SEPULUH TAHUN KEMUDIAN
Sepuluh tahun berlalu dan banyak yang sudah berubah setelah itu. Dari anak gadis yang berumur tujuh belas tahun, Rina telah tumbuh dewasa dan menjadi seorang wanita berumur dua puluh tujuh tahun. Waktu yang panjang itu berhasil mengubah jalan hidup wanita paruh baya ini. Sejak kali terakhir dia berpisah dengan Adit, nasib wanita ini secara dramatisnya berubah seratus delapan puluh derajat.Ini dimulai saat papanya, yang memiliki banyak simpanan itu, ditipu oleh dua wanita selingkuhannya. Mereka mengenalkan papa Rina pada seorang pebisnis, yang usut punya usut berhasil membuat Sigit Wibowo melakukan investasi di sebuah bisnis yang katanya bisa memberi keuntungan yang berlipat kali ganda. Rayuan wanita dan ditambah lagi dicekokin minuman berkali-kali, papanya dengan gampangnya melakukan investasi pada perusahaan yang sama sekali belum dia kenal.Pria hidung belang itu bahkan berani meminjam uang pada rentenir untuk membiayai bisnisRina hanya bisa menelan ludah dan memandangi pria yang ada di depannya sekarang.Tidak butuh waktu yang lama bagi pria itu mengetahui identitasnya, pikirnya. Toh dia memegang semua data-data yang diberikannya pada pengasuhnya tadi.Semua impiannya buyar. Harapan mendapatkan gaji yang lebih baik menguap begitu saja saat pria itu menyebut namanya tadi.Masih untung kalau dia bisa kabur dari sini nanti. Seingat Rina, Adit terlihat begitu marah saat terakhir mereka bertemu waktu itu. Tinggal tunggu waktu saja sebelum akhirnya dia meledak dan mencabik-cabik Rina di ruangan itu.Laki-laki itu tiba-tiba berdeham dan menatapnya. Hati Rina berdebar tak karuan. Keringat dingin begitu deras mengucur dari keningnya."Rina?" Panggilnya, membuat jantung Rina hampir meloncat keluar."Y-aa?" Rina mengejamkan mata menahan ketakutannya."Miss Rina kepanasan?" tanyanya lagi. Rina membuka mata mendengar itu."Oh... ndak pak nggak a
Tepat seperti yang dijanjikan, uang sebesar empat juta rupiah langsung ditransfer ke rekening Rina di awal bulan. Seumur hidup, baru kali ini Rina dibayar dengan uang sebesar itu hanya untuk menemani seorang anak kecil. Keesokan harinya, tepat jam dua belas siang, sepulang mengajar, Rina langsung menuju rumah Adit dan menunggu anak muridnya pulang sekolah. Sesampainya di sana, Rina disambut oleh pembantu baru bosnya, yang bernama Bu Saroh, orang Madura yang umurnya kira-kira empat puluhan. Sayangnya, hanya pembantu baru saja yang datang, sedangkan untuk pengasuh Moza belum ada kabar sama sekali. Hal ini berlangsung sebulan lamanya. Rina harus membatalkan semua tawaran mengajar lainnya, karena dari siang sampai malam, dia harus siap kapan pun untuk mengurusi anak bos barunya itu. Sebenarnya tidaklah sulit mengurus keperluan gadis kecil bermata coklat tersebut. Itu karena kebiasaan anak itu yang diam dan lebih suka bermain dalam ruangan, daripada berlari
Sepanjang lima jam menunggu Moza selesai sekolah, Rina akhirnya berhasil mengusir pikiran-pikiran terlarangnya tentang Adit. Dia menyibukkan diri menyusun jadwalnya sendiri dan anak asuhnya, kemudian menulis apa saja yang perlu diajarkannya pada Moza selama seminggu ke depan. Intinya, selama jam-jam itu, pemikiran tentang Adit tak muncul sedikitpun di benaknya. Namun, tampaknya itu takkan berlangsung lama, karena saat sang sopir menjemput, sialnya sopir itu menyampaikan bahwa bosnya akan mengajak dia dan Moza makan siang bersama di café dekat kantor bosnya.Detik mendengar undangan yang tak diharapkannya itu, Rina langsung menjadi gusar. Dia ragu bisa menahan diri jika berada satu ruangan lagi dengan bosnya. Masalahnya, dia baru saja memulihkan kewarasannya dari hal-hal yang terlarang, tapi jika secepat ini dia harus kembali berdekatan dengan bosnya lagi, dia tak bisa menjamin penyakit ‘mesumnya’ tak akan kembali lagi. Adit menyambut mereka dengan sumri
