POV FERI
Pagi berkunjung, untuk pertama kalinya aku bisa menatap matahari terbit dalam pelukan istriku aku tersenyum sembari mengelus-ngelus wajah cantiknya,
“Sayang bangun, kita harus kekantor.”ujarku mengecup bibirnya sontak Ina menggeliat dan membuka matanya.“Kamu mandi gih,”ujarku Ina keluar dalam pelukan dan duduk menatap mentari pagi dari celah-celah gorden.“mas ada yang berbeda di pagi hari..”lirihnya membuka tirai gorden dengan senyum, aku beringsut dan tersenyum menghampirinya.“Ada apa?”“Gak tau..”singkatnya dengan senyum simpul. Aku mendekat merekahkan senyum hangat mengelus pipinya dan berkata.“Apa kamu senang bisa meluk mas semalaman?”tanyaku Ina tertunduk dengan sedikit senyum, nafasku sedikit lega melihat perubahannya.“Boleh mas peluk lagi?”pintaku Ina menghela nafas sedikit, dan mengangguk pelan. Reflek aku memeluk tubuhnya,“Makasih ya sayang.”POV FERI Sial, kenapa aku bisa kebablasan begitu tadi sama Rara, ini sangat meresahkan sekali sepertinya setelah sekian lama bersabar aku tidak biisa mengontrol syahwatku lagi. Dan kesalnya kenapa Rara malah nurut dan diam saja, lebih mengejutkan lagi dia malah minta nikahin, aku harus bagaimana. Aku mencintai Ina. Rasanya aku tidak sanggup jika harus mengkhianati janji pernikahan kami. Karna memang dari awal aku sudah fikirkan resiko ini, “Tuhan beri aku kesabaran supaya aku tidak salah melangkah,”bisikku gundah. Sembari mengusap wajahku, malam sudah semakin larut otakku tak bisa berpikir dengan baik, tadinya aku fikir ini akan berhasil, karna kata psikolognya, tanamkan rasa ingin tau tentang indahnya bercinta pada Ina, tapi sama sekali dia tidak peduli, yang ada aku sendiri yang terjerat disini, aku sadar aku juga salah pada Rara, aku telah mengaduk-aduk perasaan gadis itu, wajar memang dia menyimpan perasaan untukku. Aku egois jika aku berfikir dia harus p
POV FERI Aku Terduduk lesu di tepi ranjang hotel setelah bangun dari tidurku, kembali aku hela nafas sesak saat mematikan ponsel, ada beberapa panggilan tak terjawab darii Ina, aku lagi males bicara pada Ina sekarang, mungkin aku harus menjauh dulu dari hidupnya agar dia puas. Aku sudah sangat putus asa sekali sekarang, apa yang harus aku lakukan. Untuk menyembuhkan Ina segala cara sudah aku tempuh bahkan telah membawa wanita lain ke dalam rumah tangga kami, bergegas aku kekamar mandi dan berkemas, hari ini aku akan temui seseorang yang berpengaruh bagi hidup Ina.Yang selama ini selalu menannyakan kabar Ina dan berharap Ina baik-baik saja, ya itu ningsih ibu kandungnya Ina, aku tidak pernah beri tau Ina kalo aku masih aktif berkomunikasi dengan ibu kandungnya karna memang Ina tidak ingin bertemu dengan ibunya. Setelah selesai berkemas, aku keluar dari hotel dan melaju ke kontrakan mertuaku itu, Sesampai disana aku mengetuk pintu dengan tertatih dan terbopoh wanit
