Tatapan yang sangat tidak aku sukai. Dia menatapku dengan penuh cinta sejak dulu. Namun, aku justru merasa ingin muntah melihat itu. Penampilan Tomi sok gaul. Rambutnya lepek dengan minyak. Celananya panjang sampai tumit. Kaosnya ketat. Khas anak desa yang berlagak gaul.Ya Allah, kenapa harus ada lelaki-lelaki tidak normal di sekitar hidupku?“Kalau kamu tidak bahagia dengan suami kamu, aku masih siap memungut jandamu. Aku pasti bisa membahagiakan kamu,” ucap Tomi penuh keyakinan dan percaya diri.Apakah kekuatan cintanya begitu besar terhadapku sehingga ia bisa merasakan jika aku tidak bahagia? Oh, tidak! Dia hanya berbicara omong kosong saja.Satu sudut bibirku tertarik ke atas, tanda mengejek pada ucapannya. Jika pun aku tidak bahagia dengan Restu. Bukan Tomi, lelaki yang aku harapkan hadir mengisi hati ini setelahnya.“Aku selalu mengamati kamu. Kamu adalah cinta pertamaku. Aku begitu menderita ketika kamu memilih dia yang yang punya jabatan dan kaya raya. Tapi, kenapa kamu tidak
Part 34[Kenapa menjauh dariku]Sebuah pesan aku terima saat baru saja sampai rumah.Dari Fahri tentunya. Karena hanya dia pria normal saat ini yang kukenal.Entah kenapa bibir tertarik saat melihat chat itu. Setidaknya, di sisi lain ada orang yang menghargai perasaanku.[Aku sibuk]Jawabku singkat. Ingin mengatakan aku istri orang, tapi sadar bahwa dalam batinku sebetulnya aku tidak punya suami.Hari itu Restu tidak pulang dan tidak ada komunikasi diantara kami terjadi meski lewat hape. Aku jadi penasaran, dia menulis namaku di ponselnya dengan nama apa. Setelah menikah, badai besar langsung menerpa sehingga tidak ada yang ku ketahui dari dia selai tentang masa lalunya.Seolah mendapatkan sebuah angin banyak sehingga bisa bernapas lega karena lelaki yang kubenci tidak pulang ke rumah ini."Kamu akan tetap bertahan seperti ini, Isna?" tanya Ibu saat aku makan malam."Setidaknya untuk beberapa bulan, Bu. Aku tadi ketemu Tomi, dan dia yah Ibu tahu sendiri bagaimana dia ingin sekali me
Aku bingung bagaimana harus bersikap nantinya. Beberapa petugas medis di sana, aku mengenal mereka. Jika Ibu Mertua nanti bertindak yang tidak-tidak, mau ditaruh dimana muka ini?"Bu, aku gak ikut masuk saja, ya nanti? Aku takut jika ada yang tahu. Temanku banyak di sana," pintaku sambil mengendurkan tarikan gas"Kamu pakai jaket, 'kan? Kamu pakai masker juga. Itu nanti penutup kepalanya jaket kamu pakai. Tenang saja, Ibu akan memarahi Si Marini dengan cara yang elegan."Marah yang elegan? Baiklah, aku akan melihatnya nanti seperti apakah marah yang elegan itu.Begitu sampai di rumah sakit, aku menurut saja di belakang Ibu Mertua yang langkahnya sangat cepat. Kaki ini setengah berlari mengikutinya.Setelah mendapat informasi dari petugas dimana Marini dirawat, beliau sepertinya menambah tenaga dalam berjalan. Aku sampai merasa panas karena harus setengah berlari dengan menggunakan jaket dan masker.Sebuah kamar yang berisikan empat pasien, dipilih Restu untuk calon mertua gagalnya itu
