Part 41“Mau pulang kemana?” tanya Harun saat mobil yang dikendarai telah memasuki perbatasan kecamatan.Restu diam terlihat bingung.“Pulanglah ke rumah orang tuamu,” kata Harun memberi saran.“Mereka marah sama aku,” aku Restu lirih.“Aku tahu itu. Tapi, bukankah lebih malu jika kamu pulang ke rumah Isna? Dimana letak harga dirimu sebagai kepala desa setelah apa yang kamu lakukan terhadapnya.” Harun berkata dengan sedikit kesal.“Mas Harun tahu dari siapa?”“Orang tuamu,”“Bagaimanapun Isna istriku. Dia yang sudah aku nikahi secara sah. Jadi, apa yang menimpaku saat ini, kami harus melewatinya bersama.”“Kamu benar-benar lelaki tidak tahu malu. Dia tidak kamu berikan nafkah semestinya. Sekarang kamu menuntut seperti itu? Gunakan akal sehatmu, Restu! Aku tidak mau mengantar kamu ke sana. Aku malu. Silakan kalau kamu tidak malu, maka lakukan saja sendiri. Aku turunkan kamu di pertigaan nanti.”Restu diam, memilih melempar pandangan ke luar jendela. Menghirup udara sebanyak-banyaknya k
Dengan kesal, Restu turun dari mobil sahabatnya. Du rumahnya, Isna masih berbalas pesan dengan gurunya. Hingga Lulu, akhirnya menuliskan sebuah nasehat yang membuat Isna berhenti membalas pesan karena memikirkan apa yang dikatakan oleh mantan gurunya itu. [Bukalah hati untuk lelaki lain. Kamu berhak bahagia. Ibu tidak tahu batasan sebuah dosa, tapi kamu harus menunjukkan pada lelaki yang sudah merendahkan kamu itu, bahwa kamu bisa bahagia dengan lelaki lain. Kamu sekadar membukanya, Isna. Bila ada seseorang yang tulus mencintaimu, maka kamu harus memberikan kesempatan untuk diri kamu bahagia dan menjadi ratu bagi lelaki itu. Jangan membeli kucing dalam karung. Pilihlah orang yang sudah kamu ketahui jelas latar belakang juga masa lalunya] Isna masih memandang layar ponselnya. Seolah apa yang disampaikan Lulu adalah sebuah pesan yang memang harus dilakukannya. Tiba-tiba, ada pesan lagi dari nomor yang tidak dikenalnya. [Jangan mau diperalat Restu. Lepaskan diri dari dia. Kalau dia p
Part 42Sore itu, Restu pergi dari rumah Isna dengan masih menahan sakit. Ia menuju rumah orang tuanya, satu-satunya harapan akan mendapat bantuan dengan menelpon salah seorang remaja desanya yang dikenal untuk menjemput. Tidak mungkin dirinya meminjam motor keluarga Isna.“Belajar untuk mengurus hidup sendiri. Jangan selalu mengandalkan orang tua. Kamu sudah dewasa. Lagi pula, seorang kepala desa masa buntu jalannya?” Jawaban ketus diucapkan oleh Dahlan. “Belajar bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan. Jangan bisanya hanya menyiram kotoran di wajah orang tua saja. Tidak sekarang, tidak besok, tidak ada uang yang akan kami keluarkan untuk membantu kamu.”Narsih hanya memandang kasihan pada anak sulungnya. Sebagai seorang ibu, ia ingin sekali membantu Restu, tapi takut dengan ancaman yang diberikan suaminya.“Jika kamu nekat membantu Restu, maka akan aku secepatnya aku urus perceraiannya dengan Isna, dan menikahkan dengan Marwah, lalu membawa menantu barumu ke sini, dan aku yang
