Malam hari terasa ramai dengan datangnya orang tahlilan di rumah Amel. Tak ada hidangan mewah, hanya bantuan yang diberikan oleh tetangga semampunya. Amel masih terkejut dengan kepergian Akmal tiba-tiba. Mila menggantikan posisi ibunya, ia harus kuat sebab tak mungkit lama terpuruk dalam masalah. Bagi gadis manis itu setiap yang hidup suatu hari nanti akan mengembuskan napas terakhir juga. Kini ia anak tanpa ayah, apalagi Fathan yang masih kecil. Mila harus lebih giat bekerja keras agar adiknya tidak kekurangan secara materi, masalah kasih sayang ada Amel yang ia yakin bisa mengganti ayah pengganti. Amel hanya termenung di sudut rumah, mendengar bacaan yang dikirim oleh para pentakziah. Pantas saja tadi malam Akmal begitu perhatian padanya. Mengajak istrinya bertukar pikiran, agar lebih jernih dan lebih luas memikirkan nasib Mila ke depannya. Masalah mencari uang memang gadis itu tangguh daripada laki-laki. Tak peduli panas hujan akan ia tempuh selagi masih sehat. Namun, ia tetapl
Dika bingung, Bu Inah jatuh sakit. Mila tak bisa dihubungi, ingin datang ke rumah Amel lelaki itu masih tak punya nyali. Maka pilihan satu-satunya ialah menunggu sampai hari esok selesai. Terpaksa nyonya besar dilarikan ke rumah sakit. Sinta juga ikut, terbesit rasa tak tega di hati menantu itu ketika mertuanya terbaring lemah tak berdaya, dan sesekali mengigaukan nama Mila. “Coba aja dari dulu Mama nggak terlalu keras sama aku. Kita pasti bisa jadi best friend,” ucap Sinta sambil mengupas sebuah apel. Ia bergantian jaga dengan perawat yang sedang makan di kantin. Sampai kondisi Bu Inah membaik, Sinta akan bersikap lembut layaknya kapas. Namun, jika mama mertuanya keras hati lagi ia pun akan mengembalikan hal yang sama juga. Sinta memandang wajah wanita tua itu. Betapa dari awal menikah sudah banyak sekali perdebatan yang selalu saja menemukan jalan untuk diperbincangkan. Keduanya sama-sama tak merasa bersalah dan mau mengalah. Bu Inah yang menuntut Dika tinggal di rumah karena ana
Bu Inah membuka matanya ketika merasakan Mila sudah datang. Senyum pun terkembang sempurna di bibir wanita tua itu. Akhirnya apa yang ia inginkan tercapai juga. Dirawat oleh cucu sendiri ketika sedang sakit. Tangan mama Dika gemetar, ia menyentuh kepala Mila yang tak sengaja tertidur di ranjang pesakitan.“Eh, Oma, udah bangun. Maaf Mila ngantuk tadi. Oma mau apa?” Cekatan Mila bertindak ketika sang nyonya besar sudah sadar. Wanita tua itu menggerakkan bibir, cucunya mendekat dan terdengar kata bahwa ia meminta makan. Lekas saja Mila membuka makanan jatah dari rumah sakit yang semuanya serba putih. “Minum obat ini dulu, ya, Oma. Yang ini sebelum makan, yang ini sesudah makan,” tunjuk Mila. Lagi-lagi mama Dika hanya mengangguk saja. Jika dengan Mila ia tak akan banyak bantahan. Ia sanggup mengalah asal mendapatkan cinta tulus dari cucu perempuannya. Dengan telaten dan sabar Mila menyuapi orang tua itu. Setiap ada bubur yang jatuh di dekat bibir akan ia bersihkan dengan tisu. Suap de
