Bab 37. Salah Pesan
Jam menunjuk pukul sepuluh siang, aku bergegas untuk pergi bersama teman-temanku untuk mencoba wahana baru. Meskipun aku tidak terlalu tertarik dengan wahana-wahana seperti itu, demi teman aku rela menyisihkan waktuku bahkan menutup tokoku hanya untuk menghargai mereka.Sama seperti ketiga temanku, demi keakraban dan jalinan pertemanan tetap menyatu, kami rela menyisihkan waktu kami untuk kumpul-kumpul bersama walau sekadar hanya membahas gosip artis yang lagi viral."Bi, saya pergi dulu ya. Ada acara dengan teman-teman, misal Ayah ibu pulang dan menanyakan, tolong bilang sama beliau ya," kataku sambil turun dari anak tangga dan memakai tas selempang warna kuning andalanku."Iya Nyah, nanti saya bilang sama Tuan besar dan Nyonya besar." Bi Nani menganggukkan kepala, menatap diriku dengan pandangan khidmat.Aku tersenyum lalu mengangguk, "ya sudah. Hati-hati di rumah ya Bi."Seperti biasa, setiap kali aku pergiBab 38. Pesan AlamAku tidak bisa menolak keinginan Daniel, terlebih teman-teman kini berpihak kepadanya. Entah khawatir atau apa, ketiga temanku mendadak setuju dengan keputusan Daniel tersebut."Yang dikatakan Mas Daniel ada benarnya Dev, jika kamu beberapa kali muntah itu tandanya memang ada yang tidak beres dengan tubuhmu," ujar Dania begitu perhatian. Ia menyentuh tanganku dengan lembut, "kamu pergi ke dokter ya. Tapi maaf, kami tidak bisa mengantarmu. Kami hanya berharap semoga sakitmu segera sembuh seperti sedia kala.""Betul Dev, kali ini nurut sama Mas Daniel aja ya. Nggak ada salahnya untuk periksa, toh itu untuk kesehatanmu juga." Ratih ikut membujuk.Aku diam untuk mencerna bujukan mereka. Yang membuatku tidak nyaman adalah kenapa aku harus pergi dengan Daniel hari ini. Tahu sendiri kan, Daniel jika mulai posesif, maka posesifnya melebihi siapa pun."Mas, tolong bawa Devi ke rumah sakit ya. Kami nitip Devi sama kamu, semoga le
Bab 39. Takut Melangkah"Iya Pak, selamat ya. Mungkin untuk kondisi jelasnya bisa langsung periksa ke dokter kandungan yang ahli," ucap Dokter Chris dengan wajah berseri-seri.Berbeda dengan sang dokter, kami justru mendapatkan dilema masing-masing. Daniel mungkin juga syok dengan apa yang terjadi sementara aku, jangan ditanya perasaanku seperti apa. Disaat aku berusaha untuk merelakan Daniel untuk perempuan lain, Allah menganugerahkan hal tak terhingga seperti ini."Karena saya hanya dokter umum, saya hanya bisa meresepkan beberapa vitamin dosis rendah saja untuk Ibu Devi. Selebihnya silakan periksakan pada dokter kandungan yang ahli ya Bu," ucap Dokter Chris sambil meraih kertas dan mulai meresepkan obat yang nantinya bisa ditebus di apotik terdekat.Setelah menerima kertas resep tersebut, kami beranjak berdiri dan mohon pamit."Terima kasih ya Dok, saya akan segera menebus obatnya di apotik terdekat. Permisi," ucap Daniel sambil menyal