Part 35Ibu Mertua sudah menarik Restu jauh. Tinggallah aku bersama Marwah. Entah, tiba-tiba aku seperti orang linglung yang kehilangan ingatan. Berdiri saja sambil menatap Marwah yang juga melakukan hal yang sama.Gadis itu berlalu dan memeluk Marini. Aku segera sadar dan berbalik pergi."Kamu sudah datang, Nduk? Mas Restu benar-benar memenuhi janjinya membawa kamu ke sini ...." Samar aku mendengar Marini berucap. Sepertinya sengaja menekankan nama Restu untuk membuat aku panas.Kulewati lorong rumah sakit yang panjang dengan langkah gontai. Serumit ini hidupku sekarang. Apa karena sejak dulu kehidupan yang aku jalani terasa menyenangkan tanpa sedih?Tumbuh dalam keluarga yang berada dan juga harmonis membuatku merasa emua seakan tercukupi. bila pun ada sebuah kerikil kecil dalam hidup, itu hanya sebatas perselisihan kecil dengan teman. Atau dimarahi Ibu atas hal-yang kecil pula. Mungkin, ini adalah titik dimana ujian dalam hidupku datang. Ujian yang cukup besar bagiku karena tidak p
Ada yang terbakar dalam dada ini. Ah, ini rupanya yang dimaksud dia pantas menjadi pendamping Restu. Banyak bicara dan bijak. Sejenak terdiam sambil berpikir untuk menjawab apa pada Marwah. Menghadapi manusia seperti dia, aku tidak boleh terpancing emosi.Kubuka masker agar dia bisa melihat setiap ekspresi yang keluar dari wajah ini. Emosi berusaha kututupi karena berbicara dengan dia harus dengan memperlihatkan perbedaan kelas diantara kami. Ya, untuk pertama kalinya dalam hidup, aku memandang seseorang berdasarkan materi yang dimiliki.Senyum tersungging di bibir ini. Marwah menatapku dengan pandangan yang menyudutkan."Orang tua Restu sudah membencimu sejak dulu. Bahkan, sebelum aku tahu siapa kamu. Jadi yang pertama, jangan salahkan aku bila ibu Restu datang ke sini marah-marah sama emak kamu. Aku tidak menjadi provokator karena beliau hanya tanya Restu ada dimana. Aku dipaksa ke sini untuk mengantar. Maaf, aku merasa tidak perlu menemui emak kamu. Itu buang-buang waktu saja. Aku
Part 36POV AUTHOR"Kenapa bisa kamu datang bersama perempuan itu, Restu?" tanya Narsih marah."Bu, Bu Marini sakit dan ingin bertemu anaknya. Ibu, aku ini kepala desa yang harus melindungi semua warga. Jadi, apa aku salah sih, Bu? Aku tidak berbuat apapun sama Marwah. Aku tidak menyentuh dia. Aku hanya menjemput dan pulang ke rumah sakit ini, bertepatan dengan Ibu yang ada di sana," ucap Restu membela diri.Narsih tidak peduli apapun. Yang ia tahu, hatinya sangat membenci keluarga Marwah."Ibu? Kamu menyebut wanita miskin itu ibu? Pantas saja, dia begitu manja sama kamu, Restu. Ternyata, kamu begitu menghormati dengan sebutan semacam itu. Biasanya kamu panggil warga dengan sebutan mak. Kenapa kamu memanggil Marini dengan sebutan ibu?""Sudahlah, Bu. Jangan semua hal Ibu protes. Hanya sebuah panggilan. Kenapa mau dipermasalahkan? Dan masalah Isna, kenapa dia sampai ke sini?""Kamu sudah menyakiti Isna. Sampai kapan, Restu? Kamu punya adik perempuan. Seandainya adik kamu yang mengalami
"Kenapa masih berdiri?" tanya Narsih kaget."Bu," panggil Isna lirih. "Pulanglah dengan anak Ibu. Aku mau pulang sendiri saja. Tolong, Bu, jangan ajak aku ke rumah Ibu. Aku tidak ingin ke sana." Sedari tadi menahan semua yang dirasakan, pertahanan Isna runtuh. Ia langsung mengeluarkan air matanya."Isna, apa kamu begitu terluka?" Narsih kini telah sasar sepenuhnya, jika pernikahan Restu tidak baik-baik saja."Pulanglah dengan Restu, Bu. Aku mau sendiri ...," pinta Isna."Ayo, duduklah di sana dulu. Ada yang mau Ibu bicarakan sama kamu," ajak Narsih sambil menarik lembut lengan menantunya.Meski enggan, Isna menurut. Ia berpikir jika inilah saatnya berbicara semuanya dengan keluarga Restu.Mereka berdua memilih duduk di kursi yang sepi di taman rumah sakit. Hujan telah membuat tempat itu tidak terlalu ramai. Isna meminjam kain lap pada tukang kantin yang tidak jauh dari kursi yang dipilih--untuk membersihkan sisa-sisa air hujan."Apa yang akan Ibu katakan? Aku harap, Ibu tidak akan me
