“Kamu bisa membicarakan pada kami soal apa pun itu yang membebanimu. Kami akan mendengarkannya,” imbuh Theo dengan senyuman kecil di wajahnya. Aku mengambil nafas dalam-dalam lalu membuka suara. “Ini soal Rowan.”Nora tengah berbicara kecil pada Liliana sebelum menatap ke arahku. “Ah, Ibu sudah menebaknya.”“Kalau menurut Ayah dan Ibu, dia bagaimana? Dia sudah menyakitiku, tapi aku juga menyadari beberapa perubahannya. Masalahnya adalah, aku tidak tahu apakah aku harus memaafkannya dan tetap melanjutkan hidupku atau tidak. Kami sudah membicarakan ini, dan dia angkat bicara soal suatu hal. Hal yang aku tidak yakin harus kuterima atau tidak.” Aku tidak tahu lagi apakah perkataanku terdengar masuk akal atau tidak, tapi aku segera menumpahkannya persis dengan apa yang ada di pikiranku. Mereka menatap satu sama lain sebelum menatapku kembali. Theo-lah yang berbicara terlebih dahulu. “Ayah tidak menyukai Rowan. Ayah harus jujur soal ini, tidak setelah mengetahui segala perlakuannya padamu
Aku menetap di rumah orang tuaku sedikit lebih lama. Liliana terlihat menikmati seluruh perhatian yang diberikan padanya dari Kakek dan neneknya. Meskipun dia masih bayi, dia menyukai perhatian, apalagi jika orang yang memberinya perhatian menciumi perutnya. Aku menatap Liliana, dan kuharap hidupku semudah dirinya. Apakah hanya aku yang pernah berharap menjadi anak kecil? Mereka tidak harus mengkhawatirkan apa-apa di dunia ini kecuali makanan dan popok yang kotor. Kepolosan mereka seolah menjadi obat bagi jiwa yang bermasalah dan terluka. Seiring mereka bertumbuh, saat itulah kehidupan yang sebenarnya terjadi, dan jiwa mereka mengalami keretakan. Kalau aku bisa menyelamatkan kedua anakku dari cinta yang penuh derita ini, akan kulakukan, tapi aku tahu pasti kalau tidak bisa kulakukan sebab takdir mereka sudah dituliskan oleh semesta, entah itu penuh dengan kebahagiaan, sakit hati, atau campuran dari keduanya. Aku terus menyaksikan orang tuaku yang bermain dengan putriku di atas rerum
“Ceritakan!” seru Ruby sambil hampir terlonjak dari bangkunya. “Tumpahkan saja ceritanya, Calista. Jangan gantung kami.”Aku sebelumnya tidak tertarik, tapi hal ini membuatku tertarik. Aku tidak mengira Calista akan benar-benar melakukannya, tapi sepertinya aku salah. Bahkan ketika dia mengatakan dia akan menganggapnya sebagai bentuk perlawanan terhadap ayahnya, aku tidak menganggapnya serius. “Yah, dia menemuiku lagi. Aku membiarkannya masuk lalu dia benar-benar membuatku merasakan kenikmatan yang luar biasa,” ujar Calista sambil tersenyum miring. Jelas sekali dia masih melayang di langit ke sembilan. “Yang benar saja? Kamu hanya memberi tahukan kami ini saja?” Ruby terlihat tersinggung oleh ini. “Aku mau detailnya lebih lanjut. Seperti seberapa besar dia, posisi yang dia gunakan, berapa lama dia bertahan, dan berapa kali kamu klimaks?”Aku tertawa kecil mendengarnya. Ruby terlihat seakan dia akan mati kalau dia tidak mendapat jawaban akan pertanyaannya. Dia terlihat begitu penasara
