Kado paket kelambu dan kasur bayi serta amplop menjadi hantaran Nurma dan Danu untuk baby Keenan. Putra Kirani dan Gani.Acara sudah selesai sejak tadi, namun kedua pengantin baru ini tiba sudah cukup sore. Tak ada lagi baju gamis. Yang ada Nurma memakai celana jeans biru dan kemeja flanel warna putih serta jilbab warna biru dongker menutup kepalanya.“Sore banget mbak Nurma.” Nampak Kirani berdiri tertatih menyambut kedua tamunya yang datang terlambat. Nyeris SC itu masih sedikit terasa.“Mbak, duduk aja! nanti aku yang kesitu,” ucap Nurma yang melihat Kirani nampak kesusahan berdiri. Lalu Kirani kembali duduk bersimpuh di samping bayinya yang sengaja dibaringkan di ruang tengah. Sementara Gani menyambut di depan tadi mempersilahkan Danu untuk duduk di ruang tamu dan berbincang. Lelaki ini hanya berbincang sebentar masalah kelahiran si baby boy, selebihnya mereka membicaraka masalah pekerjaan yang sudah hampir rampung.Leli dan beberapa kawannya yang datang membantu acara akikah bab
Sudah sehat kah, Sayang?" Gani menghampiri Kirani yang baru saja selesai mandi. Handuk putih kesukaan istrinya belum berganti dengan daster menyusui. Baby Keenan sekarang sudah dua bulan, itu artinya Kirani sudah selesai masa nifasnya dan Gani sendiri sudah gelisah sejak beberapa hari yang lalu.Kirani tersenyum. Ia mengerti maksud pertanyaan dari suaminya. Hanya saja, Kirani masih sedikit khawatir. Benarlah kata orang-orang, bila melahirkan lewat operasi lebih lama pemulihannya. Bahkan saat bersin atau batuk, kadang-kadang Kirani masih rasa nyeri. Dan bila terlalu lelah sering tiba-tiba menggigil."Aku, belum KB, Mas." Kirani khawatir sebab Gani ini sukanya kebablasan. Tak mau ikut KB alami. Gani tersenyum, mengerti kekhawatiran istrinya. Namun pria ini juga sudah mengantisipasi. Dua anak saja sudah cukup untuk mereka. Selain usia yang sudah tak muda, juga karna Gani tak ingin membuat Kirani terlalu kelelahan mengurus anak-anak.Hanya dirinya yang boleh membuat Kirani kelelahan.
Ada banyak wanita yang begitu pandai menyembunyikan luka. Menyembunyikan air mata, juga menyembunyikan lara hati. Entah karna pengkhianatan ataupun karna kekurangan ekonomi yang memeluk. Seperti bu Annisah. Luka itu jelas bekasnya, terkadang perihnya masih terasa. Dan bahkan tiba-tiba air matanya mengembun, menggenangi pelupuk bila teringat hari menyakitkan itu. namun bu Annisah tetap bisa tersenyum. Terutama dihadapan Raniya, putri bungsungnya yang sudah masuk SD tahun ini. Bu Annisah benar-benar tak ingin Raniya tahu, luka apa yang pernah ayahnya goreskan pada ibu dan ketiga kakaknya. Pada Arbi, Aryan dan Abyan, bu Annisah berpesan agar jangan sekali-sekali menceritakan masa lalu ayahnya pada sang adik. Bu Annisah tak ingin putri bungsunya itu terluka pada lelaki pertama yang mencintainya. “Ma, papa kok lama, sih?” Raniya berkerut lucu, tak sabar menunggu ayahnya pulang dari kantor. Selain usaha air minum, pak Rafa mengembangkan bisnisnya dengan membuka usaha jual beli bahan bang