Rina bagaikan ditampar saat mendengar serangan-serangan kata-kata kasar majikannya. Dia tak menyangka, dia harus mendapatkan perlakuan merendahkan seperti ini, hanya karena sempat ceroboh memperlihatkan sedikit 'ketertarikannya' pada pria yang kini memamerkan ekspresi merendahkan secara terang-terangan ke arahnya."Maaf pak... tapi apa kurangnya saya sampai harus mengincar duda beranak satu seperti anda!" balas Rina dengan ekspresi mencemooh dan dingin. Dia ingin manusia sombong di hadapannya ini juga merasakan bagaimana rasanya dihina. Bagaimana rasanya direndahkan hanya gara-gara masalah sepele."Maksudnya?" Adit hampir tak mempercayai pendengarannya. Dia tak menyangka pengasuhnya ini berani menjawab balik dan menggunakan statusnya sebagai duda untuk menghinanya."Saya memang tidak cantik dan background pendidikan saya juga tidak secemerlang wanita-wanita yang pernah bapak kencani, tapi maaf sekali lagi pak, selera saya cukup tinggi jika menyangkut lawan
Suara pecahan botol dan pekikan Rina yang membahana di seluruh ruangan, akhirnya membangunkan Adit yang tertidur di ruang kerjanya. Dia segera keluar dan mencari dari mana suara itu berasal. Saat itulah dia menyadari semua lampu di rumah padam. Dengan senter dari ponselnya, dia berjalan dan memeriksa di sekeiling rumah.Saat dia sampai di ruangan dapur, lampu senternya menyoroti bayangan pengasuhnya yang sedang berjongkok di samping meja dapur. Adit mendekat dengan penasaran untuk memeriksa apa yang dilakukan pengasuhnya itu malam-malam di sana di tengah kegelapan.Saat mendekat itulah dia melihat pecahan botol yang berserak dan darah yang menggenang di samping kaki pengasuhnya. Betapa syoknya dia saat mendapati darah itu mengalir dari kaki pengasuhnya yang masih dipenuhi beberapa kaca yang menancap di atasnya. Mengetahui Adit datang, Rina langsung mengatakan, "Nggak apa-apa pak. Saya bisa tangani sendiri." Melihat pengasuhnya itu menghindar dan
Sebenarnya Adit juga terkejut akan apa yang baru dilakukannya tadi. Tubuhnya seakan bergerak sendiri tanpa alasan yang jelas dan mulai melakukan tindakan yang memalukan itu. Kemungkinan besar, menurutnya, hal itu terjadi karna dia masih dalam keadaan mengantuk, jadi tak sadar dengan apa yang sedang dilakukannya. Adit sedikit lega karena pas kejadian itu terjadi, pengasuhnya masih dalam keadaan tidur. Karena kalau tidak, wanita itu pasti sudah mencak-mencak dan menuduhnya ingin melecehkannya. Apalagi… kalau sampai dia melaporkan ke polisi, reputasi dan karirnya pasti hancur seketika. Akan sangat berbahaya, jika wanita itu memegang kelemahannya. Mengingat keberaniannya mendebat bosnya dengan lidah tajamnya, Adit yakin wanita itu tak akan sungkan-sungkan merendahkannya dengan semua kosa kata buruk yang dimiliki wanita itu. Oleh karena itu, Adit berniat lebih berhati-hati ke depannya saat berada di sekitar pengasuhnya itu. Dengan tergesa-gesa, dia pun kelu
