3 hari berlalu
Aku kembali ke rumah sakit, untuk mengambil hasil tes lab, hasil pemeriksaan tes kesuburanku kemarin.
"Ini Bu, hasil pemeriksaannya," ujar seorang suster sembari memberikan lembaran kertas itu padaku.
"Terima kasih ya, sus. Kalau begitu saya permisi."
"Baik, Bu. Kalau mau konsultasi lagi, bisa hubungi dokter yang kemarin menangani ibu ya."
"Baik, sus. Saya permisi."
Perawat itu mengangguk dan tersenyum. Aku kembali melangkah keluar rumah sakit. Lembaran kertas ini langsung kumasukkan ke dalam tas tanpa membukanya lebih dulu. Nyaliku terlalu ciut untuk mengetahui tentang kenyataan. Jantungku berdegup kencang. Entahlah, rasanya begitu takut, mendadak rasa tak percaya diri kembali hadir. Apakah aku pantas untuk Mas Hasbi?
Tiba-tiba, Bruukk ...
Seseorang menabrakku hingga aku terjatuh, sepertinya dia sedang terburu-buru. Segera kupungut kertas hasil tes lab dan beberapa barang lain yang berserakan di lantai.
"
Aku segera memasukkan lingerie itu kembali ke dalam kotak. "Apa yang sedang kalian lakukan, sepertinya sangat seru?" tanyanya. "Emmh ini Mas, Mirna nganterin kebaya pengantinku," jawabku. Mirna masih saja cengengesan. "Oh ya, kalian belum makan kan, bagaimana kalau kita makan dulu, yuk ..." ajakku sambil menarik Mirna untuk duduk ke meja makan. "Sebenarnya aku ingin pulang, Nadia," jawab Mirna. "Ayolah Mirna sekali ini saja, kita sudah lama tidak makan bersama. Please ..." "Oke, baiklah." Mas Hasbi mengikuti kami. Mereka duduk di meja makan bersama. Sedangkan aku ke belakang menyiapkan makanan untuk mereka. Mak Piah membantuku membawakan makanan-makanan itu dan menghidangkannya diatas meja. "Wah, sepertinya enak banget nih," celetuk Mirna saat melihat makanan di hadapannya. "Makasih ya, Mak Piah." "Iya, sama-sama mbak." Kami menyantap makanan bersama. "R
Aku tidak tahu, kemana lagi harus mencari pinjaman. Teman-teman yang tadinya dekat denganku kini menjauh. Mereka enggan berteman dengan seorang pengangguran. Sebenarnya aku salah apa hingga mereka menjauh dariku? Apa karena sekarang aku miskin? Tak ada apapun yang tersisa, semuanya habis. Lalu bulan besok bagaimana aku membayarkan hutang ibu. Aku benar-benar stress dan pusing. Apa yang harus kulakukan? Setelah lama berjalan, tanpa sadar aku sudah berada di seberang ruko Nadia. Aku menatap bangunan itu. Hatiku kembali nyeri, bila mengingat kejadian dulu. Dia istri yang kusia-siakan, kini bisa berubah lebih maju dariku. Toko cateringnya nampak ramai. Mobilku (dulu) dipakai untuk mengantarkan pesanan ke pelanggan. Sepertinya, karyawannya pun bertambah. Nadia benar-benar sudah sukses sekarang, tidak lagi menjadi bayang-bayangku. Dia bisa mengolah dan menghasilkan uang sendiri. Padahal dulu, aku menghinanya habis-habi
Wajah Keysha cemberut, bibirnya mengerucut, ia tak terima dengan ucapanku."Mas, jangan marah-marah terus dong. Kamu gak mau kan kena stroke kayak ibu?!" pekiknya.Aku hanya mendelik ke arahnya. Seenaknya aja dia bilang seperti itu. Keysha mendengus kesal. Aku paham, ini karena rumah ini yang terlalu sempit untuknya. Apalagi ada ibu. Tapi gimana caranya aku mendapatkan uang lebih untuk menyewa rumah yang baru? Sedangkan kalau di rumah ibu, lambat laun petugas bank akan datang menagih utang, aku tidak ingin ibu kena serangan jantung lagi."Key, maaf ya, tolong ngertiin dulu. Rumah ibu bentar lagi disita, karena mas gak bisa nyetorin hutang ibu ke bank. Mas gak mau ibu terkena serangan jantung lagi," bisikku di telinga Keysha.Keysha mengernyitkan keningnya. "Rumah ibu disita?" ia balik bertanya dengan suara agak lirih."Ssstttt ..." sahutku sembari menempelkan jari telunjuk ke atas bibir."Jadi ibu hutang ke bank?"Aku meng