Bab 40. Sebuah PermintaanAkhirnya setelah melalui banyak pertimbangan, aku memutuskan untuk ikut menjenguk Dena. Karena dia bocah, aku mengesampingkan rasa kesalku pada Anggun—selingkuhan suamiku.Mobil yang kami tumpangi berbelok dari arah semula, siang menjelang sore itu kami berencana untuk menjenguk Dena dulu baru pulang ke rumah. Perjalanan menuju ke rumah sakit anak tempat Dena dirawat cukup lama. Kami butuh sekitar tiga puluh menit untuk sampai kesana. Di kotaku rumah sakit khusus anak bisa dihitung dengan jari, itu pun jaraknya lumayan jauh dari pusat perkotaan.Mampir dulu memberi parcel buah, aku berharap oleh-olehku kali ini bisa menghibur Dena. Ya, seperti naluri ibu lainnya, tidak mungkin mampu membenci seorang anak hanya karena ibunya telah melukai hati kita.Setelah melakukan perjalanan panjang, aku dan Daniel sampai juga di rumah sakit anak. Rumah itu penuh dengan pasien anak kisaran usia satu tahun hingga belasan tahun. Beberapa diantaranya tampak bermain di taman ru
Bab 41. Haruskah BerceraiApa sih yang membuat Mas Daniel jadi rebutan? Sejenak pemikiran itu mendominasi pikiranku sekarang. Memikirkan Dena, memikirkan Anggun, aku benar-benar merasa pusing dengan masalah ini. Semuanya bertubi-tubi menimpaku, apakah salah jika aku mempertahankan suamiku?Aku duduk gelisah di dalam mobil. Akhirnya Daniel bersikeras untuk mengantarku pulang ke rumah. Dengan kondisi masih sedikit mual dan pusing, Daniel tidak ingin masalah seperti waktu itu kembali menimpaku. Ya, setidaknya dia masih memiliki tanggung jawab atas keselamatanku."Kenapa hanya diam? Kamu memikirkan ucapan Dena?" Daniel akhirnya bersuara setelah kami hampir sepuluh menit tidak bicara. "Kamu tak seharusnya memikirkan ucapannya. Itu hanya permintaan seorang bocah yang begitu terobsesi kepadaku."Aku mendengkus berat, melayangkan pandangan ke arah Daniel seketika. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu pada bocah yang sedang sekarat seperti Dena."D
Bab 42. FlashbackPOV DanielAku tidak habis pikir kenapa keluarga Devi begitu sigap membahas soal perceraian. Apakah ini sudah direncanakan? Entahlah. Aku menggeleng, kepalaku pusing tujuh keliling. Mereka tidak tahu bagaimana usahaku untuk memikirkan jalan keluar dari semua permasalahan ini.Masuk ke dalam mobil, kutatap kertas itu dengan pandangan tak percaya. Ya, benar-benar tak percaya. Aku mendengkus kesal lalu memukul kemudi untuk melampiaskan kemarahanku.Mungkin aku terkesan lambat dalam menangani masalah ini, hanya saja, bisakah mereka sedikit bersabar? Aku menggeleng, menelan kepahitan seorang diri.Jika aku tidak tahu ada janin dalam rahim Devi, mungkin kuiyakan saja permintaan mereka. Aku juga tidak mau dibilang maruk harta terus menerus oleh kedua orangtua Devi. Selama ini cukup bagiku untuk hidup dibawah bayang-bayang orangtua istriku tersebut. Aku tertekan tapi aku tidak punya pilihan.Menarik napas dalam-dalam, kuatur
Bab 43. Kunjungan TemanPOV DeviKarena memasuki kehamilan trimester pertama, aku merasa tubuhku sangat lemas dan tidak bertenaga. Makan juga tidak berselera walaupun ibu, ayah, hingga Bi Nani sudah membujukku. Yang kulakukan hanyalah goleran di atas ranjang, sesekali mengecek ponsel, dan menikmati saluran drama korea dari Chanel langganan kami di rumah.Aku benar-benar merasa buruk, tidak ingin melakukan apa pun, bahkan tidak ingin menjumpai siapa pun. Pagi itu, demi melihat kondisiku pasca mual-mual dan muntah di area wahana, ketiga temanku datang ke rumah untuk menanyakan kabar.Ibu yang kala itu berada di rumah sangat menyambut kedatangan Pamela, Ratih, dan juga Dania. Ibu tahu, hanya mereka bertiga teman terdekatku saat ini."Silakan kalian naik dan masuk ke kamar Devi. Kamarnya yang memiliki tirai warna pink ya, Ibu rasa dia akan senang jika kalian datang." Wanita paruh baya itu tersenyum sambil mempersilakan ketiga temanku untuk langsun
