Dalam hati berteriak memanggil namanya, berharap ia datang dan menyuguhkan sebuah senyuman. Aku yakin, aku pasti sembuh. Dalam keadaan selemah ini, aku tidak peduli jika dia sudah menjadi suami orang. Yang kutahu, dia dan aku, kami sama-sama saling mencintai. Jika ada yang harus disalahkan, orang itu adalah Isna yang telah dengan gegabah menerima lelaki yang tidak ia tahu hatinya untuk menjadi suami.Mas Restu, datanglah, Mas … aku sangat merindukanmu. Lihatlah aku, Mas, aku tidak bisa melupakanmu. Tengoklah aku yang harus merasakan sakit yang sangat dalam ini. Hati ini terus memanggil namanya.***Aku terbaring di bilik sempit tempat rawat inap. Bau pengap keringat orang bercampur dengan obat menguar di hidung. Rasa mual akhirnya hadir dalam perut ini. Aku sendirian, karena temanku harus pulang ke pondok tadi pagi karena harus tes hafalan. Tidak mengapa, resiko mencari ilmu harus siap dengan segala kondisi, termasuk hidup sendiri. Ingin membuka jendela yang tepat berada di samping te
Part 30POV IsnaTidak ada harga diri yang tersisa tentang aku di hadapan Restu. Hari itu, pertahananku jebol sudah. Aku berteriak setelah mendapat perlakuan kasar darinya. Kepalaku sakit ketika membuka mata. Yang kulihat pertama kali atap yang berputar.“Kamu sudah bangun? Syukurlah ….” Suara Restu pula yang pertama kali kudengar di telinga ini. Kini sadar kalau tadi aku tidak sadarkan diri.Dengan tangan masih memegang kepala, aku berusaha bangun.“Kamu mau minum?” Restu sepertinya memberikan perhatian. Namun, aku tidak peduli.Mencoba turun dari ranjang dengan niat keluar dari kamar.“Aku antar. Kamu mau kemana?” Ada sebuah tangan yang memegang pundak. Dan aku tahu, jika Restu berada di samping.“Singkirkan tanganmu, atau aku berteriak!” ancamku tanpa melihatnya. Setelahnya terasa tidak ada lagi tangan di pundak.“Kamu mau kemana?” Restu bertanya saat aku sudah sampai pintu.Tidak peduli dengan apapun yang keluar dari mulutnya, aku langsung keluar. Saat sudah berada di luar kamar,
“Kenapa kamu menyembunyikan ini, Isna?” tanya Ibu setelah lama terdiam. “Lalu aku harus bagaimana, Bu? Menceritakan sama Ibu dan Bapak? Ini hal yang memalukan menurut aku, Bu. Aku tetap berpikir bagaimana cara keluar dari semua ini. Tapi, bukankah itu membutuhkan banyak pertimbangan? Berapa hari usia pernikahanku, Bu? Aku harus langsung mengajak Restu berpisah? Apa yang akan orang pikirkan tentangku, tentang keluarga kita? Aku mencoba bertahan sampai dengan waktu yang sudah pantas untuk kami berpisah. Semua itu demi menjaga harga diri kita juga, Bu,” jawabku pelan. “Kamu benar, Isna. Terkadang ada hal-hal yang menyakitkan tapi harus tetap ditutupi. Karena kita tinggal di desa yang komunikasi antar warganya sangat erat. Beda jika kita tinggal di perumahan ….” Bapak akhirnya memberikan tanggapan. “Lalu kamu akan bertahan dalam pernikahan yang tidak jelas ini?” tanya Ibu heran. Aku maklum saja dengan sikap tersebut. “Daripada harus bercerai dalam hitunga hari, Bu. Ada banyak hal yang
