Rowan. Aku bergegas kembali ke rumah sakit. Kemarahanku belum mereda. Masih sulit untuk kupercaya bahwa Emma akan melakukan hal serendah itu. Bahwa dia dengan berani menyakiti Ava hanya karena aku sudah tidak menginginkannya lagi. Kenapa sangat sulit baginya untuk memahami itu? Kenapa dia tidak bisa menerima bahwa aku tidak mencintainya lagi?Semakin aku memikirkannya, semakin aku marah. Aku menggenggam setir mobil dengan sangat erat sehingga sulit untuk mengemudikan mobil. Memaksakan diri untuk mempersantai genggaman, aku fokus pada senyuman indah Ava. Aku tidak boleh mengalami kecelakaan.Aku terus mengemudikan mobil sambil dipenuhi dengan berbagai pikiran. Aku masih tidak mengerti apa yang salah dengan Emma. Dia dulunya adalah jiwa yang baik. Itu adalah salah satu alasan aku jatuh cinta padanya. Dia adalah malaikat dengan hati yang tulus.Melihatnya sekarang, aku masih tidak percaya bahwa dia adalah wanita yang sama yang aku cintai dengan sepenuh hati. Gadis yang aku cintai ketika
“Dialah yang mencelakai Ava. Dia mendorong Ava saat mereka ada di toilet dan Ava menabrak tembok. Itulah kenapa kepalanya berdarah. Kutebak juga itulah alasan mengapa dia pingsan.” Nada suaraku menajam saat aku mengingat akan pengakuan Emma. Itu membuatku ingin melingkarkan tanganku di lehernya dan mencekik habis-habisan.“Bajingan terkutuk!” seru Theo dengan marah. “Apa yang sudah kau lakukan tentang itu? Aku harap kau tidak membiarkannya lolos begitu saja.”“Tenang saja, aku sudah mengurusnya.” Senyum miring muncul di bibirku. Emma akan berpikir dua kali sebelum menyakiti Ava lagi.“Pak Wijaya?”Kami semua menoleh ke arah suara perawat.“Nona Ava sudah bangun.”Kami semua menghela napas lega. Aku takut dia tidak akan bangun.Orang tuanya segera berdiri.“Bisakah kami melihatnya?” tanya Nora dengan antusias.“Mungkin dalam satu menit,” jawabnya, berbalik menghadapku. “Dia ingin melihat kamu.”Aku mengangguk dan mengikuti perawat saat dia membawaku ke ruang Ava. Setelah membuka pintu
Ava. Sudah sekitar seminggu berlalu sejak aku dipulangkan dari rumah sakit. Segalanya sejauh ini berjalan lancar, meskipun aku masih memiliki ketakutan kecil di mana semuanya akan hancur begitu saja. Emma tidak salah pada hari itu. Rowan selalu menjadi miliknya. Tentu, dia adalah manusia dan bukan barang semata, tapi Emma-lah yang selalu merebut cintanya. Itulah sesuatu yang tidak akan pernah kumengerti.Aku dulu sering bertanya-tanya apa yang membuatnya istimewa. Aku heran bagaimana dia bisa mendapatkan cinta dan kesetiaan dari seorang pria tangguh seperti Rowan. Itu membuatku terganggu. Dulu, itu menggangguku. Sementara dia dikenal dengan sisi lembutnya, aku dikenal dengan sisi kejam dan jeleknya.Sekarang, keadaan telah berbalik, dan aku tidak malu untuk mengatakan bahwa aku tidak sepenuhnya mempercayai perubahan ini dan pergeseran hati ini.Aku melihat kelembutan dan kasih sayang di matanya untukku. Dia melihatku seperti yang selalu aku inginkan, tapi ada perasaan mengganggu bahw
