Kepalaku pusing sekali ketika diberitahu oleh staffku bahwa ada masalah pada proses kerjasama yang tempo hari aku tandatangani. Garis besarnya, karena kecerobohan keputusanku itulah membuat perusahaan merugi secara finansial. Sedangkan Leo yang mengusulkan hal itu, sudah mengundurkan diri dari beberapa hari yang lalu.
"Pak, dipanggil Pak Direktur ke ruangannya," ujar Alya, salah satu staff kantor ini.
"Ya, ya, aku segera kesana!" sahutku.
'Mampus aku!' gumamku dalam hati.
Dengan degupan jantung yang berpacu kencang, aku menghampiri ruangan Pak Direktur, disana sudah ada beberapa pegawai yang lainnya.
"Kalian boleh pergi," tukas Pak Direktur kepada mereka. Mereka mengangguk dan meninggalkan ruangan Pak Direktur.
"Pak Rizki, bapak pasti sudah tahu bukan, kenapa dipanggil kesini?" ujar Pak Direktur dengan nada penuh penekanan.
"Baca laporan ini!" seru Pak Direktur sembari memberikan map itu padaku. Raut wajahnya sangat
Setelah sampai di rumah sakit, ibu langsung ditangani oleh tenaga medis. Aku dan Keysha menunggu di luar. "Key, apa kamu punya simpanan uang?" tanyaku padanya. Padahal aku tahu itu tidak mungkin. Karena Keysha sendiri aku jatah dua juta saja perbulan. Dia hanya menggeleng, sudah kuduga. "Mas, aku mau pulang dulu," pamitnya kemudian. "Apa, pulang? Tidak-tidak, kamu harus disini, jaga ibuku. Aku harus cari pinjaman untuk biaya perawatan ibu," tukasku. Dia menunduk. Lalu duduk lagi di ruang tunggu. Kalau dia tidak sedang hamil, sudah kuomeli habis-habisan. Gimana sih, seperti tidak punya hati, ibu mertuanya sedang sakit malah mau pulang. Ibuku seperti ini juga kan karena gara-gara dia. "Keluarga Ibu Prayoga?" panggil salah seorang perawat diambang pintu. "Iya sus, saya anaknya," jawabku kemudian masuk, begitu pula dengan Keysha. "Bagaimana dengan kondisi ibu saya, dokter?" tanyaku pada dokter yang menangani ib
Minggu pagi, masih seperti biasanya, aku berkutat dalam pekerjaan dapur. Aku belum bisa bersantai ria seperti pekerja kantoran yang tiap minggu ada hari liburnya. Sedangkan aku, .asih harus berjuang gigih untuk memajukan usaha kulinerku. Sedikit demi sedikit, usaha ini sudah dikenal orang, karyawanku bertambah satu orang, jadi totalnya udah empat orang. Tiinn ... Tiinn ... Suara klakson mobil yang sengaja dibunyikan. Aku tersenyum melihat kedatangannya. Siapa lagi kalau bukan Mas Hasbi. Setiap minggu pasti dia akan datang untuk membantuku. Entah itu ikut membersihkan toko maupun menyiram tanaman. "Dek, bisakah kita bicara sebentar," ucapnya dengan nada serius. Dia menatapku lekat-lekat, seperti ada yang ingin diucapkannya tapi ragu-ragu. "Iya mas, ada apa? Katakan saja," jawabku sambil terus berusaha untuk tersenyum. "Aku ingin bicara berdua denganmu, bisakah