Part 37"Aku pamit pulang. Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku. Kamu masih ingat nomer ponselku?" ucap Restu pada Marwah yang menatap rerumputan di depannya tanpa kedip.Pikirannya masih berkutat pada kata-kata Isna."Jika kalian saling mencintai, kenapa tidak bisa menikah?" Ucapan itu seolah menghantui dan menempatkan diri Marwah pada posisi yang sangat tidak berharga."Marwah," panggil Restu lirih karena sang pujaan hati tak kunjung menyahut.Marwah menoleh, menatap Restu tanpa kedip. "Kamu tahu bukan, aku tidak pernah melupakan hal sekecil apapun tentang kita?" ucapnya menyudutkan mantan kekasih."Aku permisi pulang," sahut Restu yang merasa bersalah dan tidak ingin membahas.Ia terpaksa pulang karena Narsih mengancam.Sepanjang perjalanan pulang, ibunya terus saja marah dan memojokkan Restu. Namun, pria itu seolah tidak mendengarnya. Angannya kembali pada peristiwa saat ia menjemput Marwah di pondok.Wanita yang dicintainya itu menangis sesenggukan kala melihat Restu datang menjem
EKSTRA PART 5 Restu menatap sebuah cincin indah yang dibeli dari gajinya. Ia sudah berniat pulang dan akan melamar Isna kembali. Entah mengapa, hati menuntunnya ke rumah dinas Isna. Rumah kecil yang selalu ia tuju beberapa bulan sebelumnya. Ia kaget saat melihat dua sandal di rak yang ada di teras. Namun, tangannya segera mengetuk pintu perlahan. Yakin bahwa perempuan yang sedang dicarinya ada di dalam. “Cari siapa, Mas?” tanya Fahri yang membukakan pintu. Restu mendadak cemas. Jantungnya berdegup kencang. Mencoba menolak persepsi yang masuk dalam pikiran tentang hubungan lelaki di hadapannya dengan mantan istri. “Cari Isna. Anda siapa di sini?” tanya Restu. Menunggu jawaban keluar dari mulut Fahri, Restu merasa takut. “Saya suami Isna.” Dugaannya benar. Tidak lama, Isna keluar dengan memakai jilbab. Sorot tidak suka langsung terpancar kala menatapnya. Rahang Restu mengeras menahan emosi. Ingin rasanya menghajar lelaki yang mengaku sebagai suami Isna itu karena ia terbakar ce
Fahri menatap perempuan yang memakai kebaya putih dengan mahkota di atas kepala, khas pengantin Sunda. Meski mereka orang Jawa, Isna memilih adat lain untuk hari spesialnya, karena tidak ingin mengingat busana yang dikenakan saat menikah dengan Restu. segala hal yang dia pilih dari dekorasi, busana, riasan dan pernak-pernik pernikahan dipilih yang berbeda dari pernikahan pertamanya. Mereka memilih ijab qabul dengan cara islami. Isna berada di kamar saat Fahri mengikat janji suci dengan mahar uang sejumlah tanggal, bulan serta tahun pernikahan mereka. Kini ia dipertemukan setelah benar-benar resmi menjadi istri dari lelaki yang berprofesi sebagai tentara itu. Fahri tersenyum bahagia saat Isna berhadap dengannya. Ia lalu mengulurkan tangan untuk dicium takzim oleh perempuan yang sudah sah menjadi miliknya. Sentuhan pertama keduanya, mengawali sebuah hubungan yang halal di mata Allah. Isna ingin menangis, tapi ia tahan. Setiap titik air mata yang jatuh ketika menjadi istri Restu, kini