Hari H Akhirnya hari yang dinanti-nanti datang juga. Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Mas Hasbi. Persiapan sudah sempurna, awalnya Mas Hasbi ingin menyewa gedung, namun aku melarangnya. Aku ingin pernikahan diadakan di rumah saja. Biarlah yang sederhana saja, mengundang beberapa teman, tak perlu banyak-banyak. Menurutku dari pada menghamburkan uang untuk biaya sewa sana-sini lebih baik, uangnya dipakai untuk modal usaha. Sudah dari kemarin, orang-orang yang bekerja membantuku di toko, ikut sibuk menyiapkan makanan dan hidangan untuk para tamu. Sedangkan tim dekorasi berbeda lagi, kami mempekerjakan beberapa orang untuk beberes dan menghias rumah agar terlihat lebih indah. Meskipun sederhana namun tetap elegan dan sedap dipandang oleh mata. Aku sudah didandani layaknya seorang pengantin wanita. Mirna-lah yang mendampingiku. Dia menyemangatiku, memberikan pencerahan yang lain bahkan bercengkrama hingga membuatku tertawa, Mirna benar-benar
"Tunggu ...!" teriak seseorang dengan nada suara parau.Kami menoleh ke sumber suara. Mas Hasbi datang dengan langkah terseok-seok. Darah segar mengalir di wajahnya. Jasnya terlihat sangat kotor. Baru beberapa langkah, ia jatuh terjerembab di depan pintu."Astaghfirullah, Mas ...!" pekikku dengan nada histeris. Rasa panik luar biasa membuncah di dalam dadaku.Segera kulepas cekalan tangan Mas Rizki dan menghambur ke arahnya, diikuti oleh beberapa tamu yang lain. Mereka segera membantu Mas Hasbi, dibawanya tubuh lemas itu ke dalam rumah dan didudukkan bersandar diatas sofa panjang. Dengan cekatan Mirna mengambilkan air minum untuk Mas Hasbi, begitu pula dengan Mbak Sarni, dia mengambilkan air hangat untuk mengompres lukanya.Aku meraih gelas yang disodorkan Mirna untuk meminumkannya pada Mas Hasbi. Matanya mengerjap perlahan, ketika ia mulai sadar kembali. Ia meringis kesakitan dan memegangi kepalanya yang terluka.Kubersihkan darah yang mengalir di
Pagi-pagi sekali, saat fajar mulai menyingsing, aku sudah bersiap-siap, berpakaian dengan rapi. Begitu pula dengan Mbak Nisa, kakak ipar dan juga anak-anak mereka. Mereka sudah sangat rapi. Kami hanya tinggal berangkat sambil membawa bingkisan kecil di tangan para ponakan kecilku. Sedangkan untuk mahar dan yang lainnya, aku sudah menitipkannya langsung pada Mirna, agar dia yang membawanya. Karena dia juga yang sudah memilihkan perhiasan emas untuk mas kawinku pada Nadia. Dua hari yang lalu pun aku sudah menyervis mobil, agar tak terjadi masalah yang berarti di acara pentingku nanti. "Adikku tambah ganteng aja nih. Hari ini udah siap?" tanya Mbak Nisa dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. "Selalu siap, mbak." "Aish, sepertinya adikku udah gak sabar nih buat nikah." "Hahah, iya mbak. Hari yang kunanti-nantikan sejak dulu akhirnya datang juga." Mbak Nisa menepuk-nepuk pundakku. "Ya sudah, yuk kita berangkat."