Bukan gelandangan, tapi hidup terlunta-lunta. Menjadi seorang terhormat, tapi harus menderita. Itulah yang menggambarkan keadaan Restu saat ini. Ia mencoba mencari bantuan pada siapapun yang bisa membantu. Namun, semuanya seakan nihil. Tidak ada yang mau menolongnya. Teman-teman kepala desa, teman kuliah, siapapun yang dihubungi Restu selalu beralasan jika tidak punya uang. Setiap hari harus tidur di balai desa. Hingga akhirnya, desas-desus keretakan rumah tangganya menjadi perbincangan di kalangan warga. “Haruskah aku meminta tolong pada bapaknya Isna?” gumam Restu sembari menatap langit-langit ruangannya. Ia berbaring di atas kasur busa kecil yang memang sudah tersedia di sana. “Itu akan menjadi pilihan terakhir jika tidak ada yang mau menolongku.” Restu memejamkan setelah berkata demikian. Masalah yang pelik telah membuatnya sejenak berhenti memikirkan Marwah. *** Korban yang ditabraknya sudah pindah dari ruang ICU ke ruang perawatan. Restu telah memberikan uang tabungan yang di
Part 43“Mas Restu hidup di balai desa. Bapak melarang Ibu menjenguk apalagi kasih makanan. Mas Restu menabrak orang pas malam-malam dari rumah sakit. Sekarang didenda orang itu. ditambah lagi mobilnya rusak di kantor polisi. Mbak Isna gak mau bantu. Bapak sudah tidak mau bantu juga. Coba, ibunya Mbak Marwah yang hobi merepotkan masku, bisa bantu? Kalau sudah tidak jodoh jangan memaksa, Mbak! Dan jangan jadikan keluarga Mbak sebagai alat untuk mengganggu masku. Jangan juga jadikan kemiskinan kalian untuk alasan selalu menjadi benalu dalam hidup masku!”Tanpa sadar, Marwah terisak dan memegang dadanya. Ia merasa apa yang Tyas ucapkan sudah di luar batas.“Tyas, umur kamu masih terlalu kecil. Seharusnya kamu tidak berkata seperti tadi. Kamu tahu, jika menyakiti perasaan orang lain dengan lidahmu, maka ia akan bersaksi kelak di akhirat.” Setengah menahan tangis, Marwah mengangkat wajahnya mencoba memandang adik dari laki-laki yang dicintainya itu.“Mbak, sekali-kali jangan membawa-bawa a
“Lhoh, benar, ‘kan, Bu. Dia itu menantu pilihan Ibu dan Bapak. Gak papa, Buk, aku sudah siap menghadapi gunjingan tetangga. Aku sudah siap dengan segala fitnahan yang akan dilayangkan padaku nantinya. Terlebih, saat ini Restu sedang terkena musibah.”“Maafkan kami sudah menjerumuskan kamu, Isna,”“Aku maafkan, Bu. Jangan diulangi lagi, ya?” Isna melempar senyum untuk sang ibu.Ia bercanda hanya ingin terlihat baik-baik saja.“Restu tidak menghubungi kamu lagi?”“Tidak, dong! Lha aku ini siapa, Bu? Aku bukan istrinya dan dia bukan suamiku. Kata Tyas, dia sekarang hidup di balai desa karena diusir bapaknya. Tapi, aku tidak membalas pesan Tyas. Biarkan saja, mungkin dengan seperti ini akan lebih leluasa mereka berdua bertemu. Kan, pujaan hatinya sudah pulang.”“Kamu baik-baik saja, Isna? Kamu tidak sakit hati lagi?” Wajah wanita yang melahirkan isna terlihat sedih.“Tidak. Aku sebentar lagi akan bebas. Itu yang kusyukuri. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada yang lebih kuinginkan selain
Part 44“Mas, boleh aku bicara sebentar saja?” tanya Marwah yang sengaja menghadang Restu di jalan sepi dekat balai desa.Restu terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada orang yang melihat. “Mau bicara apa, Marwah?” tanyanya. Intonasi yang diucapkan terdengar tidak enak di telinga Marwah.“Kamu takut ada yang melihat? Kita mencari tempat yang sepi,” kata Marwah ragu.“Tidak usah sepertinya. Aku tidak mau kita semakin digunjing warga,” tolak Restu.“Ya, aku tahu. Maaf jika aku sudah lancang menemui kamu. Tapi, ada hal yang ingin aku katakan, Mas ….”“Marwah … Marwah, maaf jika selama ini aku masih memberikan harapan sama kamu. Aku harap, mulai sekarang kamu harus bisa melupakan aku dan aku akan melupakan kamu. Hubungan kita, biarlah hanya sebatas aku sebagai kepala desa dan kamu warga desa. Jika suatu ketika aku membantu keluarga kamu, maka itu karena aku ini bertanggung jawab terhadap seluruh warga desa. Kuharap setelah ini kamu akan menemukan seseorang yang jauh lebi