Part 31“Bu, Isna sudah pulang?” Aku mendengar suara Restu bertanya pada Ibu.Saat ini, aku tengah berbaring di kasur kamar yang kosong. Sudah kuputuskan jika Restu yang tetap tinggal di kamar itu. Akan kulihat seberapa lama dia bertahan di rumah ini.“Mau kamu aniaya lagi, kamu tanya seperti itu? tanya Ibu ketus.Dasar ibu-ibu. Tidak bisa diajak kerjasama. Padahal, sebelumnya sudah terjadi kesepakatan agar jangan marah pada Restu. Kami akan membalas sikapnya dengan cara elegan. Namun sepertinya, Ibu tidak tahan juga.“Bu, maafkan aku. Aku kalap kemarin ada kejadian yang sangat tidak mengenakkan di kantor. Jadi terbawa sampai rumah ….” Restu memberikan alasan.“Kejadian, atau sisa cinta kamu di masa lalu?”Aku menepuk jidat mendengar Ibu sudah mulai melakukan sebuah perlawanan. Benar-benar orang tua yang susah untuk dikendalikan. Rencanaku gagal total sehingga dengan terpaksa aku beranjak keluar kamar.“Bu, tolong baluri badanku pakai minyak putih,” ucapku cepat agar Ibu menghindar da
Kaki ini baru melangkah ke luar setelah jam di ponsel menunjukkan pukul enam lebih.Sepi. Tidak ada siapapun di ruang tengah. Pun dengan aktivitas di dapur yang biasanya terdengar suara orang memasak. Dengan malas kulangkahkan kaki menuju tempat itu. Melirik sekilas pada pintu kamarku yang masih tertutup rapat.Apakah Si Tidak Tahu Malu itu sudah pergi? Atau masih mengerang di balik selimutnya? Tanyaku dalam hati.Kaget. Tubuhku bergerak merespon itu, tatkala melihat Restu yang sedang makan di seorang diri di meja makan.“Kamu baru bangun rupanya. Semalaman aku mengetuk pintu, kamu tidak mau membukanya. Aku kira kamu tidak enak badan, jadi, aku masak sendiri untuk sarapan. Ibu tidak ada juga. Sini, kamu makan bareng aku. Ini aku sudah membuat nasi goreng,” ucap Restu tanpa rasa malu. Seolah kami ini pasangan yang seutuhnya.Aku berlalu begitu saja. Membuka kulkas dan mengambil sebuah minuman kotak dari sana. Tidak biasanya jika pagi meminum yang dingin-dingin. Namun, melihat Restu dan
Part 32“Tapi, bukankah tadi Mas Restu bilang kalau dia hanya bisa menunggu di sana? Takut kalau istrinya melihat. Aku tidak berani, Bu. Mas Restu sudah berpesan seperti itu.” Anak kecil yang masih lugu itu berkata jujur.Semakin jengah melihat pasien yang satu ini. Wanita itu salah tingkah melihatku, lalu menatap kembali anaknya. Dilihat dari raut wajah kelihatan sekali jika dia tengah menahan sakit. Akan tetapi, bisa-bisanya masih bersikap demikian terhadapku.Aku dihadapkan pada situasi yang membingungkan. Ingin rasanya berkata kasar, tapi sadar saat ini sedang berada di lingkungan pekerjaan. Untuk sementara memilih diam mengamati dan melihat apa yang akan dikatakan oleh Marini.“Panggil saja! Bilang, Mamak lemas sekali dan tidak bisa mendaftar.”Ya Allah, seperti ini ternyata bentuk keluarga Marwah. Tidak tahu malu. Di depan mata melihat adegan sinetron berpura-pura.“Baik, Mak,” ucap anak lelaki itu patuh.Mas Luthfi tidak kunjung datang. Puskesmas memang sedang dalam keadaan sep
“Wah, sengaja nyusul istrinya atau memang mengantar saudara ini, Mas?” canda Mas Luthfi setelah infus terpasang di lengan Marini—pada Restu.“Ngantar warga, Mas. Bukan saudara,” jawab Restu langsung.Aku melirik wajah Marini, sepertinya tidak suka dianggap warga oleh Restu.“Kepala desa yang baik harus mengayomi warga dong, Mas. Semuanya harus diperlakukan sama. Tidak peduli miskin, ya harus dilayani dengan baik.” Aku ikut menyahut. Sengaja kusebutkan kata miskin, agar Marini sadar diri. Meskipun sepertinya, tipe orang-orang seperti dia akan sulit sadarnya.“Haha, iya-iya. Isna beruntung sekali punya suami njenengan (anda), Mas,” sambung Mas Luthfi.“Beruntung gak sih, Mas, aku?” tanyaku pada Restu. Lagi, aku melirik Marini yang meski dalam keadaan sakit, dia masih menatapku dengan sorot kebencian.“Harusnya beruntung,” celetuk Restu tidak tahu malu.“Eh, tapi Mas Restu beruntung juga lho, Mas Luthfi, dapat aku. Aku ini ‘kan bidan yang punya penghasilan sendiri. Jadi, aku tidak akan m