Adit membelalakkan matanya saat mendengar kata-kata pengasuhnya itu. Tak sedikitpun dia menyangka kalau Rina tau semua yang telah dilakukannya malam itu. Dia begitu yakin bahwa wanita itu sudah tertidur saat kejadian yang diluar kendalinya itu terjadi.Pantesan saja seharian perempuan ini menghindarinya, pikirnya. Pagi tadi contohnya. Dengan sengaja pengasuhnya itu bersembunyi di kamar mandi supaya tidak harus bertemu dengannya. Awalnya dia mengira pengasuhnya itu jatuh di kamar mandi dan sedang membutuhkan bantuannya. Dengan bodohnya dia mendobrak pintu kamar mandi hingga engselnya rusak dan mendapati perempuan itu sedang meringkuk di samping WC agar tak terlihat olehnya. Namun reaksi wanita itu selanjutnyalah yang membuatnya terkejut. Dia menjerit sekuat tenaga, seperti orang yang akan disembelih sambil memukuli Adit berkali-kali dan setelah itu kabur begitu saja ke kamarnya. Adit mengikuti wanita itu untuk mendapatkan penjelasan, tapi lagi-lagi wanita itu mengu
Dengan geram, Adit meloncat dari tempat tidurnya dan segera menghidupkan lampu kamarnya. Cahaya terang kamarnya dengan jelas menyoroti wajah si pengasuh yang sedang tersenyum penuh kemenangan. Tidak pernah ada yang sekurang ajar seperti ini sebelumnya! Tidak pernah ada yang sampai berani masuk ke dalam kamarnya dan terang-terangan bertindak di luar batas seperti ini! Adit sungguh tak mengerti dengan perubahan sikap si pengasuh akhir-akhir ini. Sebelum kecelakan di dapur terakhir itu, wanita ini terlihat normal-normal saja. Tidak ada terlihat tanda-tanda penyakit mental bersarang di otaknya. Dia bahkan memilih wanita itu menjadi pengasuh dan tinggal serumah dengannya karna menilai pembawaan wanita itu yang pandai, lugu dan tau betul cara mengatur anaknya. Dia bahkan sempat mengira wanita itu layaknya seperti salah satu wanita yang biasanya keluar dari majalah IBU DAN ANAK, yang begitu pandai menangani anak jenis apapun. Hal yang bahkan dia tidak bisapun dapat dila
Dengan tenang, Adit mengelap air yang disiramkan Rina ke wajahnya dengan tisu dan masih melanjutkan kata-katanya yang penuh duri. Dia tak tahu kenapa dia bersikap sekejam ini, yang jelas lidahnya tak mau berhenti untuk menyakiti wanita itu. Apalagi saat mengingat ekspresi jijik Rina kemarin saat dia baru saja membela kehormatannya."Melihat dari besarnya kemarahanmu, terlihat sekali kalau perkataanku ada benarnya. Jika tidak, mana mungkin kau terlihat seperti cacing kepanasan kayak gini!" serang Adit lagi.Rina menggigit bibirnya untuk menahan diri menjelaskan bahwa saat itu dia terlalu mabuk untuk membedakan antara Sam dan bosnya, sehingga kejadian yang memalukan itu terjadi.Kalau Adit tau yang sebenarnya, pria itu pasti akan mencercanya lagi dan memaksanya untuk mengakui perasaannya untuk bosnya itu. Kalau itu terjadi, Rina pasti akan habis-habisan dihina. Melihat dari sikap Adit dulu padanya waktu menjodohkannya pada Miss Betty, pria itu takkan memberinya ampun saat tau kalau just
Adit memincingkan matanya saat sinar matahari pagi dengan kejamnya menyerang wajahnya tanpa henti. Dia mengangkat kepalanya dari bantal dan melihat ke sekeliling ruangan. Tapi gerakan itu justru membuat kepalanya pusing dan seperti sedang dihantam berkali-kali."Dimana kita? Kenapa kau tak mengantarkan aku ke rumah?" protesnya saat melihat Susan yang sedang berdiri di depan kaca besar dan memeriksa penampilannya."Kau pikir gampang memindahkanmu kemarin. Kau jatuh begitu saja di ruang pesta. Butuh sampai empat orang sampai bisa menggotongmu ke tempat ini. Lagipula pak Jimmy yang menyuruh, mana mungkin aku membantah!"Adit memijit keningnya yang terasa berdenyut-denyut dan bangkit dari tempat tidur untuk mengambil ponselnya. "Waduh celaka... Moza pasti nyariin aku semalaman! Diam dulu ya jangan sampai anakku tau kau ada di sini! Dia paling tak suka aku bergaul denganmu," seru Adit dan segera menghubungi ponsel Mbak Saroh. Dia bahkan tak menghiraukan wajah c
