Selena tidak dapat melupakan apa yang dikatakan Pak Wahyu tadi siang. Kakinya telah melangkah pergi, tetapi pikirannya tidak beranjak dari kedai kopi tempat mereka berbincang. Sejak siang hari hingga sore ini Selena sudah berusaha memusatkan seluruh konsentrasi pikirannya hanya untuk pekerjaan, tetapi otakknya selalu bergumam memikirkan sebuah kata, "kepastian". Ucapan Pak Wahyu memang ada benarnya. Selena memang tidak dapat menggantungkan begitu saja hubungannya dengan Raymond. Dipandanginya cincin yang masih tersemat di jari manisnya. Sudah hampir 6 bulan cicin itu melingkar di jarinya dan hampir tidak pernah dilepaskannya. Sekarang? Dengan situasi seperti ini? Siapkah Selena untuk melepaskannya? Selena mengingat kembali semua yang terjadi di hotel itu. Kekecewaan yang kembali datang seiring dengan kembalinya memori kejadian di malam itu. Sudah seminggu Selena berhasil kabur dari kenyataan, kenyataan kalau dia harus memberikan sebuah kepastian. Tetapi mau tidak mau, perkataan Pak
"Selena, boleh Mama masuk?" Mama mengetuk pintu kamar Selena, sambil membawakan makan siang untuknya.Sudah beberapa kali Mama mengetuk pintu kamar Selena, tetapi tetap tidak ada jawaban. Sudah berhari-hari Selena seperti ini dan membuat Mama merasa khawatir hingga pada akhirnya Mama memberanikan diri untuk membuka pintu kamar Selena and segera masuk.Hari-hari ini begitu gelap untuk seorang Selena Audrey. Setelah permberitaan tentang kecelakaan Raymond, Selena hanya dapat terbaring di ranjang apartemennya, meratapi kejadian-kejadian yang terjadi begitu cepat dalam hidupnya. Tatapannya kosong mencerminkan suasana hatinya yang penuh bercampur rasa penyesalan. Walaupun beberapa box tissue sudah di habiskannya, tetapi air matanya tetap tidak dapat mengering."Selena, makan dulu, Mama sudah buatkan sup hangat," kata Mama sambil duduk di kursi sebelah tempat tidur Selena.Selena menggelengkan kepalanya, sudah hampir 2 hari, ia tidak menelan apapun. Wajahnya semakin pucat dan kondisi itu mem
Hampir semua kru Wildlife Adveture sudah berkumpul sejak pagi untuk mempersiapkan acara memorial siang ini. Semuanya berpakaian serba hitam, sebagai tanda duka karena kehilangan salah satu presenter kebanggan mereka. Beberapa orang perwakilan dari acara lain, juga para sahabat sudah datang untuk memberika penghormatan terakhir kepada Raymond. Pak Wahyu tampak berdiri di depan pintu, sedang memperhatikan poster bergambar foto Raymond berwarna hitam putih yang sedang dipasang di luar ruangan. "Mon, Mon, lo ceroboh banget. Ga biasanya lo begitu. Lo tu orang yang paling teliti dan selalu ngingetin semua orang buat hati-hati. Kenapa lo yang pergi konyol gini, Mon?" kata Pak Wahyu sambil mengusap air matanya dengan sapu tangan. "Pak, jangan sedih lagi, nanti kami ikut sedih juga," jawab beberapa kru yang juga mendengarkan rintihan Pak Wahyu. Sonia sudah duduk di tangah ruangan sejak pagi. Sesekali ia pergi ke toilet untuk memperbaiki make upnya yang luntur karena tidak berhenti menangis.
