Part 37"Aku pamit pulang. Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku. Kamu masih ingat nomer ponselku?" ucap Restu pada Marwah yang menatap rerumputan di depannya tanpa kedip.Pikirannya masih berkutat pada kata-kata Isna."Jika kalian saling mencintai, kenapa tidak bisa menikah?" Ucapan itu seolah menghantui dan menempatkan diri Marwah pada posisi yang sangat tidak berharga."Marwah," panggil Restu lirih karena sang pujaan hati tak kunjung menyahut.Marwah menoleh, menatap Restu tanpa kedip. "Kamu tahu bukan, aku tidak pernah melupakan hal sekecil apapun tentang kita?" ucapnya menyudutkan mantan kekasih."Aku permisi pulang," sahut Restu yang merasa bersalah dan tidak ingin membahas.Ia terpaksa pulang karena Narsih mengancam.Sepanjang perjalanan pulang, ibunya terus saja marah dan memojokkan Restu. Namun, pria itu seolah tidak mendengarnya. Angannya kembali pada peristiwa saat ia menjemput Marwah di pondok.Wanita yang dicintainya itu menangis sesenggukan kala melihat Restu datang menjem
“Isna masih perawan sampai saat ini, Pak. Restu anakmu, dia masih belum bisa melupakan Marwah. Dan mengatakan jika dia tidak bernafsu pada Isna.” Tiba-tiba, Narsih muncul dari sekat pintu dan mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak pantas dibicarakan di depan umum.Hati Hasyim terasa sakit sekali mendengar perkataan dari besan perempuannya. Betapa Isna begitu rendah di hadapan Restu. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Menahan air mata yang ingin keluar.Hati siapa yang tidak sakit bila mendapati anak perempuan yang dibanggakan direndahkan dengan begitu hinanya oleh seorang pria yang ia pilih untuk menjadi suami.“Apa salah kami? Apa salah anakku sehingga kalian bersikap setega itu, Pak Dahlan, Bu Narsih?” Dengan suara bergetar, Hasyim bertanya.Dahlan mengepalkan telapak tangan. Matanya terlihat mulai merah, bak serigala yang ingin menerkam Restu sebagai mangsanya. Sementara itu, narsih duduk bersandar pada tembok dengan beralaskan ubin yang dingin dengan wajah yang panik. Tida
BAB 38Restu menatap foto Marwah yang masih tersisa di dompetnya. Dulu, ia hobi sekali mencetak foto kekasih hatinya itu. Sehingga saat ibunya merobek foto yang ditemukan, Restu masih punya foto yang lain.Nyeri di hati masih terasa, tatkala Dahlan menyebut Marwah perempuan rendahan dan miskin.“Ceraikan Isna dan nikahi Marwah! Jika itu mau kamu. Jadilah lelaki sejati! Jangan jadi pengecut. Pilihlah salah satu yang akan membuat kamu bahagia dengan segala resiko tentunya. Aku sudah malu dan tidak punya muka lagi untuk menghadap Hasyim.” Ucapan Dahlan setelah Hasyim pulang ke rumah masih terngiang di benak Restu.Resiko yang diambil, itu artinya ia akan kehilangan segala hal.“Aku tidak akan mengotak-atik posisi kamu sebagai kepala desa meskipun kamu nantinya memilih menceraikan Isna. Karena itu juga bisa mempermalukan kami. Tapi, kamu tetap tidak akan mendapatkan apapun dari kami. Lepaskan semua fasilitas yang kami berikan! Lalu hiduplah dengan mengandalkan gajimu sebagai kepala desa.
