Siang ini. Aku menunggu Suamiku keluar dari klinik dan menemuiku untuk makan siang dirumah.
“Sup buat Dokter udah bik?”tanyaku pada pembantuku, gegas dia cek kematangannya di kompor dan menyalinnya ke mangkuk.
“Ini nyah, udah.”sigapnya membawanya padaku, dari pintu papi Shanum tampak datang dan menenteng jas Dokter dan tasnya, sigap aku menghampiri dan menciumi tangannya.
“Kamu masak apa sayang?”ujarnya merangkul dan mengecup keningku.
“Itu pi, Mimi siapin sup, ayo pi kita makan. Mimi harus jemput Shanum setelah ini.”ujarku. mas Bagas beranjak ke meja makan. Dia tampak senang dan langsung duduk. Aku juga ikut menghenyak sembari tetap diam entah kenapa pikiranku terganggu akan kejadian pagi hari ini disekolahnya Shanum. Andai tadi aku ketemunya mas Feri bukan mba Ina, mungkin aku tidak seresah ini, jujur jauh di lubuk hatiku aku rindu bicara dengannya, melihat senyumnya dari dekat seperti dulu. Tapi apalah da
POV FERI.Hari ini aku terkejut karna aku dapati sebuah benda yang selama ini harusnya menghilang dari pandanganku, tapi kenapa aku kembali melihat cincin pemberian Aldo ini dikamar kami setelah sekian tahun, lama aku pandangi dan setelahnya aku letakkan kembali dalam laci itu, aku sempet berfikir kenapa cincin itu bisa kembali apa Ina masih berkomunikasi dengan Aldo, bisa jadi sih mungkin ini alasannya dia bisa hadirr-hadir tiba hingga menyeret-nyeret Zura dalam masalah ini, tanpa pikir panjangpun aku temui putriku di kamarnya.Tok Tok Tok..“Sayang boleh papa masuk?”ucapku. Zura yang tampak merapikanboneka-bonekanya itu tampak menoleh dengan senyum,“Boleh pa, silahkan.”ujarnya, aku melangkah dan ikut menghenyak di tempat tidur putriku itu.“’Zura lagi ngapain?”tanyaku. dia tampak sibuk dan fokus menata letak bonekanya di atas laci dan kaca riasnya.“Ini pah, bonekanya dah keb
POV INA.Tuuuuuut... TuuuuutBerkali-kali aku menghubungi nomor ibuk tapi belum di respon, setelah tadi aku tanya ke mama, Mas Feri tidak datang kesana. Dan sekarang aku yakin dia pasti ke tempat ibuk. Satu hal yang masih terganjal di hatiku yaitu kenapa mas Feri bisa mengingat semuanya tiba-tiba, atau jangan-jangan selama ini dia tidak pernah melupakan semua itu, aku berdesih saat membayangkan sepanjang perjalanan yang panjang ini, mas Feri masih mengingat semuanya dengan baik. Pelik dan berlikunya masalah rumah tangga kami di hari lalu, dan yang terburuk adalah. Aku tidak memendam semua rasa bersalah itu sendiri. Melainkan mas Feri masih bisa mengingatnya."Oh Tuhan..."lirihku menyibak belahan rambutku dan kembali coba menghubungi nomor mas Feri dan ibu kandungku itu. Semoga saja dia disana.Tuuuuuut Tuuuuut.Untuk kesekian kalinya baru bisa di angkat."Halo nak maaf hapenya tak tinggal ke waru