"Yu, sorry, lama nunggu ya?" kata Mara yang baru saja datang ke kantin menemui Rahayu. "Ayu juga baru dateng kok, Mbak. Mbak Mara pesan makan dulu! Nanti kita makan sama-sama." "Aku bawa bekel sih, kamu sudah pesan?" "Sudah, Mbak. Lagi nungguin makanannya dateng." "Oh, baiklah. Gimana, Yu, Selena masih sedih? Ini sudah 6 bulan sejak kecelakaan Raymond, seharusnya semuanya sudah kembali normal." "Sekarang sudah lebih tenang, sudah ga nangis-nangis sendiri atau tiba-tiba marah-marah. Tapi workoholicnya sih masih sama aja. Masuk pagi, pulang malem, setiap hari." "Haduh, kasiaan juga ya kalau dipikir-pikir. Tapi untungnya Selena cukup kuat, kalau aku, kayanya stress berat, hampir gila." "Habis mau gimana lagi, Mbak. Hidup memang harus jalan terus!" jawab Rahayu. Tak lama kemudian, makanan pesanan Rahayu datang, dan mereka mulai menyantap makan siangnya. "Jadi, sekarang kamu lagi sibuk apa?" tanya Mbak Mara yang membuka kotak bekalnya. "Biasa sih Mbak, urusan berita gitu-gitu aja.
"Selena, sorry, lama nunggu ya?" panggil Mas Arya dengan nafas yang tersengal-sengal akibat terburu-buru berlari mengambil barang di kantornya. "Ga apa-apa, Mas Arya. Take your time. Jadi buru-buru begitu, saya yang ga enak." "Habis takutnya kamu sibuk, terus kabur. Sesungguhnya saya sudah berniat menemui kamu dari berbulan-bulan yang lalu, tapi kita hampir ga pernah ketemu. Kalau ga aku yang ngurusin shooting ke daerah, kamu yang pergi ngeliput ke luar kota, atau kalau kita sama-sama di kantor, aku sibuk dan akhirnya lupa, hahaha. Jadi, mumpung sekarang ingat, juga ada kesempatannya, jadi harus cepat," jawab Arya. "Aduh, maaf, padahal, kalau saya ga ada, Mas Arya kan bisa titip ke Rahayu. Kalau sama Rahayu sering ketemu kan?" canda Selena. "Eh, kamu sudah bisa bercanda? Hahahaha, syukurlah. Tadinya niat saya juga gitu, tapi sepertinya barang ini saya ga bisa titip Rahayu," kata Arya sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil yang terbungkus kantong plastik dari tangannya. "Ini apa?"
Selena tidak pernah menyangka kalau ia akan kembali ke tempat ini sekali lagi. Setelah ia berhasil mencecar Arya dengan beragam pertanyaan, hingga akhirnya Arya menyerah dan menceritakan semuanya. Selena tidak pernah manyangka, kemampuannya sebagai jurnalis akan membawanya menginjakkan kaki di tempat ini lagi untuk yang kedua kalinya. Jamarinya saling berangkulan di antara kedua tangannya untuk menyembunyikan segala rasa yang muncul dari dalam hatinya. Amarah, khawatir, kecewa, curiga, lega, semuanya berlabur menjadi satu di dalam hatinya. Otaknya sibuk merangkai jutaan kata-kata yang ingin diucapkannya, walaupun sesungguhnya Selena masih tidak bisa memutuskan apa yang ingin diucapkannya. Bagaimana mungkin seorang Selena Audrey, seorang jurnalis ternama, kecolongan berita sampai saat ini? Selena memang bukan yang paling cantik di tempatnya bekerja, tetapi dia salah satu orang yang paling pintar di stasiun TV itu. Bagaimana mungkin kepintarannya tidak dapat mencium kebusukan konspir
