Bab 36. Mari Berlibur
"Tidak, aku tidak apa-apa." Aku menepis tangan Daniel yang sedari tadi terus memegangi lenganku. Perlahan duduk di kursi, aku mencoba menstabilkan tubuhku yang terasa tidak enak sama sekali."Kamu pucat, ayo kubantu pergi ke rumah sakit terdekat." Daniel terus saja membujuk, wajahnya terlihat khawatir dengan keadaanku.Aku menggeleng cepat, "tidak, mungkin aku hanya sedikit masuk angin saja.""Tapi ...""Sudahlah Mas, jangan terlalu khawatir. Aku baik-baik saja," tepisku sedikit marah. Aku melotot ke arahnya karena tidak suka, "pergilah. Anak-anakmu jauh lebih membutuhkan dirimu."Daniel terdiam, ia memundurkan langkah beberapa saat. "Apakah itu artinya kau sudah tidak membutuhkan aku lagi?""Cukup Mas, aku nggak bisa meladeni sandiwara yang kau ciptakan. Aku nggak ada waktu, silakan kamu pergi. Aku baik-baik saja di sini."Daniel mengalah, walau wajahnya terlihat kecewa ia tak punya kuasaBab 37. Salah PesanJam menunjuk pukul sepuluh siang, aku bergegas untuk pergi bersama teman-temanku untuk mencoba wahana baru. Meskipun aku tidak terlalu tertarik dengan wahana-wahana seperti itu, demi teman aku rela menyisihkan waktuku bahkan menutup tokoku hanya untuk menghargai mereka.Sama seperti ketiga temanku, demi keakraban dan jalinan pertemanan tetap menyatu, kami rela menyisihkan waktu kami untuk kumpul-kumpul bersama walau sekadar hanya membahas gosip artis yang lagi viral."Bi, saya pergi dulu ya. Ada acara dengan teman-teman, misal Ayah ibu pulang dan menanyakan, tolong bilang sama beliau ya," kataku sambil turun dari anak tangga dan memakai tas selempang warna kuning andalanku."Iya Nyah, nanti saya bilang sama Tuan besar dan Nyonya besar." Bi Nani menganggukkan kepala, menatap diriku dengan pandangan khidmat.Aku tersenyum lalu mengangguk, "ya sudah. Hati-hati di rumah ya Bi."Seperti biasa, setiap kali aku pergi
Bab 38. Pesan AlamAku tidak bisa menolak keinginan Daniel, terlebih teman-teman kini berpihak kepadanya. Entah khawatir atau apa, ketiga temanku mendadak setuju dengan keputusan Daniel tersebut."Yang dikatakan Mas Daniel ada benarnya Dev, jika kamu beberapa kali muntah itu tandanya memang ada yang tidak beres dengan tubuhmu," ujar Dania begitu perhatian. Ia menyentuh tanganku dengan lembut, "kamu pergi ke dokter ya. Tapi maaf, kami tidak bisa mengantarmu. Kami hanya berharap semoga sakitmu segera sembuh seperti sedia kala.""Betul Dev, kali ini nurut sama Mas Daniel aja ya. Nggak ada salahnya untuk periksa, toh itu untuk kesehatanmu juga." Ratih ikut membujuk.Aku diam untuk mencerna bujukan mereka. Yang membuatku tidak nyaman adalah kenapa aku harus pergi dengan Daniel hari ini. Tahu sendiri kan, Daniel jika mulai posesif, maka posesifnya melebihi siapa pun."Mas, tolong bawa Devi ke rumah sakit ya. Kami nitip Devi sama kamu, semoga le
Bab 39. Takut Melangkah"Iya Pak, selamat ya. Mungkin untuk kondisi jelasnya bisa langsung periksa ke dokter kandungan yang ahli," ucap Dokter Chris dengan wajah berseri-seri.Berbeda dengan sang dokter, kami justru mendapatkan dilema masing-masing. Daniel mungkin juga syok dengan apa yang terjadi sementara aku, jangan ditanya perasaanku seperti apa. Disaat aku berusaha untuk merelakan Daniel untuk perempuan lain, Allah menganugerahkan hal tak terhingga seperti ini."Karena saya hanya dokter umum, saya hanya bisa meresepkan beberapa vitamin dosis rendah saja untuk Ibu Devi. Selebihnya silakan periksakan pada dokter kandungan yang ahli ya Bu," ucap Dokter Chris sambil meraih kertas dan mulai meresepkan obat yang nantinya bisa ditebus di apotik terdekat.Setelah menerima kertas resep tersebut, kami beranjak berdiri dan mohon pamit."Terima kasih ya Dok, saya akan segera menebus obatnya di apotik terdekat. Permisi," ucap Daniel sambil menyal
