Ki Joko dan istrinya hanya saling memandang ketika aku bertanya kepada mereka. Namun ninik kemudian mengangguk dan menyentuh lengan akik, dan akik kemudian memintaku dan Aryo untuk duduk.Setelah aku dan Aryo duduk, akik dan ninik pun duduk berhadapan dengan kami, dan suasana saat ini terasa sangat tegang hingga belum ada yang berbicara satu kata pun di antara kami berempat.“Jadi siapa sebenarnya Aryo, Ki?” tanyaku memecah keheningan di antara kami, “Apa dia bukan manusia seperti kita? Apa dia?” lanjutku sambil melirik Aryo.Aku sengaja menjeda kalimatku, karena aku takut apa yang ada dipikiranku ternyata benar. Karena bila itu terjadi, maka mungkin saja kejadian waktu itu akan terjadi lagi, dan aku tidak ingin menjadi bagian dari mereka.“Aku manusia sama seperti kalian, Ajeng! Memangnya kamu pikir aku apa?” ucap Aryo penuh penekanan.“Cukup, Aryo. Tolong jangan seperti ini, Nak.” Ucap akik dengan suara yang gemetar.“Tapi, Pak. Apa salah, Aryo? Aryo hanya menyukai Ajeng dan ingin b
Aku dan akik yang masih berada di dalam gubuk langsung berlari keluar untuk melihat yang terjadi. Ternyata di luar gubuk berdiri seorang raksasa dengan wajah yang sangat seram, dan raksasa itu berteriak dan menghancurkan yang di sekitarnya.Untung saja di sekitar rumah akik tidak ada rumah lain. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka.“Aryo, hentikan!” teriak akik sambil menatap raksasa yang berdiri di depannya.“A –Aryo?” ucapku terkejut.Aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar menoleh ke arah akik, dan benar saja. Akik memanggil raksasa itu dengan nama Aryo.Apakah itu artinya wujud Aryo yang sebenarnya adalah raksasa ini?Takut dan tidak percaya, itulah yang aku rasakan saat ini, dan aku langsung melangkah mundur, begitu raksasa yang ada di depanku saat ini menatapku dan kepalanya perlahan-lahan turun dan mengarah kepadaku.“Ajeng,” panggil raksasa itu dengan suara yang menggelegar sambil menatapku.“Aryo, hentikan! Apa kamu ingin membuat Nak
Ni Imah yang duduk di samping suaminya lalu menggeleng, dan akik pun lalu menatapku dan mengatakan kepadaku agar aku tidak usah memikirkan tentang Aryo lagi, dan aku harus fokus pada tujuanku. Karena masih ada ritual lain yang masih harus kami lakukan, dan akik tidak ingin masalah Aryo mengganggu ritual yang sudah kami mulai sebelumnya.“Sekarang Nak Ajeng lebih baik beristirahat saja. Karena besok kita harus melakukan ritual terakhir,” ujar Akik.“Iya, Ki.”Akik dan ninik kemudian keluar setelah melihatku berbaring, dan mereka mengatakan kepadaku akan menyiapkan perlengkapan ritual lagi untuk besok pagi. Karena perlengkapan ritual sebelumnya sudah hancur berantakan karena ulah Aryo. Jadi mereka harus menyiapkan ulang.***Aku tidak tahu kapan aku tidur tadi malam. Karena seingatku, gara-gara memikirkan tentang Aryo aku tidak bisa memejamkan mataku. Walaupun aku sudah berusaha memejamkan mataku tapi tetap saja pikiranku terus saja memikirkan tentang Aryo.Sedangkan ninik dan akik, aku
