RowanSial, aku benci ini! Aku benci ketegangan dan kecanggungan antara aku dan Ava. Aku benci bahwa setiap kali kami berjumpa, dia menatapku seolah dia tidak tahu harus apa denganku. Sudah beberapa hari berjalan sejak pagi itu. Kupikir segalanya akan baik-baik saja di antara kami setelah aku menjelaskan segalanya, tapi aku benar-benar salah. Setelah kukatakan segalanya padanya, yang terjadi malah sebaliknya sejak itu. Aku kembali ke rumah dan segalanya tidak sama lagi. Jangan salah, amarahnya belum meledak-ledak, atau yang lainnya, tapi pada titik ini, aku lebih memilih dia hanya bersikap dingin padaku. Ketakutanku akan kehilangan dirinya semakin menguat setiap harinya. Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya akan apa yang akan terjadi kalau dia sudah mengingat semuanya dan mengetahui bahwa kami sudah bercerai, bahwa aku sudah menipunya. Ketakutanku sekarang seolah mencekik jantungku. Aku tidak mau kehilangan dirinya, dan aku takut itulah yang akan terjadi kalau tabir kebenaran suda
AvaAku sudah benar-benar lelah. Jangan salah, aku menyayangi Noah, tapi aku tidak sabar agar pestanya cepat selesai agar aku bisa istirahat. Beberapa hari belakangan ini aku sibuk menyiapkan pestanya. Persiapan pesta ini cukup menyita perhatianku, walau tidak terlalu banyak. Aku masih merasa gundah akan apa yang harus kulakukan. Setiap kali kulihat Rowan, aku tidak bisa menepis pemikiran akan apakah aku harus memberinya kesempatan atau tidak. Aku mencintainya, tapi aku tidak yakin apakah aku akan sepenuhnya sembuh dari masa lalu dan melupakan segala yang telah dilakukannya padaku. Aku menepis pemikiranku, lalu aku mengirimi Kate pesan dan mengatakan padanya bahwa dia boleh membawa Emma. Travis sudah jelas datang, begitu juga dengan orang tua Rowan dan Kate. Mereka selalu menghadiri seluruh pesta ulang tahun Noah. Jahat sekali kalau mereka tidak diundang karena masalahku pada mereka. Lagipula, Noah ingin agar mereka ada di sini. Kate langsung membalas dan berkata mereka akan datang
Ibu tidak memberi mereka kesempatan untuk menjawab. Ibu segera dengan lembut mengambil Liliana dari gendongan Rowan, meraih tanganku dan menarikku menjauh dari Ayah dan Rowan yang terlihat canggung berdiri berdekatan. Kami berdua terdiam saat kami bergegas ke atas, di mana kamarnya Liliana terletak. Saat kami sudah sampai, Ibu dengan lembut menaruh Liliana di ranjangnya. Setelah itu, Ibu meraih tanganku dan mengarahkanku duduk di dekat jendela. “Jadi, beri tahu Ibu. Sudahkah kamu memutuskan soal masalahmu dengan Rowan?” tanyanya sambil memegangi tanganku. Aku menatap wajahnya dan menggelengkan kepalaku. “Belum. Aku masih belum yakin.”“Ibu sudah memikirkannya dan Ibu pikir kamu harus dikonseling. Ruby berkata pada Ibu bahwa kamu pernah dikonseling, tapi berhenti entah karena apa. Ibu pikir kamu harus melanjutkannya,” ujarnya. “Kamu sudah melalui banyak hal dan tentu saja akan sulit melupakannya. Kamu perlu bantuan dari seseorang untuk mengarahkanmu untuk sembuh.”Baru saja aku mau m
Aku terus melihat Emma dengan terkejut. Saat Ibu berkata bahwa dia sedang depresi, aku tidak membayangkan akan seburuk ini keadaannya. Dia sama sekali tidak terlihat seperti dirinya yang dulu. Dia memang mencoba untuk berdandan, atau mungkin Ibu memaksanya untuk berdandan, dan meskipun jins hitam, atasan bergaya halter dengan warna biru tua, dan wedge yang dikenakannya terlihat cantik, mereka sama sekali tidak terlihat menunjang penampilannya. Wajahnya pucat. Rambutnya yang semula berkilau terlihat berminyak dan tipis. Tulang pipinya terlihat, menandakan dia tambah kurus, dan dia memang terlihat sudah kehilangan banyak berat badan. “Astaga,” bisik Ibu di sebelahku. Kami mencoba berjalan maju, aku tidak terlalu yakin akan apa yang harus dilakukan. Aku tidak tahu apakah aku harus menyambut mereka atau menghindari mereka. Ibu yang berinisiatif dan mendahuluiku untuk bergegas ke mereka. Mereka berbalik dan melihat ke kami. “Selamat datang,” gumamku dengan merasa benar-benar canggung.
