Hari H
Akhirnya hari yang dinanti-nanti datang juga. Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Mas Hasbi. Persiapan sudah sempurna, awalnya Mas Hasbi ingin menyewa gedung, namun aku melarangnya. Aku ingin pernikahan diadakan di rumah saja. Biarlah yang sederhana saja, mengundang beberapa teman, tak perlu banyak-banyak. Menurutku dari pada menghamburkan uang untuk biaya sewa sana-sini lebih baik, uangnya dipakai untuk modal usaha.
Sudah dari kemarin, orang-orang yang bekerja membantuku di toko, ikut sibuk menyiapkan makanan dan hidangan untuk para tamu. Sedangkan tim dekorasi berbeda lagi, kami mempekerjakan beberapa orang untuk beberes dan menghias rumah agar terlihat lebih indah. Meskipun sederhana namun tetap elegan dan sedap dipandang oleh mata.
Aku sudah didandani layaknya seorang pengantin wanita. Mirna-lah yang mendampingiku. Dia menyemangatiku, memberikan pencerahan yang lain bahkan bercengkrama hingga membuatku tertawa, Mirna benar-benar
"Tunggu ...!" teriak seseorang dengan nada suara parau.Kami menoleh ke sumber suara. Mas Hasbi datang dengan langkah terseok-seok. Darah segar mengalir di wajahnya. Jasnya terlihat sangat kotor. Baru beberapa langkah, ia jatuh terjerembab di depan pintu."Astaghfirullah, Mas ...!" pekikku dengan nada histeris. Rasa panik luar biasa membuncah di dalam dadaku.Segera kulepas cekalan tangan Mas Rizki dan menghambur ke arahnya, diikuti oleh beberapa tamu yang lain. Mereka segera membantu Mas Hasbi, dibawanya tubuh lemas itu ke dalam rumah dan didudukkan bersandar diatas sofa panjang. Dengan cekatan Mirna mengambilkan air minum untuk Mas Hasbi, begitu pula dengan Mbak Sarni, dia mengambilkan air hangat untuk mengompres lukanya.Aku meraih gelas yang disodorkan Mirna untuk meminumkannya pada Mas Hasbi. Matanya mengerjap perlahan, ketika ia mulai sadar kembali. Ia meringis kesakitan dan memegangi kepalanya yang terluka.Kubersihkan darah yang mengalir di
Pagi-pagi sekali, saat fajar mulai menyingsing, aku sudah bersiap-siap, berpakaian dengan rapi. Begitu pula dengan Mbak Nisa, kakak ipar dan juga anak-anak mereka. Mereka sudah sangat rapi. Kami hanya tinggal berangkat sambil membawa bingkisan kecil di tangan para ponakan kecilku. Sedangkan untuk mahar dan yang lainnya, aku sudah menitipkannya langsung pada Mirna, agar dia yang membawanya. Karena dia juga yang sudah memilihkan perhiasan emas untuk mas kawinku pada Nadia. Dua hari yang lalu pun aku sudah menyervis mobil, agar tak terjadi masalah yang berarti di acara pentingku nanti. "Adikku tambah ganteng aja nih. Hari ini udah siap?" tanya Mbak Nisa dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. "Selalu siap, mbak." "Aish, sepertinya adikku udah gak sabar nih buat nikah." "Hahah, iya mbak. Hari yang kunanti-nantikan sejak dulu akhirnya datang juga." Mbak Nisa menepuk-nepuk pundakku. "Ya sudah, yuk kita berangkat."
