Aku menciumi seluruh wajahnya dan merengkuhnya erat. “Ibu!” Dia tertawa kecil, tetapi tidak mendorongku. "Ibu merindukanmu! Bagaimana kabarmu sekarang?” Aku bertanya padanya sambil menjauh sedikit meskipun aku tidak membiarkannya pergi. Kami berdua tergeletak di lantai, tapi aku tidak peduli. Aku sangat senang dia ada di sini bersamaku. “Ayah, kemarilah!” Ujarnya ke arah belakangnya, “Dia bilang Ibu membutuhkanku. Seharusnya itu kejutan, itu sebabnya aku tidak memberitahumu saat kita bicara kemarin.” Baru setelah dia menyebut nama ayahnya, aku menyadari Rowan sedang berdiri di dekatnya. Mata kami terkunci. Aku melihat emosi di matanya, tapi aku tidak tahu apa itu. "Hai," sapaku lembut. Dia telah berada di rumahku setiap hari hanya untuk memeriksa. Dia sangat suportif dan baik hati. Sesuatu yang masih mengejutkanku. Dia sangat berbeda dari Rowan yang biasa kulihat sehingga aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap versi dirinya yang ini. Sesuai dengan kata-katanya, dia me
Ethan. Saat aku menjalankan rencanaku, aku tidak pernah menyangka akan jatuh cinta padanya. Itu adalah kemunduran terbesar yang pernah terjadi padaku. Aku pikir itu akan mudah. Bunuh saja dia dan aku akan mendapatkan semua yang telah kuusahakan. Aku tidak tahu bahwa ini akan menjadi lebih sulit daripada apa pun yang pernah aku lakukan. Ava bukanlah tipe wanita yang bisa diabaikan. Dia tipe orang yang membuatmu jatuh cinta. Tipe wanita yang membuatmu ingin menjadi pria yang lebih baik. Aku tahu saat aku mulai jatuh cinta padanya. Aku mencoba mencegahnya, tetapi tidak mungkin. Itu mirip dengan mencoba menghindari tabrakan langsung. Itu hampir mustahil. Ketika aku menyadari aku telah jatuh cinta padanya, aku mencoba memperbaiki keadaan tapi sudah terlambat. Kerusakan telah terjadi dan aku tahu bahwa hanya masalah waktu sebelum kebenaran terungkap. Alih-alih membiarkannya pergi dan mundur, aku malah memeluknya selama sedikit waktu yang kumiliki bersamanya. Menyakitinya akan selalu m
Begitu pemikiran itu terlintas di benakku, pemikiran lain terlintas di benakku. “Kamu di sini bukan untuk memberi tahuku bahwa kamu tidak menginginkan bayi itu dan akan melakukan aborsi, ‘kan?” Aku bertanya padanya dengan kaku, setiap sendi di tubuhku seakan terkunci. Dia menatapku dengan tajam. Seolah ada api menyala di dalam matanya itu. Sejenak aku melihat Ava yang lama kembali. Dia menjadi seperti sebelum aku menghancurkannya. “Kenapa kamu berpikir seperti itu?” Sentaknya. “Aku akui, ketika aku mengetahui bahwa aku tidak berada dalam kondisi pikiran yang benar dan aku pikir bayi itu akan lebih baik jika tidak dilahirkan, tetapi aku segera sadar kembali.” Aku menghela nafas lega. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika dia memberitahuku bahwa dia tidak ingin mengandung bayiku. “Aku datang untuk memberitahumu karena aku ingin tahu apa yang ingin kamu lakukan. Aku tahu kamu tidak terlalu peduli denganku, jadi mungkin kamu juga tidak akan peduli dengan bayinya. Apakah kamu ing