Part 33“Ilham, anak pintar sudah, Sayang! Jangan meladeni orang-orang yang omongannya tidak bermanfaat. Meski miskin, kita harus menunjukkan kalau kita beradab dan berakhlak baik. Lebih baik miskin tapi punya sopan santun dan selalu berkata baik. Daripada kaya tapi tidak bisa berkata sopan sama orang lain yang tidak dikenalnya sama sekali.” Marini berkata lembut pada anaknya.Aku semakin membenci keluarga itu.“Mas, lebih baik kaya biar tidak tahu malu merepotkan orang lain. Atau, lebih baik miskin tapi punya harga diri dengan tidak merepotkan suami orang, ‘kan? Daripada miskin tapi belagu,” ucapku sebelum pergi. “Aku mau suruh Tyas ke sini, mau aku ajak shoping nanti siang,” lanjutku sebelum pergi.Restu menyusulku ke ruang resepsionis. Dia berkali-kali memohon agar aku tidak memberitahukan orang tuanya tentang apa yang dilakukannya hari ini.“Jangan panggil Tyas. Nanti dia bisa mengadu. Aku hanya menjalankan amanat warga agar bisa mengayomi siapapun. Tidak peduli siapa dan bagaiman
EKSTRA PART 5 Restu menatap sebuah cincin indah yang dibeli dari gajinya. Ia sudah berniat pulang dan akan melamar Isna kembali. Entah mengapa, hati menuntunnya ke rumah dinas Isna. Rumah kecil yang selalu ia tuju beberapa bulan sebelumnya. Ia kaget saat melihat dua sandal di rak yang ada di teras. Namun, tangannya segera mengetuk pintu perlahan. Yakin bahwa perempuan yang sedang dicarinya ada di dalam. “Cari siapa, Mas?” tanya Fahri yang membukakan pintu. Restu mendadak cemas. Jantungnya berdegup kencang. Mencoba menolak persepsi yang masuk dalam pikiran tentang hubungan lelaki di hadapannya dengan mantan istri. “Cari Isna. Anda siapa di sini?” tanya Restu. Menunggu jawaban keluar dari mulut Fahri, Restu merasa takut. “Saya suami Isna.” Dugaannya benar. Tidak lama, Isna keluar dengan memakai jilbab. Sorot tidak suka langsung terpancar kala menatapnya. Rahang Restu mengeras menahan emosi. Ingin rasanya menghajar lelaki yang mengaku sebagai suami Isna itu karena ia terbakar ce
Fahri menatap perempuan yang memakai kebaya putih dengan mahkota di atas kepala, khas pengantin Sunda. Meski mereka orang Jawa, Isna memilih adat lain untuk hari spesialnya, karena tidak ingin mengingat busana yang dikenakan saat menikah dengan Restu. segala hal yang dia pilih dari dekorasi, busana, riasan dan pernak-pernik pernikahan dipilih yang berbeda dari pernikahan pertamanya. Mereka memilih ijab qabul dengan cara islami. Isna berada di kamar saat Fahri mengikat janji suci dengan mahar uang sejumlah tanggal, bulan serta tahun pernikahan mereka. Kini ia dipertemukan setelah benar-benar resmi menjadi istri dari lelaki yang berprofesi sebagai tentara itu. Fahri tersenyum bahagia saat Isna berhadap dengannya. Ia lalu mengulurkan tangan untuk dicium takzim oleh perempuan yang sudah sah menjadi miliknya. Sentuhan pertama keduanya, mengawali sebuah hubungan yang halal di mata Allah. Isna ingin menangis, tapi ia tahan. Setiap titik air mata yang jatuh ketika menjadi istri Restu, kini