“Kamu tunggu di sini saja, ya,” ucap Dika pada supirnya. Bukan Satria, sebab pria itu tugasnya hanya menjaga Camila saja. Lingkungan perumahan di mana Amel tinggal sedang sepi. Orang-orang sedang pergi bekerja dan anak-anak ke sekolah. Dika melihat depan rumah mantan istrinya. Rumah makan itu sudah benar-benar tutup. Amel fokus menjaga anak keduanya. Seketika pikiran lelaki manja tersebut melayang. Ia akan menerima anak bawaan Amel jika mantan istrinya mau menerima pinangan darinya lagi. Wanita yang baru ia pikirkan keluar rumah. Ia membawa sepiring makanan. Lalu wanita yang memang dari dulu penyayang itu memanggil kucing-kucing peliharannya. Ia ajak makan satu piring beramai-ramai, sembari bercerita. Ya, sejak Akmal tiada dan Mila sibuk merawat oma, mantan istri Dika hanya percaya curhat pada kucing peliharaannya. Sebab mereka makhluk lucu, penyayang dan yang paling penting tak menghakimi orang. Amel takut jika ia mencari teman baru untuk curhat, yang ada malah ia dinilai salah
Gilang sedang melajukan motor besarnya. Ia rutin ikut taruhan balap liar terus menerus untuk mengisi kekosongan waktu setelah pulang kuliah. Hal itu pula yang menyebabkan dirinya pulang pagi hari. Sinta hanya sesekali menanyai dirinya, bagi wanita angkuh itu, sudah biasa laki-laki berpetualangan sebelum menikah. Sedangkan Dika, tak terlalu ambil pusing dengannya. Bagi papanya pula, anak laki-laki harus bisa menjaga dirinya sendiri. Berbeda dengan anak perempuan yang harus dijaga. Padahal Dika sendiri sudah menelantarkan Mila dari kecil. “Sial!” umpat adik kandung Mila. Ia kalah lagi malam itu, sudah yang kelima dan uangnya sudah habis. Malahan dia berhutang sangat besar dengan temannya. “Gimana, Bro, masih mau ngulang?” tanya temannya. Gilang hanya melambaikan kelima jarinya. Ia tak punya cadangan devisa lagi. Uang jajannya sudah habis tak bersisa. Hanya tinggal untuk membeli bensin saja. “Gue pulang duluan, ya,” ucapnya ingin lari dari masalah. “Eits, tunggu dulu, nggak bisa gitu
Dua sepeda motor yang mengikuti Mila terus berusaha menggapai mobil itu. Yang di dalam sana sudah panik bukan kepalang lagi. Mereka takut sebab harus berurusan dengan orang-orang berseragam. Salah satu motor berhasil melampaui dan menghadang mereka. Satria langsung melompat turun. Tanpa basa basi, ia buka jaket dan tutupi tangannya dengan benda tersebut lalu memukul kaca mobil hingga pecah. Ia tak suka berbasa-basi, pecahan kaca itu sedikit mengenai pipi Mila yang sedang tertidur. “Keluar!” bentak pria muda itu.“Cepet telpon Gilang, bilang kita dalam bahaya,” ujar salah satu dari tiga penculik itu. Namun, belum sempat terjadi ponsel mereka telah dirampas lebih dahulu. Menyerah, satu-satunya cara yang tersisa. Dua tangan para penculik itu pun naik ke kepala, mereka tak berani melawan orang-orang yang memang ahli. “Urus mereka. Cari tahu siapa yang perintah, pasti ada dalangnya ini,” pinta Satria pada teman-temannya. Kunci mobil sudah diambil dan saatnya introgasi mencari otak pengg
Dika membeli sepasang sepatu baru dari luar negeri. Cantik dan elegan, sangat cocok untuk Amel dan wanita itu akan semakin anggun jika mengenakannya. Ia kemas sendiri benda mewah tersebut di dalam kantornya. Lalu ia minta sekretaris untuk mengirimkan ke alamat yang telah ia tulis.Kebetulan pula Sinta sedang menuju kantor suaminya. Ia melihat sekretaris Dika membawa paket ke luar dari ruangan suaminya. Rasa-rasanya selama menikah tak pernah Dika memberinya hadiah atau suatu kejutan. Sinta, jika ingin sesuatu akan ia minta sendiri baru suaminya akan memberikan uang. “Dari siapa, buat siapa?” tanya Sinta langsung pada sekretarisnya. Perempuan yang bekerja di sana menunjukkan alamat yang diberikan oleh bosnya. “Biar saya yang antar, sekalian juga mau ke rumah dia.” Wanita itu mengambil paket dari tangan seretaris Dika.“Sampai kapan kalian akan terus tutupi kenyataan itu. Anggap saja aku membantu Mila untuk tahu siapa ayah kandungnya. Tapi kalau masalah harta jangan harap aku mau berba