Rina duduk dengan tegang. Firasatnya nggak enak. Seakan-akan ada berita buruk yang akan diterimanya. Bahkan teh dan beberapa kue yang dihidangkan di depannya, tak bisa menghilangkan perasaan terintimidasi yang dialaminya. Tante Sam memandang Rina seksama dari atas kepala sampai bawah kakinya. Wanita tua itu seakan ingin mengetahui karakter Rina dari apa yang dikenakannya di tubuhnya. Baginya, calon pasangan hidup keponakannya pastilah nanti jadi bagian dari keluarganya juga. Jadi bagaimana pun juga, dia harus memperhatikan apakah calon istri keponakannya itu cocok bersanding dengan keponakannya atau tidak. Dari apa yang dilihatnya, dia suka dengan cara Rina membawa diri. Dia tidak terlihat urakan dan tidak juga terlihat kuno. Wanita itu bahkan bisa menjawab dengan baik pertanyaan apapun yang diajukan Jimmy kepadanya. Kesopanannya pun menjadi nilai tambah yang penting. Calon istri keponakannya itu terlihat terus menjaga sikap serta cara duduknya di depannya dan s
Gedoran di pintu bilik toilet mengejutkan Adit dan membuatnya menengadah. “Lagi ada orang di dalam!” serunya dari dalam untuk memperingatkan. Tampaknya yang menggedor tadi mengerti dan pindah ke bilik sebelah.Celakanya, tanpa disadari Adit, Rina tiba-tiba membuka kunci pintu dan keluar begitu saja, masih dengan langkah yang terhuyung-huyung. Adit sontak langsung mengejarnya keluar. Untung saja tidak ada siapa-siapa di area wastafel waktu dia keluar dari bilik toilet.Rina yang masih terpengaruh oleh kejadian di toilet tadi, merasa kesal karena bibir Adit yang tiba-tiba menghilang dari hadapannya. Dengan bibir yang masih membengkak, Rina berjalan mencari apa yang diingininya. Karena pusing dia berjalan perlahan sambil memejamkan mata. Baru beberapa langkah saja, tiba-tiba langkahnya terhenti karena baru saja menubruk badan seseorang. Dia meraba badan yang sedang ada di depannya. Dengan tak memikirkan tingkahnya yang sudah di luar batas, tangan Rina menang
Sekujur badan Rina terasa bergetar karena terharu melihat banyaknya tepuk tangan para tamu pada saat dia selesai menunjukkan kemampuannya bermain piano. Sepuluh tahun lebih sudah dia kehilangan piano kesayangannya untuk membayar utang ayahnya. Jangankan memainkan tuts-tuts piano, menyentuh saja dia enggan setelah hari itu. Dia takut detik dia menyentuh piano, dia akan tergiur untuk bermain piano terus dan melupakan kalau dia harus menyibukkan diri untuk mencari nafkah daripada menghabiskan waktu untuk menghibur diri terus-menerus.Sam menggenggam tangan sahabatnya itu saat melihat wajah tak percaya diri Rina dan tangannya yang gemetaran. Dia mengaitkan tangan itu pada lengannya dan menuntunnya kembali ke arah meja minuman dan membiarkan wanita itu meminum dua gelas cairan yang berwarna hijau itu lagi.“Wow… anda mainnya bagus sekali! Kalau boleh saya tahu… apakah anda juga bisa mengajar piano ke anak kecil?” tanya seorang tamu wanita paruh baya yang tampaknya menga