Ava. Aku duduk di meja kafe dan menikmati sepotong kue. Noah bermalam di rumah Rowan jadi aku bebas dari anak malam ini. Aku merasa baik karena suatu alasan. Dalam perasaan yang baik itu, aku memutuskan untuk mengambil sesuatu untuk dimakan. Aku sedang ingin makan makanan yang menenangkan. Itu sebabnya aku saat ini di sini makan makanan penutup seperti aku sudah kelaparan selama berhari-hari. Kunjunganku ke penjara sangat penting. Aku menduga Ethan akan memberitahuku bahwa dia tidak menginginkan bayi itu. Sebaliknya aku mendapatkan lebih dari yang aku harapkan. Pengakuan cintanya membuatku merasa hampa. Dia harus memahami bahwa sekarang sudah terlambat. Aku tidak akan pernah berpikir untuk bersamanya. Dia mencoba membunuhku, astaga! Jika aku kembali padanya, apa artinya itu tentangku? Aku tidak cukup kejam untuk menolak haknya sebagai seorang Ayah. Meskipun aku tidak ingin bertemu dengannya secara pribadi. Aku selalu bisa meminta Nora untuk membawa bayi itu kepadanya. Itulah jara
Aku mengedikkan bahu, “Tentu saja, jika itu maumu.”“Sepatah kata dariku dan Rowan akan menerjangmu. Kita sudah memainkan permainan ini sebelumnya, Ava. Kamu tahu yang harus kulakukan adalah berkata pada Rowan bahwa kamu kasar padaku dan dia akan memarahimu.”Sebelumnya, hal itu akan membuatku sujud. Aku sangat tidak ingin punya masalah lagi dengan Rowan, jadi aku akan membiarkan dia mempermalukanku. Dia akan menyukainya. Merasa kuat bahwa dia mampu membuatku menjadi tidak berarti apa-apa. Aku tersenyum padanya. "Teruskan. Sejujurnya aku tidak peduli. Sebenarnya, kenapa kamu tidak mengeluarkan ponselmu sekarang dan meneleponnya?” Aku menantangnya. “Kamu pikir aku tidak akan melakukannya?” "Silakan saja. Lakukanlah,” jawabku puas. Lambat laun, harga diri yang kukira hilang setelah Ethan mengkhianatiku mulai kembali. Aku tidak akan pernah membiarkan seorang pria membuat aku mencapai titik terendah lagi. "Apa yang terjadi di sini?" Sebuah suara tegas berkata. Aku mendongak dan menem
“Ava, bisakah kita berbicara?” Ibu memohon ketika aku akan pergi meninggalkannya. Aku menatapnya, tidak yakin apa yang dia inginkan. Apa yang ingin dibicarakan? Bukankah semuanya sudah dikatakan dan dilakukan? “Tak ada yang perlu kita bicarakan, Bu,” desakku. Melihat ke belakang, sekarang aku mengerti bagaimana aku membuat perbedaan dalam hal dia dan ayahnya. Panggilanku pada mereka berbeda dari Emma dan Travis, sebab jauh di lubuk hatiku, aku tidak memanggil mereka seakrab Emma dan Travis. Aku tidak pernah benar-benar mengakui mereka sebagai orang tua aku, karena jauh di lubuk hati aku hanya tahu. Orang tua tidak membenci anak-anaknya. Orang tua tidak boleh mengabaikan anak mereka dan memperlakukan mereka seperti sampah. Aku tidak menyebut mereka seakrab itu, karena pada tingkat spiritual, aku tidak menganggap mereka sebagai orangtuaku. "Tolong, aku mohon padamu," dia memohon dengan air mata berlinang. Aneh sekali melihatnya dengan air mata berlinang. Wajahnya memerah dan lembut
Aku melihat ada rasa sakit terlintas di sorot matanya. Dia sudah menyakitiku bertahun-tahun lamanya. Ini bukan apa-apa kalau dibanding dengan apa yang sudah kupendam atas perbuatannya dan keluarganya. Lagipula, aku tidak yakin kenapa dia terlihat terluka. Aku yakin satu-satunya alasan dia ada di sini adalah untuk mencoba menyelamatkan perusahaan keluarga mereka. “Sungguh menyakitkan kalau kamu berpikir seperti itu tentangku. Bahwa kamu berpikir bahwa satu-satunya alasan aku meminta maaf adalah agar aku dapat menyelamatkan perusahaan. Lalu, lagi-lagi aku tidak bisa menyalahkan siapa pun kecuali diriku sendiri. Karena tindakanku sendiri, kamu menganggapku sangat tidak bisa dipercaya.” Melihatnya sekarang, kamu tidak akan tahu bahwa dia adalah wanita yang sama yang selalu meneriakiku karena kesalahan sekecil apa pun. Siapa yang dulu memperlakukanku seakan-akan aku tidak penting. Aneh sekali. Kami belum pernah berhubungan dari hati ke hati, jadi duduk di sini sambil mencurahkan isi hati
