“Aku tidak yakin, tapi percayalah,” jawabku setelah beberapa saat. “Firasatku tidak pernah salah.”Dia awalnya terlihat tidak yakin, sampai dia mengusap wajahnya dan rautnya berubah. Dia lalu berdiri dan berdiri di sebelahku. Sebelum aku bisa memahami apa yang dilakukannya, dia memberiku kecupan kilat dan langsung dilepasnya. “Baiklah,” ujarnya. “Aku akan memercayaimu, tapi kalau kamu salah, akan kubuat dia membayar perbuatannya.”Ada ketegasan terdengar di nada suaranya dan sangat terdengar tidak main-main. Aku menyetujuinya. “Baiklah, tapi kamu akan menyadari bahwa aku tidak salah akan ini.”Dia tidak mengatakan apa pun, dia hanya mengecup keningku dan kembali meminum kopinya. Kami berbincang sedikit lebih lama. Topiknya tidak begitu penting, tapi rasanya menyenangkan. Berbicara dengannya dan berada di dekatnya, semua terasa nyaman. Seperti perasaan yang sama saat kamu pulang ke rumah sehabis bekerja. Aku mencintai Rowan, dan akhirnya aku mendapatkan apa yang kudoakan selama ini.
“Selamat pagi,” salamku sambil berdiri di ambang dapur. Guntur bergegas untuk memeluk ayahnya sambil bercerita soal hal-hal yang terjadi saat menginap bersama Noah di rumahku.“Selamat pagi, Ava.”Aku tertawa kecil. Dia mencoba untuk melakukan banyak hal. Dia berbicara padaku sambil mendengarkan anaknya dan mengerjakan pekerjaannya.“Apakah aku terlalu cepat?” tanyaku. “Aku bisa membawanya kembali agar kamu bisa fokus pada pekerjaanmu tanpa gangguan.”“Tidak, tidak apa-apa, terima kasih. Aku hampir selesai,” balasnya. “Ditambah hari ini hari Minggu, kami ada hal yang harus dilakukan saat Minggu.”Aku tersenyum dan mengangguk. Saat aku baru mau undur diri, kulihat rumah di sebelah yang menarik perhatianku lagi. Dapurnya Calvin mengarah ke taman belakang rumah itu. “Calvin?” panggilku dan dia segera merespon. “Iya?”“Rumah siapa itu? Entah kenapa aku tertarik akan rumah itu.”Dia menolehkan kepalanya dan melihat ke arah yang kutunjuk. Lalu dia berbalik untuk menatapku.“Oh, itu rumahm
Rowan. Aku menatap ke arah laptopku yang tidak menampilkan apa pun, aku sedang tidak ingin bekerja. Noah sedang bermain game dan Liliana tidur. Ava sudah pergi selama beberapa saat sejak dia mengantar Guntur. Seharusnya dia sudah kembali sekarang. Sejak penembakan dirinya, kekhawatiranku akan dirinya kian memuncak. Aku tidak bisa menghilangkan rasa takut yang menyelimutiku setiap kali dia keluar. Aku tidak bisa menghilangkan rasa takut bahwa aku bisa saja kehilangan dia, ditinggal mati olehnya. Hampir saja hal itu terjadi dan hal itu membekas di hatiku. Akan kulakukan apa saja selama dia bisa selamat. Termasuk mengirim siapa pun yang menyakitinya ke tempat di mana dia tidak akan pernah bisa menyakitinya lagi. Aku menghela nafas sambil berdiri. Hal lain yang menggangguku adalah pengakuan Ava hari ini. Aku tidak mengerti mengapa dan bagaimana dia bisa memercayai bahwa Emma tidak bersalah. Aku terlambat menyadarinya, tapi Emma sudah mengincar Ava sejak dia menyadari bahwa perasaanku p