Bab 40. Sebuah PermintaanAkhirnya setelah melalui banyak pertimbangan, aku memutuskan untuk ikut menjenguk Dena. Karena dia bocah, aku mengesampingkan rasa kesalku pada Anggun—selingkuhan suamiku.Mobil yang kami tumpangi berbelok dari arah semula, siang menjelang sore itu kami berencana untuk menjenguk Dena dulu baru pulang ke rumah. Perjalanan menuju ke rumah sakit anak tempat Dena dirawat cukup lama. Kami butuh sekitar tiga puluh menit untuk sampai kesana. Di kotaku rumah sakit khusus anak bisa dihitung dengan jari, itu pun jaraknya lumayan jauh dari pusat perkotaan.Mampir dulu memberi parcel buah, aku berharap oleh-olehku kali ini bisa menghibur Dena. Ya, seperti naluri ibu lainnya, tidak mungkin mampu membenci seorang anak hanya karena ibunya telah melukai hati kita.Setelah melakukan perjalanan panjang, aku dan Daniel sampai juga di rumah sakit anak. Rumah itu penuh dengan pasien anak kisaran usia satu tahun hingga belasan tahun. Beberapa diantaranya tampak bermain di taman ru
Bab 41. Haruskah BerceraiApa sih yang membuat Mas Daniel jadi rebutan? Sejenak pemikiran itu mendominasi pikiranku sekarang. Memikirkan Dena, memikirkan Anggun, aku benar-benar merasa pusing dengan masalah ini. Semuanya bertubi-tubi menimpaku, apakah salah jika aku mempertahankan suamiku?Aku duduk gelisah di dalam mobil. Akhirnya Daniel bersikeras untuk mengantarku pulang ke rumah. Dengan kondisi masih sedikit mual dan pusing, Daniel tidak ingin masalah seperti waktu itu kembali menimpaku. Ya, setidaknya dia masih memiliki tanggung jawab atas keselamatanku."Kenapa hanya diam? Kamu memikirkan ucapan Dena?" Daniel akhirnya bersuara setelah kami hampir sepuluh menit tidak bicara. "Kamu tak seharusnya memikirkan ucapannya. Itu hanya permintaan seorang bocah yang begitu terobsesi kepadaku."Aku mendengkus berat, melayangkan pandangan ke arah Daniel seketika. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu pada bocah yang sedang sekarat seperti Dena."D
Bab 42. FlashbackPOV DanielAku tidak habis pikir kenapa keluarga Devi begitu sigap membahas soal perceraian. Apakah ini sudah direncanakan? Entahlah. Aku menggeleng, kepalaku pusing tujuh keliling. Mereka tidak tahu bagaimana usahaku untuk memikirkan jalan keluar dari semua permasalahan ini.Masuk ke dalam mobil, kutatap kertas itu dengan pandangan tak percaya. Ya, benar-benar tak percaya. Aku mendengkus kesal lalu memukul kemudi untuk melampiaskan kemarahanku.Mungkin aku terkesan lambat dalam menangani masalah ini, hanya saja, bisakah mereka sedikit bersabar? Aku menggeleng, menelan kepahitan seorang diri.Jika aku tidak tahu ada janin dalam rahim Devi, mungkin kuiyakan saja permintaan mereka. Aku juga tidak mau dibilang maruk harta terus menerus oleh kedua orangtua Devi. Selama ini cukup bagiku untuk hidup dibawah bayang-bayang orangtua istriku tersebut. Aku tertekan tapi aku tidak punya pilihan.Menarik napas dalam-dalam, kuatur