Aku menatap ke secarik kertas di mejaku. Tidak yakin atas apa yang akan kulakukan padanya. Aku sekarang di rumah. Aku telah kembali sekitar satu jam yang lalu. Sepanjang waktu, aku menghabiskannya untuk berdebat apakah aku harus membukanya atau merobeknya. Kertas itu telah membuat lubang di dompet aku sepanjang waktu aku berkendara pulang ke rumah. Sekarang, inilah aku. Masih menatapnya. Sebagian diriku penasaran dengan isinya. Yang lain tidak terlalu peduli dengan apa yang tertulis. Orang yang menulisnya membenciku. Apa gunanya membaca surat yang ditulisnya? Aku mengambilnya, hendak merobeknya, tapi sebuah suara menghentikanku. 'Baca saja kertas itu. Hal terburuk apa yang bisa terjadi?’ suara hatiku berbisik. Aku merasa takut mendengar kata-katanya. Kata-kata terakhir yang terkenal, pikirku dalam hati. Hal terburuk yang bisa terjadi adalah dia menyakitiku. Kata-kata itu berbahaya. Mereka menyebabkan lebih banyak kerusakan daripada senjata apa pun. Aku masih ingat beberapa kat
Bibir Gabriel menyambutku begitu pintu di belakang kami tertutup. Ciumannya sungguh kasar, seolah ingin menghukumku. “Tidak ada yang boleh menyentuh apa yang menjadi milikku. Lalu, jangan lupa bahwa kamu milikku, Hana,” geramnya dengan nada suara yang dipenuhi oleh amarah. “Aku hanya sedang menari ketika dia menghampiriku,” ujarku untuk membela diriku. “Aku sudah mencoba untuk menjauh, tapi dia mencengkeramku.”Hubunganku dengan Gabriel sudah menegang selama beberapa hari ini. Ya, menegang, bukan karena segalanya memburuk, tapi malah segalanya berjalan dengan baik. Tidak ada hal lain yang terjadi setelah makan malam di malam itu. Kami makan, minum, dan berbincang. Yah, ciuman itu menjadi puncak acara kami malam itu. Kami banyak berciuman sejak itu. Ciumannya membuatku menginginkan lebih. Ciumannya sudah menjadi adiksiku. Memang ini gila, aku tahu itu, tapi aku tidak bisa menahan diri. Ketika dia menangkup bibirku, diriku seketika meleleh dalam pesonanya. Sudah empat hari berlalu se
Aku bergerak mengikuti irama musik, dan kurasakan seluruh ketakutanku luruh. Sejujurnya, aku belum pernah ke klub sebelumnya. Aku tidak pernah menghadiri pesta manapun, kecuali pesta yang diselenggarakan karena pekerjaan orang tuaku. Ini adalah kali pertamaku. Orang tuaku bukan orang tua yang kolot, tapi aku tidak memiliki teman, dan aku merupakan penyendiri, sampai tidak ada orang di sekolah tahu aku hidup. Aku tidak diundang ke pesta, sesederhana karena aku begitu penyendiri, mungkin aku tidak tampak bagi mereka. Rasanya nikmat sekali untuk minum dan melupakan segalanya. Hari ini hari terakhir kami di Rafles, dan segalanya berjalan dengan lancar. Gabriel berhasil membuat mereka menyetujui syarat di kesepakatannya. Kami di sini, di klub mewah ini, sebab para investor mau merayakan kesepakatan ini, yang mana merupakan kesepakatan besar yang akan mendulang triliunan rupiah bagi Perusahaan Wijaya. Aku terus bergerak sesuai irama musik, mataku tertutup dan tanganku terangkat di udara.