20 Tahun Kemudian … Masa semakin berlalu, membawa angan dan impan mendekat pada tujuan. Masing-masing pelakon menemukan kebahagiaan menurut versi mereka masing-masing. Termasuk dalam urusan jodoh.Ada yang berpisah lalu berlabuh pada cinta yang baru. Ada pula yang berpisah dan memilik kembali memadu cinta lama. Coba melupakan khianat yang pernah hadir. Ada pula yang memilih menyendiri, menyesali segala salah yang pernah dilakukan.Sekuat apa Willy membujuk Herda untuk kembali. Namun Herda sudah menentukan pilhannya. Kesalahan di masa lalu cukuplah menjadi pengalaman hidup baginya. Di sisa umur yang ada, Herda memilih untuk menjalani sisa hidupnya bersama Dinar. Status Dinar yang lahir di luar nikah, menjadi salah satu alasana Herda untuk ingin kembali pada Willy. Kembali pun, bila kelak Dinar menikah, lelaki itu tak boleh menjadi wali nikahnya. Tentu akan menjadi omongan orang dan bagaimana dengan perasaan Dinar sendiri.Keduanya hidup di rumah peninggalana orang tua Herda. Sementar
“Kok, mbak Vio itu sering nemenin kakak, sih? apa gak ada yang lain, kah?” Raniya bertanya dengan nada tak suka, saat siang itu Arbi pulang untuk melihat ibunya sebentar yang sedang sakit. Raniya kira kakak iparnya yang ikut menemani, ternyata yang ia lihat gadis berambut coklat dengan pakaian yang cukup ketat. Bukan Sofia yang menggunakan hijab.“Kami akan ke lokasi proyek siang ini, jadi mbak Vionya sekalian ikut.” Arbi menjawab sambil mengacak rambut sebahu adik bungsunya.Lelaki ini tak ingin keluarganya berpikir macam-macam bila antara dirinya dan Violetta ada hubungan. Meski hmmm …. Gadis itu sedikit agresif mencari perhatiannya.“Kamu, ingat kan, Nak. Bagaimana dulu mama dan papa berpisah. Kamu yang paling besar saat itu. dan kamu pula yang paling marah, meminta mama berpisah sama papamu. Meski akhirnya mama sama papa kembali, tapi. Luka itu masih terasa sampai sekarang.” Bu Annisah menasehati anaknya pelan, saat berdua saja. “Jangan sampai luka lama itu kamu ukir di hati ana
Hari-hari Arbi menjadi suram. Tak ada lagi tawa renyah dan manja dari Sofia. Tak ada lagi pelukan rindu dari seorang istri kala ia pulang terlambat. Tak ada lagi bekal makan siang yang selalu Sofia siapkan untuknya. Walau kadang-kadang bekal itu tak sempat ia makan, sebab ia sibuk menemani Violetta makan siang bersama.Sofia masih memasak, mencuci dan menyetrika pakaian kerja suaminya, tapi ia tak lagi menyiapkannya.“Bajunya pakai yang biru aja, Mas. Serasi dengan celana hitam ini,” saran Sofia suatu hari saat Arbi akan meeting dengan beberapa rekan kerja bersama dengan pak Alex dan juga Violetta.Sofia selalu memilihkan pakaian yang sesuai dengan aktivitas Arbi, agar suaminya bisa tampak layak dan bisa di hargai. dalam dunia kerja, selain kecerdasan, penampilan juga jadi yang utama.“Terserah kamu aja, Sayang. Aku pakai semua yang istriku siapkan.” Arbi menjawab sambil merangkul pundak Sofia yang tingginya hanya sebatas bahu.Dan Sofia akan selalu membalas rangkulan suaminya sambil
“Gimana hasilnya, Sof?” Wina bertanya cemas. Sudah tiga hari ini Sofia terlihat lemas dan sering sekali muntah. Pernah merasakan hamil dan ngidam, membuat Wina menyarankan Sofia untuk tes urin saja.Sebagai kawan baik, Wina sangat prihatin dengan masalah rumah tangga yang sedang mengguncang pernikahan kawannya ini. sebenarnya bukan satu dua kali Wina memergoki Arbi makan bersama perempuan yang sama. Tapi ia sadar bila ada batasan yang harus dijaga, biarlah Sofia sendiri yang menyadari kecurangan suaminya.“Itu suaminya mbak Sofia, kan?” tanya Marwan pada Wina, suatu malam saat keduanya keluar mencari sate di pujasera.Betapa terkejutnya Wina saat mengikuti arah pandangan suaminya. Benar disana ada Arbi dengan tangan digandeng oleh perempuan yang sama. Padahal tadi di rumah sakit, Sofia mengatakan bila suaminya sedang dinas luar kota.“Iya, Mas. itu suaminya,” Wina menjawab pelan. Ingin sekali ia memotret tapi Marwan melarangnya.“Jangan ikut campur terlalu jauh urusan rumah tangga ora