Bab 43. Kunjungan TemanPOV DeviKarena memasuki kehamilan trimester pertama, aku merasa tubuhku sangat lemas dan tidak bertenaga. Makan juga tidak berselera walaupun ibu, ayah, hingga Bi Nani sudah membujukku. Yang kulakukan hanyalah goleran di atas ranjang, sesekali mengecek ponsel, dan menikmati saluran drama korea dari Chanel langganan kami di rumah.Aku benar-benar merasa buruk, tidak ingin melakukan apa pun, bahkan tidak ingin menjumpai siapa pun. Pagi itu, demi melihat kondisiku pasca mual-mual dan muntah di area wahana, ketiga temanku datang ke rumah untuk menanyakan kabar.Ibu yang kala itu berada di rumah sangat menyambut kedatangan Pamela, Ratih, dan juga Dania. Ibu tahu, hanya mereka bertiga teman terdekatku saat ini."Silakan kalian naik dan masuk ke kamar Devi. Kamarnya yang memiliki tirai warna pink ya, Ibu rasa dia akan senang jika kalian datang." Wanita paruh baya itu tersenyum sambil mempersilakan ketiga temanku untuk langsun
Bab 44. Menemukan Hal MencurigakanPepatah mengatakan bahwa cinta sering membuat seseorang menjadi linglung, mungkin hal itu terjadi pada diriku juga. Aku yang hendak melepas Daniel untuk Anggun dan anak-anaknya, nyatanya justru kembali mendekat dan tidak tahu harus berbuat apa.Teman-teman menyarankan agar aku memikirkan kembali keputusan untuk bercerai. Demi anak kata mereka. Aku bahkan didorong untuk berjuang sekali lagi untuk merebut Daniel dari Anggun. Bagaimana pun, meski Anggun dan Daniel telah memiliki anak, aku juga berhak berjuang demi anakku juga.Bingung dan cemas, itu yang kualami sekarang. Di sisi lain aku memang enggan berpisah dari Daniel mengingat bagaimana nasib anakku kelak jika menanyakan tentang ayahnya. Namun jika aku terus melanjutkan keinginanku, bagaimana dengan janjiku pada Dena? Bocah kecil itu sangat bergantung pada Daniel dan tidak mungkin bisa berbagi dengan diriku apalagi dengan anakku nanti.Siang ini, setelah mende
Bab 54. FrustrasiPOV AuthorSetelah mendapatkan panggilan dari Devi, Riko yang kala itu masih lembur di kantor terpaksa mengakhiri pekerjaannya. Akhir-akhir ini waktunya banyak tersita hanya untuk menggantikan beberapa tugas berat dari Daniel. Mabuk cinta serta banyaknya masalah membuat Daniel tidak pernah lagi konsen pada pekerjaan dan itu yang membuatnya harus rela pulang paling akhir sendiri di kantor.Mendengkus pelan, Riko mematikan komputer. Jika tidak ingat ini adalah permintaan Devi, mungkin ia tidak akan pernah berbuat baik lagi pada seseorang yang jelas-jelas telah melukai Devi hingga begitu dalam.Ah, Riko menyandarkan punggungnya sejenak. Menghidupkan ponsel lalu menatap gambar yang menjadi wallpapernya sekarang. Ia tersenyum tipis saat wajah ayu itu terlihat disana, sayang dia hanya bisa mencicipi keindahannya tanpa bisa memilikinya.Mendengkus perlahan, Riko bangkit lalu mengantongi ponselnya di saku. Ia bergegas menuju ke cafe
Bab 53. PencerahanAku tidak ingin mengejar, itu yang kuputuskan dalam hidup. Tiga tahun berumah tangga dengan Daniel, hanya kepahitan yang selalu kurasakan setiap harinya. Kenapa saat itu aku bertahan? Karena mungkin aku bodoh, mencintai seseorang seolah tiada habis, mendambanya siang malam seperti Pungguk merindukan bulan. Nyatanya? Aku terluka sendiri dan nyaris lumpuh oleh pilihanku sendiri.Benar kata Bi Nani, jangan pernah tinggalkan sholat apa pun keadaanmu. Memperbaiki sholat sama halnya memperbaiki hidup. Pada awalnya aku bukanlah orang yang taat beragama, ibadah sering bolong-bolong dan hanya ingat saat senggang saja. Bi Nani mengajariku, bahwasanya hidup itu berputar. Apa pun yang terjadi pada diriku sekarang adalah bagian dari takdir. Aku tidak bisa mengubahnya melainkan dengan kekuatan doa.Berdoa pun aku tidak lagi meminta supaya Mas Daniel mencintaiku namun meminta supaya dadaku semakin dilapangkan dan keteguhanku semakin dibulatkan. Ya Rab