‘Seperti aku yang jelas-jelas jatuh padamu.’Perkataan Gabriel terus terulang di benakku berulang kali sepanjang hari. Kami harus rapat terus menerus dengan investor yang berbeda, tapi aku tidak bisa fokus akan apa pun kecuali ketujuh kata itu.Seperti yang sudah kalian kira, aku orang yang terlalu banyak berpikir. Aku terlalu banyak menganalisa dan memikirkan segalanya sampai aku berada dalam tepi ketidakwarasan. Itulah yang kulakukan sepanjang hari.Apa artinya kata-kata itu? Apakah mungkin dia sudah jatuh cinta padaku? Bagaimana kalau itu hanya tipuan semata? Bagaimana kalau dia hanya mempermainkanku? Haruskah aku memercayai apa yang dikatakannya? Kalaupun itu benar, dan dia sungguh-sungguh akan perkataannya, apa yang harus kulakukan? Aku sangat ingin menanyakannya padanya, tapi aku tidak ingin terlihat berharap atau menganggapnya serius.Memang benar perkiraanku, dengan setuju menjadi istri Gabriel lagi, aku akan menjadi berantakan. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan s
“Saya sudah mendengar bahwa Anda sudah menikah, tapi saya tidak tahu istri Anda akan secantik ini,” ujar salah satu partner saat kami akan memulai rapat dan mengemasi barang-barang kami. “Kuharap aku menggaetnya terlebih dahulu.”Pandangannya menelusuri diriku, dan membuatku merasa seolah tengah ditelanjangi dan tidak nyaman. Aku menggeser diriku untuk mendekat pada Gabriel, aku tidak suka pandangannya padaku. Astaga, aku ini sudah menikah dan suamiku duduk tepat di sebelahku. Bagaimana bisa dia seberani ini? Ini menjijikkan. “Kalau kamu tidak berhenti menatap istriku, Yohan, akan kucongkel matamu dengan sendok teh dan mencampurkannya menjadi sebuah jus dan membuatnya tertelan dalam tenggorokanmu,” ujar Gabriel dengan nada mengancam yang membuatku merinding. Yohan menelan ludahnya, raut wajahnya jelas ketakutan akan ancaman Gabriel. Aku tahu seharusnya nafsuku tidak membuncah, tapi fakta bahwa Gabriel posesif terhadapku sungguh membuatku terangsang, aku menyukainya.“Maafkan aku,”
Anggap saja aku pengecut, tapi aku tidak peduli, aku hanya tidak tahu cara untuk menghadapinya. Ketika aku sampai di ruang tengah, aku menelepon layanan kamar untuk memesan sarapan agar dibawakan di kamar kami sebelum duduk untuk menunggu. Aku tahu bahwa bencana sudah menungguku saat Gabriel berkata kami akan berbagi kamar. Kupikir, pembatas bantal sudah cukup membantu, tapi nyatanya tidak. Itu sama sekali tidak membantu. Ada ketukan di pintu dan aku menyeberangi ruangan untuk membukanya. “Selamat pagi, Nyonya,” sapa si pelayan dengan senyuman di wajahnya. “Selamat pagi.”“Di mana saya bisa meletakkan makanan ini?” tanyanya saat aku minggir untuk membiarkannya masuk. “Taruh saja di meja makan,” jawabku padanya. Dia menganggukkan kepalanya dan menuju ke meja. Dia baru saja menyusun sarapan kami dan baru saja akan pergi ketika Gabriel berjalan keluar dari kamar sambil mengancingkan bajunya. Langkahnya goyah dan dia hampir saja limbung saat melihat ke arahnya. Gabriel memang makhlu
Sialan. Hanya memikirkan soal malam itu ditambah dengan apa yang tengah terjadi sekarang sudah cukup membuatku basah. Aku menggeliat saat mencoba untuk mencari posisi nyaman dan untuk menahan rasa sakit di antara kedua kakiku. Sungguh tidak membantu, bahkan ini malah membuat segalanya memburuk saat pantatku menenggelamkan kejantanan Gabriel lebih lagi. Gabriel menggeram dengan seksi dan dalam. Cukup mirip dengan geramannya malam itu, saat dia meniduriku. Getarannya terasa sampai klitorisku, dan membuatku membeku saat aku mencoba untuk mencari posisi nyaman. Aku menolehkan kepalaku dan berbalik ke arahnya, sambil berharap bahwa dia masih tidur. Aku lega saat kulihat matanya terpejam, lalu aku terpesona saat melihat betapa menawan dirinya. Dia terlihat tidur dengan damai. Bulu matanya yang panjang membayang di pipinya dan bibirnya sedikit terbuka. Aku tiba-tiba merasakan dorongan untuk menyentuh dan menciumnya. Aku tenggelam oleh pria yang sudah merebut hatiku bertahun-tahun yang lal