Wina berusaha tak mendengar pembicaraan antara Sofia dan Arbi. Ia sibuk mencatat stok persediaan obat yang sudah menipis.Sementara di depan sana Sofia dan Arbi Keduanya duduk di bangku panjang tempat pasien menunggu obat. Karna malam yang cukup sepi, sesekali ia bisa mendengar isakan Sofia.“Untuk apa sibuk gini, Mas. ini sudah larut. Dan tumben kamu bawain makanan?” Sofia membiarkan saja bungkusan sate dua porsi yang Arbi bawa tadi. ia tak mengulurkan tangan mengambil pemberian suaminya itu saat Arbi menyodorkan kresek hitam itu padanya.“Kamu pucat, Sof. Sakitkah sayang?” Arbi bisa melihat dengan jelas, mata bengkak istrinya akibat menangis. Ia tak memperdulikan omelan Sofia yang tampak tak senang dengan kehadirannya.“Sakit yang di luar ini bisa sembuh, Mas. Tapi sakit hati yang kamu ciptakan untukku nggak ada obatnya.” Sofia berucap itu sambil menghapus setetes air mata yang kembali jatuh.Ah, cengeng sekali rasanya.Perasaan Arbi ikut bersebak. Sakit itu juga tergambar nyata di
Waktu berjalan begitu pantas dan berlalu tanpa bisa dihentikan. Masa-masa derita, sakit hati, kecewa dan air mata kini berganti tawa bahagia. Meski luka itu tetap meninggalkan bekasnya. Namun duka itu sebisa mungkin tak diingat-ingat lagi oleh Sofia dan Arbi. Pun dengan Kirani yang sudah terlebih dahulu memaafka luka masa lalu yang dulu membuatnya menangis kecewa. “Nenek sudah makan?” Davka yang sudah kelas lima SD menghampiri Kirani yang terlihat sedang menjahit sebuah jaket berwarna coklat tua. “Sudah, tadi ibumu sudah bawakan nenek ubi jalar rebus. Nenek sudah dua hari tak makan nasi, ibumu yang melarang.” “Karna mama bilang, gula darah nenek tinggi lagi!” Davka memperhatikan jaket coklat yang sering digunakan neneknya akhir-akhir ini. Terlihat ada tiga bekas jahitan pada baju hangat itu. “Nenek, kayanya suka sekali dengan jaket kakek ini?” “Ya, suka sekali. Kakekmu itu baik dan sangat sayang pada nenek.” Bukan sekali dua kali Kirani menceritakan tentang Gani pada cucu mere
“Kok, begitu liatnya, Mas?” Kening lebat Sofia berkedut heran, melihat Arbi menatapnya seolah tak berkedip. Baju dinas belum sempat Sofia lepas, bahkan rambut panjangnya hanya dicepol asal. Sofia sedikit terlambat pulang, siang ini. Membuatnya harus terburu mengeluarkan bahan makanan dari kulkas. Ia ingat suaminya pasti belum makan siang. Tinggal di desa seperti ini, tak seperti di kota, bila lapar bisa lari ke warung makan yang bertebaran dimana-dimana. Di sini, belum banyak yang menjual makanan masak. Hanya ada bakso, ayam crispy dan jajanan cilok dan sejenisnya. Penampilan berantakan itu malah membuat Sofia semakin terlihat cantik. Wajahnya terlihat bersinar. Bisa jadi karna efek KB juga. Sofia tak ingin kecolongan. Setelah memastikan dirinya tak hamil, segera saja ia meminta suntik KB satu bulan. Mungkin Kbnya cocok di tubuh Sofia. Ia tak merasa pusing atau keluhan lainnya. Lagian masa lalu yang menyakitkan itu membuatnya masih takut untuk memberi adik lagi pada Davka. Arbi me