"Maksudmu, apa kau bersedia menikah denganku dalam waktu dekat ini?"Aku hanya mengangguk sambil tersenyum."Benarkah? Coba tolong katakan, aku ingin dengar suaramu," sergahnya lagi."Iya mas, tolong pertemukan aku dengan Mbak Nisa.""Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah," sahutnya.Tak pernah kusangka ekspresinya bisa sebahagia itu. Mendadak dia berlutut dan menengadahkan tangannya keatas seperti orang yang sedang berdoa."Terima kasih, Ya Allah, terima kasih," serunya dengan suara yang cukup keras. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya yang terkesan lucu."Udah mas, ayo. Mau sampai kapan seperti itu?" tegurku.Dia tersenyum kemudian bangkit berdiri."Kita langsung ke rumahku ya ketemu mbak Nisa," ucapnya.Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya dari belakang."Hati-hati dek," katanya ketika melewati jalan setapak.Kami berjalan bersama hingga sampai di parkiran minimarket, dimana mobi
"Emmh ... Anu mbak, katanya Mbak Nadia gak boleh dekat-dekat sama calon suaminya." "Calon suami? Mbak tahu siapa?" "Ini ada undangannya mbak," ujar Mbak Sarni sembari memberikan kertas undangan mewah berwarna gold dengan hiasan pita. "Makasih ya Mbak." Mbak Sarni mengangguk. "Saya permisi dulu mbak Nadia," lanjutnya lagi. Karena rasa penasaranku yang tinggi, aku segera membuka tali pita tersebut. Mataku terbelalak kaget, melihat ukiran nama yang terpampang begitu jelas dalam undangan pernikahan itu. Menikah : Hasbi Alhanan & Andin Kartika Mendadak hatiku rasanya luluh lantak. Belum apa-apa rasanya udah sesakit ini. Ada yang berdenyut sakit di ulu hati. Bunga-bunga yang tadinya bermekaran mendadak layu kembali. Tanganku gemetaran memegang surat undangan ini. Kalau sudah punya calon istri, kenapa harus melamarku? Apa Mas H
[Hallo, assalamualaikum Nadia. Kamu ada dimana?] tanya Mas Hasbi di seberang telepon.[Waalaikum salam, iya mas. Aku ada di rumah sakit][Lho, kamu sakit?][Enggak sih mas, cuma ...][Tunggu, tunggu. Kamu jangan kemana-mana ya. Tetap disitu, aku akan menjemputmu][Baik, mas][Assalamualaikum][Waalaikum salam]Panggilan itupun terputus. Kuembuskan nafas dalam-dalam. Bukan tanpa alasan aku berada disini. Aku melakukan pemeriksaan kesuburan di rumah sakit ini, sesuai permintaan Mbak Nisa. Sebenarnya ingin kurahasiakan ini dari Mas Hasbi. Tapi Mas Hasbi pasti khawatir kalau tiba-tiba aku berada di rumah sakit. Apa yang harus kukatakan padanya?Aku menunggu di halaman parkir rumah sakit. Selang beberapa waktu, mobil Mas Hasbi datang. Seperti biasa, dia tersenyum padaku.Lelaki berkacamata itu terlihat berlari-lari kecil ke arahku."Nadia kamu sakit apa?" tanya Mas Hasbi menautkan kedua alisnya."Ak
3 hari berlaluAku kembali ke rumah sakit, untuk mengambil hasil tes lab, hasil pemeriksaan tes kesuburanku kemarin."Ini Bu, hasil pemeriksaannya," ujar seorang suster sembari memberikan lembaran kertas itu padaku."Terima kasih ya, sus. Kalau begitu saya permisi.""Baik, Bu. Kalau mau konsultasi lagi, bisa hubungi dokter yang kemarin menangani ibu ya.""Baik, sus. Saya permisi."Perawat itu mengangguk dan tersenyum. Aku kembali melangkah keluar rumah sakit. Lembaran kertas ini langsung kumasukkan ke dalam tas tanpa membukanya lebih dulu. Nyaliku terlalu ciut untuk mengetahui tentang kenyataan. Jantungku berdegup kencang. Entahlah, rasanya begitu takut, mendadak rasa tak percaya diri kembali hadir. Apakah aku pantas untuk Mas Hasbi?Tiba-tiba, Bruukk ...Seseorang menabrakku hingga aku terjatuh, sepertinya dia sedang terburu-buru. Segera kupungut kertas hasil tes lab dan beberapa barang lain yang berserakan di lantai."