Aku mengangguk. "Kenapa kok bisa jatuh ke jurang mas?"tanya bapak itu, kulihat ia mengambil baju ganti yang ia bawa dan mengusap darah yang keluar dari kepalaku. Namun darah tak juga berhenti. "Mobil saya remnya blong pak, pas jalan turunan itu, kami gak bisa mengendalikannya." "Kok bisa ya mas?" "Gak tahu pak, awalnya baik-baik saja. Mungkin sudah takdir." Mereka manggut-manggut mengerti. Lalu semuanya hanya saling diam dan memandang dengan tatapan iba. Tak butuh waktu lama, kami sampai di puskesmas terdekat. Satu per satu keluargaku langsung dibawa ke dalam dengan bed pasien. Para perawat terlihat berlarian menyambut kami. "Mas, ayo masuk dulu," sergah salah satu bapak yang menolong kami. Aku turun dipapah mereka. Namun ternyata, karena peralatan medis yang kurang memadai di Puskesmas, akhirnya mereka di rujuk ke Rumah Sakit terdekat diangkut dengan mobil ambulan. Aku dan bapak-bapak y
Tubuhku menggigil, semua anggota tubuhku terasa ngilu. Tak hanya itu, kurasakan tubuhku tak bebas bergerak, rasanya begitu kaku. Kulirik jam yang bertengger di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, kulirik juga angka yang tertera di pendingin ruangan, 30°C. Kalau orang normal, pasti suhu begitu takkan terasa dingin. Selimut yang membungkus badanku rasanya tak cukup menghangatkan.Aku menoleh ke samping, kulihat Nadia tengah tertidur dengan pulas. Ia menelungkupkan wajahnya di tepi ranjang pasien. Sedangkan satu tangannya tetap menggenggam erat tanganku. Kubelai kepalanya dengan lembut. Namun rupanya ia tersentak kaget ketika sentuhanku tanpa sadar membangunkannya."Mas, kamu bangun? Apa ada yang kau inginkan?" tanyanya dengan nada khawatir. Walaupun baru bangun tidur, parasnya tetap terlihat ayu. Ia tengah mengenakan jilbab berwarna biru muda. Menambah kesan manis di wajahnya."Tubuhku terlalu dingin, Nadia," ujarku kemudian.
Tak ada respon apapun dari mbak Nisa, dia hanya bergeming tanpa suara maupun gerakan tubuh yang lain, yang terdengar hanya suara ventilator. Kugenggam tangan Mbak Nisa dengan erat. Sejak dulu dia yang selalu bersamaku dalam suka dan duka. Banyak kenangan indah yang terukir dengan Mbak Nisa. Satu-satunya keluarga kandung yang kupunya. Ya Allah, jangan biarkan Mbak Nisa pergi jauh dariku. Entah sudah berapa lama aku terpekur duduk di ruangan Mbak Nisa. Nadia pun masih setia menemani. Sesekali ia mengusap punggungku maupun merangkul pundakku. Walaupun tak ada kata yang keluar dari bibirnya. "Mas, ini sudah sore. Kita pulang dulu ya. Besok-besok kita jenguk Mbak Nisa lagi. Kamu juga harus banyak istirahat kan?" ujar Nadia menghenyakkanku. Aku mengangguk dan bangkit berdiri. Aku mencium kening Mbak Nisa sembari memberikan kata-kata untuk menguatkannya. "Mbak, kami menunggu mbak Nisa sembuh. Putri, Seno bahkan Mas Gilang, mereka
"Mas, bangun ... Udah hampir subuh," panggil sebuah suara dengan lembut.Kurasakan sebuah sentuhan jemarinya di wajahku. Aku mengerjap perlahan. Nadia tersenyum. Kulihat dia sudah segar kembali, rambutnya sudah basah dengan aroma wangi shampo yang menyerbak ke hidungku. Entah kenapa menciumnya membuatku tergoda lagi. Kuraih tangannya dan mengecupnya dengan lembut."Mandi dulu mas, aku udah siapin air hangat untukmu. Nanti kita sholat sama-sama," ajak istriku lagi."Iya sayang."Ah bisa-bisanya aku telat bangun seperti ini. Aku mengusap wajahku dengan kedua tangan, lalu bergegas ke kamar mandi.Nadia sudah menyiapkan baju ganti dan perlengkapan sholat pun sudah disediakan oleh Nadia. Kami sholat berjamaah bersama di rumah."Mas, hari ini kamu berangkat ke kantor?" tanya Nadia sembari menyiapkan sarapan untukku. Dengan telaten ia menyendokkan nasi dan lauknya ke atas piring."Iya, sayang," jawabku. "Terima kasih," ucapku sambil te
Hatiku benar-benar patah saat melihat mereka bersanding bersama. Rasanya sangat sakit, remuk redam serasa ada yang hancur di ulu hatiku. Kupikir, Hasbi tidak akan datang ke pernikahannya, karena dia datang sangat terlambat dengan kondisi yang sangat menyedihkan. Cinta mereka benar-benar sangat kuat, hingga aku tak punya kesempatan untuk menikahi Nadia kembali, padahal hampir saja ... Pikiranku benar-benar kalut sekarang. Ckck, bisa-bisanya aku menangisi mantan, seseorang yang dulu pernah aku sia-siakan. Kini hidupnya jauh lebih baik dari pada aku yang pengangguran. Kupikir dengan kedatanganku ke pernikahannya, aku akan baik-baik saja. Nyatanya, aku bahkan jauh merasa lebih sakit lagi. Melihat Nadia menangis, ingin sekali kupeluk tubuhnya, tapi kini semuanya takkan pernah terjadi. Nadia sudah menjadi milik orang lain, tapi kenapa justru aku ingin sekali kembali padanya. Ingin seperti dulu lagi, Nadia menyambutku, memelukku dengan manja. Aaaarrrgghh ...