RowanSial, aku benci ini! Aku benci ketegangan dan kecanggungan antara aku dan Ava. Aku benci bahwa setiap kali kami berjumpa, dia menatapku seolah dia tidak tahu harus apa denganku. Sudah beberapa hari berjalan sejak pagi itu. Kupikir segalanya akan baik-baik saja di antara kami setelah aku menjelaskan segalanya, tapi aku benar-benar salah. Setelah kukatakan segalanya padanya, yang terjadi malah sebaliknya sejak itu. Aku kembali ke rumah dan segalanya tidak sama lagi. Jangan salah, amarahnya belum meledak-ledak, atau yang lainnya, tapi pada titik ini, aku lebih memilih dia hanya bersikap dingin padaku. Ketakutanku akan kehilangan dirinya semakin menguat setiap harinya. Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya akan apa yang akan terjadi kalau dia sudah mengingat semuanya dan mengetahui bahwa kami sudah bercerai, bahwa aku sudah menipunya. Ketakutanku sekarang seolah mencekik jantungku. Aku tidak mau kehilangan dirinya, dan aku takut itulah yang akan terjadi kalau tabir kebenaran suda
AvaAku sudah benar-benar lelah. Jangan salah, aku menyayangi Noah, tapi aku tidak sabar agar pestanya cepat selesai agar aku bisa istirahat. Beberapa hari belakangan ini aku sibuk menyiapkan pestanya. Persiapan pesta ini cukup menyita perhatianku, walau tidak terlalu banyak. Aku masih merasa gundah akan apa yang harus kulakukan. Setiap kali kulihat Rowan, aku tidak bisa menepis pemikiran akan apakah aku harus memberinya kesempatan atau tidak. Aku mencintainya, tapi aku tidak yakin apakah aku akan sepenuhnya sembuh dari masa lalu dan melupakan segala yang telah dilakukannya padaku. Aku menepis pemikiranku, lalu aku mengirimi Kate pesan dan mengatakan padanya bahwa dia boleh membawa Emma. Travis sudah jelas datang, begitu juga dengan orang tua Rowan dan Kate. Mereka selalu menghadiri seluruh pesta ulang tahun Noah. Jahat sekali kalau mereka tidak diundang karena masalahku pada mereka. Lagipula, Noah ingin agar mereka ada di sini. Kate langsung membalas dan berkata mereka akan datang
Ibu tidak memberi mereka kesempatan untuk menjawab. Ibu segera dengan lembut mengambil Liliana dari gendongan Rowan, meraih tanganku dan menarikku menjauh dari Ayah dan Rowan yang terlihat canggung berdiri berdekatan. Kami berdua terdiam saat kami bergegas ke atas, di mana kamarnya Liliana terletak. Saat kami sudah sampai, Ibu dengan lembut menaruh Liliana di ranjangnya. Setelah itu, Ibu meraih tanganku dan mengarahkanku duduk di dekat jendela. “Jadi, beri tahu Ibu. Sudahkah kamu memutuskan soal masalahmu dengan Rowan?” tanyanya sambil memegangi tanganku. Aku menatap wajahnya dan menggelengkan kepalaku. “Belum. Aku masih belum yakin.”“Ibu sudah memikirkannya dan Ibu pikir kamu harus dikonseling. Ruby berkata pada Ibu bahwa kamu pernah dikonseling, tapi berhenti entah karena apa. Ibu pikir kamu harus melanjutkannya,” ujarnya. “Kamu sudah melalui banyak hal dan tentu saja akan sulit melupakannya. Kamu perlu bantuan dari seseorang untuk mengarahkanmu untuk sembuh.”Baru saja aku mau m
Aku terus melihat Emma dengan terkejut. Saat Ibu berkata bahwa dia sedang depresi, aku tidak membayangkan akan seburuk ini keadaannya. Dia sama sekali tidak terlihat seperti dirinya yang dulu. Dia memang mencoba untuk berdandan, atau mungkin Ibu memaksanya untuk berdandan, dan meskipun jins hitam, atasan bergaya halter dengan warna biru tua, dan wedge yang dikenakannya terlihat cantik, mereka sama sekali tidak terlihat menunjang penampilannya. Wajahnya pucat. Rambutnya yang semula berkilau terlihat berminyak dan tipis. Tulang pipinya terlihat, menandakan dia tambah kurus, dan dia memang terlihat sudah kehilangan banyak berat badan. “Astaga,” bisik Ibu di sebelahku. Kami mencoba berjalan maju, aku tidak terlalu yakin akan apa yang harus dilakukan. Aku tidak tahu apakah aku harus menyambut mereka atau menghindari mereka. Ibu yang berinisiatif dan mendahuluiku untuk bergegas ke mereka. Mereka berbalik dan melihat ke kami. “Selamat datang,” gumamku dengan merasa benar-benar canggung.
