Sejak tadi, Refan berusaha menghibur Ica dengan membawanya keliling-keliling menaiki motor. Refan sengaja memilih tempat yang agak jauh agar Ayah Ica tidak menemui mereka. Setelah melihat hari yang sudah hampir malam, Ica khawatir setelah ini dia harus apa.
"Ref, aku harus gimana saat ini?" tanya Ica dengan raut wajah khawatir."Gimana apanya, Ca?" Refan bertanya kembali karena ia sama sekali tidak mengerti maksud pertanyaan Ica.Ica menghembuskan nafasnya perlahan. "Aku harus tidur dimana malam ini, Ref? Ngga mungkin di rumah kamu, Ref." Gadis itu mengacak pelan rambutnya, "pasti Ibu sekarang khawatir sama keadaan aku."Laki-laki itu langsung memberhentikan motornya di pinggir jalan. "Kenapa ngga mungkin, Ca? Kalau untuk sementara, ngga apa-apa kok. Nanti aku bakal bilang ke Papa, aku yakin pasti Papa ngizinin.""Tapi, ngga akan mungkin Ref," sela Ica tidak percaya.Seketika Refan teringat dengan pertanyaan yang ada dalam benaknya sejak tadi di taman. Mengapa Ayahnya Ica tiba-tiba menjadi tidak suka pada Papanya. "Ica, sebelumnya aku mau nanya perihal kenapa Ayah kamu kayak ngga suka sama Papa aku? Padahal, kita juga tau kalau mereka berteman akrab dan baik sejak kita SD, Ca."Ica tertegun mendengar pertanyaan itu. "Gini, Ref. Sebenarnya, Ayah dan Om Budiman udah lama tidak menyapa karena ada satu masalah." Ica menghentikan pembicaraan sejenak."Udah lama? Kapan, Ca? Papa ngga pernah cerita apa-apa sama aku," ucap Refan semakin penasaran."Sewaktu kita duduk di bangku kelas 3 SMP, Ref. Kamu kan juga udah ngga tinggal di sini dan mungkin Om Budiman ngga mau buat kamu kepikiran di sana, jadi, Om Budiman ngga kasih tau kamu tentang ini," jelas Ica.Refan memegang kedua pundak Ica. "Apa masalahnya, Ca? Kasih tau aku.""Sebenarnya, yang salah itu Ayah aku, Ref. Jadi, dulu Ayah butuh duit untuk melanjutkan pendidikan SMA ku. Kebetulan saat itu kan kami lagi benar-benar ngga ada duit, Ayah juga saat itu masih belum bekerja tetap. Jadi, Ayah aku pinjam duit ke rumah kamu. Mungkin, saat itu Om Budiman sedang ngga ada duit atau gimana, Om Budiman ngga mau pinjamin duit untuk Ayah. Saat itu juga, Ayah marah-marah di depan rumah kamu, Ayah bilang semua kata-kata yang menyakitkan hati dan ngga enak didengar, Ref. Aku juga bingung kenapa Ayah begitu. Tapi, intinya sejak dari situ, mereka berdua udah tidak saling tegur sapa," papar Ica.Laki-laki itu mengacak rambutnya kuat. "Papa kenapa juga coba ngga kasih pinjam aja uang ke Om Danu? Padahal Om Danu teman akrabnya. Ngga mungkin Papaku ngga punya uang, Ca."Ica menenangkan Refan agar tidak selalu menyalahkan Papanya sendiri. Gadis itu menatap dalam bola mata Refan. "Ref, jangan salahi Papa kamu!"Laki-laki itu langsung menarik tubuh Ica ke dalam pelukannya. Ia begitu merindukan teman kecilnya yang sekarang sudah berganti status menjadi pacarnya. Refan amat sangat nyaman berada di situasi saat ini.Karena hari sudah gelap. Sepertinya, Ica juga kelelahan dan butuh istirahat. Refan membujuk Ica untuk ikut dengannya ke rumah. Gadis itu selalu menolak, ia takut kalau nanti Papanya Refan akan mengusirnya. Tentu saja, itu akan membuat hubungan Ayahnya dan Papanya Refan semakin memburuk.Namun, karena Refan sudah