Aku berada di dapur dengan berpikir apa yang harus kulakukan soal masalah Emma. Travis sudah pergi sejak beberapa jam yang lalu setelah dia memohon-mohon. Sudah jam empat, dan aku yakin Noah akan pulang setelah ini. Rowan akan pulang pada jam lima atau enam, jadi aku ada waktu untuk berpikir. Emma dan aku tidak pernah benar-benar berhadapan. Kebanyakan karena aku iri karena dia memiliki pria yang kuinginkan. Dia biasanya mengabaikanku dan bersikap seolah aku tidak ada di dunia ini. Satu-satunya waktu di mana dia bersikap jahat dan kasar padaku adalah setelah dia mengetahui aku dan Rowan tidur bersama.Aku tidak menyalahkannya, meskipun begitu, aku juga akan bereaksi dengan cara yang sama. Jadi, aku tidak pernah benar-benar menyimpan dendam atas cara dia memperlakukanku setelah dia mengetahui kebenaran. Namun, Emma yang baru ini, berbeda. Sejujurnya, aku tidak mengerti apakah patah hatinya membuatnya jadi seperti ini atau apakah ada yang lain yang terjadi sepanjang jalan.Di sisi lain,
“Apakah kamu baik-baik saja, sayang?” tanyaku pada Noah setelah kami makan malam.Rowan biasanya bergabung dengan kami untuk makan malam, tetapi tidak hari ini. Ada proposal bisnis yang sedang dia kerjakan. Bukan berarti dia membutuhkannya, mengingat dia sudah mencapai begitu banyak untuk perusahaan, tetapi kesempatan itu terlalu besar untuk dilewatkan.Dia sedang berusaha untuk akuisisi dua perusahaan bisnis terkemuka di Flora. Menurutnya, merger ini akan membawa perusahaan mereka ke level yang baru. Merger itu akan membuat Perusahaan Wijaya menjadi perusahaan tiga besar paling berpengaruh dan sukses di dunia.“Tidak ada, Ibu, hanya berpikir tentang bagaimana cara menghadapi Shella,” gumam Noah, sambil memainkan makanannya di atas piring.Masalah ini membuatnya stres, itu jelas terlihat. Aku hanya tidak tahu bagaimana membantunya. Aku tidak ingin terlibat kecuali mungkin Shella melanggar batas, meskipun hatiku meragukan dia akan melakukannya. Aku juga ingin Noah belajar untuk mandiri.
“Apakah Rowan sudah makan?”“Belum. Bapak berkata akan makan setelah selesai dan aku tidak perlu repot-repot memasak.”Aku menganggukkan kepalaku. “Baiklah, selamat malam.”“Selamat malam juga.”Setelah dia pergi, aku memasak makanan untuk Rowan. Siapa tahu dia selesainya masih lama. Dia tidak bisa kelaparan. Setelah aku selesai, aku mengambil piringnya dan menuju kantornya.Pintu terbuka, tetapi aku tetap mengetuk.Dia menatapku dari tumpukan dokumen yang sedang dia baca. Meskipun dia terlihat lelah, mungkin karena kurang tidur, dia tetap terlihat sangat tampan.“Kamu tahu kamu tidak perlu mengetuk, Ava,” katanya sambil bersandar pada kursinya.Aku ingin mengingatkan dia bahwa sebelumnya tidak seperti itu, tetapi aku menahan diri. Dulu, dia bahkan tidak mengizinkanku mendekatinya di kantor. Terutama ketika dia berada di dalamnya.“Aku membawakanmu makan malam,” kataku dan berusaha mengesampingkan masa lalu.Dengan berjalan menapaki ruangan, aku meletakkan piring makanan di depannya. A
Hai pembacaku tercinta, kuharap bahwa musim liburan sejauh ini lancar bagi kalian semua. Aku di sini untuk menjelaskan beberapa hal. Pertama, soal bab baru. Aku mendapat beberapa komplain soal itu. Aku mau kalian mengerti bahwa selain sebagai seorang penulis, aku juga manusia biasa. Aku memiliki pekerjaan, sekolah, dan keluarga yang harus diurus. Kadang sulit rasanya untuk mengerjakan semuanya dalam satu waktu, kuharap kalian bisa mengerti.Kedua, aku juga mendapatkan banyak keluhan tentang pengembangan cerita yang terlalu lama. Aku tahu kalian berhak atas berpendapat, jadi aku tidak merasa kesal dengan itu. Aku juga mengerti perasaanmu. Aku benar-benar mengerti, tetapi aku ingin kamu memahami sesuatu dengan baik: aku bisa menemukan cara untuk mengakhiri cerita ini sekarang juga, maksudku, setelah semua, Rowan dan Ava berada di situasi yang cukup baik. Aku bisa mengakhirinya dalam lima bab, tetapi itu tidak akan memuaskan bagiku. Aku tidak ingin mengakhiri buku ini secara tiba-tiba. Ak