Saat kami selesai menyambut semuanya, aku merasa lelah jasmani dan rohani. Liliana juga terbangun saat itu dan menangis keras. “Pergilah dahulu, biar aku yang menggendongnya,” ucap Rowan sambil mendorongku kecil ke arah taman belakang. Aku menganggukkan kepalaku dan menuju ke sana di mana pesta dipenuhi oleh orang-orang. Noah sudah meninggalkan kami saat beberapa temannya sudah sampai. Para orang dewasa sedang duduk dan makan dan anak-anak berlarian ke sana dan kemari. Aku melihat Ruby dan Calista dan segera bergegas ke arah mereka. “Mana Travis dan Gabriel?” tanyaku pada mereka. Ruby menunjuk pada arah yang berlawanan. “Di sebelah sana.”Mereka sedang berbicara dengan beberapa pria yang tidak kukenali. Kalau perkiraanku benar, kedua orang itu sedang sibuk membuat perjanjian bisnis atau semacamnya. “Ngomong-ngomong, Reaper mengirimkan hadiah,” ujar Calista yang membuat baik aku dan Ruby terkejut. “Dia berkata dia minta maaf tidak bisa hadir karena situasi tertentu. Tapi kalau seg
Aku mencoba untuk mengalihkan pandanganku darinya, tapi sulit. Rasa deritanya bisa kurasakan dan akulah satu-satunya yang menyadarinya. Dia ada di pojokan sendirian. Ibu sibuk bersosialisasi, begitu juga dengan Travis. Postur tubuh serta penampilannya sama sekali tidak seperti manusia biasa. Dia terlihat seakan dia bisa saja menghilang setiap saat, tapi yang menggangguku adalah amarah yang membara di balik matanya. Aku mengerti rasa sakitnya, lagipula, bukankah aku sudah mengalami hal yang sama berulang kali?Sekarang aku mengerti dari mana rasa sakitnya datang. Aku sangat mengerti itu menyebabkan dirinya depresi dan sedih. Dia merasa seperti itu karena Guntur, anaknya. “Apa yang kamu lihat, Ava?” tanya Ruby dari kejauhan. Tentu saja aku seolah seperti terhipnotis. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Pandanganku terpaku padanya. Calvin menghampiriku dan mengguncangku, dan dengan terpaksa aku menatapnya. Dia menatapku dengan penuh tanda tanya. Aku tidak mengerti, tapi en
“Noah, sudah waktunya untuk memotong kue!” seruku saat aku sudah di luar. Kepalanya menoleh ke arahku sebelum dia bergegas ke arahku dengan senyuman lebar di bibirnya. Beberapa menit kemudian, Rowan bergabung dengan kami setelah mengambil Liliana dari orang tuaku. “Selamat ulang tahun ...” Kami mulai bernyanyi dan aku bisa menyadari bahwa Noah begitu menikmati perhatian ini. Setelah kami selesai, dia meniup lilin, lalu sorakan riang memenuhi taman belakang, dan sorakan itu kebanyakan datang dari keluarga kami. Karena terkejut oleh keramaian yang tiba-tiba, Liliana mulai menangis, tapi berhenti begitu Rowan dan aku mencium pipinya. Kami tidak merencanakannya, itu terjadi begitu saja, tapi tamu langsung menyoraki kami. “Selamat ulang tahun, Noah. Ibu sangat mencintaimu, ingatlah itu selalu.” Aku lalu langsung memeluknya dan dia membalas pelukanku. “Aku juga menyayangimu, Ibu.”Dia lalu memotong kue, aku menyuapinya kue, begitu juga dengan Rowan. Dia lalu membalas dengan balik menyu
