Paket yang dibawa Sinta waktu itu tertera pula alamat rumah Dika. Dengan mengumpulkan keberanian juga semua kepercayaan dirinya, Amel bersiap-siap menuju rumah mantan suaminya. Ia memakai gamis, jilbab, serta sepatu terbaik. Walau bisa dikatakan harganya sangat murah. Bukan Dika yang ditakutkan oleh Amel. Melainkan mantan mertuanya, sebab Sinta pernah mengisyaratkan wanita yang pernah mengusirnya dulu masih hidup dan sehat. Katanya lagi ada perawat yang mengurus Bu Inah sangat baik. Hari masih siang menjelang sore dan Mila bekerja di sana. Gadis itu sedang menuntun omanya untuk berjalan kaki lebih jauh lagi. Kondisi kesehatan Bu Inah semakin membaik, tensinya tidak tinggi lagi, begitu juga dengan gula darahnya. Biarlah ia menutupi kenyataan bahwa Mila adalah cucunya asal gadis itu tak pergi jauh darinya. “Kita masuk dulu, ya, Oma. Udah waktunya makan cemilan. Mila kukuskan pisang barusan, dimakan, ya, Oma. Biar perutnya nggak gampang lapar,” ujar gadis itu. Bu Inah pun menurut saja,
“Mila, Nak, kita pulang sekarang, ya. Ini bukan rumah kamu.” Amel meraih foto di tangan putrinya. Ia letakkan di meja lalu menggamit tangan anak gadisnya untuk pulang. “Jangan kamu bawa cucu saya pergi, Amel. Biarkan dia tinggal di sini.” Bu Inah berdiri, tapi ia tak kuat menahan gemuruh di dadanya hingga wanita tua itu terduduk lagi di kursi. Mila yang telah hampir tiga bulan merawat Oma, tak tega dan membantu omanya untuk duduk baik-baik. Amel hanya membiarkan saja. “Gitu, donk, terang benderang semua tanpa rahasia lagi,” ucap Sinta tanpa ada beban. “Puas kamu?” tanya Dika pada istrinya. “Jelas. Udah, ah, aku mau shopping dulu.” Tanpa rasa bersalah sama sekali wanita angkuh itu pergi. “Mila, udah, Sayang. Kita pulang, Mama jelaskan di rumah nanti semuanya.” “Amel, tolong, kasih waktu anak kita sama Mama sebentar. Mama sudah terbiasa sama Mila.” Dika memohon. “Anak kita?” Ulang Amel juga Mila bersamaan. Gadis itu semakin bergetar tangannya. Ia mengambil kursi roda lalu memind
Mila memutar mi di dalam mangkuk bakso, lalu masukkan dalam mulutnya sampai penuh. Satria sampai takjub melihat nafsu makan gadis yang sedang emosi itu. Kurang pedas, Mila tambahkan cabai satu sendok, kurang, ia ingin tambahkan lagi tetapi mangkuk cabai itu diambil alih oleh Satria. “Nanti sakit perut, Tuan Putri. Jangan terlalu diikutin kalau lagi marah,” ucap pria di depan Mila, ia kemudian menyodorkan segelas air putih hangat ketika gadis tersebut mulai kepedasan. “Biar keluar semua keringat dan semua amarah, juga semua kenangan. Mila nggak mau hidup ada beban atau air mata atau hutang ini itu sama orang lain,” jawab Mila sambil memakan satu buah bakso langsung ke dalam mulutnya. Satria hanya tersenyum saja, justru tuan putri terlihat lucu ketika makan seperti orang kesurupan, bahkan masih tambah satu mangkuk lagi. Tak lupa pula ia membungkus untuk mama dan adiknya. “Pelan-pelan, Tuan Putri.” Satria menyodorkan tisu. Nyaris saja ia yang membersihkan noda kuah di tepi bibir Mila,