Hai pembacaku tercinta, kuharap bahwa musim liburan sejauh ini lancar bagi kalian semua. Aku di sini untuk menjelaskan beberapa hal. Pertama, soal bab baru. Aku mendapat beberapa komplain soal itu. Aku mau kalian mengerti bahwa selain sebagai seorang penulis, aku juga manusia biasa. Aku memiliki pekerjaan, sekolah, dan keluarga yang harus diurus. Kadang sulit rasanya untuk mengerjakan semuanya dalam satu waktu, kuharap kalian bisa mengerti.Kedua, aku juga mendapatkan banyak keluhan tentang pengembangan cerita yang terlalu lama. Aku tahu kalian berhak atas berpendapat, jadi aku tidak merasa kesal dengan itu. Aku juga mengerti perasaanmu. Aku benar-benar mengerti, tetapi aku ingin kamu memahami sesuatu dengan baik: aku bisa menemukan cara untuk mengakhiri cerita ini sekarang juga, maksudku, setelah semua, Rowan dan Ava berada di situasi yang cukup baik. Aku bisa mengakhirinya dalam lima bab, tetapi itu tidak akan memuaskan bagiku. Aku tidak ingin mengakhiri buku ini secara tiba-tiba. Ak
“Apakah makanannya sudah siap?” tanyaku ke pengurus rumah ketika aku memasuki dapur. Dia menjawab dengan senyuman lembut, “Belum, tapi akan siap dalam beberapa menit.”“Baiklah, biar aku menyiapkan mejanya.”Dia baru saja akan membantah, tapi dengan cepat kupotong argumennya. Aku mau membantu. Karena dia memasak, inilah setidaknya yang bisa kulakukan. “Apakah kamu perlu bantuan?”Aku menengadah dan melihat Ibu Gabriel dari sisi meja makan yang berlawanan. Aku menyusun piring di meja dan memberinya senyuman. “Iya. Tapi, aku hampir selesai.”Dia berjalan ke arahku dan mulai membantu menyusun gelas dan sendok. “Jadi, Hana, bagaimana perlakuan putraku terhadapmu?” tanyanya secara tiba-tiba. Aku tidak segera menjawab. Aku perlu beberapa saat untuk memikirkan pertanyaannya, bukan karena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, tapi karena nada suaranya. Dia bukan hanya sedang memulai perbincangan. Dia benar-benar ingin tahu bagaimana perlakuan Gabriel terhadapku. Sepertinya aku terdia
“Kenapa aku membiarkan kalian berdua memengaruhiku dalam rencana kalian?” tanyaku dengan penuh nada frustasi sambil menatap Gabriel dan Lilly. “Sekarang, kita terlambat.”Mereka berdua sama sekali tidak terlihat merasa bersalah. Lilly tersenyum dan matanya berbinar akan kebahagiaan, sedangkan Gabriel mengulas senyumnya. Mereka berdua terlihat puas akan diri mereka sendiri. Aku menghela nafas kalah, bingung akan apa yang harus kuperbuat dengan mereka berdua. Aku bisa jelas melihatnya. Pasangan Ayah-anak itu selalu bekerja sama untuk membuatku kewalahan. Mereka selalu bergabung untuk ‘mengerjaiku’. Aku menatap sinis Lilly, lalu berucap, “Mana solidaritasmu?”“Ibu harus mengakui bahwa ini menyenangkan, ‘kan?” ujarnya sambil meraih lenganku dan Gabriel. Dia terlihat sangat bahagia. Bahkan, dia terlihat lebih bahagia dari biasanya sejak kami kemari. Tentu saja, kami memang bahagia, tapi tidak sebahagia ini. Lilly berhubungan baik dengan Eddy, tapi hubungannya tidak sebaik dengan hubunga
