedih saat menyadari kemungkinan itu. Meninggalkan apa yang ada di pikirannya, dia berusaha mengejar Rina. Mau tak mau mereka harus pulang hari ini dan masalah mereka berdua bisa menunggu
Cuaca tampaknya terlalu cerah, jika dibandingkan dengan suasana hati Adit saat ini. Hatinya gundah gulana karena bel sudah berbunyi tapi Rina sama sekali tak terlihat. Ditambah lagi, sejak kemarin tak sekalipun pacarnya itu menjawab telpon dan pesan-pesannya.Adit takut terjadi apa-apa pada Rina. Betapa dia menyesal tak masuk saja dan melindungi Rina kemarin. Dia terlalu berhati-hati dan tampaknya itu malah menyulitkan Rina, pikirnya.Semua murid tampaknya sudah masuk ke dalam kelas dan hanya Adit saja yang tertinggal sendirian di lapangan. Bapak satpam sudah menyuruhnya masuk berkali-kali dengan nada kesal. Akhirnya Adit pun menurut, sambil terus berusaha menghubungi Rina.Saat itulah tiba-tiba gerbang sekolah kembali terbuka. Sebuah mobil mewah masuk dan berhenti tepat di sebelah Adit berdiri. Tidak pernah satu pun mobil yang berani memarkirkan mobilnya di area lapangan sekolah. Parkir mobil sudah disediakan di sebelah sekolah. Semua guru dan murid, baik kepala sekolah pun hanya bol
Seminggu berlalu dan semuanya masih saja sama. Adit masih saja tak bisa mendekati Rina. Melewati kelas Rina saja dia sudah dihadang beberapa murid yang tiba-tiba saja menjadi pengawal dadakan Rina. Beberapa kali juga Adit mencoba menelpon Rina, tapi tampaknya cewek itu sudah memblokir nomer Adit dan itu membuatnya semakin susah menjangkau Rina.Jalan satu-satunya adalah pergi ke rumah Rina dan menunggunya di sana sampai dia mau menemui Adit. Tidaklah mudah memang karena orang tua Rina pasti melarang menemuinya. Tapi Adit pikir jika dia tak berusaha, dia tak bisa menggali kebenaran dari mulut pacarnya itu. Yang dikhawatirkannya adalah bahwa sebenarnya pacarnya itu sangat membutuhkannya saat ini.Sejak pukul satu siang, sepulang sekolah, Adit sudah nongkrong di depan rumah Rina sambil berusaha memanggil nama cewek itu berkali-kali supaya dia keluar. Sayangnya, pintu rumah itu tetap tertutup rapat dan tak ada seorangpun yang keluar. Adit memarkirkan sepedanya di sebelah pohon rindang di
Dengan tenang, Adit mengelap air yang disiramkan Rina ke wajahnya dengan tisu dan masih melanjutkan kata-katanya yang penuh duri. Dia tak tahu kenapa dia bersikap sekejam ini, yang jelas lidahnya tak mau berhenti untuk menyakiti wanita itu. Apalagi saat mengingat ekspresi jijik Rina kemarin saat dia baru saja membela kehormatannya."Melihat dari besarnya kemarahanmu, terlihat sekali kalau perkataanku ada benarnya. Jika tidak, mana mungkin kau terlihat seperti cacing kepanasan kayak gini!" serang Adit lagi.Rina menggigit bibirnya untuk menahan diri menjelaskan bahwa saat itu dia terlalu mabuk untuk membedakan antara Sam dan bosnya, sehingga kejadian yang memalukan itu terjadi.Kalau Adit tau yang sebenarnya, pria itu pasti akan mencercanya lagi dan memaksanya untuk mengakui perasaannya untuk bosnya itu. Kalau itu terjadi, Rina pasti akan habis-habisan dihina. Melihat dari sikap Adit dulu padanya waktu menjodohkannya pada Miss Betty, pria itu takkan memberinya ampun saat tau kalau just