Saat kami selesai menyambut semuanya, aku merasa lelah jasmani dan rohani. Liliana juga terbangun saat itu dan menangis keras. “Pergilah dahulu, biar aku yang menggendongnya,” ucap Rowan sambil mendorongku kecil ke arah taman belakang. Aku menganggukkan kepalaku dan menuju ke sana di mana pesta dipenuhi oleh orang-orang. Noah sudah meninggalkan kami saat beberapa temannya sudah sampai. Para orang dewasa sedang duduk dan makan dan anak-anak berlarian ke sana dan kemari. Aku melihat Ruby dan Calista dan segera bergegas ke arah mereka. “Mana Travis dan Gabriel?” tanyaku pada mereka. Ruby menunjuk pada arah yang berlawanan. “Di sebelah sana.”Mereka sedang berbicara dengan beberapa pria yang tidak kukenali. Kalau perkiraanku benar, kedua orang itu sedang sibuk membuat perjanjian bisnis atau semacamnya. “Ngomong-ngomong, Reaper mengirimkan hadiah,” ujar Calista yang membuat baik aku dan Ruby terkejut. “Dia berkata dia minta maaf tidak bisa hadir karena situasi tertentu. Tapi kalau seg
Dia mulai berjalan lagi dan aku mengikutinya dari belakang.“Ini kantor Rowan,” ujarnya setelah kami berhenti di depan sebuah pintu.Namanya tertulis di pintu itu. Aku mengangguk, tidak begitu paham kenapa aku perlu tahu soal ini. Ya, aku akan bekerja untuknya, tapi apa aku benar-benar perlu berurusan dengan atasan lain?“Kantorku tepat di sebelahnya, tapi biar kutemani keliling perusahaan dengan cepat sebelum aku minta sekretarisku yang lain untuk menunjukkan sisanya dan membimbingmu tentang tugas-tugasmu nanti.”“Itu benar-benar tidak perlu ... sekretarismu saja pasti bisa menemaniku berkeliling. Kamu pasti punya banyak hal yang harus dikerjakan,” ujarku dengan suara yang dibuat manis.Gabriel terkenal karena sering tidur dengan asisten pribadinya, dan dia tidak pernah benar-benar menyembunyikan fakta kotor itu.Hal itu sangat menggangguku waktu kami masih menikah. Aku benci mengetahui kalau dia suamiku, tapi tetap saja dia tidak bisa menjaga diri. Bukan berarti aku tidak bisa member
“Hana, keluarlah dari mobil sekarang! Kamu membuang-buang waktuku,” bentak Gabriel padaku.Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya. Alisnya mengernyit dan dia terlihat tidak sabar dan kesal. Aku mendesah sebelum turun dari mobil. Inilah Gabriel yang biasa kutemui. Dingin, arogan, dan kasar.Aku merapikan rokku sebelum mengambil tas tangan. Dia mulai berjalan, dan aku mengikutinya dari belakang seperti anak domba yang digiring ke rumah jagal. Rasanya aku sangat gugup, seolah jantungku hampir meloncat keluar dari dadaku.Aku sedang memasuki dunia Gabriel. Wilayahnya. Rasanya tidak nyaman dan menakutkan berada di tempat di mana dia memiliki kendali penuh atas setiap aspek.Gabriel menekan tombol lift, dan pintunya terbuka. Aku masuk, berdiri di sebelahnya, dan mencoba menenangkan detak jantungku yang berdebar kencang."Satu-satunya yang punya akses ke lift ini adalah keluargaku, dan lift ini langsung membawa kita ke lantai atas, tempat kantor kami," ujarnya lalu melanjutkan, "Aku akan mena