“Euuu, euuu,” panggilku dengan suara yang harus sedikit aku paksa.“Ki, Nak Ajeng,” terdengar suara ninik berteriak.Aku yang masih merasakan perih dan sakit di seluruh tubuh dan wajahku kemudian mencoba menggerakan tubuhku dan membuka mata, tapi rasa sakit itu masih saja menyerangku. Bahkan rasa sakit itu sampai ke tulang.“Ada apa dengan Nak Ajeng, Ni?” tanya akik.“Nak Ajeng sudah sadar, Ki. Lihat, Nak Ajeng sudah membuka matanya,” jawab Ni Imah.“Syukurlah, Ni.” Jawab Ki Joko sambil menatapku dan wajahnya terlihat bahagia, “Nak Ajeng, apa Nak Ajeng bisa mendengar akik?” lanjut Ki Joko.Ketika aku akan menjawab apa yang Ki Joko tanyakan mulutku masih terasa sakit untuk berbicara. Jangankan untuk berbicara menelan ludahku saja terasa sakit sekali.Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, tapi ketika aku mencoba melihat tubuhku. Aku melihat tubuhku dililit dengan kain, dan memiliki bau yang tidak pernah aku ketahui sebelumnya.“Kalau Nak Ajeng tidak bisa bicara maka cukup mengger
“Ada apa, Nak Ajeng?” tanya Ki Joko yang berada di belakangku bersama istrinya.“I –itu, Ki. Siapa wanita yang berada di dalam air itu? Apa dia penunggu sungai ini?” tanyaku sambil menunjuk ke arah sungai.“Kemari, Nak Ajeng.” Ajak Ki Joko sambil menggandengku.Ki Joko beserta istrinya mengajakku ke sungai di mana aku melihat bayangan wanita tadi, dan aku lalu berhenti ketika kami sudah mendekati sungai.“Jangan takut, Nak Ajeng. Ayo,” ajak Ki Joko.“Tapi, Ki. Ajeng takut.”“Percayalah dengan akik, Nak Ajeng. Kami tidak akan mencelakakanmu,” tambah Ni Imah.Aku yang awalnya ragu, akhirnya berusaha untuk mempercayai mereka berdua. Karena bila mereka memang berniat mencelakaiku, hal itu pasti sudah mereka lakukan ketika aku terbaring tidak berdaya waktu itu.Akik dan ninik lalu menuntunku hingga kami tiba di tepi sungai, dan akik lalu memintaku untuk menatap sungai itu dan memperhatikan baik-baik siapa yang sebenarnya yang ada di sungai itu.“Itu, Ki. Wanita itu siapa? Apa dia penunggu
“Cempaka, cepat ke sini! Bawa sekalian makanan yang ada di depanmu itu!” teriak Bu Darmi.“Baik, Bu.” Teriakku tak kalah kencangnya.Aku yang baru saja selesai menyusun makanan yang diminta Bu Darmi segera membawa makanan itu ke depan. Hiruk pikuk suara pembeli dan warga yang sedang menyantap makan siang mereka menambah ramai warung Bu Darmi.Berbagai makanan dan minuman yang menggugah selera, semua tersedia di warung ini. Mulai dari nasi pecel, nasi rames, nasi ayam bakar dan masih banyak lagi, dan warung ini hanya buka sampai selesai makan siang saja. Karena bila sudah lebih dari jam makan siang semua hidangan yang disiapkan warung ini pasti akan habis.“Cempaka, cepat antar makanan ini ke meja itu,” perintah Bu Darmi sambil memberiku dua piring makanan yang sudah dipesan pelanggan.Dengan langkah hati-hati aku membawa makanan itu. Karena banyak sekali orang yang sedang mengantri untuk mendapatkan makan siang mereka di warung Bu Darmi ini.“Ini makan siang anda, Pak.” ucapku sambil
Pria tua itu masih saja menatapku dengan tatapan penuh harap, dan aku yang masih ragu memberitahu di mana Ajeng saat ini hanya bisa membeku tanpa bisa meneruskan kata-kataku lagi.“Kenapa diam, Nak Cempaka? Apa Nak Cempaka takut saya akan melukai Nak Ajeng?” tanya pak tua.“Bukan begitu, Pak. Saya hanya … maaf, Pak. Memangnya ada apa bapak mencari Ajeng?”Kali ini pria tua itu terlihat gelagaban ketika aku bertanya tentang tujuan dia mencari Ajeng, dan itu membuatku curiga.“Kenapa tidak bapak jawab? Apa bapak memang berniat mencari Ajeng untuk tidak menyakitinya?”“Bukan bapak tidak mau menjawab pertanyaan Nak Cempaka, tapi bapak tidak bisa menjelaskan di sini,” jawab pria tua itu.“Apa maksud bapak?” tanyaku penasaran.Tapi belum juga pria tua itu menjawab apa yang aku tanyakan, tiba-tiba Mbak Siti memanggilku dan menghampiri kami.“Siapa bapak ini, Cempaka?” tanya Mbak Siti sambil menatapku.“Hmmm, dia—,” ucapku binggung harus menjawab apa. Karena aku sendiri tak tahu siapa pria tu