Adit memincingkan matanya saat sinar matahari pagi dengan kejamnya menyerang wajahnya tanpa henti. Dia mengangkat kepalanya dari bantal dan melihat ke sekeliling ruangan. Tapi gerakan itu justru membuat kepalanya pusing dan seperti sedang dihantam berkali-kali."Dimana kita? Kenapa kau tak mengantarkan aku ke rumah?" protesnya saat melihat Susan yang sedang berdiri di depan kaca besar dan memeriksa penampilannya."Kau pikir gampang memindahkanmu kemarin. Kau jatuh begitu saja di ruang pesta. Butuh sampai empat orang sampai bisa menggotongmu ke tempat ini. Lagipula pak Jimmy yang menyuruh, mana mungkin aku membantah!"Adit memijit keningnya yang terasa berdenyut-denyut dan bangkit dari tempat tidur untuk mengambil ponselnya. "Waduh celaka... Moza pasti nyariin aku semalaman! Diam dulu ya jangan sampai anakku tau kau ada di sini! Dia paling tak suka aku bergaul denganmu," seru Adit dan segera menghubungi ponsel Mbak Saroh. Dia bahkan tak menghiraukan wajah c
Rina duduk dengan tegang. Firasatnya nggak enak. Seakan-akan ada berita buruk yang akan diterimanya. Bahkan teh dan beberapa kue yang dihidangkan di depannya, tak bisa menghilangkan perasaan terintimidasi yang dialaminya. Tante Sam memandang Rina seksama dari atas kepala sampai bawah kakinya. Wanita tua itu seakan ingin mengetahui karakter Rina dari apa yang dikenakannya di tubuhnya. Baginya, calon pasangan hidup keponakannya pastilah nanti jadi bagian dari keluarganya juga. Jadi bagaimana pun juga, dia harus memperhatikan apakah calon istri keponakannya itu cocok bersanding dengan keponakannya atau tidak. Dari apa yang dilihatnya, dia suka dengan cara Rina membawa diri. Dia tidak terlihat urakan dan tidak juga terlihat kuno. Wanita itu bahkan bisa menjawab dengan baik pertanyaan apapun yang diajukan Jimmy kepadanya. Kesopanannya pun menjadi nilai tambah yang penting. Calon istri keponakannya itu terlihat terus menjaga sikap serta cara duduknya di depannya dan s
Gedoran di pintu bilik toilet mengejutkan Adit dan membuatnya menengadah. “Lagi ada orang di dalam!” serunya dari dalam untuk memperingatkan. Tampaknya yang menggedor tadi mengerti dan pindah ke bilik sebelah.Celakanya, tanpa disadari Adit, Rina tiba-tiba membuka kunci pintu dan keluar begitu saja, masih dengan langkah yang terhuyung-huyung. Adit sontak langsung mengejarnya keluar. Untung saja tidak ada siapa-siapa di area wastafel waktu dia keluar dari bilik toilet.Rina yang masih terpengaruh oleh kejadian di toilet tadi, merasa kesal karena bibir Adit yang tiba-tiba menghilang dari hadapannya. Dengan bibir yang masih membengkak, Rina berjalan mencari apa yang diingininya. Karena pusing dia berjalan perlahan sambil memejamkan mata. Baru beberapa langkah saja, tiba-tiba langkahnya terhenti karena baru saja menubruk badan seseorang. Dia meraba badan yang sedang ada di depannya. Dengan tak memikirkan tingkahnya yang sudah di luar batas, tangan Rina menang
Sekujur badan Rina terasa bergetar karena terharu melihat banyaknya tepuk tangan para tamu pada saat dia selesai menunjukkan kemampuannya bermain piano. Sepuluh tahun lebih sudah dia kehilangan piano kesayangannya untuk membayar utang ayahnya. Jangankan memainkan tuts-tuts piano, menyentuh saja dia enggan setelah hari itu. Dia takut detik dia menyentuh piano, dia akan tergiur untuk bermain piano terus dan melupakan kalau dia harus menyibukkan diri untuk mencari nafkah daripada menghabiskan waktu untuk menghibur diri terus-menerus.Sam menggenggam tangan sahabatnya itu saat melihat wajah tak percaya diri Rina dan tangannya yang gemetaran. Dia mengaitkan tangan itu pada lengannya dan menuntunnya kembali ke arah meja minuman dan membiarkan wanita itu meminum dua gelas cairan yang berwarna hijau itu lagi.“Wow… anda mainnya bagus sekali! Kalau boleh saya tahu… apakah anda juga bisa mengajar piano ke anak kecil?” tanya seorang tamu wanita paruh baya yang tampaknya menga