Bab 44. Menemukan Hal MencurigakanPepatah mengatakan bahwa cinta sering membuat seseorang menjadi linglung, mungkin hal itu terjadi pada diriku juga. Aku yang hendak melepas Daniel untuk Anggun dan anak-anaknya, nyatanya justru kembali mendekat dan tidak tahu harus berbuat apa.Teman-teman menyarankan agar aku memikirkan kembali keputusan untuk bercerai. Demi anak kata mereka. Aku bahkan didorong untuk berjuang sekali lagi untuk merebut Daniel dari Anggun. Bagaimana pun, meski Anggun dan Daniel telah memiliki anak, aku juga berhak berjuang demi anakku juga.Bingung dan cemas, itu yang kualami sekarang. Di sisi lain aku memang enggan berpisah dari Daniel mengingat bagaimana nasib anakku kelak jika menanyakan tentang ayahnya. Namun jika aku terus melanjutkan keinginanku, bagaimana dengan janjiku pada Dena? Bocah kecil itu sangat bergantung pada Daniel dan tidak mungkin bisa berbagi dengan diriku apalagi dengan anakku nanti.Siang ini, setelah mende
Bab 45. Surat Cerai Hampir kurang lebih sepuluh menit mereka bercakap-cakap dengan sangat serius. Aku yang menguping, hanya mendapati beberapa kalimat terpotong yang aku sendiri tidak tahu persis itu apa. Dengan jantung berdebar-debar, aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Daniel jika mendengar hal ini secara langsung. Mungkinkah Daniel masih mencintai Anggun dan menerima anak-anaknya? Mengintip mereka sekali lagi, aku melihat pria yang menjadi lawan bicara Anggun kini pergi menuju ke salah satu mobil yang terparkir dengan terburu-buru. Beda dengan Anggun, wanita itu memilih pulang sendiri dan tidak pergi bersama laki-laki itu. Entah, mungkin ini salah satu trik untuk menghilangkan jejak pertemuan mereka. Menghela napas panjang, sayup-sayup kudengar bunyi dering ponsel dari tas tangan milik Anggun. Wanita itu segera membuka tasnya dan mengangkat panggilan. "Iya Mas, aku masih ada di luar nih. Kebetulan aku sedang c
Bab 70. Ayah BaruAku dan Riko kini akhirnya bisa hidup satu atap. Setelah pernikahan, aku diboyong dan tinggal di sebuah perumahan yang cukup luas dan nyaman. Meski tidak semewah yang dulu, aku merasa hidupku jauh lebih berbahagia.Perumahan yang sekarang adalah hasil keringat Riko sejak tiga tahun yang lalu. Beruntungnya aku hanya tinggal dan menempatinya saja.Kami bertiga hidup di perumahan itu, memiliki kebun kecil yang sering kutanami sayur mayur dan beberapa jenis bunga. Tak heran jika rumahku paling hijau sendiri dibandingkan rumah-rumah yang lain.Jarak dari perumahan ke tempat kerja Riko juga tidak jauh. Tak perlu memakai mobil, Riko lebih senang mengendarai motornya untuk pergi bekerja. Benar-benar hidup yang sederhana namun bahagia."Hallo Alvaro, sudah makan belum nih? Nih ayah belikan biskuit buat kamu," ujar Riko setiap kali pulang dari tempat kerjanya di restoran.Pria itu sangat penyayang, sering mengajak Alvaro main cilukba bahkan saat ia baru pulang kerja dan capek.