Aku memutar badanku untuk melihat ke sekeliling, sebelum akhirnya menatap Gabriel yang menatapku dengan penuh harap. “Rumah ini besar sekali, Gabriel!” Aku tahu bahwa masih ada banyak ruangan lagi, tapi akan kujelajahi lagi nanti. “Ada berapa banyak kamar tidur di sini?”Dia mendekat ke arahku. “Delapan kamar tidur dan dua kamar tamu.”Aku terpaku sampai tidak bisa berkata apa-apa saat kulihatnya. Tentu, kami memang tumbuh di rumah yang besar, tapi rumah itu hanya sampai memiliki lima kamar tidur. Itu juga sudah lebih dari cukup. “Sepuluh kamar tidur itu terlalu banyak Gabriel,” ujarku sambil tertawa kecil gugup. Apa yang akan kami lakukan dengan ruangan sebanyak itu?Dia kembali mendekat padaku, sebelum melingkarkan lengannya di pinggangku dan menarikku ke arahnya. Aku menempatkan tanganku di dadanya dan merasakan detak jantungnya yang berdegup. “Aku serius saat mengatakan bahwa aku menginginkan anak lagi, Hana.” Pandangannya menelisik secara dalam ke diriku. “Aku hanya tengah berj
Aku menatapnya dengan bingung. Aku mencoba untuk berbicara, tapi tidak ada yang bisa keluar dari mulutku saat pandanganku berganti dari Gabriel ke rumah itu. “Rumah ini cantik sekali!” seru Lilly. Keantusiasannya nampak saat dia melompat kegirangan, seolah dia benar-benar ingin meninggalkan kami dan memasuki rumah itu. “Di sinikah kita akan tinggal? Inikah rumah baru kita?”Pandangan Gabriel beralih dariku ke putri kami yang tersenyum lebar. “Kalau ibumu menyukainya, maka iya. Rumah ini akan menjadi rumah baru kita.”Pandanganku kembali ke rumah itu dan memandanganya dengan takjub. Rumah ini berdiri megah dengan berlatarkan perbukitan, kemegahannya terlihat dari berbagai sudut. Rumah ini perpaduan cocok antara elemen klasik dan modern, yang menggunakan eksterior marmer putih yang berkilauan di bawah cahaya matahari. Ada juga pahatan batu rumit di setiap sudut dan lekukan, membuat rumah ini terlihat elegan yang tidak akan lekang oleh waktu.Bagian pintu masuknya didominasi oleh sepasa
Aku menggelengkan kepalaku dan menepis pemikiran itu. “Ibu tidak tahu. Ayah bilang ini kejutan.”“Aku suka kejutan!” serunya. “Astaga,” gumamku. “Ayo pergi.”Lilly secara hati-hati menaruh bukunya sebelum melompat turun dari ranjangnya. Dia meraih tanganku dan menarikku keluar dari kamarnya. Kami melihat Gabriel menunggu kami di pintu sambil menyilangkan kakinya, dan melipat tangannya di dada bidangnya. Dia mengenakan kaus berleher V hitam yang terlihat ketat di pundaknya. Paha berototnya dibalut oleh celana jins Calvin Klein. Pose tubuhnya seperti ini membuatnya lebih menarik. “Suka apa yang kamu lihat?” goda Gabriel dengan senyuman miring. Perkataannya menarikku dari pemikiranku. “Hmm,” gumamku.Lilly mendecakkan lidahnya, untuk mengingatkanku bahwa dia ada di sini. “Aku tahu Ayah itu tampan, tapi kalian berdua ini menjijikkan.”“Tunggu saja sampai kamu bertumbuh dewasa dan bertemu dengan pria yang membuat jantungmu berdegup,” godaku sambil mencubit pipinya dengan lembut. “Setiap
Hana“Aku ingin kamu dan Lilly menemaniku ke suatu tempat,” ujar Gabriel.Aku di kamar kami dan melipat baju bersih. Memang, kami memiliki asisten rumah tangga, tapi aku tidak terbiasa untuk dibantu dalam pekerjaan rumah. Rasanya aneh bahwa aku terbiasa melakukan segalanya sendirian, dan sekarang ada orang lain yang melakukan hal itu untukku. Aku suka sibuk. Aku tidak bisa menghabiskan akhir pekan dengan tidak melakukan apa-apa. “Orangtuamu akan kemari untuk makan malam, Gabriel. Apakah kamu sudah melupakannya?” tanyaku. Aku membawa sebagian dari baju yang sudah terlipat itu dan berjalan menuju lemari kami yang luas, di mana aku menaruhnya sesuai tempatnya. Gabriel itu sepertiku, sangat rapi. Sedangkan Eddy tidak, dan hal itu sering membuatku kesal sampai aku marah. Kami menikah, jadi kami harus menemukan cara untuk betah tinggal bersama dengan kekurangan masing-masing. Memang tidak mudah, tapi kami selalu menemukan jalannya. Aku keluar dari tempat lemari dan melihatnya terduduk di