Bab 52. Buket BungaPOV DeviTernyata menjalankan sholat lima waktu tidak hanya mampu menstabilkan emosi dan suasana hati melainkan juga mampu membimbingku pada keputusan yang bijak. Ya, setidaknya dengan memiliki Allah aku tidak merasa sendiri dan cukup tenang dalam menghadapi badai hidup.Hari ini aku sudah bisa beraktivitas kembali, bekerja di toko perlengkapan bayi dan menjalani rutinitas tanpa halangan yang berarti. Sambil tersenyum, kuusap perutku yang masih datar dan membisikinya sesuatu."Hari ini jangan rewel ya Nak, kita mulai bekerja seperti biasa. Kamu akan menemukan hal baru di luar sana, Mama yakin kamu pasti akan menyukainya dan tidak akan sedih lagi."Setelah mengusap lembut dan membisikinya dengan merdu, kuraih tas tangan yang tergeletak di atas meja rias. Menatap penampilanku yang maksimal, aku ingin menjalani hari-hariku seperti dulu, hari-hari yang penuh keceriaan dan tidak ada duka yang menyelimuti.Turun dari ana
Bab 51. Sudah Berakhir"Sebenarnya ... Sebenarnya, dia ini saudaraku Mas. Jauh-jauh dari Bali untuk mengunjungiku dan juga keponakannya," ucap Anggun mencari alasan yang menurutnya tepat.Aku memicingkan mata, mengawasi gerak-geriknya yang menurutku memang mencurigakan."Aku belum memperkenalkan kamu dengan dia, maaf ya Mas udah menciptakan kesalahpahaman ini. Tapi bener kok, dia saudaraku dari Bali." Anggun mendekat padaku, tiba-tiba menjatuhkan kepalanya di dadaku dengan manja. "Sudah jangan marah seperti ini. Semua ini salahku, aku yang tidak memperkenalkan kamu padanya.""Anggun!" Sandi menghardik, tak percaya jika wanita yang menjadi kekasihnya lima tahun terakhir tiba-tiba bersandiwara seperti itu. "Apa yang kau lakukan? Kau menjilat ludahmu sendiri hah?! Kau amnesia?"Anggun menegakkan kepala, memandang Sandi dengan tatapan bingung. Ia berpura-pura tak terjadi apa pun, mencoba tidak panik yang pada akhirnya justru menggiring dia pa
Bab 50. Ayah Kandung DenaPOV DanielTugasku belum selesai, setidaknya itu yang ada dalam pikiranku. Mendapati pesan dari Riko, semangatku yang pada awalnya padam kini berkobar kembali. Untuk mencari siapa ayah biologis Dena dan Della, kukerahkan sebanyak orang yang kutahu. Tak peduli membayar berapa, aku hanya ingin tahu kebenaran yang sebenarnya."Aku harus kembali," kataku pada Devi setelah tanpa sengaja menunjukkan rasa kerinduanku yang dalam pada wanita itu.Apa? Rindu yang dalam? Ah, sepertinya karena terlalu banyak masalah, aku menjadi tambah gila sekarang.Devi hanya diam, aku tahu dia lagi-lagi kecewa padaku. Untuk menenangkan hatinya, kembali kuraih kedua tangannya yang mungil dan berkulit putih bersih tersebut."Percaya padaku Dev, hingga masalah ini belum menemukan titik terang, aku tidak akan pernah melepaskanmu barang sedikit pun." Kupandang matanya yang bening namun memancarkan keindahan itu cukup lama, pesona yang
