Aku yang masih bimbang karena apa yang akik katakan hanya diam dan memikirkan lagi keputusan yang baru saja aku katakan kepada akik.Dalam ke bimbanganku itu, tiba-tiba aku teringat kata-kata Mas Budi ketika aku memejamkan mata saat kejadian angin dan suara Pangeran Dayu membuat keributan di gubuk akik ini, dan aku kini sudah sangat yakin dengan keputusanku. Karena bila terus seperti ini, maka aku akan terus terkurung di desa ini.“Ajeng yakin, Ki. Dan Ajeng tidak akan menyesalinya,” jawabku mantap kepada akik.“Kalau memang Nak Ajeng sudah yakin dan mantap dengan keputusan Nak Ajeng, akik akan menyiapkan semuanya,” ucap akik.***Hari ini akik dan ninik sudah terlihat sibuk sejak pagi, dan aku hanya bisa diam dan menyaksikan apa yang mereka lakukan. Aku diam bukan karena tidak ingin membantu mereka, tapi akik sendiri yang memintaku untuk berdiam diri dan tidak membantu mereka.Akik memintaku untuk berdiam diri di dalam gubuk untuk menenangkan diri. Karena mulai hari ini mereka akan m
Aku yang terkejut dengan kehadiran orang-orang yang aku lihat di depan gubuk membuatku tidak bisa meneruskan langkahku, dan aku memilih untuk masuk lagi ke dalam gubuk untuk menghindari orang-orang yang menakutkan itu.“Ki, cepat kemari!” teriak Ni Imah memanggil suaminya.“Ada apa, Ni? Apa yang terjadi?”“Itu Nak Ajeng, Ki. Ninik tidak tahu apa yang terjadi dengannya.”“Biar akik lihat dulu, Ni.”Di dalam gubuk aku bisa mendengar seluruh percakapan akik dan ninik, tapi aku tetap tidak berani keluar untuk menemui mereka, dan itu karena orang-orang yang aku lihat di depan gubuk yang memperhatikanku.“Ada apa, Nak Ajeng? Mengapa Nak Ajeng seperti ini?” tanya akik.“I –itu, Ki.” Ujarku sambil menunjuk ke arah keluar pintu.Akik yang sepertinya mengerti dengan apa yang aku maksud lalu memejamkan mata, dan tak lama akik lalu mengusapkan tangannya ke mataku dan aku tidak melihat orang-orang itu lagi setelah akik mengusap mataku.“Bagaimana, Nak Ajeng. Apa Nak Ajeng sudah lebih baik?” tanya
“Nak Ajeng,” tegur Ni Imah mengejutkanku, “Ada apa Nak Ajeng berdiri di sini? Apa Nak Ajeng sedang mencari akik?” lanjut wanita tua itu.“Itu, Ni. Ajeng—.”“Ada apa, Nak Ajeng? Apa Nak Ajeng mencari akik?” sela akik yang sudah berada di sampingku.Melihat akik yang sudah berdiri di sampingku, aku lalu menoleh ke arah tempat akik berbicara dengan orang yang sebelumnya aku lihat, tapi ternyata orang itu sudah tidak ada.“Ke mana orang itu?” ucapku sambil mencari keberadaan orang yang tadi berbicara dengan akik.“Siapa yang Nak Ajeng cari?” tanya akik.“Itu, Ki. Yang tadi berbicara dengan akik. Sekarang dia di mana?” jawabku masih sambil mencari keberadaan pria itu, dan tidak memperhatikan akik.“Siapa yang Nak Ajeng maksud? Akik dari tadi tidak bicara dengan siapa-siapa di sana,” jawab akik yang membuatku mengalihkan pandanganku, “Akik hanya membersihkan sisa ritual saja tanpa ditemani siapapun,” lanjutnya.“Itu, Ki. Seorang pria yang baru saja akik ajak bicara, dan pria itu mirip sekal