EKSTRA PART 4“Kenapa lama? Aku sudah setengah jam menunggu di sini,” ucap Isna kesal.“Jangan marah-marah. Kamu hanya menungguku setengah jam. Sementara aku, aku sudah bertahun-tahun menunggumu. Saat datang, kamu sudah menjadi milik orang. Bukankah itu lebih mengesalkan?” tanya Fahri sambil tersenyum menggoda. “Jangan marah. Kita impas. Aku mengalah jika waktuku bertahun-tahun hanya kubalas dengan setengah jam saja ….”Isna memasang muka masam.“Aku merindukan kamu,” kata Fahri saat baru saja duduk sambil menyerahkan buket bunga.Isna masih enggan menanggapi.“Kalau kamu ngambek, kita seperti sudah berpacaran.”Isna melirik sekilas saja lalu meletakkan tangan di dagu dan memindahkan bola mata menuju objek lain.“Aku tadi mencari bunga berwarna merah ini. Kamu tahu kenapa lama?”Isna melirik Fahri. Kali ini tatapannya berhenti seperti penasaran.“Karena aku mengecat bunga ini sendiri.”Isna hendak tertawa tapi ditahan.“Kamu mau terima bunga ini atau tidak? Kalau tidak, aku mau mengem
“Kamu mencium harumnya bunga melati?” tanya Fahri. Isna celingukan. “Enggak,” jawabnya. Ia lalu berpikir jika melati berhubungan dengan hal yang mistis. “Kamu tidak menciumnya karena melati itu ada di lama hatiku.” Dengan wajah datar, fahri menggoda Isna. “Aku pulang, lho!” “Mau pulang sama siapa? Hamam sudah aku suruh pulang lebih dulu.” Isna membelalak. “Terus? Aku nanti pulang sama siapa?” “Aku sudah bilang mau antar kamu pulang, ‘kan?” “Tapi ….” “Jangan takut! Aku bawa sopir. Kita nanti bertiga.” “Kalian laki-laki semua, aku wanita sendirian?” Fahri tersenyum. “Hamam menunggu di luar. Tapi, nanti aku akan mengantarmu pakai mobil.” Isna meneguk es jeruk yang ada di meja. Panas dingin dirasa dalam tubuhnya. “Aku akan berangkat besok. Tunggu aku pulang. Dan aku akan menagih jawaban sama kamu,” Hati yang hangat mendadak sunyi kembali saat mendengar Fahri akan berangkat. “Kapan pulang?” Pertanyaan yang meluncur dari mulut Isna tanpa ia sadar. “Kamu mau ikut?” canda Fahri.
EKSTRA PART 3 Isna tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Semuanya terasa tiba-tiba terjadi. Ia sama sekali tidak menyangka jika yang melakukan semua itu adalah Fahri. Pria yang selama beberapa bulan ini tidak ada kabar sama sekali. Seketika hatinya merasa lega. Bayangan Tomi yang menari-nari di pikiran lenyap seketika. Namun, kelegaan itu berganti dengan rasa bimbang dan bingung. Ia tentu tidak bisa memutuskan dalam sekali itu juga. Jika lamaran itu dilakukan oleh seorang pacar, tentu akan sangat membahagiakan. Namun, Fahri hanyalah teman yang tidak pernah menghubunginya selama ini. Meski Isna tahu, lelaki itu memiliki perasaan. Akan tetapi, tetap saja baginya Fahri belum dekat di hati. “Aku bukan lelaki egois yang akan menuntut kamu menjawab saat ini juga. Aku melamar kamu karena memang aku ingin mengutarakan isi hati ini. Aku hanya pulang dalam waktu seminggu saja. Dan ini khusus aku lakukan untuk melamarmu. Kelak, jika aku pulang tiga bulan lagi, aku harap kamu sudah memiliki
Tidak lama kemudian lampu menyala. Seorang pria yang memakai kemeja warna abu-abu dipadukan celana jeans hitam. Penampilannya terlihat menawan. Berjalan mendekati Isna dengan satu tangan memegang mic sambil bernyanyi. Sementara tangan lainnya memegang buket bunga. Selesai menyanyikan lagu satu bait, musik kembali berganti dengan alunan biola.Isna menoleh dan menyadari Hamam sudah tidak ada di sana. Sedari tadi ia terpana hingga tidak sadar adik laki-lakinya telah meninggalkannya seorang diri.Isna merasa bingung dengan apa yang akan dilakukannya. Pria itu mendekat menatapnya dengan tatapan kerinduan dan penuh cinta.Ia berlutut di hadapan Isna dan mengulurkan buket seraya berkata, “will you marry me?”Mata Isna berkaca-kaca. Alih-alih menjawab, ia malah menangis dengan posisi tangan menutup wajah.***“Siapa nama kamu?” tanya Hasyim saat kedatangan lelaki muda tampan dan mengatakan ingin meminang Isna dan mengajaknya menikah.“Saya Fahri, Pak. Kakak kelas Isna saat masih SMA. Saya su
