Malam ini menjadi malam yang paling panjang dan membahagiakan seumur hidup Selena. Perasaan hangat yang aneh menjalar dari seluruh tubuhnya dan meledak-ledak dalam hatinya, membuat letupan rasa senang dan bahagia yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya. Malam ini, malam yang paling bersejarah untuk Selena Audrey, karena malam ini, ia telah memberikan hal yang tidak pernah diberikannya kepada lelaki lain di dunia ini. Malam ini, Selena telah memberikan semuanya untuk kekasihnya, cinta dan juga seluruh tubuhnya. "Ini bukan berarti aku memaafkan kebohongan gila ini," kata Selena sambil perlahan-lahan mengatur nafasnya kembali. "Aku tahu," jawab Raymond dengan nafas terengah-engah sambil terbaring puas di samping kekasihnya. "Explain to me, why? Why you did this? Apa kamu segitu bencinya sama aku, sehingga kamu bikin rencana supaya ga ketemu aku lagi?" tanya Selena. Raymond hanya terdiam mendengar pertanyaan Selena. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan permasalahannya kepada ke
"Nah gitu dong, seneng kalau liat kalian akur begitu," jawab Arya yang menunggu di tenda yang didirikannya di bawah gubuk tempat tinggal Raymond. "Thank you, Bro. Udah nganterin Selena kemari dengan selamat, tanpa kekurangan apapun," jawab Raymond dengan senyuman di pipinya sambil menatap Selena. "Makanya dari awal gue bilang juga apa, Selena masih cinta sama lo. Lo aja yang mikirnya lebay kemana-mana." "Iya, iya, gue ngaku salah," jawab Raymond pasrah. "Tapi gue ga nyangka bakal ketahuan secepet ini, tanpa gue yang harus bilang duluan. Dan Selena, lansung interogasi gue hanya karena tahu gue kirim barang-barang lo dari mess ke sini," jawab Arya. "Iya, abis aneh banget. Ngapain Mas Arya kirim paket barang-barang kamu ke daerah terpencil. Ke tempat dulu aku pernah hilang sama kamu. Mau ga mau jadi curiga," kata Selena. "Gue kapok, diinterogasi jurnalis ternama, serem banget!" "Ah, hiperbol. Mas Arya, lain kali, kalau dia minta permintaan yang aneh-aneh lagi, jangan pernah dituru
Selena sudah bersiap-siap sejak pagi, diseruputnya susu coklat panasnya sambil menunggu Raymond datang menjemput untuk pergi ke kantor pagi ini. Kemarin malam, mereka baru sampai di Jakarta, perjalanan dengan bus selama 2 hari cukup membuat seluruh badan Selena sakit dan pegal-pegal. "Kamu yakin ga mau nginep di sini? Apartemen aku ada dua kamar, lagipula kamu juga sudah ga mungkin balik ke mess," tanya Selena ketika Raymond mengantarkannya pulang. Raymond menggelengkan kepalanya. "Saya ga mau tidur di kamar sebelah, karena saya ingin tidur di sebelah kamu, tapi, setelah malam itu, saya ga yakin, kalau saya akan sanggup menahannya lagi. Dan saya sudah berjanji di dalam hati untuk tidak melakukan itu lagi, sampai cincin yang ada nama kamu melingkar di sini," jawab Raymond sambil menunjukkan jari manisnya. "Hei, kamu ga mikir kalau itu sebuah kesalahan kan?" tanya Selena memastikan sekali lagi. "Ga, Sayang. Percayalah aku sangat menginginkan kamu, dan akan selalu menginginkan kamu. T