Aku segera memasukkan lingerie itu kembali ke dalam kotak. "Apa yang sedang kalian lakukan, sepertinya sangat seru?" tanyanya. "Emmh ini Mas, Mirna nganterin kebaya pengantinku," jawabku. Mirna masih saja cengengesan. "Oh ya, kalian belum makan kan, bagaimana kalau kita makan dulu, yuk ..." ajakku sambil menarik Mirna untuk duduk ke meja makan. "Sebenarnya aku ingin pulang, Nadia," jawab Mirna. "Ayolah Mirna sekali ini saja, kita sudah lama tidak makan bersama. Please ..." "Oke, baiklah." Mas Hasbi mengikuti kami. Mereka duduk di meja makan bersama. Sedangkan aku ke belakang menyiapkan makanan untuk mereka. Mak Piah membantuku membawakan makanan-makanan itu dan menghidangkannya diatas meja. "Wah, sepertinya enak banget nih," celetuk Mirna saat melihat makanan di hadapannya. "Makasih ya, Mak Piah." "Iya, sama-sama mbak." Kami menyantap makanan bersama. "R
Aku tidak tahu, kemana lagi harus mencari pinjaman. Teman-teman yang tadinya dekat denganku kini menjauh. Mereka enggan berteman dengan seorang pengangguran. Sebenarnya aku salah apa hingga mereka menjauh dariku? Apa karena sekarang aku miskin? Tak ada apapun yang tersisa, semuanya habis. Lalu bulan besok bagaimana aku membayarkan hutang ibu. Aku benar-benar stress dan pusing. Apa yang harus kulakukan? Setelah lama berjalan, tanpa sadar aku sudah berada di seberang ruko Nadia. Aku menatap bangunan itu. Hatiku kembali nyeri, bila mengingat kejadian dulu. Dia istri yang kusia-siakan, kini bisa berubah lebih maju dariku. Toko cateringnya nampak ramai. Mobilku (dulu) dipakai untuk mengantarkan pesanan ke pelanggan. Sepertinya, karyawannya pun bertambah. Nadia benar-benar sudah sukses sekarang, tidak lagi menjadi bayang-bayangku. Dia bisa mengolah dan menghasilkan uang sendiri. Padahal dulu, aku menghinanya habis-habi
"Nadia ... dingiiiin ..."Nadia panik, ia langsung mengambil selimut untuk menutupi tubuh sang suami agar tak kedinginan. Ia pun berlalu ke belakang, mengambil air panas di baskom dan juga handuk kecil untuk mengompres kening sang suami.Setelah hampir dua puluh menit, rasa dingin mulai mereda. Hasbi bangkit, kepalanya terasa begitu pening dan berputar-putar."Mas, kamu sudah mendingan? Sudah gak dingin lagi?"Hasbi mengangguk. "Iya tapi pusing banget.""Masih kuat kan buat sholat?""Masih sayang.""Ini diminum dulu air hangat, Mas. Biar badanmu hangat.""Makasih, Dek." Hasbi meraih gelas air minum itu lalu meneguknya pelan. Nadia membantunya meletakkan gelas di meja."Ya sudah sekarang sholat dulu. Aku buatin bubur buat kamu ya, Mas."
