“Kamu tidak mungkin serius,” lirihku sambil berusaha memahami apa yang baru saja dia katakan.Seperti yang kukatakan, aku mengenal Gabriel dan aku tahu ini bukan ancaman yang sembarangan. Mengingat hal itu, aku masih perlu memastikan, karena bagaimanapun juga, ini adalah Lilly yang kita bicarakan. Dia bukan hanya putriku, tetapi juga hidupku. Aku tidak bisa membiarkannya mengambilnya dariku. Itu pasti akan membunuhku.“Apakah aku terlihat seperti sedang bercanda?” tanyanya saat matanya menembusku. “Aku bisa memastikan bahwa aku sangat serius, Hana.”Pernahkah kamu merasa seperti telah dipukul, meskipun tidak ada yang terjadi? Begitulah rasaku saat ini. Aku merasakan perutku tengah dihujam. Aku memaksakan diri untuk bernafas melalui rasa sakit itu. Aku tidak bisa kehilangan kendali sekarang, meskipun aku ingin sekali untuk runtuh, menangis, dan mengutuk Gabriel sampai ke neraka.“Kenapa kamu melakukan ini?” tanyaku dengan hampir menangis. “Kamu sudah menceraikanku dan mengusirku, Gabrie
Emma.Aku ingat pertama kali aku melihat Calvin. Kami saat itu masih SMA, dan dia baru saja pindah ke sekolah kami dengan beasiswa. Aku adalah ketua panitia penyambutan, karena ya, aku pandai dalam segala hal, dan siapa yang tidak ingin aku untuk membantu mereka mengelilingi sekolah? Siapa yang tidak ingin melihat wajahku di hari pertama mereka di sekolah baru?Aku tidak sedang membanggakan diri atau apa pun, tetapi aku tahu siapa diriku dan seberapa hebatnya diriku. Aku populer, ketua kelompok pemandu sorak, dan siswa berprestasi. Aku memiliki segalanya. Kekayaan, kecantikan, dan otak. Yang terpenting, aku rendah hati, jadi aku disukai banyak orang.Tentu saja, aku dibenci oleh beberapa orang, terutama Ava dan gadis-gadis lain, tetapi itu karena aku memiliki sesuatu yang mereka tahu tidak bisa mereka miliki, yaitu Rowan.Setiap gadis menginginkannya. Itu bukan rahasia. Sama seperti setiap pria, kecuali Travis dan Gabe, mereka menginginkanku. Kami adalah pasangan yang sempurna. Kami ti
Gabriel.Sudah seminggu sejak aku bertemu Hana lagi setelah bertahun-tahun terpisah. Aku tidak pernah berpikir akan mencarinya, tetapi hidup memang punya cara lucu untuk memutarbalikkan segalanya.Aku bersyukur saat kami bercerai. Aku ingin dia pergi, dan saat kesempatan itu datang, aku tidak berpikir dua kali. Aku senang bisa menyingkirkannya dan tidak pernah melihat ke belakang. Aku tidak peduli apa yang terjadi padanya atau ke mana dia pergi atau apa yang dia lakukan. Dia bahkan tidak pernah terlintas dalam pikiranku sejak hari dia meninggalkan apartemenku. Nah, itu sampai para petinggi mulai membuat keributan.Tanganku mengepal saat aku memikirkan langkah-langkah yang harus aku ambil karena mereka. Bukan berarti aku membutuhkan uang atau apa pun. Sial, aku bahkan memiliki perusahaanku sendiri, tetapi Perusahaan Wijaya adalah warisan keluarga. Kalian akan bisa merasakannya kalau bekerja untuk perusahaan yang dibangun oleh nenek moyangmu. Kebanggaan dan kebahagiaan yang datang bersam