Pak Dirga menghentikan langkahnya ketika aku aku bertanya kepadanya, dan pria tua itu lalu berbalik menatapku.“Ikut saja dengan saya, Nak Cempaka,” jawab Pak Dirga.“Saya tidak akan ikut dengan anda, Pak Dirga. Kalau bapak ingin berbicara dengan saya, kita bicara di sini saja,” tolakku.Pak Dirga hanya diam dan menatapku setelah aku mengatakan hal itu. Bahkan bergerak dari tempatnya saja tidak, dan itu membuatku semakin takut.Ketika pria tua itu baru saja akan memasuki hutan itu pikiranku sudah tidak enak, dan aku takut kejadian akan di masa lalu akan terjadi lagi. Lagi pula aku juga tidak bisa langsung percaya dan ikut dengan pria tua itu.Kami berdua diam di tempat kami masing-masing tanpa ada yang berbicara, dan tak lama pria itu kemudian melangkah mendekatiku. Tapi karena aku merasa takut, aku lalu melangkah mundur untuk menjaga jarak dengan pria tua itu.“Ada apa denganmu, Nak. Bapak tidak akan menyakitimu. Bukankah tadi kamu meminta bapak untuk berbicara denganmu di sini saja,
“Seperti apa yang saya katakan sebelumnya, Cempaka. Bila kamu melewati pintu itu, maka kamu harus memilih. Kamu atau masmu yang akan hidup?” jawab Tuan Wisesa mengulangi pertanyaannya.“Ayah—,” ucap Dimas. Namun ayahnya segera menghentikannya dengan memberi isyarat.“Apa saya harus melakukannya, Tuan?” tanyaku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.Pertanyaan yang Tuan Wisesa berikan benar-benar di luar dari perkiraanku. Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu ketika Mas Budi atau Wirya tidak sadarkan diri. Apakah ini ada hubungannya dengan Pangeran Dayu?“Harus! Karena hanya itu saja yang bisa saya lakukan untuk meneruskan keturunan kalian,” tegas Tuan Wisesa membuatku tidak bisa berpikir.“Ma –maksud, Tuan?”“Ketika saya memutuskan untuk menyelamatkan kalian, ada hal yang harus digantikan untuk mengakhiri penjanjian terlarang itu, dan ayahmu s
“Cukup, Yah! Jangan—,” cegah ibu Dimas menghentikan suaminya. Namun Tuan Wisesa langsung menghentikan tindakan istrinya dengan memberi isyarat tangan.Ibu Dimas yang tadinya seperti menentang suaminya langsung terdiam begitu suaminya memberi tanda. Wanita itu seperti tidak berdaya bila suaminya seperti itu.“Jangan ada yang berani berbicara atau menyela apa yang saya katakan lagi. Bila tidak, jangan salahkan saya bila kalian tidak bisa berbicara lagi setelah itu!” ancam Tuan Wisesa.Mendengar ancaman Tuan Wisesa semua orang terlihat takut, termasuk aku. Tapi aku juga ragu apakah ancaman dari pemilik rumah ini benar-benar akan menjadi nyata atau tidak bila ada orang yang melanggarnya. Bila itu benar terjadi, itu artinya Tuan Wisesa bukan hanya kaya raya, tapi dia juga bukan orang biasa.“Cempaka, Wirya, saya tahu ini akan mengejutkan kalian berdua. Tapi ini adalah kebenarannya, dan kalian berhak tahu semua ini. Kalian be