POV FERI.Kenapa semua ini terasa tidak adil, Apakah sebenarnya yang terjadi pada Ina, apa dia tidak mencintaiku sebesar aku mencintainya, segalanya telah aku usahakan hanya untuk dirinya seorang, tapi baginya memegang kepercayaanku saja dia tidak bisa, begitu dalamkah kenangan dan segala tentag Aldo hingga dia tidak bisa hapuskan semua itu, seperti aku yang mengikis habis segalanya tentang Rara, apa ini? Aku meragukan istriku kenapa dia selalu membuat aku merasa kalau dia tidak mencintaiku. Belum habis sakitku saat setiap detik aku harus terluka jika mengingat ada pria lain yang telah menjamahi tubuh istriku dengan leluasa. Tapi Ina bukan berusaha menghapusnya tapi malah hidup dalam kenangan itu tanpa sepengetahuanku, saat aku sendiri berfikir dia tersiksa dengan rasa bersalahnya tapi aku salah. Dia bahagia Dengan kenangan itu. Atau mungkin dia merindui pria itu, diam-diam dia buat celah agar pria itu dekat dengan anak-anakku."Aku
Aku kembali ke hotel tempatku menginap, sedikit aku menghela nafas, ada apa dengan hatiku setelah bertemu Rara tadi, gak aku gak boleh begini kecewa karna kesalahan Ina bukan berarti aku harus mematik api dalam relungku, semua itu sudah sangat lama berlalu aku harus bisa menyikapi ini lagi pula diapun sudah berkeluarga dan mempunyai Anak dengan Bagas. Tentu saja dia sangat bahagia.Drrrrrrrrt Drrrrt.Bunyi ponselku bedering, sigap aku angkat da berkata."Ya hallo.""Bapak, kapan bisa kekantor kita harus menemui meeting dan tanda tangani beberapa kontrak."ujarnya, aku menghela nafas dan berkata lagi."Emangnya Ina gak datangi kantor apa?"tanyaku."Tidak pak."singkatnya. Aku berdengus memijit kepalaku, kenapa dia memilih bodo amat dengan kantor, dia tau kalo aku tidak bisa kembali dalam waktu cepat."Aku terpaksa harus kekantor."bisikku berdiri. Menyambar jasku kembali lagi keluar.Sesamp
Malampun datang, kami bertiga menikmati waktu bersama di Mall hingga makan makanan seafood kesukaan Shanum. Sejauh itu ai hanya bicara seperlu dan banyakin diam."Mimi capek ya?"tanya mas Bagas. Aku meoleh dan berkata pelan."Gak sih pah, cuman sedikit gak semangat aja gak tau kenapa."sahutku."Mimi dah minum vitaminnya belum?"tanyanya, aku coba megingat dan berkata."Kayaknya belum deh pi."ujarku."Tu kan pantes lemes. Ya udah habis ini kita gak usah kemana-mana kita langsung pulang saja ya."ujarnya aku mengangguk Shanum juga tampak perhatian."Mimi gak bilang sih, kalo mimi gak sanggup kita gak usah jalan, kan kasian juga dedek bayinya."ujarnya, aku tersenyum dan berkata."Gak apa sayang, biasa aja kok."ucapku mengelus perutku yang baru menginjak dua bulan ini. Setelah selesai makan kami seua bersiap hendak pulang, namun fokusku kembali buyar melihat dari kaca seseoranh tengah me
POV ALDO.Malampun datang, setelah menghabiskan sore hari ini ngeband dengan Rivano dan teman-temannya. mereka semua beristirahat hendak kembali pulang, tapi salah satu teman yang bareng Zura tadi tidak bisa mengantarnya lagi."Zura, aku gak bisa anter maaf ya. Karna gak mau puter arah lagi takut kejebak macet trus aku telat pulang. Mamaku bisa marah."ucap Celin, Zura tampak cemberut dan mengangguk.Drrrrrrrrt.Bunyi ponselnya Zura berdering."Ya mah,?""Kamu dimana, gak liat ini sudah jam berapa?"tanyanya, Zura tampak menjauhkan ponsel dari telinga dan berkata."Iya mah, bentar lagi nih OTW."sahutnya, aku tampak geleng-geleng dan mendekat saat Zura mematikan panggilannya." Apa perlu om antar lagi."tanyaku, reflek dia menggeleng dan berkata."Gak usah Om, ntar kalo Om yang antar. Besok-besok Zura gak bolehin ngeband lagi sama mama."ujarnya, sedikit aku menautkan alisku."