"Masih sakit?" tanya Selena sambil memegangi pipi Raymond yang masih tampak kemerahan. "Lumayan, sudah ga sesakit kemarin, tapi masih, perih..., sedikit....," jawab Raymond. "Kamu juga sih, salah sendiri." "Iya, aku tahu, aku salah." "Tapi kalau ngeliat pipi kamu memar begini, aku nyesel juga." "Nyesel kenapa?" "Nyesel banget, seharusnya tamparan aku harus lebih keras daripada tamparan Sonia. Kan aku pacar kamu, bukan Sonia," ledek Selena. "Sejak kapan kamu belain Sonia?" tanya Raymond kesal. "Aku ga belain Sonia, Sayang. Cuma memang dengan semua kekacauan yang sudah kamu lakukan, kamu memang pantas menerimanya. Lagipula untung Pak Wahyu dan rekan-rekan Wlife masih bisa menahan diri, kalau tidak, bukan cuma tamparan dari Sonia yang mendarat di pipi kamu," jawab Selena sambil mengoleskan salep anti memar di pipi Raymond. "Tok,Tok," suara seseorang mengetuk pintu. "Kalian sudah siap?" tanya Pak Wahyu membuka pintu ruang touch up. Pak Wahyu tidak dapat menyembunyikan kekesalann
"Siang, Pak, ada Pak Raymond dan Ibu Selena sudah menunggu di ruang depan," kata salah seorang asisten Pak Elio. "Suruh mereka masuk!" jawab Pak Elio. Tanpa menunggu lama, Raymond dan Selena segera masuk ke dalam ruangan kerja Elio Soedibrata. Ruangan yang terasa begitu dingin, entah karena temperatur AC yang terlalu rendah atau nuansa ruang yang penuh dengan warna putih dan biru tua. Satu-satunya kehangatan yang terpancar dari ruangan tersebut, hanyalah rentetan buku-buku dan lukisan-lukisan penuh warna yang terpasang rapih dan indah di dindingnya. "Selamat sore, Pak," sapa Raymond sambil melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. "Sore, saya sudah menunggu kehadiran kalian berdua sejak tadi," jawab pak Elio sambil mempersilahkan mereka untuk masuk. Raymond dan Selena segera masuk dan duduk di depan meja sesuai dengan instruksi dari tangan Elio Soedibrata. Setelah semuanya siap untuk mendengarkan, Elio segera membuka laci meja dan mengambil dua buah surat dan diletakkan di atas m
"Siang, Pak, ada Pak Raymond dan Ibu Selena sudah menunggu di ruang depan," kata salah seorang asisten Pak Elio. "Suruh mereka masuk!" jawab Pak Elio. Tanpa menunggu lama, Raymond dan Selena segera masuk ke dalam ruangan kerja Elio Soedibrata. Ruangan yang terasa begitu dingin, entah karena temperatur AC yang terlalu rendah atau nuansa ruang yang penuh dengan warna putih dan biru tua. Satu-satunya kehangatan yang terpancar dari ruangan tersebut, hanyalah rentetan buku-buku dan lukisan-lukisan penuh warna yang terpasang rapih dan indah di dindingnya. "Selamat sore, Pak," sapa Raymond sambil melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. "Sore, saya sudah menunggu kehadiran kalian berdua sejak tadi," jawab pak Elio sambil mempersilahkan mereka untuk masuk. Raymond dan Selena segera masuk dan duduk di depan meja sesuai dengan instruksi dari tangan Elio Soedibrata. Setelah semuanya siap untuk mendengarkan, Elio segera membuka laci meja dan mengambil dua buah surat dan diletakkan di atas m
Satu bulan ini benar-benar membuatku lelah. Menguras emosi, pikiran serta tenaga. Ya, akhirnya kami menyelesaikannya juga. Konsep untuk desain Istana lahi yang cukup unik. Tentu saja, tidak dengan lemparan-lemparan piring. Aku akan segera meninggalkannya jika ia melemparkan piring terbang padaku. Aku tidak akan pernah mentolerir kekerasan seperti itu. Tetapi, kuakui, pertengkaran kami cukup intens, walaupun kemarahan ini hanya dalam beberapa jam bukan hitungan hari. Seburuk apapun debat argumen kami, aku dan Steven memutuskan untuk sesegera mungkin tidak memendam amarah terlalu lama. Alasannya...? Tentu saja, karena kami tidak akan membiarkan Cat mengambil popcorn dan menonton perkelahian kami berdua. Ya, Steven pun setuju, kami tidak akan memberikan anak itu 'entertaiment' gratis. ak bisa berpikir terlalu positif. Tetapi, se-grogi apapun hatiku ini, sepertinya apa yang mereka ucapkan ada benarnya. Untuk apa aku terpaku termenung di depan laptopku? Jika memang pengumumannya memang bar