Aku berlari menuju ke kamar, benar saja ibu terjatuh dari tempat tidurnya."Key, tolong bantu," tukasku.Dia mengangguk lalu merapikan kembali tempat tidur ibu. Ibu terlihat meringis kesakitan. Bulir-bulir bening luruh dari matanya yang sayu. Wajahnya terlihat begitu sendu."Bu, kenapa bisa jatuh? Ibu mau apa?" tanyaku dengan lembut, aku tidak ingin ibu makin banyak pikiran karena aku membentaknya.Ibu menggeleng perlahan. "Ibu mau makan? Aku suapin ya?" ujarku lagi.Ibu kembali menggeleng."Ibu mau disuapin sama aku?" tanya Keysha.Lagi-lagi ibu menggeleng, entahlah maunya apa."Na-na-na-di-di-a-a ..."Kudengar ibu mengucapkan sebuah kata dengan nada terbata."Ibu bisa bicara?" tanyaku lagi, mataku berbinar bahagia melihat ibu bisa berucap lagi meskipun tidak jelas."Na-na-na-di-di-a-a ..."Ibu terlihat sangat berusaha mengucapkan sesuatu. Kutajamkan kembali pendengaranku. Tadi sepertiny
"Nadia ... dingiiiin ..."Nadia panik, ia langsung mengambil selimut untuk menutupi tubuh sang suami agar tak kedinginan. Ia pun berlalu ke belakang, mengambil air panas di baskom dan juga handuk kecil untuk mengompres kening sang suami.Setelah hampir dua puluh menit, rasa dingin mulai mereda. Hasbi bangkit, kepalanya terasa begitu pening dan berputar-putar."Mas, kamu sudah mendingan? Sudah gak dingin lagi?"Hasbi mengangguk. "Iya tapi pusing banget.""Masih kuat kan buat sholat?""Masih sayang.""Ini diminum dulu air hangat, Mas. Biar badanmu hangat.""Makasih, Dek." Hasbi meraih gelas air minum itu lalu meneguknya pelan. Nadia membantunya meletakkan gelas di meja."Ya sudah sekarang sholat dulu. Aku buatin bubur buat kamu ya, Mas."