Malam ini menjadi malam yang paling panjang dan membahagiakan seumur hidup Selena. Perasaan hangat yang aneh menjalar dari seluruh tubuhnya dan meledak-ledak dalam hatinya, membuat letupan rasa senang dan bahagia yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya. Malam ini, malam yang paling bersejarah untuk Selena Audrey, karena malam ini, ia telah memberikan hal yang tidak pernah diberikannya kepada lelaki lain di dunia ini. Malam ini, Selena telah memberikan semuanya untuk kekasihnya, cinta dan juga seluruh tubuhnya. "Ini bukan berarti aku memaafkan kebohongan gila ini," kata Selena sambil perlahan-lahan mengatur nafasnya kembali. "Aku tahu," jawab Raymond dengan nafas terengah-engah sambil terbaring puas di samping kekasihnya. "Explain to me, why? Why you did this? Apa kamu segitu bencinya sama aku, sehingga kamu bikin rencana supaya ga ketemu aku lagi?" tanya Selena. Raymond hanya terdiam mendengar pertanyaan Selena. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan permasalahannya kepada ke
"Nah gitu dong, seneng kalau liat kalian akur begitu," jawab Arya yang menunggu di tenda yang didirikannya di bawah gubuk tempat tinggal Raymond. "Thank you, Bro. Udah nganterin Selena kemari dengan selamat, tanpa kekurangan apapun," jawab Raymond dengan senyuman di pipinya sambil menatap Selena. "Makanya dari awal gue bilang juga apa, Selena masih cinta sama lo. Lo aja yang mikirnya lebay kemana-mana." "Iya, iya, gue ngaku salah," jawab Raymond pasrah. "Tapi gue ga nyangka bakal ketahuan secepet ini, tanpa gue yang harus bilang duluan. Dan Selena, lansung interogasi gue hanya karena tahu gue kirim barang-barang lo dari mess ke sini," jawab Arya. "Iya, abis aneh banget. Ngapain Mas Arya kirim paket barang-barang kamu ke daerah terpencil. Ke tempat dulu aku pernah hilang sama kamu. Mau ga mau jadi curiga," kata Selena. "Gue kapok, diinterogasi jurnalis ternama, serem banget!" "Ah, hiperbol. Mas Arya, lain kali, kalau dia minta permintaan yang aneh-aneh lagi, jangan pernah dituru
Andrea menaruh dagunya tepat pada topangan tangannya. Sambil memandangi bulan yang bersinar indah, pikirannya melayang-layang entah kemana. Diambilnya kedua amplop yang berada di atas meja belajarnya. Sebuah amplop coklat berisi panggilan test beasiswa yang akan menjadi masa depannya, dan satu amplop lagi yang sudah berisi surat pengunduran dirinya yang akan diberikannya pada Daniel esok hari. "Mungkin memang sudah jalannya, ini yang terbaik, Andrea, yang terbaik," bisik Andrea untuk menghibur dirinya sendiri. Sesungguhnya Andrea ingin keluar saat semuanya selesai, tetapi perkataan Daniel tadi siang membuatnya sadar. Seberapa lamanya Andrea berada di sisi Daniel untuk membantunya, pada akhirnya ia memang harus meninggalkannya. Saat ini, atau nanti, tidak menjadi masalah. "Tok..., tok...,tok...," pintu kamar Andrea berbunyi. "Masuk," kata Andrea mempersilahkan bapak untuk masuk kamarnya. "Dea, Bapak bikinin teh hangat untuk kamu," kata Bapak sambil menaruh segelas teh di atas meja
Tanganku mulai merogoh ke dalam saku jas, mencari benda yang dengan susah payah kudapatkan hari ini. Aku tahu, pengumumannya sudah keluar dan kami kalah. Agak berat untuk diterima, tapi, sama seperti apa kukatakan sebelumnya... aku tidak peduli. Aku sudah berusaha dan tetap akan berusaha lebih keras lagi. Bagaimanapun juga, aku akan mencari cara agar kita berdua dapat keluar dari jeratan Madam Devil. Aku tahu, perjuanganku masih sangat panjang. Tapi saat ini, ada hal penting yang harus kulakukan. Dan aku tidak mau menundanya lebih lama. Ok, Steven! Sekarang, kamu tinggal mengatakannya. Sandra Bayu Hutama, maukah engkau menikah denganku? Mudah bukan? Tapi...tunggu! Apa cukup jika hanya denga kata-kata seperti itu saja? Apa aku harus menambahkan sedikit kata-kata yang lebih poetic agar peristiwa ini lebih berkesan? Sandra, o sayangku...? Hiiiii, kenapa itu terdengar menjijikan, kurang manly, dan... oh Shit!! Komohon, otak... jangan malas! Ayo bantu aku! Apa yang harus kukatakan padanya?