EKSTRA PART 2Dalam sujud panjang, Isna memohon petunjuk. Tiba-tiba dalam hati memiliki sebuah keyakinan, jika itu bukan Tomi atau Restu, jika orang itu adalah lelaki baik yang pernah ia kenal, maka ia akan membuka hati.Isna yang diliputi rasa kebimbangan menceritakan apa yang terjadi terhadap keluarganya. Di luar dugaan, sang ibu justru mendorongnya untuk berangkat. “Nanti diantar sama adikmu,” ujar Rahayu tanpa memiliki rasa kekhawatiran.“Tapi, kalau orang itu Tomi?” Isna terlihat ragu.“Kamu lari, Hamam yang akan menghadapi.” Rahayu memberi support untuk sang putri.Akhirnya Isna memutuskan berangkat meskipun ragu.“Hati-hati! Bapak selalu merestui setiap jalan yang kamu pilih. Bapak hanya ingin bahagia dengan siapapun nantinya lelaki yang kamu pilih. Bapak tidak mau mengulangi kesalahan yang dulu. Oleh karenanya, kamu harus mencari sendiri calon suami untukku kamu. Cari dan pilihlah dia yang mencintai kamu, Nduk,” ucap Hasyim saat Isna hendak berangkat. Suaranya bergetar. Sepert
Ada yang kirim paket, sudah Ibu taruh di atas kasur,” ucap Rahayu saat melihat Isna pulang kerja kelelahan.Isna diam dan langsung masuk kamar. Sebuah paket berbungkus plastik hitam dibukanya. Tanpa ada nama pengirim membuat jantungnya berdegup kencang. Takut bila didalamnya ada sesuatu yang membahayakan. Sejenak ia ragu untuk membuka.“Bismillah ….”Kotak berbentuk kado. Saat membuka tutupnya, ada kotak lagi. Begitu sampai kotak ketiga. Lalu Isna menemukan beberapa batang coklat dan sebuah kartu ucapan.Semoga kamu bahagia selalu.“Siapa yang mengirimnya?” tanya Isna seorang diri.Meski penasaran, ia tidak mengatakan hal itu pada sang ibu.Tiga hari kemudian, Isna mendapatkan lagi paket misterius. Kali ini di dalam kotak ada setangkai bunga mawar plastik. Dengan sebuah kartu ucapan pula.Semoga harimu menyenangkan.Isna mengumpulkan paket yang ia terima dalam satu kardus. Ia tidak mau memakan coklat karena takut ada racunnya.“Apa ini dari Tomi? Hanya Tomi yang gencar mendekatiku. Na
EKSTRA PART 1Restu mengemasi barang-barang miliknya dari kantor kepala desa. Enam bulan sudah ia bercerai, dan perilakunya tidak terkendali. Hobi bermabuk-mabukan menggunakan uang desa. Lama-lama, pegawainya merasa tidak suka dengannya. Dan demo besar-besaran terjadi yang ujungnya adalah pemecatan ia sebagai kepala desa.Dahlan sudah tidak mau ikut campur dengan keadaannya sehingga memilih untuk diam.“Pergilah merantau! Untuk mengembalikan nama baikmu. Hutangmu pada desa akan kami lunasi. Tapi, kamu harus pergi dari sini. Karena aku tidak mau lagi menuntun langkahmu. Kamu sudah dewasa. Kamu harus belajar mencari hidupmu sendiri. Mulai sekarang, kamu mau menikah dengan siapa saja kami benar-benar tidak peduli!” ujar Dahlan dengan muka masam.Restu yang memang sudah kepalang malu, hanya bisa meratapi nasib dengan pergi dari rumah Dahlan dengan tanpa membawa harta benda apapun. Hanya motor butut yang selalu setia menemani sejak kehancuran hidup.Tanpa kekayaan dan kejayaan orang tuanya