“Iya, bukti. Tanpa bukti kalian tidak bisa menuduh keponakankan melakukan hal yang kalian tuduhkan,” ujar ibu Dimas dengan lantang.Semua orang hanya diam ketika ibu Dimas berkata seperti itu. Namun ayah Nirmala tiba-tiba mendekati istri Tuan Wisesa itu, dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan menunjukkan bukti yang dia minta.Tegang dan bertanya-tanya, mungkin itu yang ada dalam pikiran beberapa orang yang ada di sini, termasuk aku. Hal itu terlihat dari raut wajah mereka ketika melihat perdebatan antara kakak beradik itu.“Bukti itu ada di sini dan saya akan mengatakannya di depan kalian semua,” ujar ayah Nirmala tak kalah lantang dengan ibu Dimas.Ketegangan semakin terasa ketika ayah Nirmala mengatakan hal itu. Pria itu diam sejenak sambil menatap keluarganya, terutama kedua anaknya. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, yang pasti itu bukan sesuatu yang mudah, dan itu terlihat sekali dari sorot matanya yang menampakkan k
Aku yang masih membeku kemudian berbalik dan menatap semua orang yang ada di dalam ruangan ini. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan, dan itu membuatku sangat tidak nyaman.“Mas Wisesa, apa maksud mas? Memangnya siapa Cempaka itu? Dan apa hubungannya dengan semua ini?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.Tuan Wisesa bukannya menjawab pertanyaan adik iparnya, tapi dia malah menatapku dan mendekatiku. Ayah Dimas itu lalu mengajakku untuk kembali ke tempatku semula dan dia mengenalkanku kepada kedua orang tua Nirmala bukan sebagai pelayan rumah ini. Melainkan sebagai wanita yang seharusnya memang menikah dengan Dimas.Mendengar hal itu membuatku sangat terkejut. Bukan hanya aku, tapi semua orang yang ada di ruangan ini. Bahkan aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar berusaha untuk memahami itu semua, tapi aku tetap tidak mengerti.“Apa maksud Mas Wisesa?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.“Apa
“Ayah, tidak usah membahas hal ini lagi. Nirmala sudah menerima keputusan Dimas. Jadi kita tidak perlu memperpanjang masalah ini,” ujar Nirmala masih sambil berdiri dan menatap kami semua secara bergantian.“Nirmala, apa maksudmu nak? Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Bukankah kamu ingin menjadi istri Dimas?” tanya ibu Nirmala terlihat heran.Bukan ibu Nirmala saja yang dibuat heran dan binggung, tapi kami semua yang ada di sini. Bagaimana bisa dia mengatakan menerima keputusan Dimas dengan semudah itu. Mencurigakan!“Benar Nirmala ingin menjadi istri Dimas. Tapi …,” Nirmala menggantung jwabannya dan menatapku sesaat, “Dimas tidak mencintai Nirmala, Bu. Dimas mencintai Cempaka, wanita yang duduk di samping Dimas saat ini,” lanjut Nirmala.“A –apa? Maksudmu pelayan wanita itu, Nirmala?” ucap ibu Nirmala terlihat terkejut.“Bulek!” bentak Dimas tiba-tiba
“A –ayah,” ucap Birawa terlihat terkejut.Pria yang baru saja datang itu terlihat sama terkejutnya seperti Birawa. Wajahnya yang hampir mirip dengan istri Tuan Wisesa tampak dingin menatap putranya itu, dan tak lama seorang wanita tiba-tiba muncul di belakang pria yang masih berdiri di depan pintu menatap dingin Birawa.“Birawa, kamu di sini nak?” ucap wanita tua itu dengan wajah yang tidak bisa aku artikan.Tapi wanita itu tidak bersikap dingin seperti ayah Birawa yang masih saja membeku. Wanita itu kemudian melangkah untuk mendekati Birawa. Namun pria yang bergelar ayah Birawa segera menahannya.“Ingat tujuan kita datang kemari!” tegas ayah Birawa sambil melirik wanita yang sepertinya istrinya.“Itu orang tua Nirlama dan Birawa,” bisik Damar tanpa aku tanya.Aku yang sudah menduga hal itu hanya diam, dan tidak menanggapi apa yang adik Dimas itu katakan. Walaupun awalnya aku cukup terkej
