“Ayo, Mbak cepat!, banyak yang nunggu ini,” pinta office girl tadi yang seragamnya berbeda dengan Herda.“Iya, Mbak ini,” sahut Herda sedikit ngos-ngosan tak menyadari bila beberapa pasang mata memandang heran ke arahnya.Lalu …Matanya tak sengaja bersitatap dengan Kirani dan juga Danu bersama Nurma yang berdiri tak jauh dari tempatnya mengangsur bingkisan-bingkisan itu. tatapan mereka membuat jantung Herda seakan ingin berhenti. Herda terdiam. Kelu sesaat dengan mata terbelalak kaget.Oh Tuhan, apakah ini karma untuk Herda? Hari ini dirinya sudah dua kali tertunduk malu di hadapan orang-orang yang dulu ia curangi. Tadi dengan Artya dan Nurma. Ia tak mencurangi Nurma, tapi dulu ia begitu ketus pada gadis sederhana ini.Lihatlah meskipun Kirani tenang dan tak menatap sinis, tapi Herda merasa luar biasa malu sendiri. Dulu tega merebut suami perempuan baik ini lalu setelah mendapatkan Danu, malah dirinya berselingkuh lagi dengan lelaki masa lalu yang ia rebut juga dari sahabatnya. Her
POV. GaniAku cemburu. Siapa bilang aku tak cemburu. Dia memang lelaki pertama Kirani, tapi akulah yang sekarang menjadi pemilik hati perempuan sabar ini. Kutekan ego lelakiku. Kuhampiri dia yang duduk tak jauh dari pak Irwan. Meski kurasakan Kirani tak nyaman dengan kehadiran lelaki itu, tapi aku berusaha belajar menjadi bijaksana. Untuk menyikapi hubungan kami yang unik ini memang dibutuhkan sikap legowo dan bijaksana yang besar. Kujabat tangan lelaki yang nampak syok melihat Kirani datang bersamaku. Kujabat dengan erat dan ia beri balasan yang sama eratnya.Matanya lelaki itu kerap mencuri pandang pada Kirani yang banyak menunduk. Mungkin wanitaku ini juga tak nyaman seperti diriku. Meski aku ikut tertawa dengan canda dan lelucon yang mereka lontarkan untuk status pengantin baru kami, tapi hati dan mataku tetap waspada.Sesekali kulihat lelaki di seberang itu salah tingkah, mungkin juga terkejut. Sebab dulu pernah menunjukkan kuasanya di hadapanku saat aku dan Sofia datang untuk
“Masih jauh rumahnya, Nur? Danu bertanya sambil menatap jalan di depan. Ini sudah masuk di pinggiran kota. Tidak jauh di depan sana ada jejeran berbagai macam pabril. Rupanya rumah orang tua Nurma dekat dengan kawasan pergudangan dan pabrik.“Sepuluh menit ada, Pak,” jawab Nurma. Gadis muda ini sebenarnya tak enak hati sebab merepotkan atasannya malam-malam begini, tapi kalau naik ojek online juga rasanya lebih was-was lagi. Sebab ini sudah cukup larut.“Kiri, kanan?” tanya Danu lagi.“Lurus, Pak. Lewat GOR di depan itu.” Nurma menunjukkan arah. Ini hampir setengah dua belas malam. Jalanan nampak mulai sepi. Semakin kedalam semakin sepi dan sedikit gelap. Pantas saja tadi Nurma gelisah ingin pulang duluan. Tapi drama si karyawan manja Amanda, membuat Danu dan Nurma harus membereska dulu kekacauan yang ia timbulkan pada pakaian lelaki ini.“Yang di sebelah kiri itu kan, perumahan subsidi itu, Kan? Yang di bangun sama cabang kita?” tanya Danu saat melewati perumahan tipe 24. Ada plan n
