POV INA.
Satu jam aku menatap layar ponselku, aku bingung mau tuliskan pesan apa pada Aldo. Aku ingin sekali mengirimkan Kado untuk Zura, maksudku hanya ingin menanyakan alamat rumah mereka yang disana.
"Putriku ulang tahun, aku mau berikan dia kado dan ucapan. Berikan alamatmu."tulisku, aku dagdigdug saat chat itu di baca. Hingga Aldo mengetikpun aku masih cemas, takut-takut kalo dia gak mau berikan alamatnya. Namum kecemasanku itu tidak perlu. aldo mengirim alamatnya tanpa kata Yang lain. Aku segera menyalinnya ke kertas dan secepat kilat. Menghapus pesan itu. Hatiku teranyuh dan air mataku merintik. Aku sangat merindukan putriku. Dia masih terlalu kecil jika harus berpisah denganku. Aku tidak menyangka dia bisa tegar tanpa kami disana, begitu hebatkah pengaruh Aldo hingga sedikitpun dia tak rindukan aku. Aku berdiri dan beranjak ke meja kerjanya mas Feri mengambil secarik kertas dan pulpen. Aku menghela nafas dan coba m
TERIMA KASIH
POV ALDO. Setelah semalaman terjebak di gereja, akhirnya aku bisa kembali juga pulang, aku harus menemui Zura di rumah bang Dirga dia pasti sangat sedih sekali karna semalam adalah ulang tahunnya, aku tidak bisa bersamannya di hari bahagianya itu semoga saja di gak ngambek. Aku harus belikan dia sesuatu dulu dengan mampir ke toko membelikan kado bunga dan segala macem, aku memang belum sempat menyiapkan apa-apa untuknya. “Justin, lepaaskan aku.”terdengar kegaduhan di luar toko, bisa aku lihat Alice di tarik-tarik kekasihya untuk bisa ke mobil. Aku memperhatikan mereka untuk beberapa saat hingga aku bisa saksikan sendiri pria itu memukuli Alice, sebagai pria. Aku mengutuk keras kelakuan itu, aku tidak suka dengan lelaki yang kasar pada wanita reflek aku mendatanginya dan menghajar Justin, Alice hanya bisa menangis, “Heay.. kamu datang sebagai pahlawannya dia. Minggir kamu. Saya harus bawa dia.”ujarnya kembali aku menghunuskan tinju saat
POV RIVANO. “Zura..”panggilku yang datang bersama papa, polisi dan ambulance dia sesegukan menangis. Merebah di badan Om Aldo orang-orang sudah mulai ramai berdatangan sigap papa dan tim medis membantu membawa om Aldo ke atas ambulance, “Om, bangun.”teriak Zura juga ikut membuntuti ke atas mobil. Aku pun bergegas naik menemani Zura menangisi Om Aldo yang tampak pucat pasi dan dingin itu. Sedangkan seorang dokter berusaha menangani luka dan memeriksa nadinya. “Nadinya berdenyut detak jantung melemah.”ucapnya menarik pisau dan menyumbat lukanya Zura tak tega melihat hingga dia harus menyembunyikan wajahnya didadaku, aku hanya bisa mengelus bahunya. “Vano, Om bilang tadi Zura gak boleh mencabut pisaunya sendiri, takut kenapa-kenapa. Zura yakin Om berjuang banget untuk bangun lagi kan?”tangisnya, aku mengangguk dan mengelus kepalanya. “Iya Zura, Om. Gak akan kenapa-kenapa k
