"Halo, Ayu? Sudah ada kabar?""Belum, Mbak.""Oh, kalau begitu, boleh tahu Mas Arya uda cari ke mana aja?" tanya Selena yang menelepon Rahayu dalam perjalanan pulang ke apartemennya."Kata Mas Arya, dia sudah cari ke tempat mereka suka jalan, Mbak. Di Mess tenpat tinggal Mar Ray juga ga ada, Mas Arya juga sempat hubungin satpam di Mess, nanti kalau Mas Ray pulang, satpamnya akan segera kabarin. Tapi sampai saat ini juga belum ada kabar. Anak-anak juga sempet nyariin ke tempat-tempat umum tapi ga ketemu juga.""Ok, Yu, terima kasih.""Mbak Selena kenapa sih?" balas Ayu dengan perasaan kecewa."Kenapa gimana?""Ya gitu deh, Mbak Selena sudah mainin perasaan banyak orang.""Yu, saya ngaku saya salah. Tapi untuk masalah siang ini, saya juga punya alasan sendiri. Yu, untuk malam ini aja, jangan ngomongin ini lagi, please,"Mendengar suara Selena yang terdengar lelah dan sedih, Rahayu terdiam sebentar. Rahayu sangat kecewa dengan kelakuan Selena tadi siang, tetapi Rahayu lupa, kalau kejadian
Selena tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Kedua tangannya menutupi mulutnya dan matanya mulai berlinang air mata. Sejak genggaman tangannya menurunkan tuas pintu di hadapannya, pemandangan inilah yang yang paling ditakutinya. Di dalam hatinya, Selena tahu, apa yang dilihatnya adalah akibat dari perbuatannya. Tetapi tetap saja apa yang dihadapannya ini sangat menyakitkan hatinya. Selena menarik nafas dalam-dalam, memejamkan matanya, membalikkan badannya dan beranjak pergi."Selena?" panggil Sonia yang tanpa sengaja terbangun karena kehadiran Selena.Selena menoleh, dan menatap Sonia. Ketika mata kedua perempuan itu saling bertemu pandang, Sonia menyadari, ia telah melakukan kesalahan yang cukup besar. Selena kembali membalikkan badannya, membuka pintu depan, dan segera berlari keluar."Selena, Tunggu!" teriak Sonia untuk mencegah Selena pergi. Jika bukan karena badannya yang tidak tertutup sehelai benangpun, Sonia pasti sudah berlari dan menghalangi Selena untuk pergi.
Sudah 2 hari berlalu sejak Selena tidak muncul di kantor. Semua pekerjaannya menumpuk di meja tanpa ada kabar akan kehadirannya. "Yu, Selena masuk ga hari ini?" tanya Pak Dimas. "Ayu ga tau, Pak." "Aneh, sejak di lamar Bos Kecil kok dia malah ngilang gitu, apa udah siap-siap jadi ibu rumah tangga ya?" "Ih, Pak Dimas kok mikir begitu. Lagipula Mbak Selena bukan tipe orang kaya gitu," jawab Rahayu. "Dia sih workaholic, tapi coba dipikir deh, Yu. Kalau uda dapet orang kaya kan, memang ga usah kerja." "Ehm,ehm...." Pak Dimas menoleh mencari arah suara dehaman tersebut. "Hai Selena!" sapa pak Dimas pada Selena yang tidak sengaja mendengar pembicaraannya dari belakang. Selena hanya menatap Pak Dimas dengan sinis. "Rahayu, temui saya di kantor," kata Selena yang langsung berjalan menuju kantor pribadinya. "Permisi, pak," pamit Rahayu. Rahayu segera berjalan mengikuti Selena ke kantor pribadinya. Sesungguhnya Rahayu sudah tahu kalau Selena berdiri di belakang Pak Dimas cukup lama,
"Mon? Lo uda siap?" tanya Arya yang sedang menyiapkan kameranya sejak tadi."Udah dari tadi. Nungguin lo bersihin alat. Lo ga pernah bersihin kamera setiap kali kita pulang, dan lo selalu bersihin mepet-mepet pas kita mau pergi," keluh Raymond yang sudah menunggu dari tadi."Hahaha, abis kalau pulang dari hutan, bawaanya pingin istirahat. Cape, Nyet. Elo sendiri begitu sampe Jakarta juga ga pernah bantuin gue.""Jangan salahin gue. Gue mau aja bantuin lo, tapi dari dulu, lo paling anti kalau ada orang yang pegang peralatan lo, jadi jangan salahin gue," jawab Raymond sambil menyalakan rokok yang dari tadi sudah digigitnya."Eh, temen lama lo balik lagi?" tanya Arya sambil menunjuk rokok di ujung bibir Raymond."Daripada gue gila, lagian ini kan temen lo juga," jawab Raymond."Gue uda berenti sih, uda dua bulan, off sama sekali. Tapi, pagi ini gue temenin deh, bagi," jawab Arya sambil meminta sebatang rokok dari Raymond."Enak aja, ga boleh. Lo masih punya masa depan, ga kaya gue," jawab