sangat meyakinkan Ica kalau semua akan baik-baik saja, gadis itu pun mengiyakan permintaan Refan. Walau dalam benaknya, ia masih sangat takut menghadapi semua ini.Mereka menempuh perjalanan menuju rumah Refan. Sengaja Refan membawa dari jalan pintas, agar tidak ketahuan oleh Ayahnya Ica. Gadis itu sepertinya sudah sangat mengantuk. Ia memeluk erat pinggang Refan. Kepalanya ia letakkan di bahu laki-laki itu.Tidak terasa, mereka sudah tiba di depan rumah Refan. "Ayo masuk, Ca." Laki-laki itu memegang tangan Ica. Ia mengetuk pintu rumah yang sudah tertutup."Iya, sebentar." Suara perempuan menyahut dari dalam rumah. Itu adalah suara Tania—Ibu tirinya Refan. Laki-laki itu tampak kurang akrab dengan Ibu tirinya itu. Hal itu yang membuat sehingga ia memilih untuk bersekolah di luar kota. Sekalian, ia ingin melupakan kenangan yang pernah ada bersama Ibu kandungnya di kota ini."Refan? Hai, kamu Ica ya? Anaknya Pak Danu dan Bu Puspita," ucap Tania tersenyum ramah.Ica heran mendengar respon dari Tania. Sepertinya, Tania adalah orang yang baik. Mungkin, hanya saja Refan yang tidak menginginkan kehadiran seorang Ibu sambung. "Baik, Tante." Ica menundukan kepalanya sejenak."Kamu dari mana aja Refan?" tanya Budiman menghampiri mereka yang berada di depan pintu."Papa ... Refan tadi jalan sama Ica." Laki-laki itu mengenggam tangan Ica dengan erat. Batinnya takut kalau nanti Papanya akan mengusir Ica karena permasalahan yang ada di antara Papanya dan Ayahnya Ica.Budiman tersenyum simpul ke arah Ica, "ayo masuk, Ica!"Mendengar respon ramah yang diberikan oleh Papanya Refan, perasaan Ica sedikit lega. Ia masuk ke dalam rumah Refan. Sudah lama rasanya ia tidak masuk ke dalam rumah ini. Dulu, Refan sering mengajaknya untuk mengerjakan PR bareng-bareng atau bahkan makan siang bareng. Itupun saat Mama Kandung Refan masih belum berpisah dari Budiman.Tania sigap membuatkan minum untuk mereka berempat. Wanita itu duduk di samping Ica sembari mengelus-elus punggung tangan gadis itu. Ica merasa nyaman dengan perlakuan Tania. Hanya saja, ia masih takut untuk menatap Papanya Refan."Gimana, Ca? Kamu mau lanjut kemana ceritanya setelah lulus SMA ini? Om yakin sih kamu pasti lulus beasiswa, kan?" tebak Budiman asal.Gadis itu tertawa kecil. "Iya, Om. Tebakan Om benar. Ica lulus beasiswa, tapi ...."Ica menatap sendu ke arah Refan. Ia menghembuskan nafasnya perlahan. Mulutnya susah untuk menceritakan semua yang terjadi. Gadis itu berharap kepada Refan untuk menggantikannya menceritakan semuanya."Gini, Pa. Ica akan segera dijodohkan oleh Om Danu pada seorang CEO. Om Danu punya utang sebesar 90 Juta kepada Papanya CEO tersebut. Jadi, Papa CEO itu minta ke Om Danu agar Ica dijodohkan pada anaknya yang CEO itu. Ica ngga mau, Pa. Ica pengen ngejar mimpinya dulu. Lagian, saat ini Ica udah jadi pacar aku, Pa."Budiman sedikit terkejut mendengar penjelasan Refan. "Astaga! Ayah kamu keterlaluan Ica. Dia tega sama anak gadis satu-satunya. Bisa-bisanya dia melakukan hal itu!" Tampaknya Budiman marah pada sikap Danu."Berarti kalian pacaran? Sejak kapan?" tanya Tania ingin meredakan suasana."Baru tadi jadian, Tante. Ica sama Refan udah saling menyukai sejak SD, tapi kami ngga sadar