POV FERI. Sayup-sayup bisa aku dengar putriku merintih menangis, aku terbangun di malam hari dan terduduk dengan resah, entah kenapa kali ini aku tidak tenang, seolah ada seseuatu yang terjadi pada Zura. Aku hanya bisa mengatur nafasku yang terasa sesak ini, dan mencuci mukaku kekamar mandi,terasa mataku basah, aku memandangi pantulanku di cermin dengan mata berkaca-kaca. Aku sangat merindukan putriku entah sampai kapan aku bisa tenang melepaskannya pergi jauh. Tok tok tok.. Pintu kamar mandi di ketuk terdengar suara Ina memanggil. “Mas, kamu kenapa? Kamu baik-baik ajakan?”tanyanya, gegas aku kembali mencuci wajahku dan menghapus air mataku dengan handuk kecill. “Ya sayang, gak kenapa-kenapa.”sahutku beranjak ke pintu. Ina menatapku dalam saat aku membuka pintu. “Tak biasanya kamu bangun di tengah malam.”ujarnya, aku menghela nafas dan merangkulnya kembali ke tempat tidur. “Mas, mim
Diantara semilir angin dan dinginnya salju dari tanah pemakaman dengan gontai aku tumpukan lututku di kuburan yang masih basah akan di padati taburan bunga itu. “Om, Zura pamit pulang.” Lirihku mengusap nisan dengan air mata yang menetes. “Mungkin, cinta kita di uji dengan perpisahan seperti ini, Zura harus di tuntut kuat, karna cinta ini Om. Anak kita adalah kekuatanku sekarang, sebelumnya om selalu berikan dunia yang berbeda pada Zura. Dan sekarangpun sama. Hanya saja agak sedikit berat. Karna Zura akan lewatinya sendiri”nafasku tersengal dan coba menghela nafasku yang sesak kembali aku kecup nisan itu dan merintih. “Doakan Zura sanggup sayang, sepert pinta Om. Zura akan kuat. Om akan tetap ada disini dalam sanubari Zura walau kita sekarang dalam dunia yang berbeda.“ Dadaku terasa sakit dan berat, aku merebah melepaskan penat hati, dan merintih menangis dengan terisak-isak gemetar aku genggam tanah gundukan itu. “Sayang,
POV AZZURA Empat tahun berlalu banyak sekali hal yang telah aku lewati dan itu semua serasa tidak mudah tapi aku bisa, seperti janjiku pada Om Aldo, aku harus kuat. Ini mungkin balasan akan sikapku yang egois dan menuruti kata hatiku di perbudak cinta, banyak sekali hal baru yang terjadi. Kelahiranku yang nyaris saja meregang nyawa karna fase umurku yang masih terlalu kecil untuk melahirkan, dan aku bersyukur cintaku Aldo Burhania hadir kembali kedua ini, matanya dan senyumnya adalah wujud ayahnya, dia hidup dalam tubuh kecil ini. Dan tentunya Vano, ponakan dan sekaligus sahabatku lucu memang orang yang selalu ada saat aku butuh, dia bahkan yang paling mengkhawatirkan Al, saat proses lahiran, bersykur, tuhan masih berikan kami kesempatan untuk hidup. karna sibuk urus sekolah dan bantu papanya disana Vano hanya bisa kunjungi aku sebulan sekali ke Indo, aku tidak pernah minta tapi dia ingin menemui Aldo junior disini. “Papa… hari ini adalah hari ulang tahun Al,
Tuuuuut Tuuuuut Tuuuut… Panggilan itu tersambung tak butuh waktu lama bang Azzam mengangkat. Jantungku tiba-tiba tak beraturan untuk pertama kalinya setelah sekian tahun aku bicara pada saudaraku aku serasa sangat gugup sekali. “Hallo.’’ “Hal-lo”ucapku terbata. “Ya, saya bicara dengan siapa.” “Saya Direkture Al company, mohon maaf saya tidak bisa menghadiri meetingnya,”ujarku. “Al company? Zura? Apa ini kamu? Kenapa?apa kamu tidak mau menemuiku?.”ujarnya. “Saya masih di Amerika, jika berkenan. Kami wakilkan asisten kami saja.”ujarku, dia terdiam sesaat. “Aku merindukanmu, ini sudah sangat lama, sekalipun kamu tak pernah memberi kami kabar.?”ujarnya, aku mendegup dan kembali pada Topik pembicaraan. “Bagaimana bapak Azzam? apa Saya bisa mengirim asisten saya saja, jujur saya sangat menginginkaan kerja sama kita masih tetap lanjut,”ujarku bicara dengan profesional aku