Hana.“Ini sangat keren!” Lilly berteriak saat kami melangkah ke dalam jet pribadi Gabriel.Aku tidak berkata apa-apa. Aku hanya melihat sekeliling area yang luas. Memang keren, seperti yang dikatakan Lilly, dan aku mengaguminya, tetapi tidak ada cara aku akan mengakui itu di depan sikap angkuh Gabriel.“Aku tidak percaya kita bisa naik jet pribadi ... Teman-temanku pasti akan cemburu saat aku memberi tahu mereka.” Dia terus berbicara penuh semangat sementara aku hanya menatapnya.Berada di sini terasa sangat mustahil. Melihat tanda-tanda kekayaan di sekeliling ruang yang luas ini mengingatkanku pada banyak kenangan yang telah aku coba lupakan.Sudah lama sejak terakhir kali aku berada di jet pribadi. Aku ingat terakhir kali aku menggunakan jet pribadi adalah beberapa bulan sebelum ayahku mengambil alih perusahaan sebagai CEO.Aku mencintai ayahku, tetapi dia memang tidak ditakdirkan untuk memimpin siapa pun. Terutama sebuah perusahaan bernilai triliunan rupiah. Dia mengacaukannya dala
Aku menatap ke luar melalui jendela untuk mengabaikan pria yang mengintimidasi di sampingku. Pikiranku tertuju pada segala sesuatu yang menantiku di negara tempat aku dilahirkan. Ketika aku meninggalkan segalanya dan semua orang yang aku kenal, aku pikir aku tidak akan pernah kembali.Aku tidak malu untuk mengatakan bahwa aku tidak berencana memberi tahu Gabriel bahwa dia memiliki anak. Jangan lihat aku seperti itu, aku punya alasanku, dan aku tahu kamu sudah menebak beberapa di antaranya.Lilly adalah rahasia yang aku rencanakan hingga aku mati. Selain bentuk mata tajamnya yang khas, dia terlihat seperti aku dan tidak mirip ayahnya. Hanya orang-orang yang mengenal Keluarga Wijaya yang akan menebak dari matanya bahwa dia adalah salah satu dari mereka ... Dan seberapa banyak peluang untuk bertemu dengan salah satu dari mereka ketika aku sudah tidak lagi menjadi bagian dari dunia sosialita ini?Meskipun banyak sinetron mencoba meromantisasi segalanya, kenyataannya adalah bahwa orang kaya
Sambil menghirup nafas dalam-dalam, aku berusaha menepis kenangan malam itu. Itu adalah malam terbaik dalam hidupku, tetapi apa yang terjadi setelahnya hampir menghancurkanku.“Aku bertanya padamu dengan siapa kamu minum. Kamu bilang kamu minum bersama Rowan. Kemudian, kamu bercerita tentang betapa sakitnya melihat kembaranmu begitu hancur dan terluka. Betapa itu menghancurkanmu karena kamu tidak bisa membantunya. Kamu tidak bisa memberinya apa yang diinginkan hatinya, yaitu Emma.”Aku mengusap wajahku kasar lalu berusaha menyelesaikan perkataanku. “Kita terus berbicara, tetapi kemudian kamu menciumku lagi. Kali ini, kamu tidak berhenti. Kamu bilang kamu ingin melupakan, meskipun hanya untuk malam itu. Kamu mengatakan bahwa kamu sudah menginginkanku selama ini, dan kamu tidak bisa lagi menjauh dariku. Kamu bahkan mengangkatku keluar dari dapur dan membawaku ke kamarmu. Tidak sekali pun kamu limbung, jadi itu meyakinkanku bahwa kamu tidak mabuk dan kamu benar-benar menginginkanku. Seha
Aku menggenggam erat sandaran kursi saat pesawat mendarat. Kepanikan mulai muncul dalam diriku saat memikirkan apa yang akan menungguku di sana nanti. Apa yang akan menungguku dan Lilly.Kepanikan itu makin membesar saat aku membayangkan mengenalkannya pada kehidupan yang kutinggalkan bertahun-tahun lalu. Kegelisahan menghimpitku saat aku membayangkan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan ia lontarkan. Bukan hanya tentang masa laluku, tapi juga tentang Gabriel. Aku hampir pingsan saat membayangkan bagaimana aku akan menjawab semua pertanyaannya.Aku tahu aku sudah menyembunyikan banyak hal darinya. Itulah yang membuatku cemas. Takut kalau dia tak akan memahami, atau malah marah ketika menyadari betapa banyak rahasia yang kusembunyikan darinya.“Bernafaslah, Hana, bernafaslah.” Aku mendengar suaranya berbisik perlahan di telingaku. Aku berusaha mengikutinya, mencoba menyingkirkan kabut dan kegelapan yang mulai menutupiku.“Apakah Ibu baik-baik saja?”Suara lembut putriku bertanya. Ada