“Aryo, ayo ikut bapak!” terdengar akik berbicara.“Tapi, Pak. Aryo ha—.”Suara Aryo langsung menghilang bersamaan dengan derap langkah kaki yang menjauh, dan aku langsung menggunakan kesempatan itu untuk pura-pura terbangun agar akik dan ninik tidak curiga. Selain itu, aku juga ingin mengetahui yang terjadi.“Na –Nak Ajeng,” ucap Ni Imah dengan raut wajah yang terlihat terkejut.Aku lalu mengusap mataku yang tidak mengantuk agar ninik percaya aku baru bangun. Ni Imah terlihat gugup ketika aku bangun dan menatapnya, dan aku tahu sekali mengapa Ni Imah bersikap seperti itu.“Ada apa, Ni? Mengapa ninik gugup seperti itu? Apa ada yang terjadi dengan akik?” tanyaku berpura-pura tidak tahu.“Akik baik-baik saja, Nak Ajeng. Hanya, hanya,” jawab ninik terlihat binggung.Aku yang tadinya duduk, kini menghampiri Ni Imah. Tapi baru saja aku akan bertanya kepadanya lagi, terdengar suara akik sedang berbicara dengan seseorang, dan aku yakin sekali orang itu adalah Aryo.“Akik sedang berbicara deng
Ki Joko dan istrinya hanya saling memandang ketika aku bertanya kepada mereka. Namun ninik kemudian mengangguk dan menyentuh lengan akik, dan akik kemudian memintaku dan Aryo untuk duduk.Setelah aku dan Aryo duduk, akik dan ninik pun duduk berhadapan dengan kami, dan suasana saat ini terasa sangat tegang hingga belum ada yang berbicara satu kata pun di antara kami berempat.“Jadi siapa sebenarnya Aryo, Ki?” tanyaku memecah keheningan di antara kami, “Apa dia bukan manusia seperti kita? Apa dia?” lanjutku sambil melirik Aryo.Aku sengaja menjeda kalimatku, karena aku takut apa yang ada dipikiranku ternyata benar. Karena bila itu terjadi, maka mungkin saja kejadian waktu itu akan terjadi lagi, dan aku tidak ingin menjadi bagian dari mereka.“Aku manusia sama seperti kalian, Ajeng! Memangnya kamu pikir aku apa?” ucap Aryo penuh penekanan.“Cukup, Aryo. Tolong jangan seperti ini, Nak.” Ucap akik dengan suara yang gemetar.“Tapi, Pak. Apa salah, Aryo? Aryo hanya menyukai Ajeng dan ingin b
Aku dan akik yang masih berada di dalam gubuk langsung berlari keluar untuk melihat yang terjadi. Ternyata di luar gubuk berdiri seorang raksasa dengan wajah yang sangat seram, dan raksasa itu berteriak dan menghancurkan yang di sekitarnya.Untung saja di sekitar rumah akik tidak ada rumah lain. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka.“Aryo, hentikan!” teriak akik sambil menatap raksasa yang berdiri di depannya.“A –Aryo?” ucapku terkejut.Aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar menoleh ke arah akik, dan benar saja. Akik memanggil raksasa itu dengan nama Aryo.Apakah itu artinya wujud Aryo yang sebenarnya adalah raksasa ini?Takut dan tidak percaya, itulah yang aku rasakan saat ini, dan aku langsung melangkah mundur, begitu raksasa yang ada di depanku saat ini menatapku dan kepalanya perlahan-lahan turun dan mengarah kepadaku.“Ajeng,” panggil raksasa itu dengan suara yang menggelegar sambil menatapku.“Aryo, hentikan! Apa kamu ingin membuat Nak
Ni Imah yang duduk di samping suaminya lalu menggeleng, dan akik pun lalu menatapku dan mengatakan kepadaku agar aku tidak usah memikirkan tentang Aryo lagi, dan aku harus fokus pada tujuanku. Karena masih ada ritual lain yang masih harus kami lakukan, dan akik tidak ingin masalah Aryo mengganggu ritual yang sudah kami mulai sebelumnya.“Sekarang Nak Ajeng lebih baik beristirahat saja. Karena besok kita harus melakukan ritual terakhir,” ujar Akik.“Iya, Ki.”Akik dan ninik kemudian keluar setelah melihatku berbaring, dan mereka mengatakan kepadaku akan menyiapkan perlengkapan ritual lagi untuk besok pagi. Karena perlengkapan ritual sebelumnya sudah hancur berantakan karena ulah Aryo. Jadi mereka harus menyiapkan ulang.***Aku tidak tahu kapan aku tidur tadi malam. Karena seingatku, gara-gara memikirkan tentang Aryo aku tidak bisa memejamkan mataku. Walaupun aku sudah berusaha memejamkan mataku tapi tetap saja pikiranku terus saja memikirkan tentang Aryo.Sedangkan ninik dan akik, aku