“Fia,”“Y-ya, Mas!”Rasanya begitu gugup. Bukan hanya Sofia, tapi juga Arbi. Benar-benar canggung. Bahkan debaran itu semakin menggila saat Arbi melihat lagi rambut sebahu istrinya yang begitu indah. Bertahun-tahun baru ia melihat mahkota legam itu lagi. Ditambah dengan Sofia yang masih menggunakan baju mandi saja, membuat Arbi semakin, ah ...Tak jadi masuk, Arbi malah keluar lagi, mengganti lampu di ruang TV dengan yang lebih redup.“Huf! Selamat,” batin Sofia.Namun ...“Lho kok dimatiin lampunya, Mas?”Arbi masuk lagi, mematikan lampu kamar. Namun pintu kamar ia buka sedikit agar tetap bisa mengawasi Davka yang sedang tertidur di depan. Ingin tidur di kamar ini juga tak bisa, sebab kasurnya hanya muat untuk dua orang. Memang malam ini mereka harus tidur bertiga di depan tv. Namun, Arbi ada keinginan sendiri yang tak bisa ditunda. Melihat penampilan Sofia tadi membuatnya seketika on fire.“Mas kangen banget sama, kamu!”Arbi mendekat, bahkan langsung memeluk. Mendekap tubuh itu d
Sofia tergugu dalam isak tangisnya. Ini bukan tangis kesedihan lagi. Namun ini tangis keikhlasan. Keikhlasan yang membawanya kembali pada jodoh pertamanya.Ingin sekali rasanya Arbi memeluk tubuh terguncang itu, tapi disini ada bunda Kiran, dan tentu Sofia tak ingin disentuh terlalu jauh, sebab keduanya belum menjadi muhrim lagi.Antara bahagia dan sedih, juga rasa khawatir menyatu, mengepung benak perempuan tiga puluh tiga tahun ini. “Mama, maukah mama maafkan papa, biar papa bisa bobo sama kita disini?”Davka berdiri dengan sebuah kotak cincin sederhana di belakang Sofia yang sedang mengusap air mata yang tak ingin berhenti.Pertanyaan yang sudah diajarkan Arbi berulang kali tadi pada sang putra sebelum mereka masuk ke dapur menemui Sofia yang sedang menghapus air matanya yang tak ingin berhenti.Pernyataan Arbi tadi bila akan menikah, membuat hatinya nelangsa dan semakin hilang separuh rasanya.“Eh, Avka. Apa itu, Nak? Kembalikan sama papa.” Jujur hati Sofia sedikit tercubit, meli
Arbi yang dulu selingkuh, Arbi pula yang merasa kecewa. Keputusan Sofia yang belum ingin membuka hatinya kembali, cukup membuat Arbi merasa kecewa, sekaligus takut. Mengapa kecewa?Sebab Arbi merasa Sofia bukan hanya sedang menghukum dirinya, tapi juga sedang menghukum Davka yang begitu ingin melihat mama papanya tinggal serumah.“Kamu nggak, kasihan sama Davka, kah?”“Nanti pasti akan mengerti, Mas.”Sofia selalu yakin bila suatu hari Davka akan mengerti tentang kondisi orang tuanya yang tak sudah tak bersama. Kelak pun akan diceritakannya pada putranya itu bila, papa mamanya sudah berpisah sebelum dirinya dilahirkan.“Kok, papa nggak pernah bobo sama kita, Ma?” Pertanyaan polos seperti itu bukan satu dua kali meluncur dari bocah tampan berhidung mangir mirip ayahnya. Namun Sofia menguatkan hati, selalu mencari jawaban yang tepat, agar sang putra tak merasa sedih.“Papa kan, kerja, Nak. Jadi tidak bisa tinggal disini.”“Papanya Nanda juga kerja, tapi selalu diantar ngaji sama papa m
Masa sudah berlalu. Siang dan malam berkejaran laksana busur panah yang tak bisa dihentikan. Musim penghujan pun berganti dengan kemarau yang cukup panjang. Violetta menatap jauh kebawah sana. Pemadangan hijau nan asri begitu menyejukkan mata. Ia berdiri di balkon villa milik ibunya. Membelakangi Adam yang tampak begitu berharap padanya.“Mengapa menutup diri terlalu kuat, Vio. Apa tak ada cinta sedikit pun di hatimu untuk aku?”“Rasa mungkin bisa dipupuk kembali, Mas. tapi restu yang utama, kan? aku ini janda dan punya masa lalu yang cukup buruk. Menikah tanpa restu sudah pernah kurasakan. Dan akhirnya begitu sakit.”Violetta tersenyum kecut. Perasaannya untuk Arbi belum hilang sepenuhnya. Bukan hanya perasaan cinta, tapi juga ada dendam yang masih belum tuntas. Violetta cukup terharu, melihat kesungguhan di mata Adam. Namun Violetta juga tahu, jalannya bersama lelaki ini tidak akan semudah keinginan pria bermata tajam ini. Violetta mendekat mengelus cambang kasar yang tumbuh di s