“Aku terkejut, tapi juga kagum,” ujar Reaper dan aku bersumpah aku bisa mendengar kepuasan di suaranya. “Seluruh orang berkata akan seberapa kamu mencintainya, aku tidak akan pernah berpikir kamu akan menyakitinya, apalagi untuk Ava.”“Mereka tidak tahu apa-apa.”Saat itulah aku sadar. Cintaku pada Emma sudah sepenuhnya sirna, sudah mati, dan mungkin sudah mati selama beberapa waktu lamanya. Apa yang kurasakan pada Ava rasanya lebih kuat. Kalau diingat lagi, aku begitu tenggelam pada Emma dan pemikiranku akan ‘cinta’. Ditambah, semua orang selalu berkata bahwa kami seharusnya bersama. Kami cocok bersama. Kupikir itu akhirnya menyebabkan pemikiran bahwa aku dan Emma seharusnya berjodoh terpatri di benakku. Aku mendengarnya berulang kali saat kami masih kecil dan mungkin itu mencuci otakku untuk berpikir bahwa itulah kebenarannya. Semua orang ingin kami agar bersama, termasuk Ibu kami, yang mendorong kami untuk terus bersama-sama. Bagaimana kalau apa yang kupikir cinta itu hanyalah sek
Ava. Ingatanku sudah kembali dan kalau dibilang aku tersinggung, tidak. Aku lebih dari sekedar marah. Aku benar-benar marah besar.“Kamu berbohong padaku!” teriakku pada Rowan dan tanganku memukuli dadanya. Dadanya terasa keras, seperti memukuli tembok, tapi aku tidak peduli. “Kamu berbohong padaku, bajingan! Kamu berbohong selama berbulan-bulan, Rowan. Berbulan-bulan lamanya.”Mengetahui bahwa aku mendapatkan ingatanku kembali membuatnya takut. Sorot rasa takut terlihat di matanya dan awalnya aku kaget sebab Rowan tidak pernah menunjukkan ketakutan, tapi lalu aku ingat bahwa aku marah padanya.“Aku harus pergi. Aku harus pergi ke suatu tempat,” ujarku tanpa penjelasan lebih lanjut. Aku mengerlingkan pandanganku ke seluruh penjuru kamar, dan ketika kulihat kunci mobilku, kuambil. Aku baru saja mau pergi saat Rowan menggenggam tanganku dan menghentikanku. “Kamu tidak boleh pergi. Aku harus membawamu ke rumah sakit. Kamu baru pingsan, Ava. Kamu harus menemui dokter.” Pandangannya mele
“Apa maksudmu?” tanyanya, jelas dia tidak memercayai perkataanku. Sebelum aku bisa menjawab, ketukan di pintu menyela kami. Brian permisi untuk membuka pintu. Entah mengapa, aku tidak terkejut saat Rowan berjalan ke ruangan. “Kamu tepat waktu, Rowan,” ujar Brian padanya. “Ava baru saja akan memberi tahuku siapa yang menembaknya. Dia percaya bukan Emma pelakunya, seperti yang bukti-bukti katakan.”Rowan tidak berkata apa pun. Dia hanya menatapku. Aku membalas tatapannya. Aku masihlah marah, tapi perlahan amarahku mulai memudar.“Dengar,” ujarku. “Ini bukan hanya soal keyakinan tapi bukti. Aku melihat siapa yang menembakku, dan bukan Emma. Bahkan, aku yakin dia menggunakan Emma sebagai kambing hitam.”Rowan mengamatiku sebelum berbicara. “Kamu ingat sesuatu.” Perkataannya lebih mengarah ke pernyataan daripada pertanyaan.Aku menganggukkan kepalaku. Aku merasa tersipu. Bagaimana bisa dia mengertiku? Aku bahkan tidak harus mengatakan ini padanya, dia tahu begitu saja.“Siapa pelakunya?”