“Euuu, euuu,” panggilku dengan suara yang harus sedikit aku paksa.“Ki, Nak Ajeng,” terdengar suara ninik berteriak.Aku yang masih merasakan perih dan sakit di seluruh tubuh dan wajahku kemudian mencoba menggerakan tubuhku dan membuka mata, tapi rasa sakit itu masih saja menyerangku. Bahkan rasa sakit itu sampai ke tulang.“Ada apa dengan Nak Ajeng, Ni?” tanya akik.“Nak Ajeng sudah sadar, Ki. Lihat, Nak Ajeng sudah membuka matanya,” jawab Ni Imah.“Syukurlah, Ni.” Jawab Ki Joko sambil menatapku dan wajahnya terlihat bahagia, “Nak Ajeng, apa Nak Ajeng bisa mendengar akik?” lanjut Ki Joko.Ketika aku akan menjawab apa yang Ki Joko tanyakan mulutku masih terasa sakit untuk berbicara. Jangankan untuk berbicara menelan ludahku saja terasa sakit sekali.Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, tapi ketika aku mencoba melihat tubuhku. Aku melihat tubuhku dililit dengan kain, dan memiliki bau yang tidak pernah aku ketahui sebelumnya.“Kalau Nak Ajeng tidak bisa bicara maka cukup mengger
“Seperti apa yang saya katakan sebelumnya, Cempaka. Bila kamu melewati pintu itu, maka kamu harus memilih. Kamu atau masmu yang akan hidup?” jawab Tuan Wisesa mengulangi pertanyaannya.“Ayah—,” ucap Dimas. Namun ayahnya segera menghentikannya dengan memberi isyarat.“Apa saya harus melakukannya, Tuan?” tanyaku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.Pertanyaan yang Tuan Wisesa berikan benar-benar di luar dari perkiraanku. Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu ketika Mas Budi atau Wirya tidak sadarkan diri. Apakah ini ada hubungannya dengan Pangeran Dayu?“Harus! Karena hanya itu saja yang bisa saya lakukan untuk meneruskan keturunan kalian,” tegas Tuan Wisesa membuatku tidak bisa berpikir.“Ma –maksud, Tuan?”“Ketika saya memutuskan untuk menyelamatkan kalian, ada hal yang harus digantikan untuk mengakhiri penjanjian terlarang itu, dan ayahmu s
“Cukup, Yah! Jangan—,” cegah ibu Dimas menghentikan suaminya. Namun Tuan Wisesa langsung menghentikan tindakan istrinya dengan memberi isyarat tangan.Ibu Dimas yang tadinya seperti menentang suaminya langsung terdiam begitu suaminya memberi tanda. Wanita itu seperti tidak berdaya bila suaminya seperti itu.“Jangan ada yang berani berbicara atau menyela apa yang saya katakan lagi. Bila tidak, jangan salahkan saya bila kalian tidak bisa berbicara lagi setelah itu!” ancam Tuan Wisesa.Mendengar ancaman Tuan Wisesa semua orang terlihat takut, termasuk aku. Tapi aku juga ragu apakah ancaman dari pemilik rumah ini benar-benar akan menjadi nyata atau tidak bila ada orang yang melanggarnya. Bila itu benar terjadi, itu artinya Tuan Wisesa bukan hanya kaya raya, tapi dia juga bukan orang biasa.“Cempaka, Wirya, saya tahu ini akan mengejutkan kalian berdua. Tapi ini adalah kebenarannya, dan kalian berhak tahu semua ini. Kalian be