HanaSudah hampir dua minggu sejak Gabriel membuat janji padaku yang meluluh lantakkan seluruh pertahananku, aku hampir memberinya kesempatan kedua. Aku bersumpah, aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan sebahagia ini. Hidupku bersama Eddy memanglah indah, tapi saat bersama dengan Gabriel, hidupku jauh lebih indah lagi. Mungkin karena Gabriel-lah pria yang kucintai. Dialah pria yang memiliki tempat di hatiku selama hampir satu dekade. Bohong kalau kukatakan aku tidak takut. Masih ada sebagian kecil diriku yang berpikir segalanya akan berbalik. Lagipula, ini bukan kali pertama dalam hidupku, di mana orang yang kukasihi diambil dariku. Ada juga ketakutan bahwa segalanya berjalan dengan begitu mudah, ah kalian tahu lah. Seperti, bukankah seharusnya segalanya sedikit lebih sulit? Sedikit lebih susah. Sedikit lebih menantang ... atau hanya ini sisi diriku yang tidak mau maju?Mungkin aku terbiasa untuk tidak mendapat apa yang kuinginkan, yang mana membuatku bertanya-tanya ketika akhirn
Dia sekali lagi memandang mobilnya sebelum melangkah masuk. Kemudian dia berhenti sejenak, matanya bergerak mengamati ruangan itu.Mungkin sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali, kalau tidak salah, adalah setelah dia ditembak saat pemakaman Ayah.Pandangannya terlihat muram. Aku bisa melihat bayangan kekelaman memenuhi pandangannya. Beban kenangan buruk yang dia bawa tentang rumah ini dan orang-orang di dalamnya. Apakah Guntur akan terbayang oleh hal yang sama karena aku? Karena apa yang telah aku lakukan?Aku tidak mau itu terjadi.Aku memang tidak banyak berada di sini setelah dia dan Rowan menikah, tetapi aku ada saat kami masih kecil. Aku tidak secara langsung mau mengakuinya sebagai saudaraku, seperti yang lainnya, aku mengabaikannya. Kami seharusnya menjadi saudara, tapi aku memperlakukannya seolah dia tidak pantas berada di sini. Orang lain juga melakukan hal yang sama. Saat melihatnya sekarang, aku bisa memahami apa yang Mia
Perkataan Mia terus terngiang di kepalaku bahkan saat aku memasuki mobilku. Kebenaran itu brutal. Tidak mudah untuk menelan pil pahit, tetapi aku harus menelannya.Alih-alih keluar dari tempat parkir dengan terburu-buru seperti biasanya, aku hanya duduk di dalam mobil dan membiarkan air mata mengalir. Aku tidak bisa menghentikannya, meskipun aku mau. Ruangan itu dipenuhi suara tangisanku. Isakanku terasa menyiksa dari dalam, seolah-olah seluruh bebanku menghantamku sekaligus.Kepalaku terjatuh ke kemudi karena aku sudah tidak bisa lagi menahannya. Rasa maluku sudah tertanam di diriku. Rasa malu itu terukir jauh di dalam diriku seperti sebuah tato yang terkutuk.Kenapa aku membiarkan semuanya sampai sejauh ini? Kenapa aku menyakitinya seperti itu? Kenapa aku membiarkan keegoisanku merusak ikatan yang bisa aku miliki dengan Guntur?Kenapa. Kenapa. Kenapa?Kalau saja kutahu bahwa suatu hari nanti aku akan sangat ingin memeluk Guntur. Ingin menjadi bagian dari hidupnya. Ingin mendengar dia