menghancurkan kesenanganku sore ini. Drama apa? Tentu saja, drama keluarga. Aku menduga akan terjadi drama keluarga, jika anak polos itu sampai tahu, ternyata tante kesayangannya ternyata pendukung konsep perbudakan. Dan masalahya, hari ini, suasana hatiku sedang sangat baik, jadi aku tidak ingin merusaknya karena mendengar kesedihan Cat tentang tante tercintanya. ta urutannya. "Hei, darimana kamu dapat daftar ini?" tanyaku penasaran. Tentu saja aku penasaran, list yang diperlihatkan Steven padaku adalah daftar internal yang mungkin hanya dimiliki oleh panitia. Isi dokumennya juga jauh berbeda dengan email yang dikirimkan padaku. "Mudah, aku punya teman," kata Steven sambil tersenyum jahil. "Teman?" tanyaku penasaran. "Maksud kamu, teman orang dalam?" "Ng... ya begitulah!" jawabnya jujur. "Jangan-jangan...? Steven...!" panggilku sambil menatap wajahnya. Tentu saja ini permasalahan serius. Coba pikir, jika dia punya teman dalam, maka..., apakah keputusan hari ini adalah sesuatu ya
Andrea menaruh dagunya tepat pada topangan tangannya. Sambil memandangi bulan yang bersinar indah, pikirannya melayang-layang entah kemana. Diambilnya kedua amplop yang berada di atas meja belajarnya. Sebuah amplop coklat berisi panggilan test beasiswa yang akan menjadi masa depannya, dan satu amplop lagi yang sudah berisi surat pengunduran dirinya yang akan diberikannya pada Daniel esok hari. "Mungkin memang sudah jalannya, ini yang terbaik, Andrea, yang terbaik," bisik Andrea untuk menghibur dirinya sendiri. Sesungguhnya Andrea ingin keluar saat semuanya selesai, tetapi perkataan Daniel tadi siang membuatnya sadar. Seberapa lamanya Andrea berada di sisi Daniel untuk membantunya, pada akhirnya ia memang harus meninggalkannya. Saat ini, atau nanti, tidak menjadi masalah. "Tok..., tok...,tok...," pintu kamar Andrea berbunyi. "Masuk," kata Andrea mempersilahkan bapak untuk masuk kamarnya. "Dea, Bapak bikinin teh hangat untuk kamu," kata Bapak sambil menaruh segelas teh di atas meja
Tanganku mulai merogoh ke dalam saku jas, mencari benda yang dengan susah payah kudapatkan hari ini. Aku tahu, pengumumannya sudah keluar dan kami kalah. Agak berat untuk diterima, tapi, sama seperti apa kukatakan sebelumnya... aku tidak peduli. Aku sudah berusaha dan tetap akan berusaha lebih keras lagi. Bagaimanapun juga, aku akan mencari cara agar kita berdua dapat keluar dari jeratan Madam Devil. Aku tahu, perjuanganku masih sangat panjang. Tapi saat ini, ada hal penting yang harus kulakukan. Dan aku tidak mau menundanya lebih lama. Ok, Steven! Sekarang, kamu tinggal mengatakannya. Sandra Bayu Hutama, maukah engkau menikah denganku? Mudah bukan? Tapi...tunggu! Apa cukup jika hanya denga kata-kata seperti itu saja? Apa aku harus menambahkan sedikit kata-kata yang lebih poetic agar peristiwa ini lebih berkesan? Sandra, o sayangku...? Hiiiii, kenapa itu terdengar menjijikan, kurang manly, dan... oh Shit!! Komohon, otak... jangan malas! Ayo bantu aku! Apa yang harus kukatakan padanya?
