"Selena, sorry, lama nunggu ya?" panggil Mas Arya dengan nafas yang tersengal-sengal akibat terburu-buru berlari mengambil barang di kantornya. "Ga apa-apa, Mas Arya. Take your time. Jadi buru-buru begitu, saya yang ga enak." "Habis takutnya kamu sibuk, terus kabur. Sesungguhnya saya sudah berniat menemui kamu dari berbulan-bulan yang lalu, tapi kita hampir ga pernah ketemu. Kalau ga aku yang ngurusin shooting ke daerah, kamu yang pergi ngeliput ke luar kota, atau kalau kita sama-sama di kantor, aku sibuk dan akhirnya lupa, hahaha. Jadi, mumpung sekarang ingat, juga ada kesempatannya, jadi harus cepat," jawab Arya. "Aduh, maaf, padahal, kalau saya ga ada, Mas Arya kan bisa titip ke Rahayu. Kalau sama Rahayu sering ketemu kan?" canda Selena. "Eh, kamu sudah bisa bercanda? Hahahaha, syukurlah. Tadinya niat saya juga gitu, tapi sepertinya barang ini saya ga bisa titip Rahayu," kata Arya sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil yang terbungkus kantong plastik dari tangannya. "Ini apa?"
Selena tidak pernah menyangka kalau ia akan kembali ke tempat ini sekali lagi. Setelah ia berhasil mencecar Arya dengan beragam pertanyaan, hingga akhirnya Arya menyerah dan menceritakan semuanya. Selena tidak pernah manyangka, kemampuannya sebagai jurnalis akan membawanya menginjakkan kaki di tempat ini lagi untuk yang kedua kalinya. Jamarinya saling berangkulan di antara kedua tangannya untuk menyembunyikan segala rasa yang muncul dari dalam hatinya. Amarah, khawatir, kecewa, curiga, lega, semuanya berlabur menjadi satu di dalam hatinya. Otaknya sibuk merangkai jutaan kata-kata yang ingin diucapkannya, walaupun sesungguhnya Selena masih tidak bisa memutuskan apa yang ingin diucapkannya. Bagaimana mungkin seorang Selena Audrey, seorang jurnalis ternama, kecolongan berita sampai saat ini? Selena memang bukan yang paling cantik di tempatnya bekerja, tetapi dia salah satu orang yang paling pintar di stasiun TV itu. Bagaimana mungkin kepintarannya tidak dapat mencium kebusukan konspir
Malam ini menjadi malam yang paling panjang dan membahagiakan seumur hidup Selena. Perasaan hangat yang aneh menjalar dari seluruh tubuhnya dan meledak-ledak dalam hatinya, membuat letupan rasa senang dan bahagia yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya. Malam ini, malam yang paling bersejarah untuk Selena Audrey, karena malam ini, ia telah memberikan hal yang tidak pernah diberikannya kepada lelaki lain di dunia ini. Malam ini, Selena telah memberikan semuanya untuk kekasihnya, cinta dan juga seluruh tubuhnya. "Ini bukan berarti aku memaafkan kebohongan gila ini," kata Selena sambil perlahan-lahan mengatur nafasnya kembali. "Aku tahu," jawab Raymond dengan nafas terengah-engah sambil terbaring puas di samping kekasihnya. "Explain to me, why? Why you did this? Apa kamu segitu bencinya sama aku, sehingga kamu bikin rencana supaya ga ketemu aku lagi?" tanya Selena. Raymond hanya terdiam mendengar pertanyaan Selena. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan permasalahannya kepada ke
"Nah gitu dong, seneng kalau liat kalian akur begitu," jawab Arya yang menunggu di tenda yang didirikannya di bawah gubuk tempat tinggal Raymond. "Thank you, Bro. Udah nganterin Selena kemari dengan selamat, tanpa kekurangan apapun," jawab Raymond dengan senyuman di pipinya sambil menatap Selena. "Makanya dari awal gue bilang juga apa, Selena masih cinta sama lo. Lo aja yang mikirnya lebay kemana-mana." "Iya, iya, gue ngaku salah," jawab Raymond pasrah. "Tapi gue ga nyangka bakal ketahuan secepet ini, tanpa gue yang harus bilang duluan. Dan Selena, lansung interogasi gue hanya karena tahu gue kirim barang-barang lo dari mess ke sini," jawab Arya. "Iya, abis aneh banget. Ngapain Mas Arya kirim paket barang-barang kamu ke daerah terpencil. Ke tempat dulu aku pernah hilang sama kamu. Mau ga mau jadi curiga," kata Selena. "Gue kapok, diinterogasi jurnalis ternama, serem banget!" "Ah, hiperbol. Mas Arya, lain kali, kalau dia minta permintaan yang aneh-aneh lagi, jangan pernah dituru