Nadia berkaca di depan cermin riasnya. Dia berputar-putar sejenak, melihat pantulan dirinya di depan cermin."Mas, kayaknya aku gendutan deh, nih lihat lemak di perut gak ilang-ilang!" ujar Nadia sembari memanyunkan bibir.Hasbi tersenyum dan menghampirinya. Memeluk tubuh sang istri dari belakang.“Gak papa kok kamu gendutan, hatiku masih muat tuh buat kamu.”"Iiih, berarti beneran dong aku gendut!" cebik Nadia kesal."Sayang, di perutmu ini kan sudah lahir buah cinta kita. Dia tumbuh di rahimmu selama sembilan bulan lamanya, ya wajar saja kalau perutmu sudah gak kayak dulu lagi.""Tapi kan--""Sssttt ... Aku akan menerima kamu apa adanya sayang. Tak peduli dengan perubahan bentuk fisikmu, aku tetap mencintaimu."Kecupan lembut kembali mendarat di puncak kepala Nadia. Nadia mengulum senyum. Merasa berarti dengan perhatian yang suaminya berikan."Yakin kamu gak akan berpaling meskipun aku berubah g
Mobil mereka memasuki kawasan wisata Pantai Tanjung Lesung yang terletak di Pandeglang, Banten. Waktu yang ditempuh sampai ke lokasi hampir menghabiskan waktu 3,5 jam.Satu persatu dari mereka turun dan meregangkan otot tubuhnya. Lalu beranjak menuju ke homestay yang sudah direservasi oleh Hasbi satu hari sebelumnya.Terlihat wajah-wajah yang riang dan gembira, untuk berlibur melepaskan rasa penat karena aktivitas.Begitu pula dengan Nadia dan anak-anak, mereka masuk ke dalam villa yang spesial dipesankan oleh Hasbi."Bunda, ayo kita main ke pantai!" ajak Cinta. Dia menarik tangan Nadia untuk beranjak bangun."Iya, sebentar sayang. Istirahat dulu di sini ya.""Bunda, aku mau main pasir putih," sahutnya lagi."Iya sayang. Sebentar, bunda ganti baju dulu nih biar santai.""Yeayy asyiiikkk ..." Zikri dan Cinta saling ber-tos ria, berjingkrak senang seperti tak ada lelah."Panas-panas mau main di pantai?" tanya Hasbi.
"Hei ... kalian habis dari mana saja, Sayang?" sambut Hasbi ketika sampai di rumah.Dua bocah kecil itu menghambur ke arahnya. Memeluknya dengan sangat erat dan antusias."Ayah, aku dapet ini!" seru Zikri seraya menunjukkan boneka Frog ke ayahnya."Aku juga dapat ini, Yah!" timpal Cinta sembari menunjukkan boneka beruang miliknya."Bunda hebaaat ... Bunda bisa ambil ini di permainan capit boneka," puji Zikri lagi."Wah, bunda kalian memang hebat ya," sahut Hasbi menanggapi dua bocah kecil itu.Nadia tersenyum melihat celotehan mereka.Rasanya bahagia, kebahagiaan yang sederhana."Nah, sekarang kalian mandi dulu ya, udah sore. Mak Piah dan Mbak Sarni akan memandikan kalian.""Yeaaay ... Horeee ...!"Dua bocah kecil itu berlarian ke dalam. Nadia dan Hasbi ters
"Mas, aku dengar kabar kalau katanya jenazah Andin mengeluarkan bau tak sedap bahkan kejadian-kejadian aneh lain saat di pemakaman."Hasbi menoleh ke arah istrinya. Menghentikan aktivitasnya yang tengah memeriksa pekerjaan di laptop. Memang benar, desas desus berita tentang kematian Andin santer terdengar."Aku gak nyangka wanita secantik dia harus mengalami kejadian mengenaskan seperti ini.""Sssttt ... Jangan dibicarakan lagi. Itu adalah aib. Kita lupakan saja. Doakan yang terbaik untuk almarhumah.""Iya, Mas. Maaf.""Iya, tak apa. Aku tahu kok perasaanmu. Mulai sekarang kita fokus sama kehidupan kita saja ya, yang berlalu biarlah berlalu."Nadia mengangguk."Ambil hikmahnya saja, setiap perbuatan pasti akan ada balasannya, baik maupun buruk."Nadia tersenyum dan langsung mem