Aku terus memandangi polisi-polisi itu dengan terkejut. Kami semua terkejut. Seolah kami membeku dan tidak bisa memercayai apa yang tengah terjadi. Saat polisi itu selesai memborgol tangannya dan mulai menyeretnya, Travis serta Kate mulai sadar apa yang terjadi dan mulai bergerak.“Apa-apaan ini? Kalian salah tangkap!” seru Travis, tapi polisi itu hanya menatapnya dengan rendah. Mereka berhenti dan menoleh untuk menatapnya. Emma terlihat dia sedang melamun. Seolah pikirannya sedang tidak di sini dan tatapan terkejut ada di wajahnya.“Aku yakin kami tidak salah tangkap,” ujarnya. “Dia sendiri yang berkata bahwa dia Emma Santoso dan kami di sini untuk menangkapnya.”Emma tidak bergerak mau pun meronta. Dia terpaku dan tatapannya kosong serta bingung. Aku mengerti, aku juga bingung. Mengapa mereka menangkapnya? Mengapa mereka pikir dia bertanggung jawab atas percobaan pembunuhanku?“Pasti ada yang salah. Emma tidak akan mungkin membunuh Ava, tidak peduli apa masalah mereka,” ujar Kate d
Hai pembaca terkasih, aku baru saja membaca komentar kalian dan kalian benar-benar memberi tahuku perasaan kalian. Setiap orang berhak atas pendapatnya masing-masing, dan aku menghormati itu. Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubah pandangan mereka, dan itu benar-benar tidak masalah.Aku telah menerima beberapa kritik yang sangat baik, dan aku ingin berterima kasih kepada mereka yang telah menunjukkan kesalahanku. Aku selalu kesulitan menulis bagian akhir cerita, dan itulah mengapa kadang-kadang terasa terburu-buru. Jangan khawatir, aku akan bekerja keras untuk memperbaikinya di buku berikutnya.Tentang Emma dan Calvin, aku ingin kalian semua mengerti bahwa ini memang selalu menjadi akhir yang direncanakan, setidaknya di buku ini.Emma tidak mencintai Calvin. Dia menyesal atas apa yang dia lakukan, tetapi dia tidak pernah mencintainya dengan kedalaman yang sama seperti Calvin mencintainya. Dengan kata lain, dia mencintai Calvin, tetapi dia tidak jatuh cinta padanya. Calvin pan
Hana. Aku seolah sedang melayang dalam langit ketujuh. Aku merasa hangat, damai, dan dicintai. Perlahan, aku terbangun. Gabriel di belakangku dengan tangannya yang merengkuhku. Dia selalu melakukan ini setiap kali kami tidur. Dia terus memegangiku, seolah takut kalau aku akan menghilang kalau dia tidak melakukannya. Aku menggeliat sedikit untuk lepas dari tangannya. Alih-alih melepasku, dia mengeratkan tangannya, yang mendorongku mendekat ke badannya. Aku berhenti ketika merasakannya. Ketika kurasakan kejantanannya yang mengeras, libidoku naik, dan aku segera menginginkannya. Aku ingin merasakannya memasukiku. Kehidupan ranjang kami sehat, tapi selalu ada waktu di mana aku menginginkan lebih. Dengan memiliki tiga anak, kadang sulit untuk mendapat waktu untuk berduaan. “Hmm,” geram Gabriel ketika aku menggesekkan pantatku di kejantanannya. Suaranya menggetarkan klitorisku. Aku melakukannya lagi, dan mengundang desahan seksi darinya. Gabriel mulai membubuhi punggung, pundak, dan
“Tentu,” dia membalas senyumku tepat saat Henry berjalan mendekati kami.“Aku di sini untuk mencuri istriku yang cantik.” Suaranya serak, dan aku tak bisa menahan diri untuk tidak meleleh mendengar nadanya. Suaranya benar-benar seksi.“Dia milikmu.” Calvin melepaskanku dan menyingkir sebelum pergi.Henry menarikku ke dalam pelukannya, memastikan tidak ada jarak di antara kami. “Apakah kamu baik-baik saja? Punggungmu sakit? Kaki-kakimu bagaimana?”Lihat apa yang aku bilang? Dia mendominasi di dunia hukum, tapi perhatian dan penuh cinta sebagai pasangan. Aku bahkan tidak tahu bahwa aku punya tipe pria seperti ini sampai aku bertemu dengannya.