Amel kembali bangun di pagi buta. Ia sholat dulu baru mengemas dirinya. Wanita itu menahan batuk yang semakin menjadi, sudah tiga hari sejak kenyataan pahit terkuak rasa-rasanya fisik wanita itu semakin tak kuat, padahal ia belumlah berusia setengah abad. Ia tahan batuk semampunya, lalu mengambil kunci motor. Ia akan ke pasar untuk mulai lagi menjual nasi di warung sederhananya. “Mama mau ke mana?” tanya Mila yang baru bangun. “Ke pasar, mau jualan lagi hari ini. Kamu urus Fathan, ya, nanti pas Mama pulang dari pasar bisa antar dia sekolah,” jawab Amel. “Nggak, nggak boleh. Jangan jualan lagi, Ma. Biar Mila aja yang cari kerja baru di luar nanti.” Gadis itu menahan tangan mamanya. Ia sudah telanjur senang melihat mamanya hanya mengurus rumah saja dan tak perlu bersusah payah jualan. “Nggak usah, ah. Mama masih kuat, kok, lagian bosan juga bengong di rumah nggak ada kerjaan. Mama pergi dulu, ya.” Amel meraih kunci yang tergantung di paku. Mila ingin ikut, tapi ia harus mengurus adi
Dika sampai di rumah sakit, ia tak peduli lagi walau Sinta marah dengannya atau tidak. Yang jelas ia tak mau melihat Amel menderita, titik, tanpa bantahan lagi. Dari luar ia lihat Mila ditutupi selimut oleh Satria. Pria itu keluar, ia tahu seseorang telah datang. “Bagaiamana, Satria, keduanya?” Dika tak sabar ingin tahu. “Ibu Amel, sakitnya udah lama didiamkan seharusnya rutin konsumsi obat, jadi ya seperti ini. Terus Mila masih menangis, ngantuk baru berhenti.” Satria menjawab pertanyaan lelaki itu. “Kamu masih menjaga anak saya, walau udah berhenti kerja. Apa ada yang lain di antara kalian? Saya papanya, saya berhak tahu.” “Iya, seperti itulah, saya menjaga Amel walau nggak ada bayaran. Rencananya seumur hidup kalau memang berjodoh.” Terang benderang perasaan Satria bagai matahari yang bersinar.“Kalau memang jodoh saya minta kamu tidak bersikap pengecut seperti saya. Karena berada dalam tekanan Mama saya menelantarkan keduanya. Lucunya lagi, Mila memaafkan mama saya, tapi tidak
Bagian 26 Tenang dan Damai Peralatan di tubuh Amel telah dilepaskan, begitu juga dengan kondisinya yang semakin membaik. Wanita tersebut bahkan sudah keluar dari ruang ICU, ia dirawat di kamar VVIP. Meski demikian tak banyak orang yang boleh menunggunya. Mila merawat mamanya sangat telaten, ia di sana dan hanya saat mengurus adiknya saja baru pergi. Amel dapat merasakan napasnya sedikit lebih lega daripada beberapa hari lalu. Obat-obatan yang diberikan dokter juga selalu rutin diminum. Amel masih belum boleh pulang karena harus menjalani observasi. Dika ingin masuk, tapi dengan mantan istrinya menolak. Bagi wanita itu ia sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Hanya sebatas urusan dengan Mila saja. Amel sadar, tubuhnya yang kini rapuh tak akan bisa menjaga Mila terus-terusan. “Ma, Mila pergi jemput Fathan dulu, ya. Mama sendirian di sini, nggak apa-apa, kan? Nanti kalau sakit atau kenapa, tekan ini, perawat pasti datang, kok,” ujar Mila. Amel hanya mengangguk saja. Wajahnya masih s
Bagian 27 Keheningan “Ma, bangun.” Mila mengguncang tubuh mamanya. Tak ada pergerakan sama sekali, bahkan pergerakan napas walau perlahan juga tak terlihat. Gadis itu menepis prasangkanya, ia guncang kembali tubuh Amel. Tak juga ada pergerakan ia pun menekan tombol bantuan berkali-kali hingga perawat dan dokter jaga langsung berdatangan. “Tolong, Mama nggak bernapas,” ujar Mila dengan meneteskan air mata. Ia pun diminta mundur sejenak hingga para petugas medis bisa mengambil tindakan. Mulai dari diperiksanya denyut jantung, denyut nadi bahkan sensitifitas mata terhadap cahaya, juga tindakan lainnya. Dan pada akhirnya dokter hanya menggeleng saja. “Amelia, usia 42 tahun waktu kematian diperkirakan dua jam lalu,” tegas dokter itu lalu dicatat oleh perawat. Camila menutup mulutnya. Ia bahkan meminta dokter untuk memastikan bahwa mereka tak salah periksa. Namun, pihak medis hanya mengatakan sesuai fakta saja, sambil meminta Mila untuk sabar.Gadis berparas manis itu hanya duduk, diam,