Aku menghela nafas lega. Akhirnya, aku bisa membuktikan bahwa Emma bukanlah pelakunya dan yang lainnya percaya. Kepalaku begitu sakit dan aku mau tidur.“Apakah kita sudah selesai?” tanyaku pada Brian. “Bolehkah aku pergi? Dan bisakah dia dibebaskan?”“Ya. Untuk Emma, dia harus menunggu sebentar agar kami bisa mengurus berkas kebebasannya, tapi kamu bisa pergi. Aku tahu kamu sudah lelah.”Dia benar sekali. Aku merasa kepalaku hampir meledak dan hanya akan menyisakan otakku yang berhamburan ke mana-mana.“Ayo. Biar kubawa kamu ke rumah sakit dulu.” Rowan berdiri dan mengulurkan tangannya. Aku awalnya ragu, tapi aku membalas ulurannya. “Aku tidak mau ke rumah sakit, Rowan. Aku mau pulang dan istirahat.”Dia baru saja mau mendebatku saat Emma menyela kami dengan suara malu-malu. Sungguh ini seperti bukan dirinya. Perubahan yang dialaminya benar-benar mengejutkan. Emma bukanlah gadis yang sama yang lari dari sakit hatinya beberapa tahun lalu. Dia bukan juga wanita yang sama yang kembali b
Sudah seminggu sejak kuminta Rowan memberiku waktu. Dia sudah mencoba untuk menjaga jarak, tapi ini tidak mudah bagi kami. Aku tidak bisa bohong, aku merindukannya. Aku rindu berada di sekitarnya. Aku merindukan percakapan kami. Aku merindukan segalanya tentang dirinya. Aku perlu penyesuaian untuk terbiasa dengan Rowan yang biasanya dan Rowan yang berubah saat aku terbangun dari koma. Bahkan orang buta pun akan tahu kalau dia mencintaiku, tapi apakah itu cukup? Sebagian diriku ingin memaafkannya dan terus melangkah ke depan, tapi sebagian lagi takut bahwa ingatan masa lalu akan menjadi penghalang kami. Maksudku, bagaimana bisa kami bahagia kalau aku tidak bisa melepaskan masa lalu?Noah dan Liliana juga harus menyesuaikan kehidupan mereka. Terang sekali mereka merindukan Rowan. Noah terus berbicara tentangnya sepanjang waktu dan terus bertanya kapan kami akan kembali untuk tinggal bersama ayahnya. Liliana begitu rewel sejak kami pergi. Dia menangis terus-menerus. Satu-satunya waktu
Ketika Gabriel mengatakan padaku bahwa kami akan mengunjungi keluarganya di acara barbekyu mingguan mereka, aku tidak berpikir acaranya akan secepat ini. Kemarin di kantor aku begitu sibuk. Jelas sekali bahwa pegawai wanita begitu menggilai Gabriel. Sejujurnya, aku tidak masalah. Bukan salahnya karena dia sendiri begitu menawan. Apa yang menjadi masalah adalah beberapa pandangan penuh kebencian dan iri hati yang kudapatkan dari beberapa wanita itu. Kalau kupikir hanya Laras-lah wanita satu-satunya yang mengancamku akan merebut Gabriel, yah aku salah. Bahkan aku tidak bisa menghitung berapa kali aku ‘diajak bicara’ oleh beberapa wanita ketika Christopher menyuruhku untuk melakukan sesuatu di bawah. Ternyata, dua wanita yang dimarahi oleh Gabriel tadi itu bertanggung jawab karena menyebarkan berita bahwa aku wanita barunya Gabriel. Sepertinya tangannya yang ditaruh di punggungku-lah yang membuat mereka mengira demikian. Kabar baiknya adalah mereka semua berpikir aku hanyalah sekedar m
"Senang bertemu dengan Anda, Nyonya Wijaya," ujarnya setelah beberapa saat sambil memberikan senyum lebar yang menyilaukan."Senang juga bertemu denganmu," jawabku, menjabat tangannya. "Lalu, panggil saja aku Hana.""Karena sudah jelas, Christopher, Hana akan bekerja bersama Anda. Aku butuh dia belajar beberapa hal, jadi tolong tunjukkan semua yang perlu dia ketahui," kata Gabriel, menarik perhatian kami ke arahnya."Tentu, Bos," jawab Christopher.Dia hendak berbalik, tetapi berhenti sejenak. "Dan tolong jangan beri tahu siapa pun bahwa dia istriku untuk saat ini. Jika ada yang bertanya, tetap diam saja," tambahnya, sebelum melangkah ke meja kerjanya dan duduk.Mata Christopher berpindah dari aku ke Gabriel. Ada tampak kebingungan, tapi aku tidak bisa menjelaskan situasinya. Kami sudah sepakat bahwa sampai orang tua Gabriel tahu, kami tidak akan mengumumkan pernikahan kami.“Kalian berdua bisa pergi,” ujar Gabriel dengan suara yang terdengar sibuk. Matanya sudah tertuju pada dokumen-d