"Andrea, gue udah nungguin lo dari tadi, eh.., baru nongol sekarang," kata Pak Mamat divisi ME di rumah sakit ini. "Sorry Pak, tadi pagi bu Novi sudah ngabarin, cuma saya aja yang kelupaan," jawab Andrea sambil mengatupkan kedua tangannya sebagai tanda permintaan maaf. "Ya udah, nih, barang lo udah gue benerin. Cek dulu aja!" kata Pak Mamat sambil memberikan sebuah raket listrik alat penangkap nyamuk pada Andrea. Andrea segera mencari nyamuk kecil yang sudah sejak tadi berdenging di telinganya. Diayunkannya raket itu dan dengan seketika, suara keras dan kilatan listrik muncul dari alat tersebut. "TEK!" bunyi keras muncul ketika alat itu mengenai seekor serangga. "Tuh, udah bagus kan? Gue bilang juga apa," kata Pak Mamat begitu melihat alat itu sudah kembali berfungsi dengan baik. "Makasih Pak. Ng..., saya harus bayar berapa untuk biaya perbaikannya?" tanya Andrea. "Ah, Ga usah, raket lo sih masih bagus, cuma baterenya aja yang melendung. Pas kemaren ada tetangga yang raket nya
Baru satu jam ia resmi bekerja dengan Daniel, Andrea mulai menyesali keputusannya. Baru saja ia memberikan surat pengunduran diri pada Bu Novi, Daniel sudah menyeretnya pergi tanpa memberikannya waktu untuk mengucapkan selamat tinggal kepada rekan-rekan lainnya. Andrea masih tidak enak hati melihat kegundahan di hati bu Novi, sepertinya perempuan malang itu akan menerima banyak komplain hari ini karena pengunduran diri Andrea yang serba tiba-tiba. Untung saja, foto bersama Daniel Leo, cukup dapat menghibur hati Bu Novi di hari buruknya ini.Dan sialnya, bagi Andrea, kejadian buruk di hari ini masih akan terus berlangsung. Melihat Daniel berjalan keluar rumah sakit, beberapa fans dan wartawan sudah menunggunya di koridor luar rumah sakit."Daniel!!!" teriak mereka memanggil nama idola mereka.Melihat kerumunan banyak orang, Andrea merasa begitu tidak nyaman. Ia ingat terakhir kali ia betemu dengan fans-fans Daniel, kejadian yang berakhir dengan perundungan menyebalkan. Setelah beberapa
" dalam kepalaku, aku tidak akan pernah membuatnya menghentikan langkahku. Tidak hari ini, tidak juga nanti. "Selamat sore, hadirin yang terhormat, salam sejahtera bagi kita semua," salamku untuk memulai presentasi hari ini. "Sttt... ga salah ya? Speaker personnya Ruanna masih muda banget!" "Iya, padahal aku berharap Anna Gunadi sendiri yang akan presentasi hari ini. Aku sudah menunggu penampilannya." "Yah, padahal kukira Anna Gunadi sendiri yang akan presentasi mewakili bironya. Tahunya orang lain. Aneh, mengapa mereka mempercayakan presentasi penting seperti ini pada anak kecil itu? " "Atau mungkin mereka sudah pasrah... Tapi masa sih? Sekelas Anna Gunadi pasrah begitu saja? Tapi, aku ngerti sih, kalau mereka takut dengan Architext." Aku mendengar banyak bisikan ketika mereka melihatku berdiri di tengah panggung. Aku tidak tersinggung. Benar-benar tidak tersinggung. Hahaha... memang tidak perlu tersinggung jika mereka memanggilku dengan sebutan anak kecil atau anak baru. Toh, a
Dug... dug... Dug... dug... Dug... dug... "Waaaa... plok...plok… plok..." Dug... dug... Dug... dug... , ok? Setelah membereskan ruangan ini dan membangunkan 'kucing' malas itu," katanya sambil memandang Cat. "Ok!" kataku sambil berjalan keluar mengikuti panitia. "Hei Sandra, break a leg!" sahut Steven sebelum aku meninggalkan ruangan. Hahaha, Sialan... apa dia berharap aku naik panggung untuk menyanyi atau menari balet? Dia tidak perlu mengucapkan mantra sukses pemeran broadway sebelum mereka tampil. Tapi untuk humornya yang super random dan menghibur, kuucapkan sedikit terima kasih. Sedikit saja... ga banyak-banyak. Aku berjalan menuju ke belakang panggung. Yang ternyata hanya berjarak sekitar 10 meter dari ruangan kami bekerja. Tidak jauh, dan kuharap, Steven bisa langsung menyusulku kemari jika aku membutuhkan bantuannya. "t right now!"