Bab 69. Aku Mengaku KalahHari pernikahan telah ditentukan, seluruh keluarga kembali berkumpul untuk mendiskusikan berbagai hal mulai dari wedding organizer, konsep pernikahan, souvernir apa yang akan mereka beri untuk tamu, hingga jenis hidangan yang akan mereka suguhkan nanti.Semua orang begitu ribut membahas hal ini, beda dengan diriku dan Riko yang hanya pasrah dan menunggu clear saja.Setelah melakukan banyak persiapan yang hampir disiapkan sebulan penuh, hari bahagia itu akhirnya sampai juga di depan mata. Kami menggunakan konsep adat Jawa dimana kami memang sama-sama keturunan orang Jawa.Pernikahan digelar di sebuah gedung yang besar, mewah, meriah, dan banyak tamu yang diundang. Tentu saja penikahan kali ini tak kalah semarak dari pernikahanku yang dulu. Hanya bedanya, dulu pasanganku adalah pria dingin yang sama sekali tidak berniat untuk membalas cintaku sedangkan saat ini, pria yang berdiri di sampingku adalah pria baik hati yang akan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk
Bab 68. Kedatangan MantanMenahan napas beberapa detik, aku sadar jika kejadian seperti ini pasti bakal terjadi suatu saat. Ya, semenjak pisah dengan Daniel, aku memutuskan akur demi Alvaro. Akur di sini bukan berarti tidak ada lagi masalah, hanya saja aku memilih menghindar tiap kali bertemu Daniel.Pria itu akan datang beberapa bulan sekali untuk menjenguk Alvaro. Hanya Alvaro dan sama sekali tidak bertemu denganku. Bagaimana pun luka tetap saja luka, butuh waktu untuk benar-benar bisa menyembuhkannya."Ini bukan saat yang tepat Mas, aku masih bekerja." Aku mengucapkan alasan sambil menunduk, "mungkin nanti selepas dhuhur kamu bisa menemui Alvaro di rumah."Daniel menggeleng, tidak setuju dengan saran yang kuberikan."Tidak bisa, aku ada pekerjaan lain selepas dhuhur nanti." Daniel menolak ideku, matanya yang tajam kini memandangku, "aku bisa mengubahnya misal kau juga mau menemuiku nanti."Aku menelan ludah. Sulit rasanya menerima penawaran itu, selama ini setiap kali bertemu Alva
Bab 67. Lamaran"Iya, kamu jangan kaget." Ayah menepuk lenganku dengan lembut. "Ternyata Pak Effendi ini dulu temen perjuangan ayah waktu SMA. Kami punya hobi yang sama, sama-sama menyukai bonsai. Hanya baru akhir-akhir ini kami bertemu saat reuni sekolah."Ayah terkekeh, menggelengkan kepala sesaat. "Ternyata dunia ini tidak selebar daun kelor ya. Kukira siapa, ternyata kamu toh.""Dan yang lebih mengejutkannya lagi, si Devi ini sudah kenal Riko beberapa tahun belakangan. Bener-bener jodoh nggak sih Yah?" Ibu turut berbaur dengan perbincangan itu. Kedua keluarga saling terkekeh, berbagi kebahagiaan satu sama lain."Iya Pak, Bu, saya juga kaget ternyata ayah saya malah jauh lebih kenal keluarga ini ketimbang saya," ucap Riko dengan sopan. Pria itu sesekali melirikku yang tengah memangku Alvaro sambil tersenyum."Berarti memang benar-benar jodoh," timpal Pak Effendi mantap dan disambut tawa ceria yang lain."Oh ya Pak, Bu, silakan diminum dulu tehnya. Dimakan juga cemilannya," ucap ibu
Bab 66. Pernyataan Cinta"Ini?" Riko lalu mengalihkan pandangannya sendiri ke arah dekapannya. Ia lantas tertawa, "bukan. Ini keponakanku Dev. Anak dari kakak perempuanku, baru berusia sepuluh bulan.""Oh kirain anakmu," sahutku dengan wajah sedikit malu. Pria berkaos hitam itu hanya terkekeh sambil menimang-nimang keponakannya yang berjenis kelamin perempuan."Bukan. Aku masih single, belum memiliki istri apalagi anak," ujar Riko selaki lagi. "Oh ya, bisa kita ngobrol di sana nggak? Sambil minum kopi atau makan roti."Riko menunjuk pada salah satu stand yang menjajakan kopi dan juga roti. Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Riko, tanpa basa-basi aku pun langsung mengiyakan saja."Kamu pesan apa? Aku hari ini yang akan mentraktirmu," ujar Riko setibanya di stand itu. Sambil mendudukkan keponakannya di pangkuan, Riko begitu luwes ketika memomong bayi berumur sepuluh bulan tersebut."Terserah kau saja," jawabku tanpa keberatan. Riko mengangguk, ia lantas melambaikan tangannya pada penj