HanaHandi, salah satu sopir Gabriel, membukakan pintu untukku, dan aku masuk lalu diikuti Gabriel yang duduk di sampingku. Aku masih belum percaya bahwa aku setuju untuk ini, tapi jauh di lubuk hati aku tahu ini masuk akal. Gabriel benar, tidak ada cara yang lebih baik untuk mendapatkan pengalaman dalam mengelola perusahaan selain belajar dari yang terbaik. Dalam hal bisnis, Gabriel dan Rowan adalah yang terbaik. Mereka bahkan melampaui Ayah mereka, yang sudah pensiun tapi masih menjadi kepala dewan direksi.Butuh waktu untuk bersiap-siap karena aku tidak bisa memutuskan pakaian apa yang akan kupakai. Kebanyakan waktu aku bekerja dari rumah, dan saat aku pergi ke kantor, aku mengenakan pakaian kasual karena perusahaan tempatku bekerja dulu agak santai dalam hal pakaian. Aku ingin terlihat rapi dan memberi kesan pertama yang baik. Aku tidak punya banyak pakaian kerja dan berencana untuk berbelanja akhir pekan ini. Uangku memang terbatas, tapi aku masih bisa membeli beberapa rok dan blu
Gabriel. Aku bangun dengan menggeram dan kejantananku yang sekeras batu. Sial, ketika aku menandatangani surat kontrak pernikahan dengan Hana, aku tidak memperkirakan seberapa menyiksanya ini. Aku tidak memperkirakan bagaimana dia akan membuatku merasa seperti ini. Aku tengah terangsang, dan kejantananku seolah protes seberapa sulitnya menahan ini. Aku beranjak dari ranjangku dan berjalan ke kamar mandiku yang tempatnya dekat dengan kejantananku yang mengeras. Aku masih tidak paham bagaimana hal ini bisa terjadi. Maksudku, aku bukanlah seorang remaja yang tidak bisa mengendalikan nafsunya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku terbangun dengan kejantananku yang menegak. Bahkan belum sebulan sejak Hana kembali, dan aku bertingkah layaknya anak SMA. Aku jujur tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Aku tidak tahu bagaimana bisa dia memengaruhiku seperti ini, padahal dulunya tidak. Selain dari kemolekan tubuh dan sifatnya, dia masihlah Hana yang sama yang kukenal dulu, jadi aku tidak
“Apa yang kamu lihat larut malam begini?” Suara berat dari belakang mengejutkanku.“Astaga, kamu membuatku kaget,” gumamku sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdebar kencang. “Jangan pernah muncul diam-diam seperti itu lagi.”Gabriel berjalan mengelilingi meja dapur dan berdiri di sisi seberang. Begitu dia berdiri di situ dan aku melihatnya, tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Aku merasa kehausan, seolah-olah sudah lama tidak minum, dan menelan ludah pun menjadi masalah besar.Gabriel tidak mengenakan apa pun kecuali celana olahraga abu-abu yang menggantung rendah di pinggulnya. Pria ini seperti karya seni dengan tubuh Dewa Yunani. Bahunya yang lebar, perutnya yang berotot, dan garis “V” yang pasti membuat siapa pun tergila-gila.Ada jejak rambut gelap yang dimulai dari pusarnya dan menghilang ke dalam celananya. Seolah-olah itu menunjuk ke arah kejantanannya.Aku ingin memalingkan mata, tapi itu mustahil. Mataku menikmati pemandangan itu seolah-olah dia adalah satu-satunya
GabrielAku masih bisa merasakan lembutnya kulitnya di bawah sentuhanku. Sesaat, aku ingin menggesekkan ibu jariku di persendian lengannya yang berdenyut.Versi baru dirinya ini menarik perhatian. Dia dipenuhi oleh semangat, dan sikap barunya adalah sesuatu yang bisa membuatku terobsesi. Aku suka wanita yang percaya diri, seksi, dan punya kepribadian berapi-api. Aku suka sekali ketika mereka melawan dan menantang balik.Dia telah bertransformasi menjadi tipe wanita seperti itu, dan ini membuatku tertarik. Dia tangguh dan tidak takut mengatakan padaku untuk pergi jauh. Kenapa aku tidak akan tertarik pada itu?Saat kami menikah, dia membosankan. Kepribadiannya yang hambar membuatnya tampak kusam di mataku. Tidak ada yang menarik darinya. Dia terlalu penurut, sementara aku menyukai wanita yang memiliki ‘cakar’. Dia melakukan segalanya untuk menyenangkan dan menarik perhatianku.Dia berusaha keras untuk membuatku tertarik padanya, tanpa menyadari bahwa hal itu justru membuatku semakin menj