Selena sudah bersiap-siap sejak pagi, diseruputnya susu coklat panasnya sambil menunggu Raymond datang menjemput untuk pergi ke kantor pagi ini. Kemarin malam, mereka baru sampai di Jakarta, perjalanan dengan bus selama 2 hari cukup membuat seluruh badan Selena sakit dan pegal-pegal. "Kamu yakin ga mau nginep di sini? Apartemen aku ada dua kamar, lagipula kamu juga sudah ga mungkin balik ke mess," tanya Selena ketika Raymond mengantarkannya pulang. Raymond menggelengkan kepalanya. "Saya ga mau tidur di kamar sebelah, karena saya ingin tidur di sebelah kamu, tapi, setelah malam itu, saya ga yakin, kalau saya akan sanggup menahannya lagi. Dan saya sudah berjanji di dalam hati untuk tidak melakukan itu lagi, sampai cincin yang ada nama kamu melingkar di sini," jawab Raymond sambil menunjukkan jari manisnya. "Hei, kamu ga mikir kalau itu sebuah kesalahan kan?" tanya Selena memastikan sekali lagi. "Ga, Sayang. Percayalah aku sangat menginginkan kamu, dan akan selalu menginginkan kamu. T
"Masih sakit?" tanya Selena sambil memegangi pipi Raymond yang masih tampak kemerahan. "Lumayan, sudah ga sesakit kemarin, tapi masih, perih..., sedikit....," jawab Raymond. "Kamu juga sih, salah sendiri." "Iya, aku tahu, aku salah." "Tapi kalau ngeliat pipi kamu memar begini, aku nyesel juga." "Nyesel kenapa?" "Nyesel banget, seharusnya tamparan aku harus lebih keras daripada tamparan Sonia. Kan aku pacar kamu, bukan Sonia," ledek Selena. "Sejak kapan kamu belain Sonia?" tanya Raymond kesal. "Aku ga belain Sonia, Sayang. Cuma memang dengan semua kekacauan yang sudah kamu lakukan, kamu memang pantas menerimanya. Lagipula untung Pak Wahyu dan rekan-rekan Wlife masih bisa menahan diri, kalau tidak, bukan cuma tamparan dari Sonia yang mendarat di pipi kamu," jawab Selena sambil mengoleskan salep anti memar di pipi Raymond. "Tok,Tok," suara seseorang mengetuk pintu. "Kalian sudah siap?" tanya Pak Wahyu membuka pintu ruang touch up. Pak Wahyu tidak dapat menyembunyikan kekesalann
"Siang, Pak, ada Pak Raymond dan Ibu Selena sudah menunggu di ruang depan," kata salah seorang asisten Pak Elio. "Suruh mereka masuk!" jawab Pak Elio. Tanpa menunggu lama, Raymond dan Selena segera masuk ke dalam ruangan kerja Elio Soedibrata. Ruangan yang terasa begitu dingin, entah karena temperatur AC yang terlalu rendah atau nuansa ruang yang penuh dengan warna putih dan biru tua. Satu-satunya kehangatan yang terpancar dari ruangan tersebut, hanyalah rentetan buku-buku dan lukisan-lukisan penuh warna yang terpasang rapih dan indah di dindingnya. "Selamat sore, Pak," sapa Raymond sambil melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. "Sore, saya sudah menunggu kehadiran kalian berdua sejak tadi," jawab pak Elio sambil mempersilahkan mereka untuk masuk. Raymond dan Selena segera masuk dan duduk di depan meja sesuai dengan instruksi dari tangan Elio Soedibrata. Setelah semuanya siap untuk mendengarkan, Elio segera membuka laci meja dan mengambil dua buah surat dan diletakkan di atas m
"Siang, Pak, ada Pak Raymond dan Ibu Selena sudah menunggu di ruang depan," kata salah seorang asisten Pak Elio. "Suruh mereka masuk!" jawab Pak Elio. Tanpa menunggu lama, Raymond dan Selena segera masuk ke dalam ruangan kerja Elio Soedibrata. Ruangan yang terasa begitu dingin, entah karena temperatur AC yang terlalu rendah atau nuansa ruang yang penuh dengan warna putih dan biru tua. Satu-satunya kehangatan yang terpancar dari ruangan tersebut, hanyalah rentetan buku-buku dan lukisan-lukisan penuh warna yang terpasang rapih dan indah di dindingnya. "Selamat sore, Pak," sapa Raymond sambil melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. "Sore, saya sudah menunggu kehadiran kalian berdua sejak tadi," jawab pak Elio sambil mempersilahkan mereka untuk masuk. Raymond dan Selena segera masuk dan duduk di depan meja sesuai dengan instruksi dari tangan Elio Soedibrata. Setelah semuanya siap untuk mendengarkan, Elio segera membuka laci meja dan mengambil dua buah surat dan diletakkan di atas m