Aku mengenyahkan semua pikiran itu dan masuk ke mobil, sementara Gabriel mengikutiku. Setelah sopirnya masuk dan menyalakan mobil, kami segera berangkat.“Pak? Anda ini kaya, ya?” Pertanyaan Lilly dengan nada yang tiba-tiba penuh hormat pada Gabriel memecah keheningan di antara kami. "Lilly,” tegurku pelan. “Kamu tidak seharusnya tanya hal-hal pribadi seperti itu.”Satu hal yang perlu kamu tahu tentang putriku adalah dia tidak mengendalikan perkataannya. Dia akan mengatakan apa yang ada di pikirannya, tanpa peduli dengan batasan-batasan sosial. Selama ia bisa mengungkapkan apa yang ada di hatinya, dia tidak peduli.Alih-alih marah atau kesal seperti seharusnya, Gabriel malah tertawa kecil dan bertanya, “Kenapa kamu bertanya seperti itu?”Dia mengangkat bahu. “Karena, pertama, kamu punya jet pribadi yang harganya bisa dari puluhan sampai ratusan miliar. Lalu ada mobil ini, yang harganya juga miliaran. Lalu, jangan lupa pakaian, jam tangan, dan sepatumu. Dari bahan saja, bisa kelihatan
Aku iri. Iri bahwa Ava merasakan hal ini bersama Noah. Dia juga memiliki hubungan dekat dengan Guntur. Kenapa aku tidak sadar dari kebodohanku sebelum segalanya sudah terlalu terlambat? Aku hanya bisa berdoa bahwa jika Guntur dan aku tidak bisa sedekat Ava dan Noah, setidaknya kami bisa sampai di mana dia tidak sangat membenciku. “Tidak akan. Aku berjanji,” ucapku lirih dengan kerongkongan tercekat. Dia memberiku tatapan tajam sebelum menoleh. “Noah,” panggilku sebelum dia pergi. Punggungnya seketika kaku, tapi dia melihatku dari sisi bahunya. “Maafkan aku karena sudah memperlakukan ibumu dengan buruk dan mencoba menghalangi ayahmu dengan ibumu. Aku benar-benar minta maaf.”Aku tidak mengharapkannya membalas ucapanku, dan benar saja. Alih-alih, dia beranjak dan meninggalkanku yang berdiri di depan pintu. Sembari menghela nafas, aku bertanya-tanya apakah aku harus masuk atau menunggu Ava kemari dan menyambutku. Ajaran ibuku masih terpatri di benakku bertahun-tahun kemudian. Aku tida
Emma. Aku benar-benar gugup. Sangat gugup. Jantungku berdegup kencang sampai aku tidak bisa bernafas. Aku menggenggam erat kemudi mobilku saat aku mencoba untuk menenangkan rasa panik yang menyeruak dari dalam diriku. Kalau boleh jujur, aku akui bahwa aku sungguh skeptis sejak berbicara dengan Ava. Perkataanku sungguh merupakan keberanian palsu dari wanita yang saat itu merasakan setruman arus kepercayaan diri yang tidak biasa. Setelah Ava pergi, keberanian palsu itu sirna. Kepercayaan diriku luruh dan aku jadi meragukan keputusan yang kubuat. Aku tersiksa akan itu, bertanya-tanya apakah aku melakukan hal yang benar. Aku meragukan rencana yang mau kulakukan. Aku tidak yakin apakah itu akan membuahkan hasil atau aku akan membuat segalanya memburuk dengan mendorong diriku pada mereka. Akhirnya, aku memutuskan untuk menunda rencanaku. Sejujurnya hal itu mengejutkanku, aku sebelumnya tidak seperti itu. Aku tidak pernah meragukan diri dan keputusanku. Kalau aku menginginkan sesuatu, aku