Herda baru ingat cicilan emas yang Willy sudah jual masih belum lunas sementara uang untuk membayar sudah tak cukup. Lalu dengan menekan rasa malu. Herda mengirim pesan pada satu nomor yang ia rasa bisa membantu dirinya.Lalu ia nekat menghubungi nomor mbak Dwi, mantan kakak iparnya. Meski dulu ia jarang menyapa bahkan terkesan judes pada ipar dan metuanya, tapi Herda sudah tak tahu harus menghubungi siapa dan minta tolong pada siapa. Hanya dalam sekejap mata kwan-kawan sosialita yang dulu ramai memuji dirinya, sekarang semua hikang entah kemana. Bahkan dua orang kawan yang cukup akrab dengannya dan masih punya tunggangan utang padanya, ternyata sudah memblokir nomornya.Banyak pelajaran hidup yang bisa Herda ambil dari kejadian-kejadian yang menimpa dirinya. Entah dari Herda sendiri, mau berubah diri atau tidak.Dering telepon sudah ia ulangi ketiga kalinya, tapi mbak Dwi tak kunjung mengangkat. Lalu ia sengaja mengirim pesan, berharap permohonan bantuannya bisa dikabulkan mantan kak
Setiap apa yang manusia kerjakan, pasti ada balasannya. Baik yang berbuat dalam kebaikan ataupun keburukan. Tak ada yang luput dari akibat perbuatan tersebut.Namun kadang kala manusia hanya mementingkan kesenangan sesaat, atau bahkan tak kuat dengan ujian sengsara yang diberikan lalu nekat mengambil jalan pintas dengan cara berbuat kecurangan.Ada pula yang lena dengan godaan duniawi, hingga tersesat begitu jauh dalam labirin dosa yang berliku.Gani menatap mata terpejam itu. Dengkurannya menandakan bila wanitanya benar-benar lelah. Dulu, begitu banyak godaan syahwat yang mendekati lelaki ini. Hingga dirinya nyaris terjerumus. Rokok dan alkohol pernah menjadi teman akrabnya di masa itu. Bahkan wanita-wanita yang menggadai harga diri banyak yang datang menggoda padanya. Usia muda, punya pekerjaan yang cukup bagus. Tubuh tinggi dan kekar dengan kulit kecoklatan yang didapat dari ayahnya yang masih keturunan Indonesia bagian timur berpadu dengan wajah lembut dari ibunya yang berasal d
“Jadi berapa harga mobil itu akan, kau jual?” Mbak Dwi bertanya pada Herda yang tertunduk antara menahan malu dan sedih. Kehabisan uang untuk hidup sehari-hari di tambah biaya ibunya yang sedang sakit, membuatnya harus menahan malu menawarkan mobil yang dulu ia rampas dari Danu. mobil itu atas nama Danu, tapi Herda memaksa ingin memilikinya, sebab dulu tergiur dengan iming-iming akan hidup enak bersama Frans bila sudah berpisah dari Danu.Rupanya mobil itu memang bukan rejekinya Hera, buktinya belum setahun sudah akan berpindah tangan saja. uang dan harta yang Herda miliki seperti air yang mengalir keluar dari genggamannya. Kata orang dulu, laksana menggengam air. Akan keluar dengan sendirinya hingga habis mengering.Tiap-tiap manusia sudah ada rejekinya masing-masing. Berusaha dan berdo’a untuk mendapatkan semuanya dengan cara yang baik adalah kewajiban. Bukan dengan berpangku menunggu datangnya rejeki, tapi bukan pula mendapatkan dengan cara merampas milik orang lain.Herda baru m
Danu benar-benar sudah muak dan tak ingin lagi mendengar kabar tentang Herda. Juga tak ingin tahu bagaimana keadaan mantan istri keduanya itu. Pertemuan terakhir mereka pada acara ulang tahun perusahaan sudah cukup membuat Danu, tahu bagaimana keadaan mantan keduanya itu. Sepertinya tak sesuai dengan apa yang ia gembar gemborkan selama ini bila ayah kandung Dinar akan memberinya hidup yang enak.Danu sudah tak perduli sama sekali pada Herda. Bahkan rasa rindu pada aktivitas intim yang pernah mereka lakukan nyaris tak membekas. Sungguh jauh berbeda dengan Kirani. Mantan istri pertama yang ia sakiti, walau hidup bersama Cuma tiga tahun, kenangannya masih begitu membekas.Bahkan Danu terkadang mengingat hal yang sebenarnya tak boleh lagi ia kenang. “Saya sudah nggak ada uang buat beli mobil, Mbak.”Danu begitu enggan menanggapi kabar yang mbak Dwi sampaikan padanya."Katanya buat, bayar utang!" Suara mbak Dwi di seberang sana terdengar prihatin."Mbak aja yang beli. Kalau pun uangnya c