Rina sebenarnya enggan diajak menemani Sam ke pesta ulang tahun suami dari tante sahabatnya itu. Dia tau betul pesta paman Sam pastilah besar dan akan didatangi banyak orang penting dan dari kalangan atas rata-rata semuanya.Tapi karena Sam terlihat sedih, Rina jadi tak bisa menolak. Apalagi saat ia mengeluh karna paman dan tantenya akan mengenalkannya dengan deretan wanita-wanita yang tak dikenalnya dan membuatnya kelelahan sepanjang pesta itu. Jika Rina ikut, setidaknya Sam bisa terlepas dari rutinitas dijodohkan sana sini oleh tante dan pamannya.Mendengar pengakuan sahabatnya itu dan juga ekspresi sedihnya yang cukup membuatnya iba, Rina akhirnya menyetujui permintaan Sam.Tanpa basa-basi, Sam langsung membawa Rina ke butik tantenya dan memilihkan gaun merah ketat yang dapat membalut tubuh Rina bagaikan kulit kedua dari bagian dada wanita itu sampai ke bawah lutut. Gaun itu cukup berpotongan rendah dan mencetak bulatan bagian atas tubuh Rina
Adit gelisah luar biasa setelah kepergian Rina. Perasaannya nggak enak kali ini. Dia tak mengira PENGAGUM RAHASIA yang dimaksud Rina bisa setampan itu. Dia terlalu meremehkan pengasuhnya. Wanita itu rupanya cukup pandai menggaet pria yang cukup lumayan. Bisa dibilang pria seperti Sam itu digolongkan sebagai pria idaman wanita jaman sekarang.Adit tau dia juga tidak jelek. Tak sedikit juga wanita yang mengejar-ngejar dia. Tapi kali ini dia sadar, dia menemukan saingan yang seimbang yang dapat membahayakan posisinya di hati Rina.Dilihat dari cara pengasuhnya itu melihat Sam, Adit yakin tempat pria itu di mata Rina cukuplah spesial. Dan itulah yang membuatnya gusar. Dia baru saja merencanakan untuk mendekati Rina lagi dan entah kenapa si pengagum rahasia itu muncul dan mengacaukan semuanya. Gara-gara pria itu, Rina jadi memandangnya sebelah mata dan tampak kehilangan minat.Panik, Adit mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Rina. Dia ingin meluruskan te
Setiap kali melihat bunga pemberian pengagum rahasia 'terkutuk' itu, Adit menjadi kesal. Dia tau betul bunga itu dari seorang pria yang menaruh hati pada pengasuh anaknya. Kalau saja dia bisa mendekati bunga itu, dia pasti langsung membuangnya ke tempat sampah. Hanya saja, wanita keras kepala itu terus saja mengunci kamarnya dan tak sekalipun memperbolehkannya masuk.Berani benar si pengirim bunga itu, pikirnya. Tak hanya si pengirim itu berani menggoda pengasuhnya dengan seikat bunga, dia bahkan berani mengirimkannya ke rumah Adit. Yang jelas... Adit merasa si pengirim itu tak menghormatinya sebagai bos Rina dan pemilik rumah ini.Yang lebih membuat darahnya mendidih adalah puluhan bahkan ratusan kali pengasuhnya membicarakan bunga 'terkutuk' itu dan memamerkannya pada Moza. Dia masih tak mengerti mengapa wanita itu masih menyimpan bunga itu, walaupun sudah dua hari berlalu. Keadaan bunga itu juga tak sesegar dan seindah hari pertama, tapi dengan bahagianya Rina t
Adit memegangi hidungnya yang berdarah gara-gara tinju kuat dari pengasuhnya. Dia tahu Rina tadi sudah memperingatkannya, tapi dia sebenarnya tak menyangka wanita itu akan benar-benar melakukannya. "Tuh kan pakkk... aduh darahnya jadi kemana-mana! Duduk dulu pak... biar saya ambilkan tisu." Rina menyambar tisu yang ada di meja, menggulungnya kecil dan memasukkannya ke lubang hidung Adit. Darah Adit yang jatuh ke lantai juga dibersihkannya menggunakan tisu. "Aku nggak ngerti... kenapa sih aku selalu jadi korban pukulanmu? Tidak bisakah kau bereaksi lebih lembut... lebih feminin gitu!" protes Adit sambil mendongakkan kepalanya ke belakang. "Jangan mendongak pak. Kepalanya tetap lurus aja!" sahut Rina sambil membetulkan kepala Adit. "Lagipula dari awal kan bapak sudah aku peringatkan! Salah bapak sendiri... nggak mendengarkan perkataan saya!" "Akh... sudahlah... susah ngomong sama kamu. Selalu aja nggak mau ngalah! Tolong ambilin teh dulu. Minum