Usai ditinggal oleh mama tercinta, kini di rumah itu hanya ada Mila dan adiknya saja. Gadis tersebut sedikit bingung dengan apa yang harus dilakukan. Fathan pulang di siang hari, sedangkan jika ia bekerja seperti biasa tentu Mila akan di rumah di sore hari dan tak sempat mengurus adiknya.“Mau kerja di mana, ya? Emang ada tempat yang mau terima kerja setengah hari sesuka hati,” gumam Mila sendirian. Tiga hari sudah ia libur kerja dan sudah saatnya menatap dunia meski tanpa sayap lagi. Tak ingin gadis itu kembali bekerja di tempat oma sebab sudah pasti akan bertemu Dika setiap hari, sedangkan ia belum atau bahkan tak akan pernah siap memanggil lelaki itu dengan sebutan papa.Ketika sedang asyik melamun, ponsel gadis itu berdering. Panggilan berasal dari nomor Oma. Ia angkat dan mencoba tersenyum saat menjawab setiap tanya dari wanita tua itu. Hingga sampai ke titik pembicaraan, Oma memintanya untuk kembali ke rumah tersebut. Keberatan Mila, sebab ia harus mengurus adik lelakinya. Bah
Satria berjalan tertatih di dalam hutan. Saat ia dikejar oleh sekelompok pembunuh dengan senjata tajam. Ia menyelamatkan diri lari ke sembarang arah lalu terjatuh berguling-guling di jurang yang dekat dengan tepi sungai. Di sana ia tak sadarkan diri selama berhari-hari. Lalu saat bangun, kakinya sakit bukan main dan tak bisa dibawa berjalan jauh. Ditambah Satria tak tahu sedang berada di mana. Kedalaman hutan yang ia tempati masih sangat luas, perawan, dan tentunya banyak binatang buas. Tidak ada senapan yang Satria bawa, hanya belati tajam yang beruntung masih tersangkut di pinggang. Di sana ia menyembuhkan dirinya sendiri. Minum air sungai, memakan ikan yang bisa ditangkap di sungai, dan tidur setelah menghidupkan api kecil agar terjaga dari terjangan binatang buas. Sampai suami Camila tak tahu lagi hari apa yang ia lewati, sudah berapa minggu atau bahkan mungkin sudah berbulan-bulan lamanya. Baju dinas yang Satria gunakan bahkan sudah lusuh dan robek. Namun, hanya itu satu-satunya
Camila tak bisa menahan air matanya di depan banyak orang. Suaminya—Satria—lelaki yang baru saja menikah dengannya kini dinyatakan hilang. Tidak meninggal tidak juga ada di tempat. Jejaknya tidak ditemukan usai baku tembak dengan kelompok bersenjata yang amat mematikan tersebut. Bibirnya bergetar dan tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia dibantu duduk oleh tentara wanita yang ada di sana, lalu diberikan segelas air agar sedikit tenang, mengingat Mila sedang hamil. “Yang sabar, ya, Ibu,” ucap petugas yang ada di ruangan itu. Namun, sampai sekarang tidak ada satu kata-kata pun yang masuk dalam kepala Mila. Ia hanya ingin suaminya ditemukan, walau harus mencari dalam kurun waktu yang sangat panjang. “Apa nggak bisa suami saya dicari lagi, Pak?” Camila berusaha tenang setelah puas menangis. “Sudah kami telusuri semua wilayah di dalam hutan, tetapi jejaknya tidak ada,” jawab petugas di sana. “Berarti suami saya belum mati.” Mila masih meyakini Satria masih hidup. “Ada dua kemungkinan. Ma