“Baik, Tyas! Kuharap, ini juga terakhir kalinya kamu menghina keluarga kami. Semoga kalian akan selamanya memegang kekuasaan dan hidup dengan kejayaan. Roda kehidupan itu berputar. Kamu belum pernah merasakan di posisi sebagai orang tidak punya. Sehingga kamu menganggap kamu bisa berkata semau kamu tanpa memikirkan perasaan kami yang kamu lukai. Padahal, kamu masih kecil. Seharusnya, kamu tahu siapa yang kamu ajak bicara. Aku tetap akan mengingat hari ini. Hari dimana kamu seolah merendahkan dan menghina kami. Sekali lagi, semoga selamanya kamu akan menjadi orang kaya.”“Ya, makanya tidak usah terobsesi sama masku. Semua keluargaku membenci Mbak Marwah. Kalau Mbak Marwah menjauh, malah tidak akan mendapat hinaan,” celetuk Tyas asal bicara.Marwah berlalu meninggalkan Tyas. Ia benar-benar merasa sakit hati atas apa yang diucapkan adik Restu. Bersumpah selamanya akan mengingat dalam otak dan menyimpannya dalam hati.Tyas menjalankan kembali motornya, melewati Marwah yang sebenarnya berj
EKSTRA PART 5 Restu menatap sebuah cincin indah yang dibeli dari gajinya. Ia sudah berniat pulang dan akan melamar Isna kembali. Entah mengapa, hati menuntunnya ke rumah dinas Isna. Rumah kecil yang selalu ia tuju beberapa bulan sebelumnya. Ia kaget saat melihat dua sandal di rak yang ada di teras. Namun, tangannya segera mengetuk pintu perlahan. Yakin bahwa perempuan yang sedang dicarinya ada di dalam. “Cari siapa, Mas?” tanya Fahri yang membukakan pintu. Restu mendadak cemas. Jantungnya berdegup kencang. Mencoba menolak persepsi yang masuk dalam pikiran tentang hubungan lelaki di hadapannya dengan mantan istri. “Cari Isna. Anda siapa di sini?” tanya Restu. Menunggu jawaban keluar dari mulut Fahri, Restu merasa takut. “Saya suami Isna.” Dugaannya benar. Tidak lama, Isna keluar dengan memakai jilbab. Sorot tidak suka langsung terpancar kala menatapnya. Rahang Restu mengeras menahan emosi. Ingin rasanya menghajar lelaki yang mengaku sebagai suami Isna itu karena ia terbakar ce
Fahri menatap perempuan yang memakai kebaya putih dengan mahkota di atas kepala, khas pengantin Sunda. Meski mereka orang Jawa, Isna memilih adat lain untuk hari spesialnya, karena tidak ingin mengingat busana yang dikenakan saat menikah dengan Restu. segala hal yang dia pilih dari dekorasi, busana, riasan dan pernak-pernik pernikahan dipilih yang berbeda dari pernikahan pertamanya. Mereka memilih ijab qabul dengan cara islami. Isna berada di kamar saat Fahri mengikat janji suci dengan mahar uang sejumlah tanggal, bulan serta tahun pernikahan mereka. Kini ia dipertemukan setelah benar-benar resmi menjadi istri dari lelaki yang berprofesi sebagai tentara itu. Fahri tersenyum bahagia saat Isna berhadap dengannya. Ia lalu mengulurkan tangan untuk dicium takzim oleh perempuan yang sudah sah menjadi miliknya. Sentuhan pertama keduanya, mengawali sebuah hubungan yang halal di mata Allah. Isna ingin menangis, tapi ia tahan. Setiap titik air mata yang jatuh ketika menjadi istri Restu, kini