Hana“Apa maumu, Gabriel? Seperti yang kamu lihat, aku sedang tidak ingin bicara.” Aku bangkit dari lantai sambil menghapus air mataku.Kata-kata Lilly masih terngiang di kepalaku serta menyayat hatiku berulang kali. Aku mengusap rambutku untuk mencoba mengusir rasa sakit yang kurasakan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu dia mungkin tidak akan menerimanya dengan baik.Maksudku, bagaimana bisa seseorang menerimanya dengan baik ketika ibunya tiba-tiba mengungkapkan bahwa pria yang selama ini dianggapnya Ayah ternyata bukan ayahnya? Bahwa dia telah dibohongi dan tidak ada yang mau memberi tahu kebenarannya hingga keadaan memaksa. Aku mengerti perasaannya dan paham reaksinya. Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi kata-katanya dan rasa sakit yang kulihat di matanya.“Dia tidak benar-benar bermaksud begitu,” ujar Gabriel sambil berjalan lebih dekat ke kamarku.Aku menatapnya tajam dan merasakan sesuatu yang buruk membuncah di dalam diriku. “Bagaimana kamu tahu? Kamu bahkan belum cukup
HanaMinggu ini benar-benar kacau. Sejak kembali ke kota ini, rasanya aku terus-menerus berlarian menyelesaikan berbagai urusan tanpa sempat istirahat sedikit pun.Setidaknya Lilly sekarang merasa lebih nyaman. Gabriel menolak untuk mengirim kasurnya karena kasur di sini lebih nyaman, tapi dia setuju untuk mengirimkan seprai dan selimutnya. Itu sudah cukup membuat perubahan, dan sekarang dia bisa tidur nyenyak sepanjang malam.Gabriel … dari mana aku harus memulainya? Dia pulang ke rumah meskipun larut malam, tapi hanya sebatas itu. Kami saling menghindari dan mencoba hidup seperti tidak saling ada. Kurasa ini cara terbaik untuk kami. Ini akan mencegah Lilly melihat kami bertengkar terus-menerus.“Ibu, katanya ingin bicara denganku?” Suara Lilly menarikku dari lamunanku.Aku meletakkan pakaian yang sedang kulipat dan duduk di tempat tidur sebelum memberi isyarat padanya untuk melakukan hal yang sama. Dia melangkah mendekat dengan dahi berkerut dan duduk di sebelahku.Kami berada di kam
Punggung wanita itu membelakangiku, begitu juga dengan Guntur. Aku tidak perlu mengkhawatirkan Calvin, sebab dia terlihat begitu tergila-gila dan mengarahkan perhatiannya pada setiap perkataan wanita itu dengan senyuman lembut di bibirnya.Lagi-lagi, perasaan tidak nyaman menyusupi diriku. Mengapa aku merasa aku tidak bisa bernafas? Kerongkonganku terasa tercekat melihatnya. Aku berfokus pada mereka. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan karena mereka berjarak beberapa meja dariku, tapi kedamaian dan kebahagiaan di wajah Calvin sudah cukup untuk membuatku tahu apa yang tengah terjadi. Dia sedang berkencan dan Guntur ikut. Wanita itu bahkan tidak mempermasalahkannya, tapi tidak mungkin aku akan membiarkan wanita lain menggantikanku di kehidupan putraku. Aku tidak bisa melihat Guntur, tapi aku tahu, seperti dengan Calvin, dia senang bisa berada di sini. Calvin pasti akan langsung pergi dengan putra kami kalau dia merasa sebaliknya. Entah mengapa, aku tetap ada di sana meski