Aku mengangguk. "Kenapa kok bisa jatuh ke jurang mas?"tanya bapak itu, kulihat ia mengambil baju ganti yang ia bawa dan mengusap darah yang keluar dari kepalaku. Namun darah tak juga berhenti. "Mobil saya remnya blong pak, pas jalan turunan itu, kami gak bisa mengendalikannya." "Kok bisa ya mas?" "Gak tahu pak, awalnya baik-baik saja. Mungkin sudah takdir." Mereka manggut-manggut mengerti. Lalu semuanya hanya saling diam dan memandang dengan tatapan iba. Tak butuh waktu lama, kami sampai di puskesmas terdekat. Satu per satu keluargaku langsung dibawa ke dalam dengan bed pasien. Para perawat terlihat berlarian menyambut kami. "Mas, ayo masuk dulu," sergah salah satu bapak yang menolong kami. Aku turun dipapah mereka. Namun ternyata, karena peralatan medis yang kurang memadai di Puskesmas, akhirnya mereka di rujuk ke Rumah Sakit terdekat diangkut dengan mobil ambulan. Aku dan bapak-bapak y
Tubuhku menggigil, semua anggota tubuhku terasa ngilu. Tak hanya itu, kurasakan tubuhku tak bebas bergerak, rasanya begitu kaku. Kulirik jam yang bertengger di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, kulirik juga angka yang tertera di pendingin ruangan, 30°C. Kalau orang normal, pasti suhu begitu takkan terasa dingin. Selimut yang membungkus badanku rasanya tak cukup menghangatkan.Aku menoleh ke samping, kulihat Nadia tengah tertidur dengan pulas. Ia menelungkupkan wajahnya di tepi ranjang pasien. Sedangkan satu tangannya tetap menggenggam erat tanganku. Kubelai kepalanya dengan lembut. Namun rupanya ia tersentak kaget ketika sentuhanku tanpa sadar membangunkannya."Mas, kamu bangun? Apa ada yang kau inginkan?" tanyanya dengan nada khawatir. Walaupun baru bangun tidur, parasnya tetap terlihat ayu. Ia tengah mengenakan jilbab berwarna biru muda. Menambah kesan manis di wajahnya."Tubuhku terlalu dingin, Nadia," ujarku kemudian.
"Nadia ... dingiiiin ..."Nadia panik, ia langsung mengambil selimut untuk menutupi tubuh sang suami agar tak kedinginan. Ia pun berlalu ke belakang, mengambil air panas di baskom dan juga handuk kecil untuk mengompres kening sang suami.Setelah hampir dua puluh menit, rasa dingin mulai mereda. Hasbi bangkit, kepalanya terasa begitu pening dan berputar-putar."Mas, kamu sudah mendingan? Sudah gak dingin lagi?"Hasbi mengangguk. "Iya tapi pusing banget.""Masih kuat kan buat sholat?""Masih sayang.""Ini diminum dulu air hangat, Mas. Biar badanmu hangat.""Makasih, Dek." Hasbi meraih gelas air minum itu lalu meneguknya pelan. Nadia membantunya meletakkan gelas di meja."Ya sudah sekarang sholat dulu. Aku buatin bubur buat kamu ya, Mas."