POV AZZURA. Malam ini aku mengemasi barang-barang untuk persiapan berangkat ke amerika besok, “Mama, besok di pesawat kita bisa lihat papa gak sih? Kata mama papa ada di langit.’’ucap putraku yang merebah di atas tempat tidur disebelahku itu, sementara aku sibuk mengemasi pakaiannya kedalam koper. Aku terdiam sejenak dan menoleh padanya. “Papa ada di langit, tapi kita gak akan bisa lihat.”ujarku, dia manyun dan kembali membenamkan wajahnya di bantal. “Trus, kapan Al, ketemu papa mah. ‘’rengeknya, aku mendegup dan berkata membelai rambutnya. “Kamu tidurlah. Dan lihatlah papamu dalam mimpi.”ujarku dia menghela nafas dan berkata. “Baiklah, semoga saja dalam mimpi papa mau mengajak bermain dengan Al dan menggendong Al di pundaknya.’’ujarnya. aku diam saat mengelus-ngelus wajah putra kecilku itu “Ya sudah sayang, kamu tidur ya. Besok kita
POV AZZURA. “Aldo…”sambut bang Dirga datang-datang mendekap dan memeluknya. “Kamu sudah semakin gede aja ini ya,”timpalnya “Om Dirga. Bang Vano mana Al, kangen.’’ucap bos kecil. “Ada bang Vano masih ada urusan kampus sebentar, dia akan kembali sebentaar lagi.” Olivia dan Allexa yang juga menyambut itu mengajak ke ruang keluarga. “Terima kasih Zura, kamu sudah lama sekali tidak datang, kami semua sudah sangat merindukan Aldo.”ujarnya aku tersenyum melihat Aldo di gendong dan di ajak bermain ke taman oleh omnya itu. “Saya rindu juga tempat ini, selainuntuk wisudanya Vano saya ingin memperlihat makamnya Om Aldo pada Al, sudah waktunya dia tau.”jelasku dengan bahasa berat, Olivia mengelus bahuku. “Kamu yang sabar ya.”lirihnya aku mengangguk, dan Oliv berdiri menemui pembantunya didapur, b
POV AZZAM“ Pihak Shanum sama sekali tidak mengubris.” Ucap Naira melempar ponselnya ke atas ranjang, sejenak aku abaikan itu dan mencari pakaianku di lemari. Naira terus saja mendumel.“Udah ya Nai, jangan terlalu di pikirkan, ngabisin tenaga tau lebih baik kita bahas yang lain.’’“Tapi Kak,kayaknya kakak itu jauh lebih santai menghadapi ini?’’ Ucapnya tak habis pikir, sedikit aku menoleh pada Naira dan mengenakan piyama tidur.“Ya ampun Nai, kamu juga ngapain terlalu di pikirin? Lagi pula ini bisa di selesaikan, tanpa harus kamu buang-buang tenaga, karna kan kenyataannya, bayi itu bukan tanggung jawabku.’’ Geramku tak habis pikir, Naira terdiam sejenak dan tertunduk dengan manyun, aku menghela nafas panjang dan membuangnya, melihat istriku terdiam begitu aku mendekat padanya dan duduk di sampingnya.“Aku ak