Keesokan paginya, saat mas Feri di kamar mandi aku iseng me cek ponselnya. hingga moodku langsung berubah saat melihat pesan Rara di akun IG nya mas Feri."Ini maksudnya apa cobak,"gerutuku sendiri walau mas Feri tidak membalasnya tetap aja aku bete.Trakt.Pintu kamar mandi terbuka, sontak aku menoleh pada mas Feri yang tampak fokus memgambil pakaiannya yang sudah aku siapkan dan memakainya."Mas, kamu dikirimin pesan apa ini sama Rara?"tanyaku."Iya tuh, mas juga bingung maksudnya apa."ujarnya aku cemberut bingung mau apakan ini ponsel rasanya greget aja."Kok kamu gak bilang sama aku sih mas?"keselku."Iya ini barusan mau bilang, tapi kamu duluan."ujarnya, aku kembali menggerutu."Ni beneran gak ada yang di hapus?"bentakku lagi."Ya kali mah, papa hapus sekalian hapus semuanya ngapain di tinggal satu?"ucapnya, aku sedikit menghela nafas dan fokus pada pesan itu. Ni orang maksu
POV AZZURA"Dari mana saja kamu Zura."ujar papa saat membukakan pintu, aku mendegup melihat sorot matanya dan berkata dengan gugup."Zz-ura ada kelas musik pah, waktu itu dah di izinin sama mama kok."ucapku terbata. Papa terdengar berdengus dan berkata."Sejak kapan mama boleh memberi keputusan? Kamu lihat sekarang jam berapa? Abangmu aja yang anak cowok dah dirumah jam segini."ujarnya, aku diam sembari melihat jam di tanganku."Baru juga setengah delapan pah."gerutuku."Sekarang masuk, dan mulai besok. Kamu gak boleh ikut kelas musik lagi."ucapnya aku mendegup dan sedikit cemas."Ih, papa kok gitu sih."rengekku."Masuk Zura!"ucapnya sedikit menghardik aku menghela nafas dan beranjak masuk sudah bisa aku lihat bang Azzam dan mama memandangku datar dari meja makan aku terdiam sejenak melihat mereka hingga Mama berkata."Buruan sini, kami semua menunggu kamu untuk makan malam."ujarnya, aku manyun dan b
POV AZZAM“ Pihak Shanum sama sekali tidak mengubris.” Ucap Naira melempar ponselnya ke atas ranjang, sejenak aku abaikan itu dan mencari pakaianku di lemari. Naira terus saja mendumel.“Udah ya Nai, jangan terlalu di pikirkan, ngabisin tenaga tau lebih baik kita bahas yang lain.’’“Tapi Kak,kayaknya kakak itu jauh lebih santai menghadapi ini?’’ Ucapnya tak habis pikir, sedikit aku menoleh pada Naira dan mengenakan piyama tidur.“Ya ampun Nai, kamu juga ngapain terlalu di pikirin? Lagi pula ini bisa di selesaikan, tanpa harus kamu buang-buang tenaga, karna kan kenyataannya, bayi itu bukan tanggung jawabku.’’ Geramku tak habis pikir, Naira terdiam sejenak dan tertunduk dengan manyun, aku menghela nafas panjang dan membuangnya, melihat istriku terdiam begitu aku mendekat padanya dan duduk di sampingnya.“Aku ak
POV INA.“Papa…,” panggilku saat mencari mas Feri di kamar, karna sibuk dengan urusan rumah, aku jadi sedikit mengabaikannya, aku melihat berkas dan laptop mas Feri di atas kasur namun bunyi mobilnya terdengar melaju keluar pagar.“Loh mas Feri mau kemana?’’ bisikku membuka jendela aku menoleh ke barang-barangnya di kasur mendekat dan menghenyak di kasur,“Mungkin mas Feri keluar sebentar, kalau ke kantor gak mungkin dia tinggalkan barang-barangnya.” Bisikku, aku memeriksa tas dan dan dompetnya, sedikit aku menautkan alis melihat ada kartu nama dokter spesialis,“Mas Feri, konsul pada dokter spesialis penyakit dalam buat apa?’’ bisikku coba mengotak atik semua berkas dan tasnya, namun aku tidak temukan apa-apa selain kartu nama itu, aku mulai cemas dan coba menghubunginya.Tuuuuuuut…..Panggilan itu tersambung dan