“Aku baik-baik saja, cintaku, berhentilah khawatir,” ujarku sambil terkekeh dan menyeret diriku lebih dekat padanya.“Sudahkah aku memberitahumu bahwa aku mencintaimu?” tanyanya.Aku tidak bisa menahan senyum saat aku berdiri di ujung jari kakiku dan berbisik di bibirnya. “Sudah kamu katakan seribu kali hari ini, tapi aku tidak mengeluh.”“Kamu adal
Merrisa adalah salah satu pengiring pengantin perempuanku, begitu juga Ava, Calista, Ruby, Hana, dan Anjani. Mereka telah menjadi sahabatku selama empat tahun terakhir sejak kecelakaan itu. Tentu saja, aku tidak pernah bisa menggantikan Merrisa, dia sahabat terbaikku, tapi aku bersyukur memiliki mereka.Ditambah lagi, kemarin Merrisa memberitahuku bahwa dia berpikir untuk pindah ke sini. Aku sangat bersemangat. Aku menyayanginya, tapi kami mengakui bahwa menjalani persahabatan jarak jauh itu sulit. Aku benar-benar merasa di atas awan karena dia akan berada di dekatku.Musiknya melambat, dan Guntur mendekat, memecah semua percakapan lain.“Bolehkah aku berdansa denganmu, Ibu?”Seruan riuh para tamu terdengar, dan aku bersumpah hatiku langsung meleleh.“Tentu saja, putra tampanku,” jawabku sebelum menggenggam tangannya.Guntur sekarang sudah empat belas tahun, sudah jadi remaja. Bisa kalian percaya itu? Tingginya sudah sama denganku, dan aku yakin dalam beberapa tahun dia akan lebih ting
Emma. Aku menari dengan Merrisa, membiarkan musik menenggelamkanku. Aku merasakan sedikit rasa sakit di punggungku, tapi masa bodoh, sebab aku merasa sangat bahagia. Gaunku berayun mengikuti irama tubuhku sembari kami meneriakkan lirik lagu Cruel Summer milik Taylor Swift sekuat tenaga. Ava, yang hamil besar bergabung dengan kami. Aku tertawa sebab dia berpikir bahwa dia sedang menari, tapi tidak. Aku bahkan tidak tahu apa yang dilakukannya. Aku bisa menghitung saat-saat terbahagiaku dengan jari. Satu adalah ketika aku lolos ujian pengacara. Kedua, ketika Guntur memanggilku Ibu untuk pertama kali setelah bertahun-tahun lamanya, dan yang ketiga adalah hari ini, di hari pernikahanku.Kalian tidak salah dengar. Aku baru saja menikah, dan aku tidak pernah sebahagia ini. Ingat pengacara tampan yang kuberi tahu Ava saat ulang tahun James? Ya, dia tidak mau menyerah, tidak peduli berapa kali aku menolaknya. Dia terus bertanya hampir setiap hari. Aku lelah ditanyai hal yang sama setiap har
Jadi, kalian sudah sampai pada akhir dari Penyesalan Mantan Suami dan cerita sampingannya. Aku hanya mau berterima kasih pada kalian semua atas cinta dan dukungan kalian akan buku ini. Ini adalah buku terpanjang yang pernah kutulis, dan sejauh ini adalah yang paling sukses. Buku ini tidak akan sesukses ini kalau bukan karena dukungan kalian. Maka dari itu, terima kasih banyak. Terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalanan buku ini dari awal sampai akhir. Hal ini sungguh berarti bagiku. Sekarang, aku mau mengumumkan bahwa buku Noah akan diunggah selanjutnya. Judulnya ‘Perjuangan Sang Milyuner untuk Pengampunan’. Aku masih mengerjakan plotnya, tapi akan kuunggah pada pertengahan Oktober, nantikan saja! Kita akan ada cerita sampingan soal Guntur dan mungkin satu lagi soal Lilly. Inilah sedikit intipan dari Perjuangan Sang Milyuner untuk Pengampunan. Di bawah ini hanyalah cuplikan kasarnya. ***Shella. Aku berjalan ke arah altar. Jantungku berdegup, dan langkahku lambat. Bunga mawa