POV INA.“Papa…,” panggilku saat mencari mas Feri di kamar, karna sibuk dengan urusan rumah, aku jadi sedikit mengabaikannya, aku melihat berkas dan laptop mas Feri di atas kasur namun bunyi mobilnya terdengar melaju keluar pagar.“Loh mas Feri mau kemana?’’ bisikku membuka jendela aku menoleh ke barang-barangnya di kasur mendekat dan menghenyak di kasur,“Mungkin mas Feri keluar sebentar, kalau ke kantor gak mungkin dia tinggalkan barang-barangnya.” Bisikku, aku memeriksa tas dan dan dompetnya, sedikit aku menautkan alis melihat ada kartu nama dokter spesialis,“Mas Feri, konsul pada dokter spesialis penyakit dalam buat apa?’’ bisikku coba mengotak atik semua berkas dan tasnya, namun aku tidak temukan apa-apa selain kartu nama itu, aku mulai cemas dan coba menghubunginya.Tuuuuuuut…..Panggilan itu tersambung dan
POV AZZAM.Ting nong…Bunyi bel bergema, Aku yang tengah menunggu Naira di ruang keluarga itu sedikit beringsut dan menoleh kea rah pintu, bisa aku lihat Art bergegas membukakan pintu. Aku juga menyusul karna aku tau itu papa, mama dan yang lainnya.“Siang papa..” sambutku pada keluargaku, dengan girang dua adik gadisku mengejar, akupun bersimpuh mendekap keduannya, mungkin mereka sangat merindukannku karna sudah beberapa minggu tidak bertemu.“Bang Azzam, Tata sangat merindukan bang Azzam.’’ Ucap bibir mungil salah satu dari mereka. Aku tersenyum manis dan mengacak rambut keduanya.“Abang Azzam, juga sangat merindukan kalian.”“Papa mama, ayo semua masuk.” Ajak Naira yang telaah turun dari kamarnya, aku berdiri dan mengajak mama masuk.“Ayo pa..”
POV RARA.Dengan langkah gontai aku temui mas Bagas di kliniknya, semenjak pertikaian itu dia tidak pernnah menemuiku kerumah tidak mau bicara denganku atau bahkan mengusirku, langkahku terhenti saat mendengar chanel televise yang di tonton mas Bagas adalah berita terbaru tentang Shanum, tampak media mengkrumini apartemen anakku itu, aku mendegup dan berniat hendak kembali mas Bagas pasti tidak senang dengan berita ini.“Kamu lihat, anak yang besar karna asuhanmu.”ucapnya tanpa menoleh akupun menghentikan langkahku dan menoleh padanya.“Dia hanya bisa buat malu keluarga.”geramnya, aku menghela nafas dan bersiap hendak pergi lagi, mengajak bicara mas Bagas dalam kondisi seperti ini juga tampaknya sia-sia lebih baik aku pergi sekarang.“ Kamu mau kemana?” cegatnya, langkahku kembali terhenti dan enggan menoleh.“
POV INA.Aku sangat di buat sibuk dengan acara yang akan mendatang, tapi tak mengapa demi Azzura aku harus lakukan semua ini, pesta pernikahan yang terbaik yang sesuai dengan impiannya."Mama sayang, mama dari mana sih."sambut putriku itu mendekap dan mencium pipi, sedikit aku berdengus dan tersenyum hangat."Mama habis dari gedung, dan kamu tau semua gedung itu bagus-bagus, mama jadi bingung mau sewa yang mana." ucapku, Zura sedikit manyun dan menghenyak di sofa."Kok mama gak ngajak?" aku menggeleng dan ikut juga menghenyak."Memang harus ya bawa kamu?""Ya iyalah, oh iya, mama tadi kekantor papa, papa mana?" tanyaku, aku sedikit melapas blezer dan meletakkan tas. 'papa lagi sibuk jadi mama pulang duluan oh iya, aanak-anak mana. Mama capek mau langsung istiraahat.""Ya udah mama istirahat aja, ma kalau baju pengantinyaya boleh gak Zura aja yang pilih bareng Vano?"tanya anakku, aku te