“Iya, bukti. Tanpa bukti kalian tidak bisa menuduh keponakankan melakukan hal yang kalian tuduhkan,” ujar ibu Dimas dengan lantang.Semua orang hanya diam ketika ibu Dimas berkata seperti itu. Namun ayah Nirmala tiba-tiba mendekati istri Tuan Wisesa itu, dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan menunjukkan bukti yang dia minta.Tegang dan bertanya-tanya, mungkin itu yang ada dalam pikiran beberapa orang yang ada di sini, termasuk aku. Hal itu terlihat dari raut wajah mereka ketika melihat perdebatan antara kakak beradik itu.“Bukti itu ada di sini dan saya akan mengatakannya di depan kalian semua,” ujar ayah Nirmala tak kalah lantang dengan ibu Dimas.Ketegangan semakin terasa ketika ayah Nirmala mengatakan hal itu. Pria itu diam sejenak sambil menatap keluarganya, terutama kedua anaknya. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, yang pasti itu bukan sesuatu yang mudah, dan itu terlihat sekali dari sorot matanya yang menampakkan k
Aku yang masih membeku kemudian berbalik dan menatap semua orang yang ada di dalam ruangan ini. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan, dan itu membuatku sangat tidak nyaman.“Mas Wisesa, apa maksud mas? Memangnya siapa Cempaka itu? Dan apa hubungannya dengan semua ini?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.Tuan Wisesa bukannya menjawab pertanyaan adik iparnya, tapi dia malah menatapku dan mendekatiku. Ayah Dimas itu lalu mengajakku untuk kembali ke tempatku semula dan dia mengenalkanku kepada kedua orang tua Nirmala bukan sebagai pelayan rumah ini. Melainkan sebagai wanita yang seharusnya memang menikah dengan Dimas.Mendengar hal itu membuatku sangat terkejut. Bukan hanya aku, tapi semua orang yang ada di ruangan ini. Bahkan aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar berusaha untuk memahami itu semua, tapi aku tetap tidak mengerti.“Apa maksud Mas Wisesa?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.“Apa
“Ayah, tidak usah membahas hal ini lagi. Nirmala sudah menerima keputusan Dimas. Jadi kita tidak perlu memperpanjang masalah ini,” ujar Nirmala masih sambil berdiri dan menatap kami semua secara bergantian.“Nirmala, apa maksudmu nak? Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Bukankah kamu ingin menjadi istri Dimas?” tanya ibu Nirmala terlihat heran.Bukan ibu Nirmala saja yang dibuat heran dan binggung, tapi kami semua yang ada di sini. Bagaimana bisa dia mengatakan menerima keputusan Dimas dengan semudah itu. Mencurigakan!“Benar Nirmala ingin menjadi istri Dimas. Tapi …,” Nirmala menggantung jwabannya dan menatapku sesaat, “Dimas tidak mencintai Nirmala, Bu. Dimas mencintai Cempaka, wanita yang duduk di samping Dimas saat ini,” lanjut Nirmala.“A –apa? Maksudmu pelayan wanita itu, Nirmala?” ucap ibu Nirmala terlihat terkejut.“Bulek!” bentak Dimas tiba-tiba
“A –ayah,” ucap Birawa terlihat terkejut.Pria yang baru saja datang itu terlihat sama terkejutnya seperti Birawa. Wajahnya yang hampir mirip dengan istri Tuan Wisesa tampak dingin menatap putranya itu, dan tak lama seorang wanita tiba-tiba muncul di belakang pria yang masih berdiri di depan pintu menatap dingin Birawa.“Birawa, kamu di sini nak?” ucap wanita tua itu dengan wajah yang tidak bisa aku artikan.Tapi wanita itu tidak bersikap dingin seperti ayah Birawa yang masih saja membeku. Wanita itu kemudian melangkah untuk mendekati Birawa. Namun pria yang bergelar ayah Birawa segera menahannya.“Ingat tujuan kita datang kemari!” tegas ayah Birawa sambil melirik wanita yang sepertinya istrinya.“Itu orang tua Nirlama dan Birawa,” bisik Damar tanpa aku tanya.Aku yang sudah menduga hal itu hanya diam, dan tidak menanggapi apa yang adik Dimas itu katakan. Walaupun awalnya aku cukup terkej