Nadia berkaca di depan cermin riasnya. Dia berputar-putar sejenak, melihat pantulan dirinya di depan cermin."Mas, kayaknya aku gendutan deh, nih lihat lemak di perut gak ilang-ilang!" ujar Nadia sembari memanyunkan bibir.Hasbi tersenyum dan menghampirinya. Memeluk tubuh sang istri dari belakang.“Gak papa kok kamu gendutan, hatiku masih muat tuh buat kamu.”"Iiih, berarti beneran dong aku gendut!" cebik Nadia kesal."Sayang, di perutmu ini kan sudah lahir buah cinta kita. Dia tumbuh di rahimmu selama sembilan bulan lamanya, ya wajar saja kalau perutmu sudah gak kayak dulu lagi.""Tapi kan--""Sssttt ... Aku akan menerima kamu apa adanya sayang. Tak peduli dengan perubahan bentuk fisikmu, aku tetap mencintaimu."Kecupan lembut kembali mendarat di puncak kepala Nadia. Nadia mengulum senyum. Merasa berarti dengan perhatian yang suaminya berikan."Yakin kamu gak akan berpaling meskipun aku berubah g
Mobil mereka memasuki kawasan wisata Pantai Tanjung Lesung yang terletak di Pandeglang, Banten. Waktu yang ditempuh sampai ke lokasi hampir menghabiskan waktu 3,5 jam.Satu persatu dari mereka turun dan meregangkan otot tubuhnya. Lalu beranjak menuju ke homestay yang sudah direservasi oleh Hasbi satu hari sebelumnya.Terlihat wajah-wajah yang riang dan gembira, untuk berlibur melepaskan rasa penat karena aktivitas.Begitu pula dengan Nadia dan anak-anak, mereka masuk ke dalam villa yang spesial dipesankan oleh Hasbi."Bunda, ayo kita main ke pantai!" ajak Cinta. Dia menarik tangan Nadia untuk beranjak bangun."Iya, sebentar sayang. Istirahat dulu di sini ya.""Bunda, aku mau main pasir putih," sahutnya lagi."Iya sayang. Sebentar, bunda ganti baju dulu nih biar santai.""Yeayy asyiiikkk ..." Zikri dan Cinta saling ber-tos ria, berjingkrak senang seperti tak ada lelah."Panas-panas mau main di pantai?" tanya Hasbi.
"Hei ... kalian habis dari mana saja, Sayang?" sambut Hasbi ketika sampai di rumah.Dua bocah kecil itu menghambur ke arahnya. Memeluknya dengan sangat erat dan antusias."Ayah, aku dapet ini!" seru Zikri seraya menunjukkan boneka Frog ke ayahnya."Aku juga dapat ini, Yah!" timpal Cinta sembari menunjukkan boneka beruang miliknya."Bunda hebaaat ... Bunda bisa ambil ini di permainan capit boneka," puji Zikri lagi."Wah, bunda kalian memang hebat ya," sahut Hasbi menanggapi dua bocah kecil itu.Nadia tersenyum melihat celotehan mereka.Rasanya bahagia, kebahagiaan yang sederhana."Nah, sekarang kalian mandi dulu ya, udah sore. Mak Piah dan Mbak Sarni akan memandikan kalian.""Yeaaay ... Horeee ...!"Dua bocah kecil itu berlarian ke dalam. Nadia dan Hasbi ters
"Mas, aku dengar kabar kalau katanya jenazah Andin mengeluarkan bau tak sedap bahkan kejadian-kejadian aneh lain saat di pemakaman."Hasbi menoleh ke arah istrinya. Menghentikan aktivitasnya yang tengah memeriksa pekerjaan di laptop. Memang benar, desas desus berita tentang kematian Andin santer terdengar."Aku gak nyangka wanita secantik dia harus mengalami kejadian mengenaskan seperti ini.""Sssttt ... Jangan dibicarakan lagi. Itu adalah aib. Kita lupakan saja. Doakan yang terbaik untuk almarhumah.""Iya, Mas. Maaf.""Iya, tak apa. Aku tahu kok perasaanmu. Mulai sekarang kita fokus sama kehidupan kita saja ya, yang berlalu biarlah berlalu."Nadia mengangguk."Ambil hikmahnya saja, setiap perbuatan pasti akan ada balasannya, baik maupun buruk."Nadia tersenyum dan langsung mem