POV AZZAM.Ting nong…Bunyi bel bergema, Aku yang tengah menunggu Naira di ruang keluarga itu sedikit beringsut dan menoleh kea rah pintu, bisa aku lihat Art bergegas membukakan pintu. Aku juga menyusul karna aku tau itu papa, mama dan yang lainnya.“Siang papa..” sambutku pada keluargaku, dengan girang dua adik gadisku mengejar, akupun bersimpuh mendekap keduannya, mungkin mereka sangat merindukannku karna sudah beberapa minggu tidak bertemu.“Bang Azzam, Tata sangat merindukan bang Azzam.’’ Ucap bibir mungil salah satu dari mereka. Aku tersenyum manis dan mengacak rambut keduanya.“Abang Azzam, juga sangat merindukan kalian.”“Papa mama, ayo semua masuk.” Ajak Naira yang telaah turun dari kamarnya, aku berdiri dan mengajak mama masuk.“Ayo pa..”
POV RARA.Dengan langkah gontai aku temui mas Bagas di kliniknya, semenjak pertikaian itu dia tidak pernnah menemuiku kerumah tidak mau bicara denganku atau bahkan mengusirku, langkahku terhenti saat mendengar chanel televise yang di tonton mas Bagas adalah berita terbaru tentang Shanum, tampak media mengkrumini apartemen anakku itu, aku mendegup dan berniat hendak kembali mas Bagas pasti tidak senang dengan berita ini.“Kamu lihat, anak yang besar karna asuhanmu.”ucapnya tanpa menoleh akupun menghentikan langkahku dan menoleh padanya.“Dia hanya bisa buat malu keluarga.”geramnya, aku menghela nafas dan bersiap hendak pergi lagi, mengajak bicara mas Bagas dalam kondisi seperti ini juga tampaknya sia-sia lebih baik aku pergi sekarang.“ Kamu mau kemana?” cegatnya, langkahku kembali terhenti dan enggan menoleh.“
POV INA.Aku sangat di buat sibuk dengan acara yang akan mendatang, tapi tak mengapa demi Azzura aku harus lakukan semua ini, pesta pernikahan yang terbaik yang sesuai dengan impiannya."Mama sayang, mama dari mana sih."sambut putriku itu mendekap dan mencium pipi, sedikit aku berdengus dan tersenyum hangat."Mama habis dari gedung, dan kamu tau semua gedung itu bagus-bagus, mama jadi bingung mau sewa yang mana." ucapku, Zura sedikit manyun dan menghenyak di sofa."Kok mama gak ngajak?" aku menggeleng dan ikut juga menghenyak."Memang harus ya bawa kamu?""Ya iyalah, oh iya, mama tadi kekantor papa, papa mana?" tanyaku, aku sedikit melapas blezer dan meletakkan tas. 'papa lagi sibuk jadi mama pulang duluan oh iya, aanak-anak mana. Mama capek mau langsung istiraahat.""Ya udah mama istirahat aja, ma kalau baju pengantinyaya boleh gak Zura aja yang pilih bareng Vano?"tanya anakku, aku te