"Andrea, gue udah nungguin lo dari tadi, eh.., baru nongol sekarang," kata Pak Mamat divisi ME di rumah sakit ini. "Sorry Pak, tadi pagi bu Novi sudah ngabarin, cuma saya aja yang kelupaan," jawab Andrea sambil mengatupkan kedua tangannya sebagai tanda permintaan maaf. "Ya udah, nih, barang lo udah gue benerin. Cek dulu aja!" kata Pak Mamat sambil memberikan sebuah raket listrik alat penangkap nyamuk pada Andrea. Andrea segera mencari nyamuk kecil yang sudah sejak tadi berdenging di telinganya. Diayunkannya raket itu dan dengan seketika, suara keras dan kilatan listrik muncul dari alat tersebut. "TEK!" bunyi keras muncul ketika alat itu mengenai seekor serangga. "Tuh, udah bagus kan? Gue bilang juga apa," kata Pak Mamat begitu melihat alat itu sudah kembali berfungsi dengan baik. "Makasih Pak. Ng..., saya harus bayar berapa untuk biaya perbaikannya?" tanya Andrea. "Ah, Ga usah, raket lo sih masih bagus, cuma baterenya aja yang melendung. Pas kemaren ada tetangga yang raket nya
Baru satu jam ia resmi bekerja dengan Daniel, Andrea mulai menyesali keputusannya. Baru saja ia memberikan surat pengunduran diri pada Bu Novi, Daniel sudah menyeretnya pergi tanpa memberikannya waktu untuk mengucapkan selamat tinggal kepada rekan-rekan lainnya. Andrea masih tidak enak hati melihat kegundahan di hati bu Novi, sepertinya perempuan malang itu akan menerima banyak komplain hari ini karena pengunduran diri Andrea yang serba tiba-tiba. Untung saja, foto bersama Daniel Leo, cukup dapat menghibur hati Bu Novi di hari buruknya ini.Dan sialnya, bagi Andrea, kejadian buruk di hari ini masih akan terus berlangsung. Melihat Daniel berjalan keluar rumah sakit, beberapa fans dan wartawan sudah menunggunya di koridor luar rumah sakit."Daniel!!!" teriak mereka memanggil nama idola mereka.Melihat kerumunan banyak orang, Andrea merasa begitu tidak nyaman. Ia ingat terakhir kali ia betemu dengan fans-fans Daniel, kejadian yang berakhir dengan perundungan menyebalkan. Setelah beberapa
" dalam kepalaku, aku tidak akan pernah membuatnya menghentikan langkahku. Tidak hari ini, tidak juga nanti. "Selamat sore, hadirin yang terhormat, salam sejahtera bagi kita semua," salamku untuk memulai presentasi hari ini. "Sttt... ga salah ya? Speaker personnya Ruanna masih muda banget!" "Iya, padahal aku berharap Anna Gunadi sendiri yang akan presentasi hari ini. Aku sudah menunggu penampilannya." "Yah, padahal kukira Anna Gunadi sendiri yang akan presentasi mewakili bironya. Tahunya orang lain. Aneh, mengapa mereka mempercayakan presentasi penting seperti ini pada anak kecil itu? " "Atau mungkin mereka sudah pasrah... Tapi masa sih? Sekelas Anna Gunadi pasrah begitu saja? Tapi, aku ngerti sih, kalau mereka takut dengan Architext." Aku mendengar banyak bisikan ketika mereka melihatku berdiri di tengah panggung. Aku tidak tersinggung. Benar-benar tidak tersinggung. Hahaha... memang tidak perlu tersinggung jika mereka memanggilku dengan sebutan anak kecil atau anak baru. Toh, a
Dug... dug... Dug... dug... Dug... dug... "Waaaa... plok...plok… plok..." Dug... dug... Dug... dug... , ok? Setelah membereskan ruangan ini dan membangunkan 'kucing' malas itu," katanya sambil memandang Cat. "Ok!" kataku sambil berjalan keluar mengikuti panitia. "Hei Sandra, break a leg!" sahut Steven sebelum aku meninggalkan ruangan. Hahaha, Sialan... apa dia berharap aku naik panggung untuk menyanyi atau menari balet? Dia tidak perlu mengucapkan mantra sukses pemeran broadway sebelum mereka tampil. Tapi untuk humornya yang super random dan menghibur, kuucapkan sedikit terima kasih. Sedikit saja... ga banyak-banyak. Aku berjalan menuju ke belakang panggung. Yang ternyata hanya berjarak sekitar 10 meter dari ruangan kami bekerja. Tidak jauh, dan kuharap, Steven bisa langsung menyusulku kemari jika aku membutuhkan bantuannya. "t right now!"