" ... Musibah kebakaran terjadi di kawasan elit tengah kota xxx ... Melanda kawasan apartemen mewah. Sementara, penyebab kebakaran diduga karena korsleting listrik, petugas polisi sedang menyelidiki kasus ini ... Seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun menjadi korban meninggal atas tragedi kebakaran petang tadi ..."Sebuah tayangan televisi menampilkan berita kebakaran hebat yang cukup memprihatinkan."Mas, kamu kenapa?" tanya Nadia saat menghampirinya dan memberikan segelas teh manis hangat untuk sang suami."Ada berita kebakaran di tengah kota, Dek." Kedua mata Hasbi masih belum terlepas dari layar benda datar itu.Nadia menoleh dan melihat tayangan berita di televisi."Seorang korban sudah berhasil diidentifikasi, nama Andin Yozita 28 tahun, berprofesi sebagai staff kantor, menjadi korban tewas dalam insiden kebakaran kali ini."Nadia dan Hasbi saling berpandangan."Mas, apa yang dimaksu
Praaannkk ....!! Wanita itu memecahkan barang-barang di sekitarnya. Rasa amarah, dendam, benci yang tak berkesudahan menguasai hatinya."Semua gara-gara kamu, Nadia! Semua gara-gara kamu!!" teriaknya geram.Hari itu setelah kondisi badannya kembali fit, dan sembuh dari alergi, ia menyelidiki siapa pengirim paket misterius itu hingga mendapatkan informasi kalau pengirimnya adalah Nadia."Kau benar-benar licik, Nadia! Awas saja, aku akan membalasnya lebih menyakitkan!"***"Maaf Andin hubungan kita, kita sudahi sampai di sini," pungkas Roy dengan raut wajah serius."Kenapa? Kenapa kau memutuskan hubungan ini secara sepihak, Mas?"Roy hanya tersenyum masam. "Tanyalah pada dirimu sendiri, kau berhubungan tak cukup dengan seorang laki-laki, padahal selama ini aku sudah memenuhi semua kebutuhanmu, gaya hidupmu, aku menanggung semuanya. Tapi hatimu justru kau berikan pada pria lain.""Pasti bukan itu saja alasannya!"
"Mas, kenapa bisa seperti ini?""Aku gak tau Nadia, saat pulang ke rumah aku menemukannya pingsan di halaman belakang, Cinta menangis gak jauh dari tempat ibunya terjatuh.""Ya Allah ..." Mendengar ucapan mantan suaminya, tanpa terasa kedua mata Nadia kembali menitikkan air mata, ia merasa sangat iba."Apa Keysha tidak mengeluh apa-apa?""Tidak, dia cuma bilang pusing. Tapi dia juga bilang tak ingin merepotkanku ataupun kamu. Aku yakin dia berusaha sekuat mungkin menyembunyikan rasa sakitnya."Nadia menghela nafas dalam-dalam. Ia tak menyangka keponakannya pergi begitu cepat."Oh iya, Mas Rizki, Cinta mana?"Rizki tergagap. "Ah tadi dia diajak sama suster."Nadia mengangguk sembari tersenyum tipis. "Mas, aku cuma mau bilang kamu yang sabar ya. Aku tahu ini berat, tapi ini semua sudah suratan takdir Yang Maha Kuasa.""Iya, terima kasih Nadia.""Mas, aku cari Cinta dulu. Biar kuambil dari perawat."
Rizki sudah membeli buket bunga mawar untuk diberikan pada istrinya. Ya, hari ini Keysha ulang tahun. Dia akan memberikan sedikit kejutan untuknya. Kasihan wanita itu, selama ini harus ikut bersusah payah dengan kondisi mereka.Rizki bersiul-siul riang, biasanya kalau sore-sore begini, Keysha menunggunya di teras sambil bermain dengan Cinta, buah hati mereka.Lelaki itu melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Kenapa sepi sekali? Batinnya bertanya-tanya sendiri."Keysha? Cinta? Kalian dimana?" panggil Rizki. Lelaki itu mencari ke setiap sudut rumah, tapi tak ia temukan mereka dimanapun."Kemana mereka?"Samar-samar terdengar suara anak kecil menangis. Rizki menajamkan pendengarannya. Jangan-jangan itu Cinta?Gegas, dia lari ke belakang. Suara tangisan Cinta terdengar makin kencang. Dari kejauhan ia melihat sosok anak kecil sedang menangis di antara rimbunnya rerumputan."Astaghfirullah hal adzim. Cinta!" teria