Aku dan semua orang yang ada di tempat ini langsung menoleh ke arah sumber suara yang sudah mengejutkan kami. Nirmala berdiri dengan raut wajah sangat marah menatap Dimas hingga guratan otot di lehernya terlihat dengan jelas.“Kembali ke kursimu, Nirmala!” bentak Tuan Wisesa tak kalah nyaringnya dengan apa yang Nirmala lakukan. Bahkan aku saja sampai takut mendengarnya.Tapi wanita itu masih saja berdiri dan mengabaikan apa yang Tuan Wisesa katakan. Bahkan ibu Dimas yang duduk di sampingnya sampai berdiri untuk menenangkannya. Namun wanita itu masih saja tidak mau duduk sambil menatapku dan Dimas secara bergantian seperti akan menerkam kami.“Dengar, Dimas. Aku tidak menerima ini semua. Aku mencintaimu, dan hanya aku yang pantas menjadi istrimu!” tegas Nirmala.“Nirmala!” bentak Dimas yang kini berdiri dengan wajah memerah.Melihat perseteruan antara Dimas dan Nirmala membuat suasana ruangan ini mencekam. Hal ini
“Tenang saja Nirmala, semua akan baik-baik saja. Kamu akan menikah dengan Dimas, dan bude sendiri yang akan membuat hal itu terjadi,” ucap ibu Dimas sambil mengusap punggung Nirmala yang kini tengah menunjukkan wajah seperti teraniaya.Nirmala yang menunjukkan wajah sedih mengangguk menjawab apa yang ibu Dimas katakan. Mereka berdua kemudian melangkah mengikuti Tuan Wisesa. Sedangkan aku memilih untuk bersembunyi terlebih dahulu, daripada menampakkan batang hidungku di depan mereka. Karena mereka pasti tidak akan menyukainya.“Apa sudah bisa saya mulai?” ucap Tuan Wisesa sambil menatap sekitar.Semua orang yang ada di ruangan ini hanya mengangguk. Aku yang berdiri di pojokan hanya bisa menunduk, hingga Tuan Wisesa kemudian memintaku untuk bergabung bersama dengan mereka semua yang sedang duduk bersama, dan itu membuatku terkejut.“Kemarilah, Cempaka. Tidak perlu takut,” ucap Tuan Wisesa lagi.Semua mata memandangku tidak suka ketika pemilik rumah ini memintaku untuk mendekat, kecuali
Di dalam ruangan di mana aku berdiri saat ini sudah seperti ruang persidangan saja. Karena yang ada di dalam ruangan ini bukan hanya aku dengan Tuan Wisesa saja, tapi juga ada Dimas, Nirmala, Wirya dan beberapa orang lainnya yang tidak aku kenal.“Saya harap tidak ada yang berbicara ketika saya berbicara dengan Cempaka? Bila ada, maka silahkan keluar dari ruangan ini!” tegas Tuan Wisesa menggelegar ke seluruh ruangan.Semua orang yang ada di ruangan ini tidak ada yang menjawab atau membatah pemilik rumah ini. Mereka semua hanya menunduk sebagai tanda mengerti.Setelah itu Wirya dan beberapa orang pengawal yang ada di dalam ruangan ini kemudian keluar dan menutup pintu ruangan ini. Kini tinggal aku dan Keluarga Wisesa saja yang berada di dalam ruang tertutup ini.“Apa kamu tahu Cempaka mengapa saya memanggilmu ke sini?” tanya Tuan Wisesa.“Ti –tidak tahu, Tuan.” Jawabku dengan menunduk.“Kalau b