akan rasa itu," jawab Ica tersenyum. Namun, mata Ica tertuju pada Budiman. Ia takut kalau Budiman tidak menyukai hubungannya dengan Refan."Wah! Selamat, ya!" ujar Tania ikut senang.Refan duduk di samping Papanya. "Pa? Papa ngga akan larang hubungan aku sama Ica, kan? Papa kan tau, kalau Ica itu teman aku dari kecil. Baru ini jumpa, Pa. Aku juga udah tau dari Ica tentang permasalahan Papa dan Ayahnya Ica. Aku mohon jangan benci Ica, Pa."Budiman menatap ke arah Ica dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. "Yang salah, kan, Ayahnya Ica. Lantas, untuk apa Papa membenci Ica juga?"Ica membantu Tania untuk menyediakan makan malam. Kebetulan juga, Tania saat ini sedang memasak banyak sekali makanan untuk menyambut anak sambungnya yang baru kembali pulang ke rumah setelah bertahun-tahun tidak pulang. "Kalian cocok, loh," ucap Tania tersenyum sembari mengambil beberapa piring dari rak yang tergantung. Ica tersenyum malu. "Tante bisa, aja." "Tante, serius," ujar Tania. Gadis itu mendekat ke arah Tania. "Tante, menurut Tante aku berjodoh ngga, ya, sama Refan? Aku tau sih jodoh diatur oleh Tuhan, tapi kalau aku mau jodoh aku Refan bukan CEO itu, bisa ngga, ya, Tante?" Tania tersenyum lembut menatap wajah polos Ica. "Tante akan selalu doain supaya kamu berjodoh dengan Refan. Kamu mau tau sesuatu, ngga? Dulu, Tante sama Papanya Refan itu teman SMP. Kami sama sekali ngga pernah dekat sewaktu SMP. Nah, saat SMA, Tante sepertinya menyukai dia, tapi Papanya Refan udah punya pacar, itulah Mamanya Refan. Tante berusaha untuk melupakan dia dengan cara pergi ke luar negeri
Kaki seorang gadis cantik yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, melangkah dengan cepat. Membawa sepucuk surat yang sepertinya sangat berarti baginya. Raut wajahnya menunjukkan bahwa saat ini ia sedang bahagia. Senyuman manis jelas tercetak di wajah polosnya itu. Marisya yang biasa dipanggil 'Ica' itu, tiba di depan sebuah rumah yang cukup sederhana. Rumah peninggalan Kakeknya yang diwariskan kepada Ayahnya—Danu. Ica langsung saja memasuki rumah hendak menyampaikan kabar yang membuatnya sangat bahagia kepada Ayah dan Ibunya. Gadis itu melihat kedua orang tuanya sedang duduk berdampingan. "Ayah, Ibu. Baca surat ini!" gumam Ica dengan sorot mata penuh bahagia. Puspita—Ibunya Ica mengambil surat yang disodorkan oleh Putrinya itu. Ia membaca surat itu bersama Danu—Suaminya. Raut wajah mereka berdua sama sekali tidak menunjukkan raut wajah bahagia ataupun bangga, padahal surat itu berisi pengumuman bahwa Ica mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan. "A
Ica mencoba menutup matanya sejak tadi. Hendak melelapkan dirinya sejenak. Namun, sayangnya ia tidak bisa tidur. Pikirannya selalu tertuju pada perkataan Ayahnya tadi. Dunianya benar-benar runtuh saat ini. Mungkin, inilah titik terendah dalam hidupnya. Gadis itu melangkah menuju dapur hendak mengambil segelas air. Mungkin saja dengan meminum segelas air dapat menyegarkan pikirannya. "Aku harus cerita ke siapa masalah ini?" gumam Ica seraya mengambil gelas di rak piring dengan tatapan kosong. Tidak sengaja, gelas itu terjatuh dari tangannya. Suara pecahan gelas membuat Puspita segera berlari ke dapur untuk melihat apa yang terjadi. Wanita itu melihat Putrinya tengah membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai. "Udah, Ca. Ibu aja yang bersihkan, ya. Kamu duduk aja. Nanti tangan kamu berdarah," ucap Puspita khawatir. Ica tersenyum simpul. "Ngga apa-apa, Bu." Ia menjawab Ibunya tanpa menoleh ke arah Ibunya. Sepertinya gadis itu masih merasa sedih dengan apa yang terjadi saat