Malam merangkak naik. Isna dan ayahnya tidak jadi makan bakso seperti yang mereka lakukan saat Isna masih kecil. Hasyim nyatanya hanya membawa Isna naik motor bedua. Ingin agar anaknya tidak jenuh di dalam rumah dengan hanya memikirkan nasib pernikahan yang malang.Saat hendak berbelok menuju jalan desa, mereka melihat mobil Restu dikendarai dengan begitu cepat, bahkan hampir motor yang dikendarai Hasyim. Namun, Si Pengemudi tetap saja tidak berhenti.‘Mungkin mau menyusul calon mertuanya,’ pikir Isna.Miris, ia benar-benar tidak mengenal seperti apa sosok yang menjadi suaminya.Saat tiba di rumahnya, Isna langsung masuk kamar dan bersiap tidur. Kamar yang bukan miliknya, karena hati wanita itu enggan berada di tempat yang pernah menjadi saksi bisu penderitaan yang dialami.Isna memeluk bantal erat. Tangisnya pecah. Bukan menangisi Restu, tapi meratapi nasib yang menimpa. Bagaimanapun, apa yang terjadi begitu menyakitkan.Di saat bersamaan, Fahri mengiriminya pesan. Hanya bertanya kab
Part 39"Pulanglah! Istrimu menunggu di rumah. Jangan sampai, aku yang sudah dicap sebagai wanita miskin yang rendahan, juga menyandang gelar wanita pengganggu suami orang. Selama ini aku diam di tempatku, aku menangisi nasib sendirian. Entah bagaimana dengan kamu. Bahagia kah atau merasakan hal yang sama denganku," ucap Marwah di bawah temaram lampu."Kamu tidak kembali ke kamar ibumu?" Restu bertanya hal lain."Ada Bapak di sana. Bapak sudah pulang. Ilham sendirian di rumah. Mungkin sama Mak Dhe. Pulanglah, Mas! Jangan memperpanjang pembicaraan kita. Nanti kamu semakin cinta sama aku dan lupa istrimu," goda Marwah sembari menyunggingkan senyuman manis. Memperlihatkan gigi gingsulnya."Kenapa kamu selalu menggodaku dengan senyuman itu, Marwah?" tanya Restu dengan menatap pujaan hatinya tanpa kedip."Kamu yang memberikan ruang untuk tergoda sama aku,""Apa harapan kamu?""Ingin menikah denganmu suatu hari nanti. Menjadi ibu dari anak-anakmu. Tapi itu suatu hari nanti, jika kamu sudah
Wanita itu harus berjaga-jaga jika malam hari ada panggilan orang melahirkan.Kesal tidak diangkat, Restu memilih mengirim pesan. Memberitahu jika saat ini, ia sedang terkena musibah, dan butuh bantuan Isna.Isna yang tidak sengaja membuka aplikasi kirim pesan itu, mengukir senyum di bibir. Entah kenapa, ada sepercik rasa bahagia mendengar lelaki itu terkena musibah."Giliran dapat musibah, aku yang dihubungi," gumamnya lalu memejamkan mata.Restu kembali menelpon setelah melihat pesannya dibaca. "Pesan dibaca, tapi telpon tidak diangkat. Istri macam apa dia?" gerutunya kesal.Sementara itu, ia harus menghentikan aktivitas menelpon Isna karena dipanggil petugas medis."Pak, pasien harus segera dimasukkan ke ruang ICU karena kritis."Sebuah informasi yang membuat Restu semakin panik. Saat ini, ia seolah tidak memiliki tempat untuk berbagi rasa susahnya. Di tengah gundahnya hati yang diharapkan hadir membantu adalah istri yang tak diinginkannya."Selamat malam, Pak."Baru saja Restu men
Part 40Narsih menangis tersedu-sedu mendengar berita yang disampaikan oleh Tyas.Dahlan yang duduk dengan kesukaannya menyesap kopi dan menyulut sebatang rokok--hanya diam tidak menyahut.Kepulan asap yang ditimbulkan dari rokok yang disulutnya seolah membentuk lingkaran dan memudar setelah beberapa saja. Memainkan barang kesukaannya itu karena pikiran tidak sedang baik-baik saja."Pak, kenapa diam? Ayo, kita menyusul Restu ke rumah sakit. Di rumah sakit apa di kantor polisi, Yas?" Narsih beralih pandangan pada putrinya."Gak tahu, Bu. Mbak Isna cuma bilang Mas menabrak orang. Gitu aja," jawab Tyas sambil mengedikkan bahu."Pak ...." Narsih yang duduk di bawah suaminya, mengguncangkan bahu lelaki yang terlihat bergeming."Untuk apa? Biarkan saja dia mengatasi masalahnya sendiri. Kita tidak perlu ke sana. Malam-malam pergi bawa mobil, pasti mau ke rumah sakit. Sudah gila cintanya sama perempuan miskin itu. Sehingga akal sehatnya kurang. Dia sudah dewasa, biarkan mengambil resiko atas