POV AZZAMPagi hari ini, kami tegah bersantai di ruang keluarga, selain menghibur mbak natsya yang tengah bersedih karna pengkhianatan Arga, Naira juga sedikit kurang enak badan, dan aku tak bisa kekantor melihat kondisinya."Selamat siang tuan nyonya." ucap Art, kemi semua menoleh."Ya ijah?""Itu nyonya, aden Arga pulang, dan dia-"ucapan Inem berhenti karna mbak Natsya berdiri, Naira yang tiduran di pahaku dari tadi juga beringsut untuk duduk"Apa mas Arga, membawa wanita itu?"bisiknya aku juga penasaran dan menoleh ke pintu, papa dan mama mertua juga tampak menyimak, hingga tak butuh waktu lama mereka bertiga masuk, dan tentunya bersama Shanum. Aku mendegup. Naira menggertakkan rahangnya dan berdiri, namun aku cegat dengan mencengkram lengannya."Sayang, jangan. Kita cukup nyimak saja."bisikku."Berani sekali dia, d
POV NAIRA.Kak Azzam tega sekali padaku, dia menyalahkan sikapku dan memperdulikan Shanum. Apa aku salah kalau aku menamparnya,“Ah sudahlah, aku bisa setres. Lebih baik sekarang aku temui mbak Natsya dulu di kamar.”bisikku sembari berjalan kekamar mbak natsya walau kesal dengan tingak dua pria dirumah ini yakni kak Azzam dan mas Arga, aku harus kasih perhatian pada mbakku, bagaimanapun sekarang dia sangat terpuruk sekali“Mbak….,’’ panggilku saat sudah sampai di pintu kamarnya, sedikit aku terheran karna kamarnya sunyi, aku mengerinyitkan dahi dan coba berfikir.“Apa mbak Nats, menemui mas Arga sekarang?”bisikku, aku membalik bergegas menuruni anak tangga dan berpapasan dengan papa dan mama di bawah.“Nai, kamu bukannya baru pulang ya kok pergi lagi?” tanya mama, aku sedikit menghela nafas dan berkata.
POV RARA.Sudah lelah aku mencari Shanum kemanapun, semalam dia pergi dari rumah karna marah padaku dan sekarang ini sudah hendak malam lagi,, nomornya belum lagi aktif aku sangat bingung sekali. Mana sekarang papinya sudah tidak peduli lagi padanya aku harus cari anakku kemana bahkan aku gak tau sekarang dia diimana, terkahir yang aku tau dia dekat dengan seorang pengusaha iparnya nya Azzam, mungkin aku bisa menghubungi Azzam?“Semoga saja aku masih punya kontaknya.”bisikku mengotak atik ponsel, namun aku kesal karna aku tidak punya kontak Azzam selain mas Feri.“Apa aku hubungi mas Feri? Tapikan nanti aku tanya apa? Mungkin aku bisa tanyakan nomor Azzam? Tapi apa nanti aku tidak dianggap sok akrab? Ah sialan sekali..”gerutuku sendiri akhirnya dengan ragu aku menghubungi juga nomor iitu.Tuuuuuuut.Aku gemetar saat panggilan itu tersambung
POV INA.Bahagia tak terhingga saat mas Feri rangkul dan peluk aku, menyaksikan kebahagian putrinya setelah sekian lama ia tampak merelakan Zura dengan orang yang tepat.“Akhirnya Zura menemukan seseorang yang sangat mencintainya,”lirihnya, bisa aku lihat ada yang terbendung di sudut matanya, aku terharu bersandar di bahu bidang suamiku itu.“Semoga selamanya kita akan tetap dapatkan kebahagiaan, jangan ada kesedihan lagi pah.”lirihku, mas Feri mengusap kepalaku dan mengecup keningku.“Hidup akan terus berjalan mama, suka duka itu pasti ada, hanya saja bagaimana kita menghadapinya.’’tuturnya aku tersenyum simpul dan berkata.“Dan aku ingin menjalani suka duka itu bersama Papa selamanya.’’ujarku mas Feri terkekeh kembali mendekapku erat.“Jangan manja, kamu ini tidak muda lagi. coba biasakan tanpa diriku.&rsq