Pria yang mengenakan kaos bergaris hitam itu, mendekat ke arah bangku yang ditempati Ica dan Refan. Raut wajah pria itu terkesan menahan amarah. Matanya tertuju ke arah Ica lalu ke arah Refan. "Halo, Om Danu." Refan tersenyum tipis hendak menyalam Ayahnya Ica. "Kamu siapa, ya? Kenapa duduk berduaan dengan Ica?" tanya Danu menatap sinis Refan. Takut akan terjadi keributan, Ica langsung menjawab pertanyaan Ayahnya, "jangan salah paham dulu, Yah. Ini teman SDnya aku dulu. Kalau Ayah ingat, dia Refan Aksara. Anaknya Pak Budiman," jelas Ica. "Siapapun dia, Ayah ngga mau kamu dekat-dekat dengan laki-laki lain. Gimana kalau Pak Boron tau kelakuan kamu Ica? Kamu ini akan segera menikah dengan orang yang tidak sembarangan. Orang dari keluarga terpandang. Jangan malu-maluin Ayah!" tegas Danu. Refan berusaha meredamkan emosi Danu. "Om, mending kita duduk dulu, ya, Om. Kita ngomong pelan-pelan." "Siapa kamu ngatur-ngatur saya?" ketus Danu. "Oke, Om. Gini, saya udah tau kalau Om punya utang
Ica membantu Tania untuk menyediakan makan malam. Kebetulan juga, Tania saat ini sedang memasak banyak sekali makanan untuk menyambut anak sambungnya yang baru kembali pulang ke rumah setelah bertahun-tahun tidak pulang. "Kalian cocok, loh," ucap Tania tersenyum sembari mengambil beberapa piring dari rak yang tergantung. Ica tersenyum malu. "Tante bisa, aja." "Tante, serius," ujar Tania. Gadis itu mendekat ke arah Tania. "Tante, menurut Tante aku berjodoh ngga, ya, sama Refan? Aku tau sih jodoh diatur oleh Tuhan, tapi kalau aku mau jodoh aku Refan bukan CEO itu, bisa ngga, ya, Tante?" Tania tersenyum lembut menatap wajah polos Ica. "Tante akan selalu doain supaya kamu berjodoh dengan Refan. Kamu mau tau sesuatu, ngga? Dulu, Tante sama Papanya Refan itu teman SMP. Kami sama sekali ngga pernah dekat sewaktu SMP. Nah, saat SMA, Tante sepertinya menyukai dia, tapi Papanya Refan udah punya pacar, itulah Mamanya Refan. Tante berusaha untuk melupakan dia dengan cara pergi ke luar negeri
Sejak tadi, Refan berusaha menghibur Ica dengan membawanya keliling-keliling menaiki motor. Refan sengaja memilih tempat yang agak jauh agar Ayah Ica tidak menemui mereka. Setelah melihat hari yang sudah hampir malam, Ica khawatir setelah ini dia harus apa. "Ref, aku harus gimana saat ini?" tanya Ica dengan raut wajah khawatir. "Gimana apanya, Ca?" Refan bertanya kembali karena ia sama sekali tidak mengerti maksud pertanyaan Ica. Ica menghembuskan nafasnya perlahan. "Aku harus tidur dimana malam ini, Ref? Ngga mungkin di rumah kamu, Ref." Gadis itu mengacak pelan rambutnya, "pasti Ibu sekarang khawatir sama keadaan aku."Laki-laki itu langsung memberhentikan motornya di pinggir jalan. "Kenapa ngga mungkin, Ca? Kalau untuk sementara, ngga apa-apa kok. Nanti aku bakal bilang ke Papa, aku yakin pasti Papa ngizinin." "Tapi, ngga akan mungkin Ref," sela Ica tidak percaya. Seketika Refan teringat dengan pertanyaan yang ada dalam benaknya sejak tadi di taman. Mengapa Ayahnya Ica tiba-ti