Bab 65. Siapa yang Lebih Munafik?POV DeviAku masih diam, saat ini aku nggak tahu harus bersikap bagaimana. Dengan kaki gemetar, aku melangkah untuk melihat bayi mungil tersebut dari dekat.Benar saja, kini terlihat jelas bagaimana wajah, dagu, alis, hingga warna kulitnya sama persis dengan Daniel. Aku menelan ludah, bagaimana pun aku benar-benar seperti ditusuk dari belakang oleh Daniel. Dia bilang nggak berbuat, dia bilang mungkin itu bayi orang lain tapi apa? Buktinya bayi ini bahkan amat sangat mirip dengannya. Memang, dosa akan bicara pada waktunya."Lihat Dev, bayinya mirip dengan Mas Daniel bukan?! Aku tidak berbohong. Aku memang hanya berbuat dengan dia seorang," ucap Anggun sambil menarik tanganku dengan lembut. "Tapi aku nggak tahu harus kukemanakan bayi ini. Mas Daniel terus saja mengelak, ia tidak ingin mengakui anak ini."Anggun mulai terisak, ada kesedihan di wajahnya kali ini. Sebagai seseorang yang sudah menjadi ibu, tentu saja aku tahu bagaimana perasaan Anggun saat
Bab 64. Bayi AnggunPOV AuthorDaniel tak bisa berkata-kata. Wajar jika Riko menyukai Devi, wanita itu sangat baik dan dermawan. Bahkan ketika ia disakiti selalu ada lautan maaf yang ia berikan. Kini, ketika Daniel mendapati kenyataan bahwa Riko juga menyukai Devi, Daniel tidak sanggup mengelak.Posisi pria itu makin terancam, ia tidak bisa bersaing dengan pria sebaik Riko. Sejauh ini hanya pria itulah yang benar-benar peduli pada Devi. Bahkan Riko mengaku jika ia tunduk dibawah kuasa Daniel bukan karena apa melainkan karena permintaan Devi sendiri kepadanya. Ya, saking cintanya Riko ia merendahkan harga dirinya dan membantu rivalnya dalam segala hal.Tertohok, tentu saja. Namun Daniel tidak bisa berbuat apa-apa. Saat ini kondisi rumah tangganya benar-benar berada di ujung tanduk. Karena hawa nafsunya, ia menanam benih pada orang yang salah dan pada akhirnya benih itu tumbuh dan kelak akan bersaksi atas perbuatan salahnya.Satu bulan berlalu, setelah ketahuan menyimpan foto-foto Devi
Bab 63. Penemuan FotoAlvaro, itu nama yang kuberikan pada bayi laki-laki yang kulahirkan beberapa hari yang lalu. Bermakna bijaksana, aku menyematkan harapan yang besar pada anak kesayanganku tersebut. Dilimpahi kasih sayang dari orang-orang terdekat, Alvaro adalah bocah yang penurut dan sangat manis.Setelah memandikannya dengan air hangat dan merawat pusarnya yang belum puput, kususui bayi itu agar tidak rewel dan lekas tertidur seperti sebelum-sebelumnya.Peranku cukup terbantu dengan adanya Bi Nani dan Ibu yang bahu membahu menggantikan posisiku ketika lelah. Mereka tidak membiarkan aku sendirian, selalu menemani dan mengobrol apa saja yang membuatku cukup terhibur dan tidak stres. Ya, Alvaro masih gemar begadang membuat kami bertiga harus bekerjasama untuk merawat bayi mungil berbobot dua setengah kilo gram tersebut."Apakah kau sudah minum susumu dengan baik?" tanya ibu saat mengecek vitamin yang harusnya kuminum pagi ini.Aku mendongak, mengalihkan perhatianku pada Alvaro yang
Bab 62. Tiba WaktunyaSetelah melakukan taruhan itu, aku dan Daniel memang tidak berdekatan satu sama lain. Aku sendiri juga heran, entah kemana perginya rasa cinta yang dulu pernah menggebu untuknya. Aku pun menikmati kesendirianku bersama orangtuaku di rumah yang lama.Seiring berjalannya waktu, kehamilanku telah menginjak usia sembilan bulan. Waktu yang sangat mendebarkan untuk menunggu anakku lahir ke dunia.Sepanjang itu banyak dukungan yang ditujukan kepadaku. Dania yang baru saja naik jabatan, mengirimi kami hadiah yang sangat mengesankan. Ya, sebuah dorongan bayi merek terkenal.Tak hanya Dania, Ratih dan Pamela pun memberikan kami hadiah yang tak kalah menarik. Kehadiran dan dukungan mereka benar-benar menjadi salah satu support sistem saat aku menjalani kehamilanku sendirian tanpa Daniel.Pagi itu aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Berjalan menyusuri taman atau bergerak apa saja guna memperlancar persalinanku nanti.Orangtuaku juga senang ketika aku bisa terpantau di r