Rina sebenarnya enggan diajak menemani Sam ke pesta ulang tahun suami dari tante sahabatnya itu. Dia tau betul pesta paman Sam pastilah besar dan akan didatangi banyak orang penting dan dari kalangan atas rata-rata semuanya.Tapi karena Sam terlihat sedih, Rina jadi tak bisa menolak. Apalagi saat ia mengeluh karna paman dan tantenya akan mengenalkannya dengan deretan wanita-wanita yang tak dikenalnya dan membuatnya kelelahan sepanjang pesta itu. Jika Rina ikut, setidaknya Sam bisa terlepas dari rutinitas dijodohkan sana sini oleh tante dan pamannya.Mendengar pengakuan sahabatnya itu dan juga ekspresi sedihnya yang cukup membuatnya iba, Rina akhirnya menyetujui permintaan Sam.Tanpa basa-basi, Sam langsung membawa Rina ke butik tantenya dan memilihkan gaun merah ketat yang dapat membalut tubuh Rina bagaikan kulit kedua dari bagian dada wanita itu sampai ke bawah lutut. Gaun itu cukup berpotongan rendah dan mencetak bulatan bagian atas tubuh Rina
Adit gelisah luar biasa setelah kepergian Rina. Perasaannya nggak enak kali ini. Dia tak mengira PENGAGUM RAHASIA yang dimaksud Rina bisa setampan itu. Dia terlalu meremehkan pengasuhnya. Wanita itu rupanya cukup pandai menggaet pria yang cukup lumayan. Bisa dibilang pria seperti Sam itu digolongkan sebagai pria idaman wanita jaman sekarang.Adit tau dia juga tidak jelek. Tak sedikit juga wanita yang mengejar-ngejar dia. Tapi kali ini dia sadar, dia menemukan saingan yang seimbang yang dapat membahayakan posisinya di hati Rina.Dilihat dari cara pengasuhnya itu melihat Sam, Adit yakin tempat pria itu di mata Rina cukuplah spesial. Dan itulah yang membuatnya gusar. Dia baru saja merencanakan untuk mendekati Rina lagi dan entah kenapa si pengagum rahasia itu muncul dan mengacaukan semuanya. Gara-gara pria itu, Rina jadi memandangnya sebelah mata dan tampak kehilangan minat.Panik, Adit mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Rina. Dia ingin meluruskan te
Setiap kali melihat bunga pemberian pengagum rahasia 'terkutuk' itu, Adit menjadi kesal. Dia tau betul bunga itu dari seorang pria yang menaruh hati pada pengasuh anaknya. Kalau saja dia bisa mendekati bunga itu, dia pasti langsung membuangnya ke tempat sampah. Hanya saja, wanita keras kepala itu terus saja mengunci kamarnya dan tak sekalipun memperbolehkannya masuk.Berani benar si pengirim bunga itu, pikirnya. Tak hanya si pengirim itu berani menggoda pengasuhnya dengan seikat bunga, dia bahkan berani mengirimkannya ke rumah Adit. Yang jelas... Adit merasa si pengirim itu tak menghormatinya sebagai bos Rina dan pemilik rumah ini.Yang lebih membuat darahnya mendidih adalah puluhan bahkan ratusan kali pengasuhnya membicarakan bunga 'terkutuk' itu dan memamerkannya pada Moza. Dia masih tak mengerti mengapa wanita itu masih menyimpan bunga itu, walaupun sudah dua hari berlalu. Keadaan bunga itu juga tak sesegar dan seindah hari pertama, tapi dengan bahagianya Rina t
Adit memegangi hidungnya yang berdarah gara-gara tinju kuat dari pengasuhnya. Dia tahu Rina tadi sudah memperingatkannya, tapi dia sebenarnya tak menyangka wanita itu akan benar-benar melakukannya. "Tuh kan pakkk... aduh darahnya jadi kemana-mana! Duduk dulu pak... biar saya ambilkan tisu." Rina menyambar tisu yang ada di meja, menggulungnya kecil dan memasukkannya ke lubang hidung Adit. Darah Adit yang jatuh ke lantai juga dibersihkannya menggunakan tisu. "Aku nggak ngerti... kenapa sih aku selalu jadi korban pukulanmu? Tidak bisakah kau bereaksi lebih lembut... lebih feminin gitu!" protes Adit sambil mendongakkan kepalanya ke belakang. "Jangan mendongak pak. Kepalanya tetap lurus aja!" sahut Rina sambil membetulkan kepala Adit. "Lagipula dari awal kan bapak sudah aku peringatkan! Salah bapak sendiri... nggak mendengarkan perkataan saya!" "Akh... sudahlah... susah ngomong sama kamu. Selalu aja nggak mau ngalah! Tolong ambilin teh dulu. Minum