"It's not her fault...!" kataku untuk menurunkan tensi di ruangan ini. "It Is NOT her fault?" tanya Steven seolah-olah tidak percaya dengan perkataanku. Kini matanya beralih padaku, ia memandangku begitu tajam. Ok, kini amarahnya juga berpaling padaku. "Sandra! Kumohon, jangan belain dia lagi. Sejak awal, kalau kamu mendengarkanku..., kalau kamu tidak memasukkan dia dalam team ini, maka semua kejadian ini tidak akan terjadi!" "Kamu benar, aku setuju," kataku sambil memandangi Cat. Berharap kemarahan Steven beralih padaku. Berharap, jika ia melupakan anak itu sebagai luapan emosinya. "Ya, kuakui ini salahku! Silahkan marah padaku! Aku akan menerima semua amarahmu. Tapi..., tidak sekarang, ok? Karena daripada kita menghabiskan waktu untuk marah, untuk berkelahi dan menyalahkan satu sama lain, bisakah kita memikirkan, rencana apa yang harus dilakukan kedepan?" "ak pada kita. Mereka tidak akan mentolerir kasus plagiarisme. Mereka sudah menyelidiki desain yang dikumpulkan Tyo. Jo sebelum
"kata seorang karyawan yang sedang merapihkan barang pajangan di etalase depan. "Iya,Kuakui, aku memang tidak berencana melamarnya hari ini. Sejak lama aku berpikir tentang hubungan kami, dan segala hal yang terjadi di antara kami berdua. Betapa dia begitu berbeda dengan perempuan-perempuan lain yang pernah mengisi hidupku. Seorang di luar akal sehat. Dia tulus, dan apa adanya, dia mengucapkan semua yang ada di hatinya. Dia tidak bisa berbohong, dan yang paling penting, dia wanita bodoh yang tidak pernah meninggalkanku. Siapa yang dapat menduga, jika dia memutuskan untuk kembali, saat kupikir dia akan pergi meninggalkanku senidirian. Dia... dia tidak gentar dengan besarnya masalahku, dia tidak mengatakan apapun tentang dendamku. Dia tidak memintaku untuk memilih antara dirinya atau ambisiku. Dia selalu berdiri di sampingku, menemaniku, bahkan saat aku membenci diriku sendiri, saat aku kesepian. Saat tidak ada satupun yang sanggup bersamaku, wanita cantik itu tidak meninggalkanku sen
""Jam tiga lebih empat puluh lima menit. Ok I get it. Oh, satu lagi... Architext, mereka dapat urutan berapa? Kurasa akan sangat menarik untuk melihat presentasi mereka lebih dahulu. Kita bisa mengambil apa yang baik, lalu bisa membuat strategi untuk melawan mereka." "an mereka?" "Sepertinya begitu," jawabku pasrah. " Hahaha... ya sudahlah..., nanti kita lihat lagi situasinya seperti apa." "Ok, Steven." "Ng... Sandra! Sayang, ini masih pagi, belum jam sepuluh juga. Aku pergi beli sarapan sebentar. Kamu mau makan apa?" "Oh...," jawabku bingung. Sebenarnya aku sedikit mengharapkan Steven untuk kembali ke sini secepatya. Aku tidak peduli betapa laparnya diriku, aku hanya ingin dia menemaniku. Tapi..., biasakah aku memintanya untuk selalu ada di sisiku? Bisakah aku bertindak begitu egois? Walaupun hanya untuk hari ini saja, karena ini hari yang penting untukku, tapi.... "Sayang...? Sandra sayang? Aku beneran lapar," lanjut Steven. "Kamu tidak keberatan jika aku pergi makan sebentar