Dia mulai berjalan lagi dan aku mengikutinya dari belakang.“Ini kantor Rowan,” ujarnya setelah kami berhenti di depan sebuah pintu.Namanya tertulis di pintu itu. Aku mengangguk, tidak begitu paham kenapa aku perlu tahu soal ini. Ya, aku akan bekerja untuknya, tapi apa aku benar-benar perlu berurusan dengan atasan lain?“Kantorku tepat di sebelahnya, tapi biar kutemani keliling perusahaan dengan cepat sebelum aku minta sekretarisku yang lain untuk menunjukkan sisanya dan membimbingmu tentang tugas-tugasmu nanti.”“Itu benar-benar tidak perlu ... sekretarismu saja pasti bisa menemaniku berkeliling. Kamu pasti punya banyak hal yang harus dikerjakan,” ujarku dengan suara yang dibuat manis.Gabriel terkenal karena sering tidur dengan asisten pribadinya, dan dia tidak pernah benar-benar menyembunyikan fakta kotor itu.Hal itu sangat menggangguku waktu kami masih menikah. Aku benci mengetahui kalau dia suamiku, tapi tetap saja dia tidak bisa menjaga diri. Bukan berarti aku tidak bisa member
“Hana, keluarlah dari mobil sekarang! Kamu membuang-buang waktuku,” bentak Gabriel padaku.Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya. Alisnya mengernyit dan dia terlihat tidak sabar dan kesal. Aku mendesah sebelum turun dari mobil. Inilah Gabriel yang biasa kutemui. Dingin, arogan, dan kasar.Aku merapikan rokku sebelum mengambil tas tangan. Dia mulai berjalan, dan aku mengikutinya dari belakang seperti anak domba yang digiring ke rumah jagal. Rasanya aku sangat gugup, seolah jantungku hampir meloncat keluar dari dadaku.Aku sedang memasuki dunia Gabriel. Wilayahnya. Rasanya tidak nyaman dan menakutkan berada di tempat di mana dia memiliki kendali penuh atas setiap aspek.Gabriel menekan tombol lift, dan pintunya terbuka. Aku masuk, berdiri di sebelahnya, dan mencoba menenangkan detak jantungku yang berdebar kencang."Satu-satunya yang punya akses ke lift ini adalah keluargaku, dan lift ini langsung membawa kita ke lantai atas, tempat kantor kami," ujarnya lalu melanjutkan, "Aku akan mena
HanaHandi, salah satu sopir Gabriel, membukakan pintu untukku, dan aku masuk lalu diikuti Gabriel yang duduk di sampingku. Aku masih belum percaya bahwa aku setuju untuk ini, tapi jauh di lubuk hati aku tahu ini masuk akal. Gabriel benar, tidak ada cara yang lebih baik untuk mendapatkan pengalaman dalam mengelola perusahaan selain belajar dari yang terbaik. Dalam hal bisnis, Gabriel dan Rowan adalah yang terbaik. Mereka bahkan melampaui Ayah mereka, yang sudah pensiun tapi masih menjadi kepala dewan direksi.Butuh waktu untuk bersiap-siap karena aku tidak bisa memutuskan pakaian apa yang akan kupakai. Kebanyakan waktu aku bekerja dari rumah, dan saat aku pergi ke kantor, aku mengenakan pakaian kasual karena perusahaan tempatku bekerja dulu agak santai dalam hal pakaian. Aku ingin terlihat rapi dan memberi kesan pertama yang baik. Aku tidak punya banyak pakaian kerja dan berencana untuk berbelanja akhir pekan ini. Uangku memang terbatas, tapi aku masih bisa membeli beberapa rok dan blu