EmmaAku berjalan ke kantor Mia untuk sesi terapi lagi. Seperti yang biasa, aku pertama-tama melepaskan sepatuku sebelum duduk. “Hai, Emma,” ujar Mia dengan senyuman yang ditujukan untukku. Senyumannya begitu ramah dan hangat seperti biasanya. Senyumannya membuatku merasa tenang dan rileks. “Hai, Mia.”“Oke, kamu tahu apa yang akan kita lakukan pertama-tama. ‘kan?”Dia bertanya dan aku menganggukkan kepalaku. Aku mengambil nafas dalam sebelum menutup mataku. Aku menelisik isi benakku. Aku tidak bisa terus berpegang padanya selamanya. Alih-alih, aku membiarkannya lepas tanpa menyelami isinya.Aku menepis pemikiran mengenai Calvin, Guntur, kakakku, Ibu, dan Ava. Aku menjernihkan pikiranku sampai tidak ada apa-apa di dalamnya. Sampai isi kepalaku kosong dan aku merasa damai. Ketika sudah selesai, aku membuka mataku. “Apakah kamu sudah siap untuk mulai?” tanya Mia yang memerhatikanku. Aku mengangguk, “Iya.”“Ketika kita terakhir kali berbincang, kamu memberi tahuku bahwa kamu siap un
“Aku tahu bahwa mungkin kamu bingung, tapi alasan aku memberi tahumu ini adalah karena aku ingin agar kamu memberikan kesempatan bagi Gabriel. Aku tahu bahwa dia mengacau sebelumnya, tapi kalau dilihat dirinya sekarang, aku bisa tahu bahwa dia mencintaimu. Kedua putraku ini menuruni kebodohan ayahnya kalau soal wanita yang dicintai mereka. Meskipun sebagian kebodohan Rowan itu disebabkan karena kami sebagai orang tua, baik aku, Antony, dan kedua orang tua Emma, kami mengacaukannya.”“Sarah ...” aku mencoba untuk menimpalinya, tapi dia memotongku. “Sepertinya memang dari genetik keluarga ini. Sepertinya peribahasa buah tidak jatuh jauh dari pohonnya itu benar, sebab kedua putraku menyakiti wanita yang dicintai oleh mereka, sama seperti yang dilakukan Ayah mereka padaku. Apa yang kuminta padamu adalah untuk memberinya kesempatan, sebab peribahasa yang sama juga berlaku dalam sisi positifnya. Ketika pria dari Keluarga Wijaya jatuh cinta, mereka mencintai wanita dengan sepenuh hati dan ji
“Apakah makanannya sudah siap?” tanyaku ke pengurus rumah ketika aku memasuki dapur. Dia menjawab dengan senyuman lembut, “Belum, tapi akan siap dalam beberapa menit.”“Baiklah, biar aku menyiapkan mejanya.”Dia baru saja akan membantah, tapi dengan cepat kupotong argumennya. Aku mau membantu. Karena dia memasak, inilah setidaknya yang bisa kulakukan. “Apakah kamu perlu bantuan?”Aku menengadah dan melihat Ibu Gabriel dari sisi meja makan yang berlawanan. Aku menyusun piring di meja dan memberinya senyuman. “Iya. Tapi, aku hampir selesai.”Dia berjalan ke arahku dan mulai membantu menyusun gelas dan sendok. “Jadi, Hana, bagaimana perlakuan putraku terhadapmu?” tanyanya secara tiba-tiba. Aku tidak segera menjawab. Aku perlu beberapa saat untuk memikirkan pertanyaannya, bukan karena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, tapi karena nada suaranya. Dia bukan hanya sedang memulai perbincangan. Dia benar-benar ingin tahu bagaimana perlakuan Gabriel terhadapku. Sepertinya aku terdia
“Kenapa aku membiarkan kalian berdua memengaruhiku dalam rencana kalian?” tanyaku dengan penuh nada frustasi sambil menatap Gabriel dan Lilly. “Sekarang, kita terlambat.”Mereka berdua sama sekali tidak terlihat merasa bersalah. Lilly tersenyum dan matanya berbinar akan kebahagiaan, sedangkan Gabriel mengulas senyumnya. Mereka berdua terlihat puas akan diri mereka sendiri. Aku menghela nafas kalah, bingung akan apa yang harus kuperbuat dengan mereka berdua. Aku bisa jelas melihatnya. Pasangan Ayah-anak itu selalu bekerja sama untuk membuatku kewalahan. Mereka selalu bergabung untuk ‘mengerjaiku’. Aku menatap sinis Lilly, lalu berucap, “Mana solidaritasmu?”“Ibu harus mengakui bahwa ini menyenangkan, ‘kan?” ujarnya sambil meraih lenganku dan Gabriel. Dia terlihat sangat bahagia. Bahkan, dia terlihat lebih bahagia dari biasanya sejak kami kemari. Tentu saja, kami memang bahagia, tapi tidak sebahagia ini. Lilly berhubungan baik dengan Eddy, tapi hubungannya tidak sebaik dengan hubunga