Selama Restu ditahan, Isna seolah merayakan penderitaan Restu dengan melakukan banyak hal. Shopping, jalan-jalan dan bertemu dengan banyak teman lamanya di saat tidak ada jam dinas."Mas Fahri masih mengharapkan kamu. Dia cerita sama aku," kata Anggi, kawan SMA nya dulu."Dari mana kamu tahu?" tanya Isna cuek. Rumah tangga yang tidak bahagia, bukan berarti menjadi celah untuk dia dekat dengan lelaki lain."Dia cerita sama suamiku. Mereka satu angkatan. Tapi, beda tempat tugas. Dunia tak selebar daun kelor ya, Is," celetuk Anggi. "Mas Fahri merasa jika masih ada kesempatan untuk bisa mendekati kamu. Tapi, jangan dipikir, Isna. Kamu sudah menikah dan bahagia dengan pasanganmu, bukan? Nikmati hidup kamu dengan suami kamu. Masalah Mas Fahri, dia pasti akan menemukan jodohnya.""Lha terus, apa maksud kamu kasih tahu aku?" ucap Isna sambil memutar bola mata.Anggi yang berprofesi sebagai staf administrasi di kantor sekda itu hanya meringis memperlihatkan gigi putihnya."Kamu gak ingin kita
EKSTRA PART 5 Restu menatap sebuah cincin indah yang dibeli dari gajinya. Ia sudah berniat pulang dan akan melamar Isna kembali. Entah mengapa, hati menuntunnya ke rumah dinas Isna. Rumah kecil yang selalu ia tuju beberapa bulan sebelumnya. Ia kaget saat melihat dua sandal di rak yang ada di teras. Namun, tangannya segera mengetuk pintu perlahan. Yakin bahwa perempuan yang sedang dicarinya ada di dalam. “Cari siapa, Mas?” tanya Fahri yang membukakan pintu. Restu mendadak cemas. Jantungnya berdegup kencang. Mencoba menolak persepsi yang masuk dalam pikiran tentang hubungan lelaki di hadapannya dengan mantan istri. “Cari Isna. Anda siapa di sini?” tanya Restu. Menunggu jawaban keluar dari mulut Fahri, Restu merasa takut. “Saya suami Isna.” Dugaannya benar. Tidak lama, Isna keluar dengan memakai jilbab. Sorot tidak suka langsung terpancar kala menatapnya. Rahang Restu mengeras menahan emosi. Ingin rasanya menghajar lelaki yang mengaku sebagai suami Isna itu karena ia terbakar ce
Fahri menatap perempuan yang memakai kebaya putih dengan mahkota di atas kepala, khas pengantin Sunda. Meski mereka orang Jawa, Isna memilih adat lain untuk hari spesialnya, karena tidak ingin mengingat busana yang dikenakan saat menikah dengan Restu. segala hal yang dia pilih dari dekorasi, busana, riasan dan pernak-pernik pernikahan dipilih yang berbeda dari pernikahan pertamanya. Mereka memilih ijab qabul dengan cara islami. Isna berada di kamar saat Fahri mengikat janji suci dengan mahar uang sejumlah tanggal, bulan serta tahun pernikahan mereka. Kini ia dipertemukan setelah benar-benar resmi menjadi istri dari lelaki yang berprofesi sebagai tentara itu. Fahri tersenyum bahagia saat Isna berhadap dengannya. Ia lalu mengulurkan tangan untuk dicium takzim oleh perempuan yang sudah sah menjadi miliknya. Sentuhan pertama keduanya, mengawali sebuah hubungan yang halal di mata Allah. Isna ingin menangis, tapi ia tahan. Setiap titik air mata yang jatuh ketika menjadi istri Restu, kini