POV RARA “Tolong, jaga sikapmu, kamu tau siapa dia yang kamu ganggu?’’ucapnya lirih dengan gigi tergetakkan, aku coba menyimak dengan rasa cemas bahwa mba Ina bisa saja bertindak lebih, “Mba ini siapa?, saya hanya mencoba membujuk pacar saya.’’ujar Aldo, Mba Ina tampak menoleh ke lain arah, dan berkata. “Pacar katamu, dia itu sud-‘’ ucapan mba Ina aku cegat dan tergesa aku mengenggam lengannya. “Mba kita pulang aja ya, males juga ladeni dia”ujarku melirik Aldo. ‘’Tapi Ra, kita harus bicara.”ucapnya berusaha mencengkram lenganku namun melihat tatapan sinis mba Ina pada tangan Aldo membuat dia harus melepaskann pegangannya perlahan, merasakan Aldo tak mengenggamku lagi aku menyeret mba Ina dan menjauh. Sesampai di mobil, aku bungkam tak tau harus berkata apa pada mba Ina, dia menghidupkan mesin mobil dan menggerutu, “Banyak sekali orang yang tidak waras didunia ini”gerutunya, aku menghela nafas dan ber
Pagi berkunjung untuk pertama kalinya aku tidak semangat bangun pagi dirumah ini, rasanya aku tidak percaya bahwa aku akan pergi, aku mendengar suara dari dapur, reflek aku berdiri dan melihat sepasang kekasih itu, mas Feri tampak menemani mba Ina membuatkan sarapan sambil sesekali mencandainya entah kenapa hatiku hangat melihatnya, segera aku kembali kedalam dan bersiap untuk mandi. Aku harus siapkan barang-barangku, aku harus pergi seperti yang dikatakan mas Feri semalam, ku coba tarik nafas dalam dan membuangnya berat entah kenapa ada sesak didadaku, rasanya aku tidak sanggup untuk pergi. Di jam Sembilan pagi, aku sudah rapi dan beranjak keluar. “Ayo Rara kita sarapan dulu,”pinta mba Ina menyeretku ke meja, sontak aku nanar melihat tingkahnya aku coba melirik mas Feri untuk minta jawaban dari wajahnya namun dia memasang wajah datar, mungkin dia belum kasih tau mba Ina tentang semuanya, aku menghenyak di kursi dan coba diam. Mba Ina tampak senyum melirik se
POV RARA Tiga Hari berlalu, aku sudah sangat bosan dengan keadaan rumah yang selalu ribut, mama dan ayah tiriku selalu saja cekcok tentang keuangan yang semakin menipis salah sendiri dia memilih pria miskin setelah selama ini mama tak pernah inginpunya suuami kere mungkin karna mama merasa dia sudah kaya hingga membiyai hidup parasit itu, dalam lamunanku di kamar, mama datang meghampiriku, TRAKT Bunyi pintu kamar terbuka “Rara, kamu punya taabungan gak? Mama pinjam donk, mama dah setres ini, keuangan kita makin menipis”gerutu mama saat menemuiku, aku reflek geleng-geleng dengan sedikit terkekeh mendengar itu. “Ma, aku dah gak pulang sampai sebulanan, tapi pas aku pulang bukannya bertanya aku kemana aja? Aku gak punya uang mah, aku bekerja untuk diriku sendiri, lagian saat Rara butuh mama dimana?”tanyaku meliriknya mondar- mandir didepanku. Dia memijit sedikit dahinya dan berkata. “Mama tak habis pikir kenapa bisa mama s
POV INA Setelah dari kamar Rara tadi aku kembali kekamarku, bisa aku lihat mas Feri berdiri di balkon sembari menatap langit cerah, aku mendekat dan coba menyapanya. “Mas,” sapaku dia menoleh sebentar dan kembali menatap langit yang sudah mulai berbias jingga itu, dia tampak menggetarkan bibirnya seolah ragu tentang apa yang akan dia katakan. “Kamu terlalu fokus pada Rara hingga tak pedulikan phobiamu,’’ ujarnya, aku tertunduk dan coba menghela nafas berat. “Aku sudah menyerah mas, Ina merasa hidup Ina sudah normal. Sudah, kita tak perlu buang-buang waktu. Terima kasih kamu telah membawa Rara kerumah ini.’’ujarnya. mas Feri terdengar berdesih reflek meremas bahuku dan berkata. “Setelah semua ini, aku bahkan berharap kamu itu normal Ina, kamu tau? Sakit saat aku coba terangkan pada diriku bahwa istriku tidak normal. Tolong buat aku mengerti bahwa istriku baik-baik saja.”ujarnya. aku menatap bulat bolan matanya, “Ada