Aku memutar badanku untuk melihat ke sekeliling, sebelum akhirnya menatap Gabriel yang menatapku dengan penuh harap. “Rumah ini besar sekali, Gabriel!” Aku tahu bahwa masih ada banyak ruangan lagi, tapi akan kujelajahi lagi nanti. “Ada berapa banyak kamar tidur di sini?”Dia mendekat ke arahku. “Delapan kamar tidur dan dua kamar tamu.”Aku terpaku sampai tidak bisa berkata apa-apa saat kulihatnya. Tentu, kami memang tumbuh di rumah yang besar, tapi rumah itu hanya sampai memiliki lima kamar tidur. Itu juga sudah lebih dari cukup. “Sepuluh kamar tidur itu terlalu banyak Gabriel,” ujarku sambil tertawa kecil gugup. Apa yang akan kami lakukan dengan ruangan sebanyak itu?Dia kembali mendekat padaku, sebelum melingkarkan lengannya di pinggangku dan menarikku ke arahnya. Aku menempatkan tanganku di dadanya dan merasakan detak jantungnya yang berdegup. “Aku serius saat mengatakan bahwa aku menginginkan anak lagi, Hana.” Pandangannya menelisik secara dalam ke diriku. “Aku hanya tengah berj
Aku menatapnya dengan bingung. Aku mencoba untuk berbicara, tapi tidak ada yang bisa keluar dari mulutku saat pandanganku berganti dari Gabriel ke rumah itu. “Rumah ini cantik sekali!” seru Lilly. Keantusiasannya nampak saat dia melompat kegirangan, seolah dia benar-benar ingin meninggalkan kami dan memasuki rumah itu. “Di sinikah kita akan tinggal? Inikah rumah baru kita?”Pandangan Gabriel beralih dariku ke putri kami yang tersenyum lebar. “Kalau ibumu menyukainya, maka iya. Rumah ini akan menjadi rumah baru kita.”Pandanganku kembali ke rumah itu dan memandanganya dengan takjub. Rumah ini berdiri megah dengan berlatarkan perbukitan, kemegahannya terlihat dari berbagai sudut. Rumah ini perpaduan cocok antara elemen klasik dan modern, yang menggunakan eksterior marmer putih yang berkilauan di bawah cahaya matahari. Ada juga pahatan batu rumit di setiap sudut dan lekukan, membuat rumah ini terlihat elegan yang tidak akan lekang oleh waktu.Bagian pintu masuknya didominasi oleh sepasa
Aku menggelengkan kepalaku dan menepis pemikiran itu. “Ibu tidak tahu. Ayah bilang ini kejutan.”“Aku suka kejutan!” serunya. “Astaga,” gumamku. “Ayo pergi.”Lilly secara hati-hati menaruh bukunya sebelum melompat turun dari ranjangnya. Dia meraih tanganku dan menarikku keluar dari kamarnya. Kami melihat Gabriel menunggu kami di pintu sambil menyilangkan kakinya, dan melipat tangannya di dada bidangnya. Dia mengenakan kaus berleher V hitam yang terlihat ketat di pundaknya. Paha berototnya dibalut oleh celana jins Calvin Klein. Pose tubuhnya seperti ini membuatnya lebih menarik. “Suka apa yang kamu lihat?” goda Gabriel dengan senyuman miring. Perkataannya menarikku dari pemikiranku. “Hmm,” gumamku.Lilly mendecakkan lidahnya, untuk mengingatkanku bahwa dia ada di sini. “Aku tahu Ayah itu tampan, tapi kalian berdua ini menjijikkan.”“Tunggu saja sampai kamu bertumbuh dewasa dan bertemu dengan pria yang membuat jantungmu berdegup,” godaku sambil mencubit pipinya dengan lembut. “Setiap