POV AZZAMPagi hari ini, kami tegah bersantai di ruang keluarga, selain menghibur mbak natsya yang tengah bersedih karna pengkhianatan Arga, Naira juga sedikit kurang enak badan, dan aku tak bisa kekantor melihat kondisinya."Selamat siang tuan nyonya." ucap Art, kemi semua menoleh."Ya ijah?""Itu nyonya, aden Arga pulang, dan dia-"ucapan Inem berhenti karna mbak Natsya berdiri, Naira yang tiduran di pahaku dari tadi juga beringsut untuk duduk"Apa mas Arga, membawa wanita itu?"bisiknya aku juga penasaran dan menoleh ke pintu, papa dan mama mertua juga tampak menyimak, hingga tak butuh waktu lama mereka bertiga masuk, dan tentunya bersama Shanum. Aku mendegup. Naira menggertakkan rahangnya dan berdiri, namun aku cegat dengan mencengkram lengannya."Sayang, jangan. Kita cukup nyimak saja."bisikku."Berani sekali dia, d
POV NAIRA.Kak Azzam tega sekali padaku, dia menyalahkan sikapku dan memperdulikan Shanum. Apa aku salah kalau aku menamparnya,“Ah sudahlah, aku bisa setres. Lebih baik sekarang aku temui mbak Natsya dulu di kamar.”bisikku sembari berjalan kekamar mbak natsya walau kesal dengan tingak dua pria dirumah ini yakni kak Azzam dan mas Arga, aku harus kasih perhatian pada mbakku, bagaimanapun sekarang dia sangat terpuruk sekali“Mbak….,’’ panggilku saat sudah sampai di pintu kamarnya, sedikit aku terheran karna kamarnya sunyi, aku mengerinyitkan dahi dan coba berfikir.“Apa mbak Nats, menemui mas Arga sekarang?”bisikku, aku membalik bergegas menuruni anak tangga dan berpapasan dengan papa dan mama di bawah.“Nai, kamu bukannya baru pulang ya kok pergi lagi?” tanya mama, aku sedikit menghela nafas dan berkata.
POV RARA.Sudah lelah aku mencari Shanum kemanapun, semalam dia pergi dari rumah karna marah padaku dan sekarang ini sudah hendak malam lagi,, nomornya belum lagi aktif aku sangat bingung sekali. Mana sekarang papinya sudah tidak peduli lagi padanya aku harus cari anakku kemana bahkan aku gak tau sekarang dia diimana, terkahir yang aku tau dia dekat dengan seorang pengusaha iparnya nya Azzam, mungkin aku bisa menghubungi Azzam?“Semoga saja aku masih punya kontaknya.”bisikku mengotak atik ponsel, namun aku kesal karna aku tidak punya kontak Azzam selain mas Feri.“Apa aku hubungi mas Feri? Tapikan nanti aku tanya apa? Mungkin aku bisa tanyakan nomor Azzam? Tapi apa nanti aku tidak dianggap sok akrab? Ah sialan sekali..”gerutuku sendiri akhirnya dengan ragu aku menghubungi juga nomor iitu.Tuuuuuuut.Aku gemetar saat panggilan itu tersambung
POV INA.Bahagia tak terhingga saat mas Feri rangkul dan peluk aku, menyaksikan kebahagian putrinya setelah sekian lama ia tampak merelakan Zura dengan orang yang tepat.“Akhirnya Zura menemukan seseorang yang sangat mencintainya,”lirihnya, bisa aku lihat ada yang terbendung di sudut matanya, aku terharu bersandar di bahu bidang suamiku itu.“Semoga selamanya kita akan tetap dapatkan kebahagiaan, jangan ada kesedihan lagi pah.”lirihku, mas Feri mengusap kepalaku dan mengecup keningku.“Hidup akan terus berjalan mama, suka duka itu pasti ada, hanya saja bagaimana kita menghadapinya.’’tuturnya aku tersenyum simpul dan berkata.“Dan aku ingin menjalani suka duka itu bersama Papa selamanya.’’ujarku mas Feri terkekeh kembali mendekapku erat.“Jangan manja, kamu ini tidak muda lagi. coba biasakan tanpa diriku.&rsq