Pria yang mengenakan kaos bergaris hitam itu, mendekat ke arah bangku yang ditempati Ica dan Refan. Raut wajah pria itu terkesan menahan amarah. Matanya tertuju ke arah Ica lalu ke arah Refan. "Halo, Om Danu." Refan tersenyum tipis hendak menyalam Ayahnya Ica. "Kamu siapa, ya? Kenapa duduk berduaan dengan Ica?" tanya Danu menatap sinis Refan. Takut akan terjadi keributan, Ica langsung menjawab pertanyaan Ayahnya, "jangan salah paham dulu, Yah. Ini teman SDnya aku dulu. Kalau Ayah ingat, dia Refan Aksara. Anaknya Pak Budiman," jelas Ica. "Siapapun dia, Ayah ngga mau kamu dekat-dekat dengan laki-laki lain. Gimana kalau Pak Boron tau kelakuan kamu Ica? Kamu ini akan segera menikah dengan orang yang tidak sembarangan. Orang dari keluarga terpandang. Jangan malu-maluin Ayah!" tegas Danu. Refan berusaha meredamkan emosi Danu. "Om, mending kita duduk dulu, ya, Om. Kita ngomong pelan-pelan." "Siapa kamu ngatur-ngatur saya?" ketus Danu. "Oke, Om. Gini, saya udah tau kalau Om punya utang
Ica mencoba menutup matanya sejak tadi. Hendak melelapkan dirinya sejenak. Namun, sayangnya ia tidak bisa tidur. Pikirannya selalu tertuju pada perkataan Ayahnya tadi. Dunianya benar-benar runtuh saat ini. Mungkin, inilah titik terendah dalam hidupnya. Gadis itu melangkah menuju dapur hendak mengambil segelas air. Mungkin saja dengan meminum segelas air dapat menyegarkan pikirannya. "Aku harus cerita ke siapa masalah ini?" gumam Ica seraya mengambil gelas di rak piring dengan tatapan kosong. Tidak sengaja, gelas itu terjatuh dari tangannya. Suara pecahan gelas membuat Puspita segera berlari ke dapur untuk melihat apa yang terjadi. Wanita itu melihat Putrinya tengah membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai. "Udah, Ca. Ibu aja yang bersihkan, ya. Kamu duduk aja. Nanti tangan kamu berdarah," ucap Puspita khawatir. Ica tersenyum simpul. "Ngga apa-apa, Bu." Ia menjawab Ibunya tanpa menoleh ke arah Ibunya. Sepertinya gadis itu masih merasa sedih dengan apa yang terjadi saat
Kaki seorang gadis cantik yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, melangkah dengan cepat. Membawa sepucuk surat yang sepertinya sangat berarti baginya. Raut wajahnya menunjukkan bahwa saat ini ia sedang bahagia. Senyuman manis jelas tercetak di wajah polosnya itu. Marisya yang biasa dipanggil 'Ica' itu, tiba di depan sebuah rumah yang cukup sederhana. Rumah peninggalan Kakeknya yang diwariskan kepada Ayahnya—Danu. Ica langsung saja memasuki rumah hendak menyampaikan kabar yang membuatnya sangat bahagia kepada Ayah dan Ibunya. Gadis itu melihat kedua orang tuanya sedang duduk berdampingan. "Ayah, Ibu. Baca surat ini!" gumam Ica dengan sorot mata penuh bahagia. Puspita—Ibunya Ica mengambil surat yang disodorkan oleh Putrinya itu. Ia membaca surat itu bersama Danu—Suaminya. Raut wajah mereka berdua sama sekali tidak menunjukkan raut wajah bahagia ataupun bangga, padahal surat itu berisi pengumuman bahwa Ica mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan. "A