“Siapa lelaki yang mengantarmu kemarin malam?” Nurma yang baru keluar kamarnya, terjengkit kaget. Sebab Nunik, sudah ada di depan pintu dan memberondongnya dengan tanya.“Bukan urusan, Mbak!” Nurma yang jengah ditanya seperti itu, menjawab pertanyaan kakaknya dengan ketus. Sebenarnya mereka tak lagi serumah, hanya karna sekarang ibunya sakit-sakitan jadilah Nunik dan suaminya sering datang untuk melihat ibu jika Nurma sedang bekerja.Kebiasaan Nunik yang cemburu pada Nurma, sebab hingga sekarang adik perempuannya ini belum menikah. Ia selalu cemburu dan takut bila Handi, lelaki yang dulu ia rebut dari Nurma, akan kembali pada adiknya.Sungguh cemburu yang tak beralasan. Siapa yang merebut, siapa yang cemburu.“Urusan mbak, juga. Maksudnya, kalau ada yang dekatin kamu diterima aja, biar mas Handi nggak khawatirin kamu lagi kamu terlambat pulang. Mbak cemburu, mas Handi khawatirin perempuan lain!” sindir Nunik cukup tajam membuat Nurma hampir emosi pagi itu.Ternyata suami istri ini men
Waktu berjalan begitu pantas dan berlalu tanpa bisa dihentikan. Masa-masa derita, sakit hati, kecewa dan air mata kini berganti tawa bahagia. Meski luka itu tetap meninggalkan bekasnya. Namun duka itu sebisa mungkin tak diingat-ingat lagi oleh Sofia dan Arbi. Pun dengan Kirani yang sudah terlebih dahulu memaafka luka masa lalu yang dulu membuatnya menangis kecewa. “Nenek sudah makan?” Davka yang sudah kelas lima SD menghampiri Kirani yang terlihat sedang menjahit sebuah jaket berwarna coklat tua. “Sudah, tadi ibumu sudah bawakan nenek ubi jalar rebus. Nenek sudah dua hari tak makan nasi, ibumu yang melarang.” “Karna mama bilang, gula darah nenek tinggi lagi!” Davka memperhatikan jaket coklat yang sering digunakan neneknya akhir-akhir ini. Terlihat ada tiga bekas jahitan pada baju hangat itu. “Nenek, kayanya suka sekali dengan jaket kakek ini?” “Ya, suka sekali. Kakekmu itu baik dan sangat sayang pada nenek.” Bukan sekali dua kali Kirani menceritakan tentang Gani pada cucu mere
“Kok, begitu liatnya, Mas?” Kening lebat Sofia berkedut heran, melihat Arbi menatapnya seolah tak berkedip. Baju dinas belum sempat Sofia lepas, bahkan rambut panjangnya hanya dicepol asal. Sofia sedikit terlambat pulang, siang ini. Membuatnya harus terburu mengeluarkan bahan makanan dari kulkas. Ia ingat suaminya pasti belum makan siang. Tinggal di desa seperti ini, tak seperti di kota, bila lapar bisa lari ke warung makan yang bertebaran dimana-dimana. Di sini, belum banyak yang menjual makanan masak. Hanya ada bakso, ayam crispy dan jajanan cilok dan sejenisnya. Penampilan berantakan itu malah membuat Sofia semakin terlihat cantik. Wajahnya terlihat bersinar. Bisa jadi karna efek KB juga. Sofia tak ingin kecolongan. Setelah memastikan dirinya tak hamil, segera saja ia meminta suntik KB satu bulan. Mungkin Kbnya cocok di tubuh Sofia. Ia tak merasa pusing atau keluhan lainnya. Lagian masa lalu yang menyakitkan itu membuatnya masih takut untuk memberi adik lagi pada Davka. Arbi me