EKSTRA PART 4“Kenapa lama? Aku sudah setengah jam menunggu di sini,” ucap Isna kesal.“Jangan marah-marah. Kamu hanya menungguku setengah jam. Sementara aku, aku sudah bertahun-tahun menunggumu. Saat datang, kamu sudah menjadi milik orang. Bukankah itu lebih mengesalkan?” tanya Fahri sambil tersenyum menggoda. “Jangan marah. Kita impas. Aku mengalah jika waktuku bertahun-tahun hanya kubalas dengan setengah jam saja ….”Isna memasang muka masam.“Aku merindukan kamu,” kata Fahri saat baru saja duduk sambil menyerahkan buket bunga.Isna masih enggan menanggapi.“Kalau kamu ngambek, kita seperti sudah berpacaran.”Isna melirik sekilas saja lalu meletakkan tangan di dagu dan memindahkan bola mata menuju objek lain.“Aku tadi mencari bunga berwarna merah ini. Kamu tahu kenapa lama?”Isna melirik Fahri. Kali ini tatapannya berhenti seperti penasaran.“Karena aku mengecat bunga ini sendiri.”Isna hendak tertawa tapi ditahan.“Kamu mau terima bunga ini atau tidak? Kalau tidak, aku mau mengem
“Kamu mencium harumnya bunga melati?” tanya Fahri. Isna celingukan. “Enggak,” jawabnya. Ia lalu berpikir jika melati berhubungan dengan hal yang mistis. “Kamu tidak menciumnya karena melati itu ada di lama hatiku.” Dengan wajah datar, fahri menggoda Isna. “Aku pulang, lho!” “Mau pulang sama siapa? Hamam sudah aku suruh pulang lebih dulu.” Isna membelalak. “Terus? Aku nanti pulang sama siapa?” “Aku sudah bilang mau antar kamu pulang, ‘kan?” “Tapi ….” “Jangan takut! Aku bawa sopir. Kita nanti bertiga.” “Kalian laki-laki semua, aku wanita sendirian?” Fahri tersenyum. “Hamam menunggu di luar. Tapi, nanti aku akan mengantarmu pakai mobil.” Isna meneguk es jeruk yang ada di meja. Panas dingin dirasa dalam tubuhnya. “Aku akan berangkat besok. Tunggu aku pulang. Dan aku akan menagih jawaban sama kamu,” Hati yang hangat mendadak sunyi kembali saat mendengar Fahri akan berangkat. “Kapan pulang?” Pertanyaan yang meluncur dari mulut Isna tanpa ia sadar. “Kamu mau ikut?” canda Fahri.
EKSTRA PART 3 Isna tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Semuanya terasa tiba-tiba terjadi. Ia sama sekali tidak menyangka jika yang melakukan semua itu adalah Fahri. Pria yang selama beberapa bulan ini tidak ada kabar sama sekali. Seketika hatinya merasa lega. Bayangan Tomi yang menari-nari di pikiran lenyap seketika. Namun, kelegaan itu berganti dengan rasa bimbang dan bingung. Ia tentu tidak bisa memutuskan dalam sekali itu juga. Jika lamaran itu dilakukan oleh seorang pacar, tentu akan sangat membahagiakan. Namun, Fahri hanyalah teman yang tidak pernah menghubunginya selama ini. Meski Isna tahu, lelaki itu memiliki perasaan. Akan tetapi, tetap saja baginya Fahri belum dekat di hati. “Aku bukan lelaki egois yang akan menuntut kamu menjawab saat ini juga. Aku melamar kamu karena memang aku ingin mengutarakan isi hati ini. Aku hanya pulang dalam waktu seminggu saja. Dan ini khusus aku lakukan untuk melamarmu. Kelak, jika aku pulang tiga bulan lagi, aku harap kamu sudah memiliki