Satria berada di wilayah pedalaman sana. Selain ruas jalan terbaru akan dibuka besar-besaran tentu saja ada beberapa kelompok bersenjata yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kehadiran mereka dari dulu tidak pernah dianggap main-main. Tidak sedikit nyawa rakyat sipil atau bahkan militer yang tewas. Hal itu pulalah yang menjadi penyebab mengapa Camila tak enak hati melepas kepergian suaminya. Selain karena firasat seorang istri, juga kebersamaan mereka yang baru sebentar saja. Pagi itu beberapa kelompok kembali dibagi oleh pemimpin perjalanan. Satria mendapatkan tugas yang cukup berat. Ia harus berpatroli ke dalam hutan yang sangat belantara tentu dengan beberapa temannya yang lain. Sebelum berangkat doa bersama digelar, tak lupa pula Satria melihat ponselnya sejenak. Mana tahu ada pesan masuk dari istrinya. Namun, ternyata sinyal satu batang pun tidak kunjung muncul. Jelas saja sebab mereka berada di wilayah pedalaman. Pesan terakhir dari Camila ia terima beberapa bulan lalu. Betap
“Nggak bisa resign aja, Bang?” bisik Camila ketika mengantar kepergian suaminya. Ia menggunakan baju serba hijau resmi seperti halnya yang lain. “Tadi malam udah janji, kan, nggak mau bahas ini lagi,” jawab Satria sambil menggenggam tangan istrinya. Tak hanya mereka berdua saja di sana, yang lain juga ada. Kebanyakan membawa anak, dan hanya sedikit yang masih berdua saja dengan pasangannya. “Iya itu tadi malam. Pagi hari ya beda lagi, Bang. Seriusan perasaan Mila nggak enak. Nggak usah pergi ya.” “Terus kamu mau Abang kena pelanggaran berat. Udah, nggak usah mikir macem-macem. Abang nggak akan kawin lagi, kok, di sana. Pasti pikiran kamu ke sana, kan?” “Nggak. Bukan masalah itu.” “Berarti boleh di sana Abang kawin lagi kalau jumpa.” “Yok, menghadap atasan, minta berhenti sekalian. Otak Abang isinya kawin melulu dari tadi.” Mila menarik tangan lelaki itu, tak terima dengan candaan barusan. Ia agak sensitif mendengar kata nikah sirri atau sejenisnya. “Eh, udah. Bercanda aja diang
Camila dan Satria telah lama menyelesaikan bulan madu mereka. Keduanya kembali ke rencana awal untuk hidup berdua saja tanpa campur tangan Papa Dika ataupun Oma. Namun, ternyata memang tak mudah. Oma sangat suka mengatur kehidupan cucunya meski dari jarak jauh. Bahkan tak jarang wanita yang sudah bisa berjalan sedikit demi sedikit itu meminta Mila untuk makan di rumah, tanpa membawa suaminya. Jujur saja dalam hati Bu Inah, ia sulit menerima kehadiran lelaki itu karena perbedaan kasta. Hanya demi agar cucunya bahagia, ia terpaksa mengiyakan semua kata Dika. Agar kesalahan masa lalu itu tak terulang lagi. “Maafin Oma, ya, Bang. Jangan diambil hati. Nanti Mila bingung harus gimana,” ucap wanita berparas manis itu ketika datang ke rumah Bu Inah. Mereka menggunakan mobil baru yang dihadiahkan Dika untuk putrinya. Tentu saja Satria yang menyetir, karena hal itu sudah menjadi kewajiban dirinya sebagai suami. “Iya, apa, sih, yang nggak demi kamu. Kalau nggak cinta aja, nggak akan mau Aban
"Kenapa jalannya kayak gitu?" tanya Satria pada istrinya. Dua hari menginap di hotel mewah, pria itu telah mendapatkan apa yang selama ini ia nantikan."Pakai nanya segala, Bang. Emang nggak ingat tadi malam habis ngapain?" sindir Camila. Wanita itu lalu duduk di tepi ranjang dan setengah berbaring, ia tak ingin ke mana-mana hanya tidur saja seharian."Oh, ingat donk, kenapa? Mau diulang lagi, ayok, Abang siap aja kapan pun dibutuhkan." Pria itu berdiri dan menatap Camila yang meliriknya, ia langsung ikut duduk tetapi istrinya berguling ke sisi lain."Jangan, jangan dulu, please, Mila capek banget, Bang." Wanita berparas manis itu menutup wajahnya dengan bantal. "Jadi, kapan?" Satria memeluk istrinya dari samping. Menggoda Camila agar tersipu malu lagi seperti malam tadi. "Kapan-kapan, gak kejar target punya anak cepet, kan?" ujar Camila dari balik bantal. "Nggak juga harus cepet, tapi kalau bisa dua tahun sekali satu anak." "Agh, ikut program pemerintah, dua anak cukup." Mila mem