EKSTRA PART 4“Kenapa lama? Aku sudah setengah jam menunggu di sini,” ucap Isna kesal.“Jangan marah-marah. Kamu hanya menungguku setengah jam. Sementara aku, aku sudah bertahun-tahun menunggumu. Saat datang, kamu sudah menjadi milik orang. Bukankah itu lebih mengesalkan?” tanya Fahri sambil tersenyum menggoda. “Jangan marah. Kita impas. Aku mengalah jika waktuku bertahun-tahun hanya kubalas dengan setengah jam saja ….”Isna memasang muka masam.“Aku merindukan kamu,” kata Fahri saat baru saja duduk sambil menyerahkan buket bunga.Isna masih enggan menanggapi.“Kalau kamu ngambek, kita seperti sudah berpacaran.”Isna melirik sekilas saja lalu meletakkan tangan di dagu dan memindahkan bola mata menuju objek lain.“Aku tadi mencari bunga berwarna merah ini. Kamu tahu kenapa lama?”Isna melirik Fahri. Kali ini tatapannya berhenti seperti penasaran.“Karena aku mengecat bunga ini sendiri.”Isna hendak tertawa tapi ditahan.“Kamu mau terima bunga ini atau tidak? Kalau tidak, aku mau mengem
“Kamu mencium harumnya bunga melati?” tanya Fahri. Isna celingukan. “Enggak,” jawabnya. Ia lalu berpikir jika melati berhubungan dengan hal yang mistis. “Kamu tidak menciumnya karena melati itu ada di lama hatiku.” Dengan wajah datar, fahri menggoda Isna. “Aku pulang, lho!” “Mau pulang sama siapa? Hamam sudah aku suruh pulang lebih dulu.” Isna membelalak. “Terus? Aku nanti pulang sama siapa?” “Aku sudah bilang mau antar kamu pulang, ‘kan?” “Tapi ….” “Jangan takut! Aku bawa sopir. Kita nanti bertiga.” “Kalian laki-laki semua, aku wanita sendirian?” Fahri tersenyum. “Hamam menunggu di luar. Tapi, nanti aku akan mengantarmu pakai mobil.” Isna meneguk es jeruk yang ada di meja. Panas dingin dirasa dalam tubuhnya. “Aku akan berangkat besok. Tunggu aku pulang. Dan aku akan menagih jawaban sama kamu,” Hati yang hangat mendadak sunyi kembali saat mendengar Fahri akan berangkat. “Kapan pulang?” Pertanyaan yang meluncur dari mulut Isna tanpa ia sadar. “Kamu mau ikut?” canda Fahri.
EKSTRA PART 3 Isna tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Semuanya terasa tiba-tiba terjadi. Ia sama sekali tidak menyangka jika yang melakukan semua itu adalah Fahri. Pria yang selama beberapa bulan ini tidak ada kabar sama sekali. Seketika hatinya merasa lega. Bayangan Tomi yang menari-nari di pikiran lenyap seketika. Namun, kelegaan itu berganti dengan rasa bimbang dan bingung. Ia tentu tidak bisa memutuskan dalam sekali itu juga. Jika lamaran itu dilakukan oleh seorang pacar, tentu akan sangat membahagiakan. Namun, Fahri hanyalah teman yang tidak pernah menghubunginya selama ini. Meski Isna tahu, lelaki itu memiliki perasaan. Akan tetapi, tetap saja baginya Fahri belum dekat di hati. “Aku bukan lelaki egois yang akan menuntut kamu menjawab saat ini juga. Aku melamar kamu karena memang aku ingin mengutarakan isi hati ini. Aku hanya pulang dalam waktu seminggu saja. Dan ini khusus aku lakukan untuk melamarmu. Kelak, jika aku pulang tiga bulan lagi, aku harap kamu sudah memiliki
Tidak lama kemudian lampu menyala. Seorang pria yang memakai kemeja warna abu-abu dipadukan celana jeans hitam. Penampilannya terlihat menawan. Berjalan mendekati Isna dengan satu tangan memegang mic sambil bernyanyi. Sementara tangan lainnya memegang buket bunga. Selesai menyanyikan lagu satu bait, musik kembali berganti dengan alunan biola.Isna menoleh dan menyadari Hamam sudah tidak ada di sana. Sedari tadi ia terpana hingga tidak sadar adik laki-lakinya telah meninggalkannya seorang diri.Isna merasa bingung dengan apa yang akan dilakukannya. Pria itu mendekat menatapnya dengan tatapan kerinduan dan penuh cinta.Ia berlutut di hadapan Isna dan mengulurkan buket seraya berkata, “will you marry me?”Mata Isna berkaca-kaca. Alih-alih menjawab, ia malah menangis dengan posisi tangan menutup wajah.***“Siapa nama kamu?” tanya Hasyim saat kedatangan lelaki muda tampan dan mengatakan ingin meminang Isna dan mengajaknya menikah.“Saya Fahri, Pak. Kakak kelas Isna saat masih SMA. Saya su