" ... Musibah kebakaran terjadi di kawasan elit tengah kota xxx ... Melanda kawasan apartemen mewah. Sementara, penyebab kebakaran diduga karena korsleting listrik, petugas polisi sedang menyelidiki kasus ini ... Seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun menjadi korban meninggal atas tragedi kebakaran petang tadi ..."Sebuah tayangan televisi menampilkan berita kebakaran hebat yang cukup memprihatinkan."Mas, kamu kenapa?" tanya Nadia saat menghampirinya dan memberikan segelas teh manis hangat untuk sang suami."Ada berita kebakaran di tengah kota, Dek." Kedua mata Hasbi masih belum terlepas dari layar benda datar itu.Nadia menoleh dan melihat tayangan berita di televisi."Seorang korban sudah berhasil diidentifikasi, nama Andin Yozita 28 tahun, berprofesi sebagai staff kantor, menjadi korban tewas dalam insiden kebakaran kali ini."Nadia dan Hasbi saling berpandangan."Mas, apa yang dimaksu
Praaannkk ....!! Wanita itu memecahkan barang-barang di sekitarnya. Rasa amarah, dendam, benci yang tak berkesudahan menguasai hatinya."Semua gara-gara kamu, Nadia! Semua gara-gara kamu!!" teriaknya geram.Hari itu setelah kondisi badannya kembali fit, dan sembuh dari alergi, ia menyelidiki siapa pengirim paket misterius itu hingga mendapatkan informasi kalau pengirimnya adalah Nadia."Kau benar-benar licik, Nadia! Awas saja, aku akan membalasnya lebih menyakitkan!"***"Maaf Andin hubungan kita, kita sudahi sampai di sini," pungkas Roy dengan raut wajah serius."Kenapa? Kenapa kau memutuskan hubungan ini secara sepihak, Mas?"Roy hanya tersenyum masam. "Tanyalah pada dirimu sendiri, kau berhubungan tak cukup dengan seorang laki-laki, padahal selama ini aku sudah memenuhi semua kebutuhanmu, gaya hidupmu, aku menanggung semuanya. Tapi hatimu justru kau berikan pada pria lain.""Pasti bukan itu saja alasannya!"
"Mas, kenapa bisa seperti ini?""Aku gak tau Nadia, saat pulang ke rumah aku menemukannya pingsan di halaman belakang, Cinta menangis gak jauh dari tempat ibunya terjatuh.""Ya Allah ..." Mendengar ucapan mantan suaminya, tanpa terasa kedua mata Nadia kembali menitikkan air mata, ia merasa sangat iba."Apa Keysha tidak mengeluh apa-apa?""Tidak, dia cuma bilang pusing. Tapi dia juga bilang tak ingin merepotkanku ataupun kamu. Aku yakin dia berusaha sekuat mungkin menyembunyikan rasa sakitnya."Nadia menghela nafas dalam-dalam. Ia tak menyangka keponakannya pergi begitu cepat."Oh iya, Mas Rizki, Cinta mana?"Rizki tergagap. "Ah tadi dia diajak sama suster."Nadia mengangguk sembari tersenyum tipis. "Mas, aku cuma mau bilang kamu yang sabar ya. Aku tahu ini berat, tapi ini semua sudah suratan takdir Yang Maha Kuasa.""Iya, terima kasih Nadia.""Mas, aku cari Cinta dulu. Biar kuambil dari perawat."
Rizki sudah membeli buket bunga mawar untuk diberikan pada istrinya. Ya, hari ini Keysha ulang tahun. Dia akan memberikan sedikit kejutan untuknya. Kasihan wanita itu, selama ini harus ikut bersusah payah dengan kondisi mereka.Rizki bersiul-siul riang, biasanya kalau sore-sore begini, Keysha menunggunya di teras sambil bermain dengan Cinta, buah hati mereka.Lelaki itu melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Kenapa sepi sekali? Batinnya bertanya-tanya sendiri."Keysha? Cinta? Kalian dimana?" panggil Rizki. Lelaki itu mencari ke setiap sudut rumah, tapi tak ia temukan mereka dimanapun."Kemana mereka?"Samar-samar terdengar suara anak kecil menangis. Rizki menajamkan pendengarannya. Jangan-jangan itu Cinta?Gegas, dia lari ke belakang. Suara tangisan Cinta terdengar makin kencang. Dari kejauhan ia melihat sosok anak kecil sedang menangis di antara rimbunnya rerumputan."Astaghfirullah hal adzim. Cinta!" teria