Tiga tahun kemudian.Emma.“Serius, Emma, kapan kamu akan mulai berkencan?” tanya Ava sambil duduk di sampingku.Aku memandang ke arah halaman belakang, dan aku tak bisa menahan senyum yang muncul di bibirku. Hari ini adalah ulang tahun anak laki-laki Travis dan Ruby. James, dinamai dari ayah kami, yang berusia satu tahun hari ini.Ruby dan Travis menikah sekitar dua tahun yang lalu. Travis langsung melamarnya setelah aku sadar dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawaku. Kalian mungkin bertanya-tanya apa yang terjadi pada pengemudi itu. Dia saat ini sedang menjalani hukuman lima tahun penjara karena mengemudi sembarangan. Aku berharap dia belajar dari kesalahannya.Kembali ke Travis dan Ruby. Kurasa melihatku di rumah sakit membuatnya menyadari betapa singkatnya hidup manusia. Dia melamarnya, dan Ruby setuju. Mereka menikah saat musim semi. Sebagai hasil dari perbaikan hubunganku dengan Ava, aku dibawa masuk ke pertemanan mereka. Calista dan Reaper menikah dalam sebuah pernikahan k
“Tidak! Aku harus mengejan!” seruku sambil menggenggam baju Gabriel. Aku merasa seperti sudah gila. Seolah aku sudah kehilangan akal sehatku. Rasa sakit ini sungguh sudah membuatku gila. Untungnya, kami sampai di kamar sebelum aku melahirkan di koridor rumah sakit sialan ini. Aku menghela nafas lega saat memasuki ruangan, dan mereka mulai mempersiapkanku. Ava sudah di dalam. Aku bersyukur memiliki seseorang yang mengerti rasanya kemaluan terbelah dua agar manusia cilik itu bisa terlahir ke dunia. “Aku tidak bisa menahannya lagi,” ujarku sebelum mengejan sekuat tenaga. Aku bersumpah bisa merasakan belahan pantatku seolah terbelah, yang menambah rasa sakitku.“Ini semua salahmu!” seruku pada Gabriel sambil mencengkeram erat tangannya. Aku menatap tajam padanya dengan nafas yang menderu. Batang hidungku kembang-kempis untuk berusaha meraup sebanyak-banyaknya oksigen ke paru-paruku. “Ayo, Hana, ejanlah!” ujar Ava sambil menyeka keringat dari dahiku. “Jangan pedulikan Gabriel.”“Jaha
“Tidak apa-apa, sayangku. Ibu hanya akan melahirkan. Ingatkah yang Ibu katakan padamu apa yang akan terjadi ketika sudah waktunya?”Dia menganggukkan kepalanya. “Iya. Ibu bilang akan merasa kesakitan, tapi aku tidak seharusnya takut, sebab itu bagian dari melahirkan bayi ke dunia.”“Bagus,” ujarku sambil meringis saat sakit kontraksi kembali menghampiri. “Itulah yang terjadi sekarang, jadi janganlah takut.”Gabriel menggenggam tanganku dan membantuku keluar dari kamar. Aku bernafas melalui hidung dan mulutku, tapi jujur saja. Ini sama sekali tidak membantu, ‘kan?“Aku hanya tidak paham. Kenapa Ibu harus kesakitan? Kenapa bayinya tidak langsung lahir saja tanpa menyakiti Ibu?”Hal terakhir yang kuinginkan adalah menorehkan trauma pada putriku dengan menjelaskan padanya bahwa rasa sakit memang lumrah untuk mengeluarkan bayi dari diriku. Dia pasti akan ingin tahu mengapa bayi harus dikeluarkan dengan mengejan, dan aku harus menjelaskan bahwa bayi itu besar, dan jalan keluarnya lebih kecil