Paket yang dibawa Sinta waktu itu tertera pula alamat rumah Dika. Dengan mengumpulkan keberanian juga semua kepercayaan dirinya, Amel bersiap-siap menuju rumah mantan suaminya. Ia memakai gamis, jilbab, serta sepatu terbaik. Walau bisa dikatakan harganya sangat murah. Bukan Dika yang ditakutkan oleh Amel. Melainkan mantan mertuanya, sebab Sinta pernah mengisyaratkan wanita yang pernah mengusirnya dulu masih hidup dan sehat. Katanya lagi ada perawat yang mengurus Bu Inah sangat baik. Hari masih siang menjelang sore dan Mila bekerja di sana. Gadis itu sedang menuntun omanya untuk berjalan kaki lebih jauh lagi. Kondisi kesehatan Bu Inah semakin membaik, tensinya tidak tinggi lagi, begitu juga dengan gula darahnya. Biarlah ia menutupi kenyataan bahwa Mila adalah cucunya asal gadis itu tak pergi jauh darinya. “Kita masuk dulu, ya, Oma. Udah waktunya makan cemilan. Mila kukuskan pisang barusan, dimakan, ya, Oma. Biar perutnya nggak gampang lapar,” ujar gadis itu. Bu Inah pun menurut saja,
Satria berjalan tertatih di dalam hutan. Saat ia dikejar oleh sekelompok pembunuh dengan senjata tajam. Ia menyelamatkan diri lari ke sembarang arah lalu terjatuh berguling-guling di jurang yang dekat dengan tepi sungai. Di sana ia tak sadarkan diri selama berhari-hari. Lalu saat bangun, kakinya sakit bukan main dan tak bisa dibawa berjalan jauh. Ditambah Satria tak tahu sedang berada di mana. Kedalaman hutan yang ia tempati masih sangat luas, perawan, dan tentunya banyak binatang buas. Tidak ada senapan yang Satria bawa, hanya belati tajam yang beruntung masih tersangkut di pinggang. Di sana ia menyembuhkan dirinya sendiri. Minum air sungai, memakan ikan yang bisa ditangkap di sungai, dan tidur setelah menghidupkan api kecil agar terjaga dari terjangan binatang buas. Sampai suami Camila tak tahu lagi hari apa yang ia lewati, sudah berapa minggu atau bahkan mungkin sudah berbulan-bulan lamanya. Baju dinas yang Satria gunakan bahkan sudah lusuh dan robek. Namun, hanya itu satu-satunya
Camila tak bisa menahan air matanya di depan banyak orang. Suaminya—Satria—lelaki yang baru saja menikah dengannya kini dinyatakan hilang. Tidak meninggal tidak juga ada di tempat. Jejaknya tidak ditemukan usai baku tembak dengan kelompok bersenjata yang amat mematikan tersebut. Bibirnya bergetar dan tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia dibantu duduk oleh tentara wanita yang ada di sana, lalu diberikan segelas air agar sedikit tenang, mengingat Mila sedang hamil. “Yang sabar, ya, Ibu,” ucap petugas yang ada di ruangan itu. Namun, sampai sekarang tidak ada satu kata-kata pun yang masuk dalam kepala Mila. Ia hanya ingin suaminya ditemukan, walau harus mencari dalam kurun waktu yang sangat panjang. “Apa nggak bisa suami saya dicari lagi, Pak?” Camila berusaha tenang setelah puas menangis. “Sudah kami telusuri semua wilayah di dalam hutan, tetapi jejaknya tidak ada,” jawab petugas di sana. “Berarti suami saya belum mati.” Mila masih meyakini Satria masih hidup. “Ada dua kemungkinan. Ma