Nadia berkaca di depan cermin riasnya. Dia berputar-putar sejenak, melihat pantulan dirinya di depan cermin."Mas, kayaknya aku gendutan deh, nih lihat lemak di perut gak ilang-ilang!" ujar Nadia sembari memanyunkan bibir.Hasbi tersenyum dan menghampirinya. Memeluk tubuh sang istri dari belakang.“Gak papa kok kamu gendutan, hatiku masih muat tuh buat kamu.”"Iiih, berarti beneran dong aku gendut!" cebik Nadia kesal."Sayang, di perutmu ini kan sudah lahir buah cinta kita. Dia tumbuh di rahimmu selama sembilan bulan lamanya, ya wajar saja kalau perutmu sudah gak kayak dulu lagi.""Tapi kan--""Sssttt ... Aku akan menerima kamu apa adanya sayang. Tak peduli dengan perubahan bentuk fisikmu, aku tetap mencintaimu."Kecupan lembut kembali mendarat di puncak kepala Nadia. Nadia mengulum senyum. Merasa berarti dengan perhatian yang suaminya berikan."Yakin kamu gak akan berpaling meskipun aku berubah g
Mobil mereka memasuki kawasan wisata Pantai Tanjung Lesung yang terletak di Pandeglang, Banten. Waktu yang ditempuh sampai ke lokasi hampir menghabiskan waktu 3,5 jam.Satu persatu dari mereka turun dan meregangkan otot tubuhnya. Lalu beranjak menuju ke homestay yang sudah direservasi oleh Hasbi satu hari sebelumnya.Terlihat wajah-wajah yang riang dan gembira, untuk berlibur melepaskan rasa penat karena aktivitas.Begitu pula dengan Nadia dan anak-anak, mereka masuk ke dalam villa yang spesial dipesankan oleh Hasbi."Bunda, ayo kita main ke pantai!" ajak Cinta. Dia menarik tangan Nadia untuk beranjak bangun."Iya, sebentar sayang. Istirahat dulu di sini ya.""Bunda, aku mau main pasir putih," sahutnya lagi."Iya sayang. Sebentar, bunda ganti baju dulu nih biar santai.""Yeayy asyiiikkk ..." Zikri dan Cinta saling ber-tos ria, berjingkrak senang seperti tak ada lelah."Panas-panas mau main di pantai?" tanya Hasbi.
"Hei ... kalian habis dari mana saja, Sayang?" sambut Hasbi ketika sampai di rumah.Dua bocah kecil itu menghambur ke arahnya. Memeluknya dengan sangat erat dan antusias."Ayah, aku dapet ini!" seru Zikri seraya menunjukkan boneka Frog ke ayahnya."Aku juga dapat ini, Yah!" timpal Cinta sembari menunjukkan boneka beruang miliknya."Bunda hebaaat ... Bunda bisa ambil ini di permainan capit boneka," puji Zikri lagi."Wah, bunda kalian memang hebat ya," sahut Hasbi menanggapi dua bocah kecil itu.Nadia tersenyum melihat celotehan mereka.Rasanya bahagia, kebahagiaan yang sederhana."Nah, sekarang kalian mandi dulu ya, udah sore. Mak Piah dan Mbak Sarni akan memandikan kalian.""Yeaaay ... Horeee ...!"Dua bocah kecil itu berlarian ke dalam. Nadia dan Hasbi ters
"Mas, aku dengar kabar kalau katanya jenazah Andin mengeluarkan bau tak sedap bahkan kejadian-kejadian aneh lain saat di pemakaman."Hasbi menoleh ke arah istrinya. Menghentikan aktivitasnya yang tengah memeriksa pekerjaan di laptop. Memang benar, desas desus berita tentang kematian Andin santer terdengar."Aku gak nyangka wanita secantik dia harus mengalami kejadian mengenaskan seperti ini.""Sssttt ... Jangan dibicarakan lagi. Itu adalah aib. Kita lupakan saja. Doakan yang terbaik untuk almarhumah.""Iya, Mas. Maaf.""Iya, tak apa. Aku tahu kok perasaanmu. Mulai sekarang kita fokus sama kehidupan kita saja ya, yang berlalu biarlah berlalu."Nadia mengangguk."Ambil hikmahnya saja, setiap perbuatan pasti akan ada balasannya, baik maupun buruk."Nadia tersenyum dan langsung mem