"It's not her fault...!" kataku untuk menurunkan tensi di ruangan ini. "It Is NOT her fault?" tanya Steven seolah-olah tidak percaya dengan perkataanku. Kini matanya beralih padaku, ia memandangku begitu tajam. Ok, kini amarahnya juga berpaling padaku. "Sandra! Kumohon, jangan belain dia lagi. Sejak awal, kalau kamu mendengarkanku..., kalau kamu tidak memasukkan dia dalam team ini, maka semua kejadian ini tidak akan terjadi!" "Kamu benar, aku setuju," kataku sambil memandangi Cat. Berharap kemarahan Steven beralih padaku. Berharap, jika ia melupakan anak itu sebagai luapan emosinya. "Ya, kuakui ini salahku! Silahkan marah padaku! Aku akan menerima semua amarahmu. Tapi..., tidak sekarang, ok? Karena daripada kita menghabiskan waktu untuk marah, untuk berkelahi dan menyalahkan satu sama lain, bisakah kita memikirkan, rencana apa yang harus dilakukan kedepan?" "ak pada kita. Mereka tidak akan mentolerir kasus plagiarisme. Mereka sudah menyelidiki desain yang dikumpulkan Tyo. Jo sebelum
"kata seorang karyawan yang sedang merapihkan barang pajangan di etalase depan. "Iya,Kuakui, aku memang tidak berencana melamarnya hari ini. Sejak lama aku berpikir tentang hubungan kami, dan segala hal yang terjadi di antara kami berdua. Betapa dia begitu berbeda dengan perempuan-perempuan lain yang pernah mengisi hidupku. Seorang di luar akal sehat. Dia tulus, dan apa adanya, dia mengucapkan semua yang ada di hatinya. Dia tidak bisa berbohong, dan yang paling penting, dia wanita bodoh yang tidak pernah meninggalkanku. Siapa yang dapat menduga, jika dia memutuskan untuk kembali, saat kupikir dia akan pergi meninggalkanku senidirian. Dia... dia tidak gentar dengan besarnya masalahku, dia tidak mengatakan apapun tentang dendamku. Dia tidak memintaku untuk memilih antara dirinya atau ambisiku. Dia selalu berdiri di sampingku, menemaniku, bahkan saat aku membenci diriku sendiri, saat aku kesepian. Saat tidak ada satupun yang sanggup bersamaku, wanita cantik itu tidak meninggalkanku sen
""Jam tiga lebih empat puluh lima menit. Ok I get it. Oh, satu lagi... Architext, mereka dapat urutan berapa? Kurasa akan sangat menarik untuk melihat presentasi mereka lebih dahulu. Kita bisa mengambil apa yang baik, lalu bisa membuat strategi untuk melawan mereka." "an mereka?" "Sepertinya begitu," jawabku pasrah. " Hahaha... ya sudahlah..., nanti kita lihat lagi situasinya seperti apa." "Ok, Steven." "Ng... Sandra! Sayang, ini masih pagi, belum jam sepuluh juga. Aku pergi beli sarapan sebentar. Kamu mau makan apa?" "Oh...," jawabku bingung. Sebenarnya aku sedikit mengharapkan Steven untuk kembali ke sini secepatya. Aku tidak peduli betapa laparnya diriku, aku hanya ingin dia menemaniku. Tapi..., biasakah aku memintanya untuk selalu ada di sisiku? Bisakah aku bertindak begitu egois? Walaupun hanya untuk hari ini saja, karena ini hari yang penting untukku, tapi.... "Sayang...? Sandra sayang? Aku beneran lapar," lanjut Steven. "Kamu tidak keberatan jika aku pergi makan sebentar