Tidak lama kemudian lampu menyala. Seorang pria yang memakai kemeja warna abu-abu dipadukan celana jeans hitam. Penampilannya terlihat menawan. Berjalan mendekati Isna dengan satu tangan memegang mic sambil bernyanyi. Sementara tangan lainnya memegang buket bunga. Selesai menyanyikan lagu satu bait, musik kembali berganti dengan alunan biola.Isna menoleh dan menyadari Hamam sudah tidak ada di sana. Sedari tadi ia terpana hingga tidak sadar adik laki-lakinya telah meninggalkannya seorang diri.Isna merasa bingung dengan apa yang akan dilakukannya. Pria itu mendekat menatapnya dengan tatapan kerinduan dan penuh cinta.Ia berlutut di hadapan Isna dan mengulurkan buket seraya berkata, “will you marry me?”Mata Isna berkaca-kaca. Alih-alih menjawab, ia malah menangis dengan posisi tangan menutup wajah.***“Siapa nama kamu?” tanya Hasyim saat kedatangan lelaki muda tampan dan mengatakan ingin meminang Isna dan mengajaknya menikah.“Saya Fahri, Pak. Kakak kelas Isna saat masih SMA. Saya su
EKSTRA PART 2Dalam sujud panjang, Isna memohon petunjuk. Tiba-tiba dalam hati memiliki sebuah keyakinan, jika itu bukan Tomi atau Restu, jika orang itu adalah lelaki baik yang pernah ia kenal, maka ia akan membuka hati.Isna yang diliputi rasa kebimbangan menceritakan apa yang terjadi terhadap keluarganya. Di luar dugaan, sang ibu justru mendorongnya untuk berangkat. “Nanti diantar sama adikmu,” ujar Rahayu tanpa memiliki rasa kekhawatiran.“Tapi, kalau orang itu Tomi?” Isna terlihat ragu.“Kamu lari, Hamam yang akan menghadapi.” Rahayu memberi support untuk sang putri.Akhirnya Isna memutuskan berangkat meskipun ragu.“Hati-hati! Bapak selalu merestui setiap jalan yang kamu pilih. Bapak hanya ingin bahagia dengan siapapun nantinya lelaki yang kamu pilih. Bapak tidak mau mengulangi kesalahan yang dulu. Oleh karenanya, kamu harus mencari sendiri calon suami untukku kamu. Cari dan pilihlah dia yang mencintai kamu, Nduk,” ucap Hasyim saat Isna hendak berangkat. Suaranya bergetar. Sepert
Ada yang kirim paket, sudah Ibu taruh di atas kasur,” ucap Rahayu saat melihat Isna pulang kerja kelelahan.Isna diam dan langsung masuk kamar. Sebuah paket berbungkus plastik hitam dibukanya. Tanpa ada nama pengirim membuat jantungnya berdegup kencang. Takut bila didalamnya ada sesuatu yang membahayakan. Sejenak ia ragu untuk membuka.“Bismillah ….”Kotak berbentuk kado. Saat membuka tutupnya, ada kotak lagi. Begitu sampai kotak ketiga. Lalu Isna menemukan beberapa batang coklat dan sebuah kartu ucapan.Semoga kamu bahagia selalu.“Siapa yang mengirimnya?” tanya Isna seorang diri.Meski penasaran, ia tidak mengatakan hal itu pada sang ibu.Tiga hari kemudian, Isna mendapatkan lagi paket misterius. Kali ini di dalam kotak ada setangkai bunga mawar plastik. Dengan sebuah kartu ucapan pula.Semoga harimu menyenangkan.Isna mengumpulkan paket yang ia terima dalam satu kardus. Ia tidak mau memakan coklat karena takut ada racunnya.“Apa ini dari Tomi? Hanya Tomi yang gencar mendekatiku. Na
EKSTRA PART 1Restu mengemasi barang-barang miliknya dari kantor kepala desa. Enam bulan sudah ia bercerai, dan perilakunya tidak terkendali. Hobi bermabuk-mabukan menggunakan uang desa. Lama-lama, pegawainya merasa tidak suka dengannya. Dan demo besar-besaran terjadi yang ujungnya adalah pemecatan ia sebagai kepala desa.Dahlan sudah tidak mau ikut campur dengan keadaannya sehingga memilih untuk diam.“Pergilah merantau! Untuk mengembalikan nama baikmu. Hutangmu pada desa akan kami lunasi. Tapi, kamu harus pergi dari sini. Karena aku tidak mau lagi menuntun langkahmu. Kamu sudah dewasa. Kamu harus belajar mencari hidupmu sendiri. Mulai sekarang, kamu mau menikah dengan siapa saja kami benar-benar tidak peduli!” ujar Dahlan dengan muka masam.Restu yang memang sudah kepalang malu, hanya bisa meratapi nasib dengan pergi dari rumah Dahlan dengan tanpa membawa harta benda apapun. Hanya motor butut yang selalu setia menemani sejak kehancuran hidup.Tanpa kekayaan dan kejayaan orang tuanya