Aku dan semua orang yang ada di tempat ini langsung menoleh ke arah sumber suara yang sudah mengejutkan kami. Nirmala berdiri dengan raut wajah sangat marah menatap Dimas hingga guratan otot di lehernya terlihat dengan jelas.“Kembali ke kursimu, Nirmala!” bentak Tuan Wisesa tak kalah nyaringnya dengan apa yang Nirmala lakukan. Bahkan aku saja sampai takut mendengarnya.Tapi wanita itu masih saja berdiri dan mengabaikan apa yang Tuan Wisesa katakan. Bahkan ibu Dimas yang duduk di sampingnya sampai berdiri untuk menenangkannya. Namun wanita itu masih saja tidak mau duduk sambil menatapku dan Dimas secara bergantian seperti akan menerkam kami.“Dengar, Dimas. Aku tidak menerima ini semua. Aku mencintaimu, dan hanya aku yang pantas menjadi istrimu!” tegas Nirmala.“Nirmala!” bentak Dimas yang kini berdiri dengan wajah memerah.Melihat perseteruan antara Dimas dan Nirmala membuat suasana ruangan ini mencekam. Hal ini
“Tenang saja Nirmala, semua akan baik-baik saja. Kamu akan menikah dengan Dimas, dan bude sendiri yang akan membuat hal itu terjadi,” ucap ibu Dimas sambil mengusap punggung Nirmala yang kini tengah menunjukkan wajah seperti teraniaya.Nirmala yang menunjukkan wajah sedih mengangguk menjawab apa yang ibu Dimas katakan. Mereka berdua kemudian melangkah mengikuti Tuan Wisesa. Sedangkan aku memilih untuk bersembunyi terlebih dahulu, daripada menampakkan batang hidungku di depan mereka. Karena mereka pasti tidak akan menyukainya.“Apa sudah bisa saya mulai?” ucap Tuan Wisesa sambil menatap sekitar.Semua orang yang ada di ruangan ini hanya mengangguk. Aku yang berdiri di pojokan hanya bisa menunduk, hingga Tuan Wisesa kemudian memintaku untuk bergabung bersama dengan mereka semua yang sedang duduk bersama, dan itu membuatku terkejut.“Kemarilah, Cempaka. Tidak perlu takut,” ucap Tuan Wisesa lagi.Semua mata memandangku tidak suka ketika pemilik rumah ini memintaku untuk mendekat, kecuali
Di dalam ruangan di mana aku berdiri saat ini sudah seperti ruang persidangan saja. Karena yang ada di dalam ruangan ini bukan hanya aku dengan Tuan Wisesa saja, tapi juga ada Dimas, Nirmala, Wirya dan beberapa orang lainnya yang tidak aku kenal.“Saya harap tidak ada yang berbicara ketika saya berbicara dengan Cempaka? Bila ada, maka silahkan keluar dari ruangan ini!” tegas Tuan Wisesa menggelegar ke seluruh ruangan.Semua orang yang ada di ruangan ini tidak ada yang menjawab atau membatah pemilik rumah ini. Mereka semua hanya menunduk sebagai tanda mengerti.Setelah itu Wirya dan beberapa orang pengawal yang ada di dalam ruangan ini kemudian keluar dan menutup pintu ruangan ini. Kini tinggal aku dan Keluarga Wisesa saja yang berada di dalam ruang tertutup ini.“Apa kamu tahu Cempaka mengapa saya memanggilmu ke sini?” tanya Tuan Wisesa.“Ti –tidak tahu, Tuan.” Jawabku dengan menunduk.“Kalau b