EKSTRA PART 2Dalam sujud panjang, Isna memohon petunjuk. Tiba-tiba dalam hati memiliki sebuah keyakinan, jika itu bukan Tomi atau Restu, jika orang itu adalah lelaki baik yang pernah ia kenal, maka ia akan membuka hati.Isna yang diliputi rasa kebimbangan menceritakan apa yang terjadi terhadap keluarganya. Di luar dugaan, sang ibu justru mendorongnya untuk berangkat. “Nanti diantar sama adikmu,” ujar Rahayu tanpa memiliki rasa kekhawatiran.“Tapi, kalau orang itu Tomi?” Isna terlihat ragu.“Kamu lari, Hamam yang akan menghadapi.” Rahayu memberi support untuk sang putri.Akhirnya Isna memutuskan berangkat meskipun ragu.“Hati-hati! Bapak selalu merestui setiap jalan yang kamu pilih. Bapak hanya ingin bahagia dengan siapapun nantinya lelaki yang kamu pilih. Bapak tidak mau mengulangi kesalahan yang dulu. Oleh karenanya, kamu harus mencari sendiri calon suami untukku kamu. Cari dan pilihlah dia yang mencintai kamu, Nduk,” ucap Hasyim saat Isna hendak berangkat. Suaranya bergetar. Sepert
Ada yang kirim paket, sudah Ibu taruh di atas kasur,” ucap Rahayu saat melihat Isna pulang kerja kelelahan.Isna diam dan langsung masuk kamar. Sebuah paket berbungkus plastik hitam dibukanya. Tanpa ada nama pengirim membuat jantungnya berdegup kencang. Takut bila didalamnya ada sesuatu yang membahayakan. Sejenak ia ragu untuk membuka.“Bismillah ….”Kotak berbentuk kado. Saat membuka tutupnya, ada kotak lagi. Begitu sampai kotak ketiga. Lalu Isna menemukan beberapa batang coklat dan sebuah kartu ucapan.Semoga kamu bahagia selalu.“Siapa yang mengirimnya?” tanya Isna seorang diri.Meski penasaran, ia tidak mengatakan hal itu pada sang ibu.Tiga hari kemudian, Isna mendapatkan lagi paket misterius. Kali ini di dalam kotak ada setangkai bunga mawar plastik. Dengan sebuah kartu ucapan pula.Semoga harimu menyenangkan.Isna mengumpulkan paket yang ia terima dalam satu kardus. Ia tidak mau memakan coklat karena takut ada racunnya.“Apa ini dari Tomi? Hanya Tomi yang gencar mendekatiku. Na
EKSTRA PART 1Restu mengemasi barang-barang miliknya dari kantor kepala desa. Enam bulan sudah ia bercerai, dan perilakunya tidak terkendali. Hobi bermabuk-mabukan menggunakan uang desa. Lama-lama, pegawainya merasa tidak suka dengannya. Dan demo besar-besaran terjadi yang ujungnya adalah pemecatan ia sebagai kepala desa.Dahlan sudah tidak mau ikut campur dengan keadaannya sehingga memilih untuk diam.“Pergilah merantau! Untuk mengembalikan nama baikmu. Hutangmu pada desa akan kami lunasi. Tapi, kamu harus pergi dari sini. Karena aku tidak mau lagi menuntun langkahmu. Kamu sudah dewasa. Kamu harus belajar mencari hidupmu sendiri. Mulai sekarang, kamu mau menikah dengan siapa saja kami benar-benar tidak peduli!” ujar Dahlan dengan muka masam.Restu yang memang sudah kepalang malu, hanya bisa meratapi nasib dengan pergi dari rumah Dahlan dengan tanpa membawa harta benda apapun. Hanya motor butut yang selalu setia menemani sejak kehancuran hidup.Tanpa kekayaan dan kejayaan orang tuanya