Dika terbata-bata ketika harus mengucapkan kalimat untuk melepaskan kepemilikan putrinya pada Satria. Berkali-kali ia salah mengucapkan nama atau lelaki itu bingung harus berkata apa, padahal sudah ada pihak KUA yang membantu Dika. Ya, lelaki itu seakan-akan tak rela kalau harus menyerahkan Mila secepat itu pada seorang pria yang bukan siapa-siapa baginya. Akad nikah dilangsungkan pagi itu di sebuah gedung dan langsung disambung pada resepsi sampai selesai. Mila yang sudah duduk di sebelah Satria sampai membersihkan wajahnya dengan tisu berkali-kali karena ia pun ikut grogi juga. Dika kembali menarik napas panjang, ia menguatkan hati kecilnya. Memang sudah saatnya ia harus melepaskan Camila pada pria yang telah berjanji akan membahagiakan putrinya. Hingga akhirnya ia tak terbata-bata lagi mengucapkan kalimat penyerahan lalu disambung Satria dalam satu tarikan napas tanpa kesalahan apa pun. Mila menarik napas lega dibuatnya. Gema kata sah di seluruh ruangan terdengar. Pernikahan merek
“Ya Allah, ribet sekali urusan untuk menikah dengan abdi negara ini.” Camila membaca berulang-ulang persyaratan yang baru saja dikirimkan oleh Satria. Ya, pernikahan mereka telah mendapatkan lampu hijau dari Oma. Cukup alot juga Dika memberitahu mamanya agar kesalahan yang sama tak terulang lagi seperti pada mendiang Amel dulu. Hanya perlu menunggu proses pengajuan selesai, dan lamaran resmi dari pihak keluarga Satria akan dilayangkan. “Kalau mau menyerah dari sekarang, bilang, Sayang. Nanti Oma lanjutkan perkenalan dengan Sadewa. Kan, anaknya lebih ganteng dan kaya daripada Satria,” jawab Oma yang melihat cucunya cemberut. “Eh, jangan Oma, nggak menyerah, kok. Baru juga mau diurus.”“Apa, sih, yang kamu lihat dari Satria. Secara akal juga lebih bagus Sadewa ke mana-mana,” tanya Bu Inah. Ia meredam egonya kali ini. Demi kebahagiaan Mila akan ia biarkan cucu perempuannya menikah dengan Satria. Meski setelah itu cucunya akan diboyong entah ke mana. Mengingat pemuda itu belum punya ru
Dika memanggil Satria secara khusus ke kantornya. Ruangan itu tertutup dan hanya ada mereka berdua saja. Lelaki yang telah menjalani masa duda selama enam bulan itu tahu tadi malam Mila pulang agak larut. Ia hanya takut putrinya terjerumus pada hal-hal tak baik. Sebagai orang tua tentu Dika khawatir dengan keselamatan Mila. “Tadi malam kita belum sempat bicara. Ada apa kamu datang ke rumah? Pasti ada sesuatu yang ingin dibahas, terus tadi malam apa putri saya masih pulang dalam keadaan utuh? Tidak kekurangan sesuatu apa pun pada Mila. Kamu nggak ambil kesempatan dalam kesempitan, bukan?” tanya Dika. Dua orang itu berhadap-hadapan, cinta yang mereka miliki untuk Camila sama besarnya.“Mila masih saya pulangkan utuh-utuh tadi malam, Pak. Tidak ada yang berkurang dari dirinya, kami terutama saya masih bisa menahan diri dari hal-hal yang sebenarnya diinginkan,” jawab Satria apa adanya. “Lalu kedatangan saya tadi malam ingin serius menjalin hubungan dengan putri bapak tentunya.” “Oh, ya?