POV FERI “Mas, aku pergi ke tempat mama untuk sementara waktu, mas tolong prioritaskan Rara, seperti aku dia juga butuh kamu mas, hak kami sama. Kita telah menarik Rara masuk kedalam keluarga kita,tolong prilakukan dia dengan baik, dia bukan pelampiasan hasratmu, dia juga pantas di cintai. Jangan cari aku, Ina akan kembali jika Ina ingin kembali, mas tenang saja untuk sekarang beri waktu untu Rara.”tulis Ina Reflek meremas kertas itu dan menghubunginya, aku dapati nomor itu aktif tapi tidak di angkat. Aku makin kesal hingga membuang ponsel dan kertas itu. Trakt… Bunyi pintu kamar terbuka Reflek aku menoleh dan melihat Rara di pintu pagi ini dia tampak berbeda dia terlihat pucat, tapi aku tidak peduli “Mba Ina kemana?, saya tidak melihatnya dari pagi.’’ujarnya. aku berdengus pelan dan berkata. ‘’Dia pulang aku akan menyusul, mungkin rumah ini akan kosong. Kamu bisa pergi. Atau tinggal disini terserah, aku tau kamu
POV RARA. “Mas Feri kok lama banget ya,”ujarku coba beranjak dan temui mereka dikamar. Aku terus saja berjalan hingga sampai di depan pintu kamar mba Ina, sontak aku diam mematung saat mendengar mba Ina berkata. “Sentuh aku mas?”ucapynya, aku langsung kepo dan mengintip pada daun pintu yang masih sedikit terbuka itu. Bisa aku lihat mas Feri mencoba menyentuh lekuk tubuh mba Ina lembut, untuk sejenak ada rasa ingin menghentikan, tapi kembali aku sadar akan posisiku, walau mas Feri telah mengikat aku dengan sebuah ikatan, tapi aku tau cintanya sama Mba Ina begitulah besar, nafasku tersengal dan air mataku merintik saat mas Feri cumbui istrinya aku lebih terkejut lagi reaksi mba Ina tidak ada perlawanan, aku membalik dengan sedikit mengelus dadaku dan terisak. Langkahku gontai kembali kekamar dengan air mata mengucur deras. “Mas kenapa Ini sakit sekali.”bisikku dengan sedikit mengelus dadaku. Aku meghempaskan badanku kekasur sembari menangis merintih
POV AZZAM“ Pihak Shanum sama sekali tidak mengubris.” Ucap Naira melempar ponselnya ke atas ranjang, sejenak aku abaikan itu dan mencari pakaianku di lemari. Naira terus saja mendumel.“Udah ya Nai, jangan terlalu di pikirkan, ngabisin tenaga tau lebih baik kita bahas yang lain.’’“Tapi Kak,kayaknya kakak itu jauh lebih santai menghadapi ini?’’ Ucapnya tak habis pikir, sedikit aku menoleh pada Naira dan mengenakan piyama tidur.“Ya ampun Nai, kamu juga ngapain terlalu di pikirin? Lagi pula ini bisa di selesaikan, tanpa harus kamu buang-buang tenaga, karna kan kenyataannya, bayi itu bukan tanggung jawabku.’’ Geramku tak habis pikir, Naira terdiam sejenak dan tertunduk dengan manyun, aku menghela nafas panjang dan membuangnya, melihat istriku terdiam begitu aku mendekat padanya dan duduk di sampingnya.“Aku ak