Satria berada di wilayah pedalaman sana. Selain ruas jalan terbaru akan dibuka besar-besaran tentu saja ada beberapa kelompok bersenjata yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kehadiran mereka dari dulu tidak pernah dianggap main-main. Tidak sedikit nyawa rakyat sipil atau bahkan militer yang tewas. Hal itu pulalah yang menjadi penyebab mengapa Camila tak enak hati melepas kepergian suaminya. Selain karena firasat seorang istri, juga kebersamaan mereka yang baru sebentar saja. Pagi itu beberapa kelompok kembali dibagi oleh pemimpin perjalanan. Satria mendapatkan tugas yang cukup berat. Ia harus berpatroli ke dalam hutan yang sangat belantara tentu dengan beberapa temannya yang lain. Sebelum berangkat doa bersama digelar, tak lupa pula Satria melihat ponselnya sejenak. Mana tahu ada pesan masuk dari istrinya. Namun, ternyata sinyal satu batang pun tidak kunjung muncul. Jelas saja sebab mereka berada di wilayah pedalaman. Pesan terakhir dari Camila ia terima beberapa bulan lalu. Betap
“Nggak bisa resign aja, Bang?” bisik Camila ketika mengantar kepergian suaminya. Ia menggunakan baju serba hijau resmi seperti halnya yang lain. “Tadi malam udah janji, kan, nggak mau bahas ini lagi,” jawab Satria sambil menggenggam tangan istrinya. Tak hanya mereka berdua saja di sana, yang lain juga ada. Kebanyakan membawa anak, dan hanya sedikit yang masih berdua saja dengan pasangannya. “Iya itu tadi malam. Pagi hari ya beda lagi, Bang. Seriusan perasaan Mila nggak enak. Nggak usah pergi ya.” “Terus kamu mau Abang kena pelanggaran berat. Udah, nggak usah mikir macem-macem. Abang nggak akan kawin lagi, kok, di sana. Pasti pikiran kamu ke sana, kan?” “Nggak. Bukan masalah itu.” “Berarti boleh di sana Abang kawin lagi kalau jumpa.” “Yok, menghadap atasan, minta berhenti sekalian. Otak Abang isinya kawin melulu dari tadi.” Mila menarik tangan lelaki itu, tak terima dengan candaan barusan. Ia agak sensitif mendengar kata nikah sirri atau sejenisnya. “Eh, udah. Bercanda aja diang
Camila dan Satria telah lama menyelesaikan bulan madu mereka. Keduanya kembali ke rencana awal untuk hidup berdua saja tanpa campur tangan Papa Dika ataupun Oma. Namun, ternyata memang tak mudah. Oma sangat suka mengatur kehidupan cucunya meski dari jarak jauh. Bahkan tak jarang wanita yang sudah bisa berjalan sedikit demi sedikit itu meminta Mila untuk makan di rumah, tanpa membawa suaminya. Jujur saja dalam hati Bu Inah, ia sulit menerima kehadiran lelaki itu karena perbedaan kasta. Hanya demi agar cucunya bahagia, ia terpaksa mengiyakan semua kata Dika. Agar kesalahan masa lalu itu tak terulang lagi. “Maafin Oma, ya, Bang. Jangan diambil hati. Nanti Mila bingung harus gimana,” ucap wanita berparas manis itu ketika datang ke rumah Bu Inah. Mereka menggunakan mobil baru yang dihadiahkan Dika untuk putrinya. Tentu saja Satria yang menyetir, karena hal itu sudah menjadi kewajiban dirinya sebagai suami. “Iya, apa, sih, yang nggak demi kamu. Kalau nggak cinta aja, nggak akan mau Aban
"Kenapa jalannya kayak gitu?" tanya Satria pada istrinya. Dua hari menginap di hotel mewah, pria itu telah mendapatkan apa yang selama ini ia nantikan."Pakai nanya segala, Bang. Emang nggak ingat tadi malam habis ngapain?" sindir Camila. Wanita itu lalu duduk di tepi ranjang dan setengah berbaring, ia tak ingin ke mana-mana hanya tidur saja seharian."Oh, ingat donk, kenapa? Mau diulang lagi, ayok, Abang siap aja kapan pun dibutuhkan." Pria itu berdiri dan menatap Camila yang meliriknya, ia langsung ikut duduk tetapi istrinya berguling ke sisi lain."Jangan, jangan dulu, please, Mila capek banget, Bang." Wanita berparas manis itu menutup wajahnya dengan bantal. "Jadi, kapan?" Satria memeluk istrinya dari samping. Menggoda Camila agar tersipu malu lagi seperti malam tadi. "Kapan-kapan, gak kejar target punya anak cepet, kan?" ujar Camila dari balik bantal. "Nggak juga harus cepet, tapi kalau bisa dua tahun sekali satu anak." "Agh, ikut program pemerintah, dua anak cukup." Mila mem