Sepanjang makan malam kami habiskan dalam diam. Dia memang harus minta maaf padaku, tapi aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Kalau aku harus jujur, aku tidak pernah mengira kalau Gabriel akan minta maaf padaku. Jadi, saat melihatnya melakukannya dengan tulus, aku dibuat tidak bisa berkata-kata. Kami selesai makan malam dan menelepon layanan kamar untuk kemari membereskan piring-piring kami. “Aku mau tidur. Apakah kamu perlu sesuatu sebelum aku tidur?” tanyaku begitu piring-piring sudah dibereskan dan karyawan hotel sudah meninggalkan kamar kami. Jauh di lubuk hatiku, aku merasa panik saat berpikir akan berbagi kamar dengan Gabriel, tapi mabuk udaraku menenggelamkan kecemasanku. “Aku juga mau tidur. Aku benar-benar lelah.”Aku menahan gelombang kepanikanku. Kupikir, aku akan tidur sebelum dirinya seperti biasanya. Hal itu akan memberiku waktu untuk rileks dan beristirahat sebelum dia bergabung dengan diriku. Aku sudah berpikir akan sudah tertidur saat dia memutuskan untuk ke ra
“Kamar mandi sudah kosong,” ujarku pada Gabriel ketika aku melangkah ke ruang tengah. “Aku sudah memesan makanan, silahkan makan tanpa menungguku.” Dia lalu berjalan melewatiku dan memasuki kamar mandi. Rasanya aneh kalau makan tanpa dirinya, dan aku juga tidak lapar. Jadi, aku mengambil ponselku dan memeriksa surel yang masuk, dan memikirkan apa saja yang dibutuhkan untuk besok. Aku tidak perlu menunggu lama, sebab kurang dari sepuluh menit kemudian, Gabriel sudah keluar dari kamar dengan kaus rumah dan celana panjang. “Kamu belum makan?” tanyanya sambil mengangkat alisnya saat menatap ke makanan.“Rasanya aneh kalau makan tanpa dirimu, padahal kamu yang memesan ini semua buat kita.”Dia menyeret kursinya dan mulai membuka makanan itu. Setelah mengambil beberapa porsi kecil, aku mulai makan. Aku sangat lelah meskipun sudah tidur di pesawat. Aku tidak bisa berhenti membayangkan kasur. Aku memang menolak untuk tidur bersama Gabriel, tapi sekarang aku tidak bisa berhenti memikirkanny
Beberapa menit kemudian, kami sudah berada di luar kamar kami, dan tiba-tiba perasaan asing menyergapku. Gabriel membuka pintu dan mendorongnya terbuka. Kami disambut oleh foyer yang dihiasi oleh lantai marmer yang berkilauan di bawah cahaya lembut lampu gantung yang mewah dan mencetak pola menawan di tembok. Lalu, ada area tengah yang luas, dihiasi oleh sofa empuk dan jendela besar yang memanjang dari lantai hingga langit-langit, yang menangkap bayangan kota yang memukau, mereka berkilauan layaknya lautan bintang-bintang. Terdapat juga sistem hiburan yang dapat membuat malam kami semakin nyaman, lalu ada juga dapur cantik dengan peralatan masak dari stainless steel dan meja dapur luas yang sempurna untuk memasak berbagai makanan. Ruang makan yang mewah juga memiliki suasana hangat, diperuntukkan untuk pertemuan antar kerabat. “Sepertinya kamu menyukainya?” tanya Gabriel dengan nada menggoda. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Seperti yang kukatakan, keluargaku juga sempat kaya, ka