EKSTRA PART 4“Kenapa lama? Aku sudah setengah jam menunggu di sini,” ucap Isna kesal.“Jangan marah-marah. Kamu hanya menungguku setengah jam. Sementara aku, aku sudah bertahun-tahun menunggumu. Saat datang, kamu sudah menjadi milik orang. Bukankah itu lebih mengesalkan?” tanya Fahri sambil tersenyum menggoda. “Jangan marah. Kita impas. Aku mengalah jika waktuku bertahun-tahun hanya kubalas dengan setengah jam saja ….”Isna memasang muka masam.“Aku merindukan kamu,” kata Fahri saat baru saja duduk sambil menyerahkan buket bunga.Isna masih enggan menanggapi.“Kalau kamu ngambek, kita seperti sudah berpacaran.”Isna melirik sekilas saja lalu meletakkan tangan di dagu dan memindahkan bola mata menuju objek lain.“Aku tadi mencari bunga berwarna merah ini. Kamu tahu kenapa lama?”Isna melirik Fahri. Kali ini tatapannya berhenti seperti penasaran.“Karena aku mengecat bunga ini sendiri.”Isna hendak tertawa tapi ditahan.“Kamu mau terima bunga ini atau tidak? Kalau tidak, aku mau mengem
“Kamu mencium harumnya bunga melati?” tanya Fahri. Isna celingukan. “Enggak,” jawabnya. Ia lalu berpikir jika melati berhubungan dengan hal yang mistis. “Kamu tidak menciumnya karena melati itu ada di lama hatiku.” Dengan wajah datar, fahri menggoda Isna. “Aku pulang, lho!” “Mau pulang sama siapa? Hamam sudah aku suruh pulang lebih dulu.” Isna membelalak. “Terus? Aku nanti pulang sama siapa?” “Aku sudah bilang mau antar kamu pulang, ‘kan?” “Tapi ….” “Jangan takut! Aku bawa sopir. Kita nanti bertiga.” “Kalian laki-laki semua, aku wanita sendirian?” Fahri tersenyum. “Hamam menunggu di luar. Tapi, nanti aku akan mengantarmu pakai mobil.” Isna meneguk es jeruk yang ada di meja. Panas dingin dirasa dalam tubuhnya. “Aku akan berangkat besok. Tunggu aku pulang. Dan aku akan menagih jawaban sama kamu,” Hati yang hangat mendadak sunyi kembali saat mendengar Fahri akan berangkat. “Kapan pulang?” Pertanyaan yang meluncur dari mulut Isna tanpa ia sadar. “Kamu mau ikut?” canda Fahri.
EKSTRA PART 3 Isna tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Semuanya terasa tiba-tiba terjadi. Ia sama sekali tidak menyangka jika yang melakukan semua itu adalah Fahri. Pria yang selama beberapa bulan ini tidak ada kabar sama sekali. Seketika hatinya merasa lega. Bayangan Tomi yang menari-nari di pikiran lenyap seketika. Namun, kelegaan itu berganti dengan rasa bimbang dan bingung. Ia tentu tidak bisa memutuskan dalam sekali itu juga. Jika lamaran itu dilakukan oleh seorang pacar, tentu akan sangat membahagiakan. Namun, Fahri hanyalah teman yang tidak pernah menghubunginya selama ini. Meski Isna tahu, lelaki itu memiliki perasaan. Akan tetapi, tetap saja baginya Fahri belum dekat di hati. “Aku bukan lelaki egois yang akan menuntut kamu menjawab saat ini juga. Aku melamar kamu karena memang aku ingin mengutarakan isi hati ini. Aku hanya pulang dalam waktu seminggu saja. Dan ini khusus aku lakukan untuk melamarmu. Kelak, jika aku pulang tiga bulan lagi, aku harap kamu sudah memiliki
Tidak lama kemudian lampu menyala. Seorang pria yang memakai kemeja warna abu-abu dipadukan celana jeans hitam. Penampilannya terlihat menawan. Berjalan mendekati Isna dengan satu tangan memegang mic sambil bernyanyi. Sementara tangan lainnya memegang buket bunga. Selesai menyanyikan lagu satu bait, musik kembali berganti dengan alunan biola.Isna menoleh dan menyadari Hamam sudah tidak ada di sana. Sedari tadi ia terpana hingga tidak sadar adik laki-lakinya telah meninggalkannya seorang diri.Isna merasa bingung dengan apa yang akan dilakukannya. Pria itu mendekat menatapnya dengan tatapan kerinduan dan penuh cinta.Ia berlutut di hadapan Isna dan mengulurkan buket seraya berkata, “will you marry me?”Mata Isna berkaca-kaca. Alih-alih menjawab, ia malah menangis dengan posisi tangan menutup wajah.***“Siapa nama kamu?” tanya Hasyim saat kedatangan lelaki muda tampan dan mengatakan ingin meminang Isna dan mengajaknya menikah.“Saya Fahri, Pak. Kakak kelas Isna saat masih SMA. Saya su