“Fia,”“Y-ya, Mas!”Rasanya begitu gugup. Bukan hanya Sofia, tapi juga Arbi. Benar-benar canggung. Bahkan debaran itu semakin menggila saat Arbi melihat lagi rambut sebahu istrinya yang begitu indah. Bertahun-tahun baru ia melihat mahkota legam itu lagi. Ditambah dengan Sofia yang masih menggunakan baju mandi saja, membuat Arbi semakin, ah ...Tak jadi masuk, Arbi malah keluar lagi, mengganti lampu di ruang TV dengan yang lebih redup.“Huf! Selamat,” batin Sofia.Namun ...“Lho kok dimatiin lampunya, Mas?”Arbi masuk lagi, mematikan lampu kamar. Namun pintu kamar ia buka sedikit agar tetap bisa mengawasi Davka yang sedang tertidur di depan. Ingin tidur di kamar ini juga tak bisa, sebab kasurnya hanya muat untuk dua orang. Memang malam ini mereka harus tidur bertiga di depan tv. Namun, Arbi ada keinginan sendiri yang tak bisa ditunda. Melihat penampilan Sofia tadi membuatnya seketika on fire.“Mas kangen banget sama, kamu!”Arbi mendekat, bahkan langsung memeluk. Mendekap tubuh itu d
Sofia tergugu dalam isak tangisnya. Ini bukan tangis kesedihan lagi. Namun ini tangis keikhlasan. Keikhlasan yang membawanya kembali pada jodoh pertamanya.Ingin sekali rasanya Arbi memeluk tubuh terguncang itu, tapi disini ada bunda Kiran, dan tentu Sofia tak ingin disentuh terlalu jauh, sebab keduanya belum menjadi muhrim lagi.Antara bahagia dan sedih, juga rasa khawatir menyatu, mengepung benak perempuan tiga puluh tiga tahun ini. “Mama, maukah mama maafkan papa, biar papa bisa bobo sama kita disini?”Davka berdiri dengan sebuah kotak cincin sederhana di belakang Sofia yang sedang mengusap air mata yang tak ingin berhenti.Pertanyaan yang sudah diajarkan Arbi berulang kali tadi pada sang putra sebelum mereka masuk ke dapur menemui Sofia yang sedang menghapus air matanya yang tak ingin berhenti.Pernyataan Arbi tadi bila akan menikah, membuat hatinya nelangsa dan semakin hilang separuh rasanya.“Eh, Avka. Apa itu, Nak? Kembalikan sama papa.” Jujur hati Sofia sedikit tercubit, meli
Arbi yang dulu selingkuh, Arbi pula yang merasa kecewa. Keputusan Sofia yang belum ingin membuka hatinya kembali, cukup membuat Arbi merasa kecewa, sekaligus takut. Mengapa kecewa?Sebab Arbi merasa Sofia bukan hanya sedang menghukum dirinya, tapi juga sedang menghukum Davka yang begitu ingin melihat mama papanya tinggal serumah.“Kamu nggak, kasihan sama Davka, kah?”“Nanti pasti akan mengerti, Mas.”Sofia selalu yakin bila suatu hari Davka akan mengerti tentang kondisi orang tuanya yang tak sudah tak bersama. Kelak pun akan diceritakannya pada putranya itu bila, papa mamanya sudah berpisah sebelum dirinya dilahirkan.“Kok, papa nggak pernah bobo sama kita, Ma?” Pertanyaan polos seperti itu bukan satu dua kali meluncur dari bocah tampan berhidung mangir mirip ayahnya. Namun Sofia menguatkan hati, selalu mencari jawaban yang tepat, agar sang putra tak merasa sedih.“Papa kan, kerja, Nak. Jadi tidak bisa tinggal disini.”“Papanya Nanda juga kerja, tapi selalu diantar ngaji sama papa m
Masa sudah berlalu. Siang dan malam berkejaran laksana busur panah yang tak bisa dihentikan. Musim penghujan pun berganti dengan kemarau yang cukup panjang. Violetta menatap jauh kebawah sana. Pemadangan hijau nan asri begitu menyejukkan mata. Ia berdiri di balkon villa milik ibunya. Membelakangi Adam yang tampak begitu berharap padanya.“Mengapa menutup diri terlalu kuat, Vio. Apa tak ada cinta sedikit pun di hatimu untuk aku?”“Rasa mungkin bisa dipupuk kembali, Mas. tapi restu yang utama, kan? aku ini janda dan punya masa lalu yang cukup buruk. Menikah tanpa restu sudah pernah kurasakan. Dan akhirnya begitu sakit.”Violetta tersenyum kecut. Perasaannya untuk Arbi belum hilang sepenuhnya. Bukan hanya perasaan cinta, tapi juga ada dendam yang masih belum tuntas. Violetta cukup terharu, melihat kesungguhan di mata Adam. Namun Violetta juga tahu, jalannya bersama lelaki ini tidak akan semudah keinginan pria bermata tajam ini. Violetta mendekat mengelus cambang kasar yang tumbuh di s