Gabriel. Aku bangun dengan menggeram dan kejantananku yang sekeras batu. Sial, ketika aku menandatangani surat kontrak pernikahan dengan Hana, aku tidak memperkirakan seberapa menyiksanya ini. Aku tidak memperkirakan bagaimana dia akan membuatku merasa seperti ini. Aku tengah terangsang, dan kejantananku seolah protes seberapa sulitnya menahan ini. Aku beranjak dari ranjangku dan berjalan ke kamar mandiku yang tempatnya dekat dengan kejantananku yang mengeras. Aku masih tidak paham bagaimana hal ini bisa terjadi. Maksudku, aku bukanlah seorang remaja yang tidak bisa mengendalikan nafsunya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku terbangun dengan kejantananku yang menegak. Bahkan belum sebulan sejak Hana kembali, dan aku bertingkah layaknya anak SMA. Aku jujur tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Aku tidak tahu bagaimana bisa dia memengaruhiku seperti ini, padahal dulunya tidak. Selain dari kemolekan tubuh dan sifatnya, dia masihlah Hana yang sama yang kukenal dulu, jadi aku tidak
“Apa yang kamu lihat larut malam begini?” Suara berat dari belakang mengejutkanku.“Astaga, kamu membuatku kaget,” gumamku sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdebar kencang. “Jangan pernah muncul diam-diam seperti itu lagi.”Gabriel berjalan mengelilingi meja dapur dan berdiri di sisi seberang. Begitu dia berdiri di situ dan aku melihatnya, tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Aku merasa kehausan, seolah-olah sudah lama tidak minum, dan menelan ludah pun menjadi masalah besar.Gabriel tidak mengenakan apa pun kecuali celana olahraga abu-abu yang menggantung rendah di pinggulnya. Pria ini seperti karya seni dengan tubuh Dewa Yunani. Bahunya yang lebar, perutnya yang berotot, dan garis “V” yang pasti membuat siapa pun tergila-gila.Ada jejak rambut gelap yang dimulai dari pusarnya dan menghilang ke dalam celananya. Seolah-olah itu menunjuk ke arah kejantanannya.Aku ingin memalingkan mata, tapi itu mustahil. Mataku menikmati pemandangan itu seolah-olah dia adalah satu-satunya
GabrielAku masih bisa merasakan lembutnya kulitnya di bawah sentuhanku. Sesaat, aku ingin menggesekkan ibu jariku di persendian lengannya yang berdenyut.Versi baru dirinya ini menarik perhatian. Dia dipenuhi oleh semangat, dan sikap barunya adalah sesuatu yang bisa membuatku terobsesi. Aku suka wanita yang percaya diri, seksi, dan punya kepribadian berapi-api. Aku suka sekali ketika mereka melawan dan menantang balik.Dia telah bertransformasi menjadi tipe wanita seperti itu, dan ini membuatku tertarik. Dia tangguh dan tidak takut mengatakan padaku untuk pergi jauh. Kenapa aku tidak akan tertarik pada itu?Saat kami menikah, dia membosankan. Kepribadiannya yang hambar membuatnya tampak kusam di mataku. Tidak ada yang menarik darinya. Dia terlalu penurut, sementara aku menyukai wanita yang memiliki ‘cakar’. Dia melakukan segalanya untuk menyenangkan dan menarik perhatianku.Dia berusaha keras untuk membuatku tertarik padanya, tanpa menyadari bahwa hal itu justru membuatku semakin menj
Hana“Apa maumu, Gabriel? Seperti yang kamu lihat, aku sedang tidak ingin bicara.” Aku bangkit dari lantai sambil menghapus air mataku.Kata-kata Lilly masih terngiang di kepalaku serta menyayat hatiku berulang kali. Aku mengusap rambutku untuk mencoba mengusir rasa sakit yang kurasakan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu dia mungkin tidak akan menerimanya dengan baik.Maksudku, bagaimana bisa seseorang menerimanya dengan baik ketika ibunya tiba-tiba mengungkapkan bahwa pria yang selama ini dianggapnya Ayah ternyata bukan ayahnya? Bahwa dia telah dibohongi dan tidak ada yang mau memberi tahu kebenarannya hingga keadaan memaksa. Aku mengerti perasaannya dan paham reaksinya. Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi kata-katanya dan rasa sakit yang kulihat di matanya.“Dia tidak benar-benar bermaksud begitu,” ujar Gabriel sambil berjalan lebih dekat ke kamarku.Aku menatapnya tajam dan merasakan sesuatu yang buruk membuncah di dalam diriku. “Bagaimana kamu tahu? Kamu bahkan belum cukup