Dika terbata-bata ketika harus mengucapkan kalimat untuk melepaskan kepemilikan putrinya pada Satria. Berkali-kali ia salah mengucapkan nama atau lelaki itu bingung harus berkata apa, padahal sudah ada pihak KUA yang membantu Dika. Ya, lelaki itu seakan-akan tak rela kalau harus menyerahkan Mila secepat itu pada seorang pria yang bukan siapa-siapa baginya. Akad nikah dilangsungkan pagi itu di sebuah gedung dan langsung disambung pada resepsi sampai selesai. Mila yang sudah duduk di sebelah Satria sampai membersihkan wajahnya dengan tisu berkali-kali karena ia pun ikut grogi juga. Dika kembali menarik napas panjang, ia menguatkan hati kecilnya. Memang sudah saatnya ia harus melepaskan Camila pada pria yang telah berjanji akan membahagiakan putrinya. Hingga akhirnya ia tak terbata-bata lagi mengucapkan kalimat penyerahan lalu disambung Satria dalam satu tarikan napas tanpa kesalahan apa pun. Mila menarik napas lega dibuatnya. Gema kata sah di seluruh ruangan terdengar. Pernikahan merek
“Ya Allah, ribet sekali urusan untuk menikah dengan abdi negara ini.” Camila membaca berulang-ulang persyaratan yang baru saja dikirimkan oleh Satria. Ya, pernikahan mereka telah mendapatkan lampu hijau dari Oma. Cukup alot juga Dika memberitahu mamanya agar kesalahan yang sama tak terulang lagi seperti pada mendiang Amel dulu. Hanya perlu menunggu proses pengajuan selesai, dan lamaran resmi dari pihak keluarga Satria akan dilayangkan. “Kalau mau menyerah dari sekarang, bilang, Sayang. Nanti Oma lanjutkan perkenalan dengan Sadewa. Kan, anaknya lebih ganteng dan kaya daripada Satria,” jawab Oma yang melihat cucunya cemberut. “Eh, jangan Oma, nggak menyerah, kok. Baru juga mau diurus.”“Apa, sih, yang kamu lihat dari Satria. Secara akal juga lebih bagus Sadewa ke mana-mana,” tanya Bu Inah. Ia meredam egonya kali ini. Demi kebahagiaan Mila akan ia biarkan cucu perempuannya menikah dengan Satria. Meski setelah itu cucunya akan diboyong entah ke mana. Mengingat pemuda itu belum punya ru
Dika memanggil Satria secara khusus ke kantornya. Ruangan itu tertutup dan hanya ada mereka berdua saja. Lelaki yang telah menjalani masa duda selama enam bulan itu tahu tadi malam Mila pulang agak larut. Ia hanya takut putrinya terjerumus pada hal-hal tak baik. Sebagai orang tua tentu Dika khawatir dengan keselamatan Mila. “Tadi malam kita belum sempat bicara. Ada apa kamu datang ke rumah? Pasti ada sesuatu yang ingin dibahas, terus tadi malam apa putri saya masih pulang dalam keadaan utuh? Tidak kekurangan sesuatu apa pun pada Mila. Kamu nggak ambil kesempatan dalam kesempitan, bukan?” tanya Dika. Dua orang itu berhadap-hadapan, cinta yang mereka miliki untuk Camila sama besarnya.“Mila masih saya pulangkan utuh-utuh tadi malam, Pak. Tidak ada yang berkurang dari dirinya, kami terutama saya masih bisa menahan diri dari hal-hal yang sebenarnya diinginkan,” jawab Satria apa adanya. “Lalu kedatangan saya tadi malam ingin serius menjalin hubungan dengan putri bapak tentunya.” “Oh, ya?