Bab 49. Jangan BerpisahPOV DeviTerus memikirkan Daniel bukan berarti aku lupa akan kesehatan diri, aku sadar dengan keadaanku yang ringkih ini, aku gampang sekali terserang penyakit. Satu-satunya solusi yang kuambil adalah memperbanyak minum vitamin dan juga berolahraga secara rutin.Jam menunjuk pukul tiga sore, waktu yang tepat untuk berolahraga dengan santai. Karena aku sedang berbadan dua, kuputuskan untuk mengambil yoga sebagai olahraga alternatif selama di rumah."Nyah, ada surat untuk Nyonyah." Bi Nani tergopoh-gopoh menghampiriku yang tengah duduk di atas matras dan melakukan gerakan yoga.Aku menoleh, menyeka peluh yang bercucuran dengan handuk yang terkalung di leherku. "Surat apa Bi?""Entahlah Nyah, tadi ada Pak pos datang membawakan amplop coklat ini. Katanya dari pengadilan," ucap Bi Nani dengan polos. Wanita paruh baya itu berdiri di sampingku sambil menyodorkan amplop.Aku mendongak, perasaanku sudah ti
Bab 48. Panggilan dari Pengadilan"Surat apa-apaan sih ini Mas? Kamu jangan ngada-ngada ya?! Mana ada. Kamu itu ayah kandungnya Mas, sudah deh percaya sama aku. Lagipula darimana kamu dapat surat kayak gitu hah? Surat itu hanya ingin memecah keharmonisan kita aja Mas," bantah Anggun sambil meremas kertas tersebut lalu memberikannya padaku. "Percaya sama aku Mas, kamulah ayah kandungnya.""Tidak, aku percaya dengan bukti ini. Anggun, katakan padaku yang sejujurnya. Siapa ayah Dena yang asli," tegasku sambil menyorot matanya dengan tajam."Mas, kamu ini kenapa sih?! Aku sudah bilang, kamu ini ayah kandungnya. Masa nggak percaya sih.""Nggun, surat ini tuh udah akurat. Aku sengaja mengetes sampel DNA Dena dua minggu yang lalu. Aku penasaran, kenapa Dena memiliki golongan darah yang berbeda dari kita.""Mas, jadi orang jangan picik-picik amat deh Mas. Coba kamu baca artikel atau tanya ke dokternya langsung. Golongan darah anak bisa saja berbe
Bab 47. Meminta KepastianPOV DanielDua Minggu ini aku menghilang, sengaja pergi dari kehidupan Devi karena memang aku memiliki urusan sendiri. Kurasa tidak apa-apa mengabaikan Devi sementara waktu toh dia wanita yang kuat dan tegar, ia tidak akan mungkin marah jika aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri.Setelah mengurusi operasi Dena, aku masih memiliki kepentingan yang hanya aku dan Riko yang tahu. Ya, aku diam-diam mengumpulkan helaian rambut Dena untuk kuuji DNA di rumah sakit lain. Tentu saja semua ini bersifat rahasia tanpa satu orang pun yang tahu kecuali Riko.Berawal dari rasa penasaran kenapa golongan darah kami berbeda, dari situlah aku memberanikan diri untuk mengetes DNA Dena dan memasukkannya ke laboratorium rumah sakit lain. Aku tidak ingin tindakanku ini dianggap gegabah makanya aku menyembunyikannya dari orang-orang.Aku mengabaikan segalanya hingga waktuku benar-benar senggang sekarang. Mengingat kandungan Devi terus ber
Bab 46. Salah PahamWanita diciptakan dengan segala keruwetannya, berkata tidak padahal ingin, pura-pura abai padahal ingin diperhatikan. Begitulah dengan diriku sekarang, Daniel kira aku bilang ingin cerai itu adalah sungguhan? Tidak, aku tidak betul-betul menginginkannya. Hanya saja pria itu salah memahamiku dan akhirnya benar-benar menceraikanku. Walau bagaimana pun nasi sudah menjadi bubur.Aku mendesah berat, setelah tahu Daniel membubuhkan tanda tangannya di atas kertas itu aku memilih untuk tidak mencari tahu akan dikemanakan kertas itu selanjutnya. Aku hanya akan menunggu surat panggilan dari pengadilan saja.Duduk termenung di dalam kamar, kulalui waktu-waktuku yang sepi hanya untuk menatap keluar jendela kamar. Jarang bicara bukan berarti aku tengah terpuruk sekarang. Hanya saja, terkadang orang memilih diam untuk melihat hal lain lebih jernih lagi.Aku tidak memikirkan apa pun, masalah toko perlengkapan bayi yang kubuka beberapa waktu l