“Ya Allah, ya Allah!”Habis sudah bangunan dan isi ruko tempat Arbi menjalankan usahanya sehari-hari selama ini. usaha yang awalnya dirintis oleh ayahnya, setelah rujuk kembali bersama ibunya. Kini ludes terbakar. Semen, cat tembok, pipa dan bahan bangunan lainnya ikut terbakar. Mungkin paku dan bahan lainnya yang terbuat dari besi atau aluminium, tidak ikut terbakar tapi tentu sudah tak bisa di jual lagi.Dua buah mobil pemadam kebaran datang membantu berusaha memadamkan api. Sebab api yang makin besar, membuat warga yang tadi ikut membantu memdamkan api, sekarang tak berani mendekat.Arbi menangis! netranya memerah. Perasaannya semakin kacau. Entah. Apa ini hari pembalasan untuk Arbi mulai dari pagi tadi, rasanya tak ada satupun urusannya yang beres.Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Selain memandangi api yang melalap habis bangunan di depan matanya.Kehebohan bukan hanya terjadi di sini. Tapi juga tadi di rumah papa Gani. Sebab kabar kebakaran itu diterima Arbi saat ia duduk seba
Pov. Author__Arbi begitu susah payah menelan makanan enak yang ada diatas piringnya. Tenggorokannya terasa kering dan sakit. Laksana ada duri yang tumbuh pada batang lehernya. Bahkan beberapa kali dia harus menelan air mineral yang tersedia di depannya. Bahkan Davka yang duduk di pangkuannya dan menanyakan banyak hal, tak terlalu digubrisnya. Fokusnya lebih banyak pada Sofia yang nampak begitu cantik hari ini. gamis biru muda dengan potongan brokat di bagian dada dan lengan berpadu dengan jilbab warna senada dan make up tipis di wajahnya. Semakin mempertegas kecantikan mantan istrinya.Di depan sana, Sofia nampak duduk di samping seorang gadis berhijab yang mengenakan kebaya brokat warna kuning gading. Di samping gadis itu ada Keenan yang menggunakan kemeja batik dan celana kain warna hitam.Sofia dan Keenan, meski lahir dari ibu yang berbeda, namun garis wajah keduanya cukup mirip. Sama-sama beralis tebal dan berhidung bangir.Rasanya separuh sukma Arbi hilang tadi, saat remaja ya
Pov Arbi__Sengaja kudatangi penjara tempat Adam ditahan. Dari awal aku memang sedikit tak percaya saat mendengar pengakuan dirinya bila ia sudah mengintai dan merencanakan untuk mencelakai Sofia.Jika dibandingkan dengan Adam, mungkin aku jauh lebih pengecut dan brengsek dibanding dirinya. Lihatlah, bagaimana ia berusaha melindungi Violetta saat perempuan itu masih menjadi istriku.Peristiwa kecelakaan yang menimpa Sofia, menyadarkan diriku bila semua itu terjadi sebab kesalahan yang kubuat. Tak kusangka, walau aku dan Sofia sudah berpisah, tapi rupanya Violetta tak terima, saat kutuntut cerai dari dirinya.Dan kembali perempuan tersabar yang pernah kumiliki dalam hidupku yang menjadi korbannya.Satu kesalahan terbesar dalam hidupku saat mencoba bermain api bersama putri dari bos besar tempatku mencari nafkah.“Mas Arbi dewasa sekali. Aku nyaman sam mas Arbi.”Aku begitu terbuai saat mendengar kata-kata perempuan muda itu. sukses kedua orang tuanya ternyata membuat Violetta justru t