" ... Musibah kebakaran terjadi di kawasan elit tengah kota xxx ... Melanda kawasan apartemen mewah. Sementara, penyebab kebakaran diduga karena korsleting listrik, petugas polisi sedang menyelidiki kasus ini ... Seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun menjadi korban meninggal atas tragedi kebakaran petang tadi ..."Sebuah tayangan televisi menampilkan berita kebakaran hebat yang cukup memprihatinkan."Mas, kamu kenapa?" tanya Nadia saat menghampirinya dan memberikan segelas teh manis hangat untuk sang suami."Ada berita kebakaran di tengah kota, Dek." Kedua mata Hasbi masih belum terlepas dari layar benda datar itu.Nadia menoleh dan melihat tayangan berita di televisi."Seorang korban sudah berhasil diidentifikasi, nama Andin Yozita 28 tahun, berprofesi sebagai staff kantor, menjadi korban tewas dalam insiden kebakaran kali ini."Nadia dan Hasbi saling berpandangan."Mas, apa yang dimaksu
Praaannkk ....!! Wanita itu memecahkan barang-barang di sekitarnya. Rasa amarah, dendam, benci yang tak berkesudahan menguasai hatinya."Semua gara-gara kamu, Nadia! Semua gara-gara kamu!!" teriaknya geram.Hari itu setelah kondisi badannya kembali fit, dan sembuh dari alergi, ia menyelidiki siapa pengirim paket misterius itu hingga mendapatkan informasi kalau pengirimnya adalah Nadia."Kau benar-benar licik, Nadia! Awas saja, aku akan membalasnya lebih menyakitkan!"***"Maaf Andin hubungan kita, kita sudahi sampai di sini," pungkas Roy dengan raut wajah serius."Kenapa? Kenapa kau memutuskan hubungan ini secara sepihak, Mas?"Roy hanya tersenyum masam. "Tanyalah pada dirimu sendiri, kau berhubungan tak cukup dengan seorang laki-laki, padahal selama ini aku sudah memenuhi semua kebutuhanmu, gaya hidupmu, aku menanggung semuanya. Tapi hatimu justru kau berikan pada pria lain.""Pasti bukan itu saja alasannya!"
"Mas, kenapa bisa seperti ini?""Aku gak tau Nadia, saat pulang ke rumah aku menemukannya pingsan di halaman belakang, Cinta menangis gak jauh dari tempat ibunya terjatuh.""Ya Allah ..." Mendengar ucapan mantan suaminya, tanpa terasa kedua mata Nadia kembali menitikkan air mata, ia merasa sangat iba."Apa Keysha tidak mengeluh apa-apa?""Tidak, dia cuma bilang pusing. Tapi dia juga bilang tak ingin merepotkanku ataupun kamu. Aku yakin dia berusaha sekuat mungkin menyembunyikan rasa sakitnya."Nadia menghela nafas dalam-dalam. Ia tak menyangka keponakannya pergi begitu cepat."Oh iya, Mas Rizki, Cinta mana?"Rizki tergagap. "Ah tadi dia diajak sama suster."Nadia mengangguk sembari tersenyum tipis. "Mas, aku cuma mau bilang kamu yang sabar ya. Aku tahu ini berat, tapi ini semua sudah suratan takdir Yang Maha Kuasa.""Iya, terima kasih Nadia.""Mas, aku cari Cinta dulu. Biar kuambil dari perawat."
Rizki sudah membeli buket bunga mawar untuk diberikan pada istrinya. Ya, hari ini Keysha ulang tahun. Dia akan memberikan sedikit kejutan untuknya. Kasihan wanita itu, selama ini harus ikut bersusah payah dengan kondisi mereka.Rizki bersiul-siul riang, biasanya kalau sore-sore begini, Keysha menunggunya di teras sambil bermain dengan Cinta, buah hati mereka.Lelaki itu melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Kenapa sepi sekali? Batinnya bertanya-tanya sendiri."Keysha? Cinta? Kalian dimana?" panggil Rizki. Lelaki itu mencari ke setiap sudut rumah, tapi tak ia temukan mereka dimanapun."Kemana mereka?"Samar-samar terdengar suara anak kecil menangis. Rizki menajamkan pendengarannya. Jangan-jangan itu Cinta?Gegas, dia lari ke belakang. Suara tangisan Cinta terdengar makin kencang. Dari kejauhan ia melihat sosok anak kecil sedang menangis di antara rimbunnya rerumputan."Astaghfirullah hal adzim. Cinta!" teria