“Ya Allah, ya Allah!”Habis sudah bangunan dan isi ruko tempat Arbi menjalankan usahanya sehari-hari selama ini. usaha yang awalnya dirintis oleh ayahnya, setelah rujuk kembali bersama ibunya. Kini ludes terbakar. Semen, cat tembok, pipa dan bahan bangunan lainnya ikut terbakar. Mungkin paku dan bahan lainnya yang terbuat dari besi atau aluminium, tidak ikut terbakar tapi tentu sudah tak bisa di jual lagi.Dua buah mobil pemadam kebaran datang membantu berusaha memadamkan api. Sebab api yang makin besar, membuat warga yang tadi ikut membantu memdamkan api, sekarang tak berani mendekat.Arbi menangis! netranya memerah. Perasaannya semakin kacau. Entah. Apa ini hari pembalasan untuk Arbi mulai dari pagi tadi, rasanya tak ada satupun urusannya yang beres.Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Selain memandangi api yang melalap habis bangunan di depan matanya.Kehebohan bukan hanya terjadi di sini. Tapi juga tadi di rumah papa Gani. Sebab kabar kebakaran itu diterima Arbi saat ia duduk seba
Pov. Author__Arbi begitu susah payah menelan makanan enak yang ada diatas piringnya. Tenggorokannya terasa kering dan sakit. Laksana ada duri yang tumbuh pada batang lehernya. Bahkan beberapa kali dia harus menelan air mineral yang tersedia di depannya. Bahkan Davka yang duduk di pangkuannya dan menanyakan banyak hal, tak terlalu digubrisnya. Fokusnya lebih banyak pada Sofia yang nampak begitu cantik hari ini. gamis biru muda dengan potongan brokat di bagian dada dan lengan berpadu dengan jilbab warna senada dan make up tipis di wajahnya. Semakin mempertegas kecantikan mantan istrinya.Di depan sana, Sofia nampak duduk di samping seorang gadis berhijab yang mengenakan kebaya brokat warna kuning gading. Di samping gadis itu ada Keenan yang menggunakan kemeja batik dan celana kain warna hitam.Sofia dan Keenan, meski lahir dari ibu yang berbeda, namun garis wajah keduanya cukup mirip. Sama-sama beralis tebal dan berhidung bangir.Rasanya separuh sukma Arbi hilang tadi, saat remaja ya
Pov Arbi__Sengaja kudatangi penjara tempat Adam ditahan. Dari awal aku memang sedikit tak percaya saat mendengar pengakuan dirinya bila ia sudah mengintai dan merencanakan untuk mencelakai Sofia.Jika dibandingkan dengan Adam, mungkin aku jauh lebih pengecut dan brengsek dibanding dirinya. Lihatlah, bagaimana ia berusaha melindungi Violetta saat perempuan itu masih menjadi istriku.Peristiwa kecelakaan yang menimpa Sofia, menyadarkan diriku bila semua itu terjadi sebab kesalahan yang kubuat. Tak kusangka, walau aku dan Sofia sudah berpisah, tapi rupanya Violetta tak terima, saat kutuntut cerai dari dirinya.Dan kembali perempuan tersabar yang pernah kumiliki dalam hidupku yang menjadi korbannya.Satu kesalahan terbesar dalam hidupku saat mencoba bermain api bersama putri dari bos besar tempatku mencari nafkah.“Mas Arbi dewasa sekali. Aku nyaman sam mas Arbi.”Aku begitu terbuai saat mendengar kata-kata perempuan muda itu. sukses kedua orang tuanya ternyata membuat Violetta justru t