Selena tidak dapat melupakan apa yang dikatakan Pak Wahyu tadi siang. Kakinya telah melangkah pergi, tetapi pikirannya tidak beranjak dari kedai kopi tempat mereka berbincang. Sejak siang hari hingga sore ini Selena sudah berusaha memusatkan seluruh konsentrasi pikirannya hanya untuk pekerjaan, tetapi otakknya selalu bergumam memikirkan sebuah kata, "kepastian". Ucapan Pak Wahyu memang ada benarnya. Selena memang tidak dapat menggantungkan begitu saja hubungannya dengan Raymond. Dipandanginya cincin yang masih tersemat di jari manisnya. Sudah hampir 6 bulan cicin itu melingkar di jarinya dan hampir tidak pernah dilepaskannya. Sekarang? Dengan situasi seperti ini? Siapkah Selena untuk melepaskannya? Selena mengingat kembali semua yang terjadi di hotel itu. Kekecewaan yang kembali datang seiring dengan kembalinya memori kejadian di malam itu. Sudah seminggu Selena berhasil kabur dari kenyataan, kenyataan kalau dia harus memberikan sebuah kepastian. Tetapi mau tidak mau, perkataan Pak
"Selena, boleh Mama masuk?" Mama mengetuk pintu kamar Selena, sambil membawakan makan siang untuknya.Sudah beberapa kali Mama mengetuk pintu kamar Selena, tetapi tetap tidak ada jawaban. Sudah berhari-hari Selena seperti ini dan membuat Mama merasa khawatir hingga pada akhirnya Mama memberanikan diri untuk membuka pintu kamar Selena and segera masuk.Hari-hari ini begitu gelap untuk seorang Selena Audrey. Setelah permberitaan tentang kecelakaan Raymond, Selena hanya dapat terbaring di ranjang apartemennya, meratapi kejadian-kejadian yang terjadi begitu cepat dalam hidupnya. Tatapannya kosong mencerminkan suasana hatinya yang penuh bercampur rasa penyesalan. Walaupun beberapa box tissue sudah di habiskannya, tetapi air matanya tetap tidak dapat mengering."Selena, makan dulu, Mama sudah buatkan sup hangat," kata Mama sambil duduk di kursi sebelah tempat tidur Selena.Selena menggelengkan kepalanya, sudah hampir 2 hari, ia tidak menelan apapun. Wajahnya semakin pucat dan kondisi itu mem
Hampir semua kru Wildlife Adveture sudah berkumpul sejak pagi untuk mempersiapkan acara memorial siang ini. Semuanya berpakaian serba hitam, sebagai tanda duka karena kehilangan salah satu presenter kebanggan mereka. Beberapa orang perwakilan dari acara lain, juga para sahabat sudah datang untuk memberika penghormatan terakhir kepada Raymond. Pak Wahyu tampak berdiri di depan pintu, sedang memperhatikan poster bergambar foto Raymond berwarna hitam putih yang sedang dipasang di luar ruangan. "Mon, Mon, lo ceroboh banget. Ga biasanya lo begitu. Lo tu orang yang paling teliti dan selalu ngingetin semua orang buat hati-hati. Kenapa lo yang pergi konyol gini, Mon?" kata Pak Wahyu sambil mengusap air matanya dengan sapu tangan. "Pak, jangan sedih lagi, nanti kami ikut sedih juga," jawab beberapa kru yang juga mendengarkan rintihan Pak Wahyu. Sonia sudah duduk di tangah ruangan sejak pagi. Sesekali ia pergi ke toilet untuk memperbaiki make upnya yang luntur karena tidak berhenti menangis.
"Yu, sorry, lama nunggu ya?" kata Mara yang baru saja datang ke kantin menemui Rahayu. "Ayu juga baru dateng kok, Mbak. Mbak Mara pesan makan dulu! Nanti kita makan sama-sama." "Aku bawa bekel sih, kamu sudah pesan?" "Sudah, Mbak. Lagi nungguin makanannya dateng." "Oh, baiklah. Gimana, Yu, Selena masih sedih? Ini sudah 6 bulan sejak kecelakaan Raymond, seharusnya semuanya sudah kembali normal." "Sekarang sudah lebih tenang, sudah ga nangis-nangis sendiri atau tiba-tiba marah-marah. Tapi workoholicnya sih masih sama aja. Masuk pagi, pulang malem, setiap hari." "Haduh, kasiaan juga ya kalau dipikir-pikir. Tapi untungnya Selena cukup kuat, kalau aku, kayanya stress berat, hampir gila." "Habis mau gimana lagi, Mbak. Hidup memang harus jalan terus!" jawab Rahayu. Tak lama kemudian, makanan pesanan Rahayu datang, dan mereka mulai menyantap makan siangnya. "Jadi, sekarang kamu lagi sibuk apa?" tanya Mbak Mara yang membuka kotak bekalnya. "Biasa sih Mbak, urusan berita gitu-gitu aja.