EKSTRA PART 2Dalam sujud panjang, Isna memohon petunjuk. Tiba-tiba dalam hati memiliki sebuah keyakinan, jika itu bukan Tomi atau Restu, jika orang itu adalah lelaki baik yang pernah ia kenal, maka ia akan membuka hati.Isna yang diliputi rasa kebimbangan menceritakan apa yang terjadi terhadap keluarganya. Di luar dugaan, sang ibu justru mendorongnya untuk berangkat. “Nanti diantar sama adikmu,” ujar Rahayu tanpa memiliki rasa kekhawatiran.“Tapi, kalau orang itu Tomi?” Isna terlihat ragu.“Kamu lari, Hamam yang akan menghadapi.” Rahayu memberi support untuk sang putri.Akhirnya Isna memutuskan berangkat meskipun ragu.“Hati-hati! Bapak selalu merestui setiap jalan yang kamu pilih. Bapak hanya ingin bahagia dengan siapapun nantinya lelaki yang kamu pilih. Bapak tidak mau mengulangi kesalahan yang dulu. Oleh karenanya, kamu harus mencari sendiri calon suami untukku kamu. Cari dan pilihlah dia yang mencintai kamu, Nduk,” ucap Hasyim saat Isna hendak berangkat. Suaranya bergetar. Sepert
Ada yang kirim paket, sudah Ibu taruh di atas kasur,” ucap Rahayu saat melihat Isna pulang kerja kelelahan.Isna diam dan langsung masuk kamar. Sebuah paket berbungkus plastik hitam dibukanya. Tanpa ada nama pengirim membuat jantungnya berdegup kencang. Takut bila didalamnya ada sesuatu yang membahayakan. Sejenak ia ragu untuk membuka.“Bismillah ….”Kotak berbentuk kado. Saat membuka tutupnya, ada kotak lagi. Begitu sampai kotak ketiga. Lalu Isna menemukan beberapa batang coklat dan sebuah kartu ucapan.Semoga kamu bahagia selalu.“Siapa yang mengirimnya?” tanya Isna seorang diri.Meski penasaran, ia tidak mengatakan hal itu pada sang ibu.Tiga hari kemudian, Isna mendapatkan lagi paket misterius. Kali ini di dalam kotak ada setangkai bunga mawar plastik. Dengan sebuah kartu ucapan pula.Semoga harimu menyenangkan.Isna mengumpulkan paket yang ia terima dalam satu kardus. Ia tidak mau memakan coklat karena takut ada racunnya.“Apa ini dari Tomi? Hanya Tomi yang gencar mendekatiku. Na
EKSTRA PART 1Restu mengemasi barang-barang miliknya dari kantor kepala desa. Enam bulan sudah ia bercerai, dan perilakunya tidak terkendali. Hobi bermabuk-mabukan menggunakan uang desa. Lama-lama, pegawainya merasa tidak suka dengannya. Dan demo besar-besaran terjadi yang ujungnya adalah pemecatan ia sebagai kepala desa.Dahlan sudah tidak mau ikut campur dengan keadaannya sehingga memilih untuk diam.“Pergilah merantau! Untuk mengembalikan nama baikmu. Hutangmu pada desa akan kami lunasi. Tapi, kamu harus pergi dari sini. Karena aku tidak mau lagi menuntun langkahmu. Kamu sudah dewasa. Kamu harus belajar mencari hidupmu sendiri. Mulai sekarang, kamu mau menikah dengan siapa saja kami benar-benar tidak peduli!” ujar Dahlan dengan muka masam.Restu yang memang sudah kepalang malu, hanya bisa meratapi nasib dengan pergi dari rumah Dahlan dengan tanpa membawa harta benda apapun. Hanya motor butut yang selalu setia menemani sejak kehancuran hidup.Tanpa kekayaan dan kejayaan orang tuanya