POV INA.“Papa…,” panggilku saat mencari mas Feri di kamar, karna sibuk dengan urusan rumah, aku jadi sedikit mengabaikannya, aku melihat berkas dan laptop mas Feri di atas kasur namun bunyi mobilnya terdengar melaju keluar pagar.“Loh mas Feri mau kemana?’’ bisikku membuka jendela aku menoleh ke barang-barangnya di kasur mendekat dan menghenyak di kasur,“Mungkin mas Feri keluar sebentar, kalau ke kantor gak mungkin dia tinggalkan barang-barangnya.” Bisikku, aku memeriksa tas dan dan dompetnya, sedikit aku menautkan alis melihat ada kartu nama dokter spesialis,“Mas Feri, konsul pada dokter spesialis penyakit dalam buat apa?’’ bisikku coba mengotak atik semua berkas dan tasnya, namun aku tidak temukan apa-apa selain kartu nama itu, aku mulai cemas dan coba menghubunginya.Tuuuuuuut…..Panggilan itu tersambung dan
POV AZZAM.Ting nong…Bunyi bel bergema, Aku yang tengah menunggu Naira di ruang keluarga itu sedikit beringsut dan menoleh kea rah pintu, bisa aku lihat Art bergegas membukakan pintu. Aku juga menyusul karna aku tau itu papa, mama dan yang lainnya.“Siang papa..” sambutku pada keluargaku, dengan girang dua adik gadisku mengejar, akupun bersimpuh mendekap keduannya, mungkin mereka sangat merindukannku karna sudah beberapa minggu tidak bertemu.“Bang Azzam, Tata sangat merindukan bang Azzam.’’ Ucap bibir mungil salah satu dari mereka. Aku tersenyum manis dan mengacak rambut keduanya.“Abang Azzam, juga sangat merindukan kalian.”“Papa mama, ayo semua masuk.” Ajak Naira yang telaah turun dari kamarnya, aku berdiri dan mengajak mama masuk.“Ayo pa..”
POV RARA.Dengan langkah gontai aku temui mas Bagas di kliniknya, semenjak pertikaian itu dia tidak pernnah menemuiku kerumah tidak mau bicara denganku atau bahkan mengusirku, langkahku terhenti saat mendengar chanel televise yang di tonton mas Bagas adalah berita terbaru tentang Shanum, tampak media mengkrumini apartemen anakku itu, aku mendegup dan berniat hendak kembali mas Bagas pasti tidak senang dengan berita ini.“Kamu lihat, anak yang besar karna asuhanmu.”ucapnya tanpa menoleh akupun menghentikan langkahku dan menoleh padanya.“Dia hanya bisa buat malu keluarga.”geramnya, aku menghela nafas dan bersiap hendak pergi lagi, mengajak bicara mas Bagas dalam kondisi seperti ini juga tampaknya sia-sia lebih baik aku pergi sekarang.“ Kamu mau kemana?” cegatnya, langkahku kembali terhenti dan enggan menoleh.“
POV INA.Aku sangat di buat sibuk dengan acara yang akan mendatang, tapi tak mengapa demi Azzura aku harus lakukan semua ini, pesta pernikahan yang terbaik yang sesuai dengan impiannya."Mama sayang, mama dari mana sih."sambut putriku itu mendekap dan mencium pipi, sedikit aku berdengus dan tersenyum hangat."Mama habis dari gedung, dan kamu tau semua gedung itu bagus-bagus, mama jadi bingung mau sewa yang mana." ucapku, Zura sedikit manyun dan menghenyak di sofa."Kok mama gak ngajak?" aku menggeleng dan ikut juga menghenyak."Memang harus ya bawa kamu?""Ya iyalah, oh iya, mama tadi kekantor papa, papa mana?" tanyaku, aku sedikit melapas blezer dan meletakkan tas. 'papa lagi sibuk jadi mama pulang duluan oh iya, aanak-anak mana. Mama capek mau langsung istiraahat.""Ya udah mama istirahat aja, ma kalau baju pengantinyaya boleh gak Zura aja yang pilih bareng Vano?"tanya anakku, aku te
POV AZZAMPagi hari ini, kami tegah bersantai di ruang keluarga, selain menghibur mbak natsya yang tengah bersedih karna pengkhianatan Arga, Naira juga sedikit kurang enak badan, dan aku tak bisa kekantor melihat kondisinya."Selamat siang tuan nyonya." ucap Art, kemi semua menoleh."Ya ijah?""Itu nyonya, aden Arga pulang, dan dia-"ucapan Inem berhenti karna mbak Natsya berdiri, Naira yang tiduran di pahaku dari tadi juga beringsut untuk duduk"Apa mas Arga, membawa wanita itu?"bisiknya aku juga penasaran dan menoleh ke pintu, papa dan mama mertua juga tampak menyimak, hingga tak butuh waktu lama mereka bertiga masuk, dan tentunya bersama Shanum. Aku mendegup. Naira menggertakkan rahangnya dan berdiri, namun aku cegat dengan mencengkram lengannya."Sayang, jangan. Kita cukup nyimak saja."bisikku."Berani sekali dia, d
POV NAIRA.Kak Azzam tega sekali padaku, dia menyalahkan sikapku dan memperdulikan Shanum. Apa aku salah kalau aku menamparnya,“Ah sudahlah, aku bisa setres. Lebih baik sekarang aku temui mbak Natsya dulu di kamar.”bisikku sembari berjalan kekamar mbak natsya walau kesal dengan tingak dua pria dirumah ini yakni kak Azzam dan mas Arga, aku harus kasih perhatian pada mbakku, bagaimanapun sekarang dia sangat terpuruk sekali“Mbak….,’’ panggilku saat sudah sampai di pintu kamarnya, sedikit aku terheran karna kamarnya sunyi, aku mengerinyitkan dahi dan coba berfikir.“Apa mbak Nats, menemui mas Arga sekarang?”bisikku, aku membalik bergegas menuruni anak tangga dan berpapasan dengan papa dan mama di bawah.“Nai, kamu bukannya baru pulang ya kok pergi lagi?” tanya mama, aku sedikit menghela nafas dan berkata.
POV RARA.Sudah lelah aku mencari Shanum kemanapun, semalam dia pergi dari rumah karna marah padaku dan sekarang ini sudah hendak malam lagi,, nomornya belum lagi aktif aku sangat bingung sekali. Mana sekarang papinya sudah tidak peduli lagi padanya aku harus cari anakku kemana bahkan aku gak tau sekarang dia diimana, terkahir yang aku tau dia dekat dengan seorang pengusaha iparnya nya Azzam, mungkin aku bisa menghubungi Azzam?“Semoga saja aku masih punya kontaknya.”bisikku mengotak atik ponsel, namun aku kesal karna aku tidak punya kontak Azzam selain mas Feri.“Apa aku hubungi mas Feri? Tapikan nanti aku tanya apa? Mungkin aku bisa tanyakan nomor Azzam? Tapi apa nanti aku tidak dianggap sok akrab? Ah sialan sekali..”gerutuku sendiri akhirnya dengan ragu aku menghubungi juga nomor iitu.Tuuuuuuut.Aku gemetar saat panggilan itu tersambung
POV INA.Bahagia tak terhingga saat mas Feri rangkul dan peluk aku, menyaksikan kebahagian putrinya setelah sekian lama ia tampak merelakan Zura dengan orang yang tepat.“Akhirnya Zura menemukan seseorang yang sangat mencintainya,”lirihnya, bisa aku lihat ada yang terbendung di sudut matanya, aku terharu bersandar di bahu bidang suamiku itu.“Semoga selamanya kita akan tetap dapatkan kebahagiaan, jangan ada kesedihan lagi pah.”lirihku, mas Feri mengusap kepalaku dan mengecup keningku.“Hidup akan terus berjalan mama, suka duka itu pasti ada, hanya saja bagaimana kita menghadapinya.’’tuturnya aku tersenyum simpul dan berkata.“Dan aku ingin menjalani suka duka itu bersama Papa selamanya.’’ujarku mas Feri terkekeh kembali mendekapku erat.“Jangan manja, kamu ini tidak muda lagi. coba biasakan tanpa diriku.&rsq