Udara pagi di Bandung sangat menyegarkan, sekiranya kota ini sedikit lebih santai dari pada hiruk pikuk Jakarta. Sudah pukul 9 pagi, dan Selena segera menuju rumah ibunya. Rumah yang didatanginya 10 tahun lalu. Hanya saja kali ini Selena sudah konfirmasi kalau dia akan datang pagi ini."Selena!" panggil mama sambil melambaikan tangan, ketika Selena sampai di halaman rumahnya.Selena segera berlari dan memeluk ibunya."Mama senang kamu kemari, tapi kamu baik-baik saja kan?" kata Mama."Baik, Ma, cuma butuh refreshing," jawab Selena."Ayo, masuk!"Rumah mama tidak seperti rumah papa dahulu. Rumahnya tidak terlalu besar, tetapi nyaman dan bersih. Banyak pepohonan di pekarangan, menjadikan rumah mungil itu begitu asri dan segar."Kamu masuk saja dulu, Mama sudah siapkan kamar, jadi masukkan koper kamu ke dalam," kata mama sambil membuka pintu rumah"Terima kasih, Ma. Tapi, aku sudah pesan hotel di dekat sini, lagipula Selena tidak mau mengganggu kehidupan Mama.""Hah? Ganggu apa? Hotelnya
Setelah suasananya tenang, maka Mama dan Selena dapat bercanda layaknya ibu dan anak. Teh yang disiapkan mama pun sudah habis diminum akibat dari banyaknya pembicaraan yang hilang selama bertahun-tahun. Selena menceritakan bagaimana hari pertamanya bersekolah di Amerika, semua teman-teman hingga pengalamannya pacaran dengan beberapa orang. Mama pun bercerita tantang masa mudanya yang sedikit tomboi, berkalahi dengan beberapa pria, hingga cerita ketika Mama membantu papanya mencari pencuri uang pabrik layaknya seorang detektif. Pada akhirnya Mama mulai menanyakan alasan Selena ke Bandung hari ini." Jadi, sesungguhnya kamu ke Bandung mau bicara tentang apa?""Hah? Ga kok ma, Selena cuma...cuma mau ngobrol biasa saja sama mama," jawab Selena pura-pura tidak tahu.Tiba-tiba wajah Selena menjadi merah, dan Mama mulai menangkap apa yang kira-kira akan dibicarakan anak perempuan satu-satunya itu."Sepertinya mama bisa nebak nih, masalah Raymond, ya?" tanya Mama.Selena pun terdiam, dia tidak
Ini adalah saat yang paling ditunggu sekaligus ditakuti oleh Raymond. Pesawat yang akan membawanya ke Jakarta ini, juga akan membawanya menuju kenyataan kehidupan percintaanya. Raymond sangat berharap Selena dapat menerimanya, tetapi pikirannya cukup ragu untuk mengamini kejadian itu akan terjadi. Apakah Selena akan memilihnya? Atau..., Raymond tidak dapat membayangkan seperti apakah dirinya jika Selena menolaknya.Pesawat akan terbang dari Banjarmasin menuju Jakarta dalam 1 jam 45 menit, tetapi sepertinya Raymond sedikit mengharapkan kalau pesawat itu terbang lebih lama lagi."Bro, lo kenapa sih? Kaya orang yang baru pertama kali naik pesawat?" tanya Arya."Ga apa-apa, perasaan lo aja kali?""Itu tangan kenceng banget megangin sandaran kursi, Ya elah, biasa aja kali."Raymond segera melepas genggaman tangannya. Raymond tidak ingin terlihat seperti ada masalah."Udah, ga usah pura-pura, lo bengong melulu seminggu ini, shooting ga konsen, dialog lupa melulu, bahkan lo sampe jatoh kecemp
Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Dalam sekejap mata, satu minggu sudah lewat begitu saja. Kini hanya tinggal jalan antara bandara dan apartemen yang memisahkan Raymond dengan Selena. Jalanan Jakarta yang biasanya macet, kini cukup lancar dan nyaris tidak ada hambatan. Tak lama berselang, Raymond sudah dapat melihat gedung apartemen Selena dari dalam kendaraannya."Terima kasih, Pak," kata Raymond sambil memberikan uang jasa kepada supir taxi yang ditumpanginya.Setelah berada di gedung itu, langkahnya terasa semakin berat. Apa yang harus dilakukan jika Selena menolak cintanya? Apa sebaiknya dia mencoba untuk berteman dengan Selena tanpa ada perasaan apa-apa? Mana mungkin dia bisa berteman dengan orang yang akan selalu dicintainya selama bertahun-tahun? Bagaimana dia bisa melihat Selena menikah dengan orang lain selain dirinya?"Naif...naif....Raymond kamu terlalu nekat melamar Selena minggu lalu, apa yang kamu pikirkan?" ujar kata hatinya yang dipenuhi rasa penyesalan."Halo Ma
Selena sudah membuat keputusan yang cukup berat dalam hidupnya. Hanya saja dia sedikit ragu jika Dimitri mampu menerima keputusannya itu. "Pasti, dia akan marah atau berbuat ulah," pikir Selena. Akan tetapi, sebesar apapun masalah yang akan dibuatnya, Selena tetap yakin akan pilihannya. Walaupun di dalam hatinya, Selena sedikit meragu dengan keputusannya itu."Siapa yang bisa kau bahagiakan?"Suara mama terngiang-ngiang di kepala Selena. Selena tidak yakin 100% , tetapi ia yakin kalau dirinya mampu membahagiakan Raymond. Pria dengan tingkat kebahagiaan yg tidak begitu rumit.Selena tidak sanggup melanjutkan hubungan bersama Dimitri. Karena jujur saja, walaupun ia berpacaran dengan Dimitri, Selena sangat yakin kalau dia tidak akan sanggup mencintainya. Berbeda dengan Raymond. Walaupun tidak terlalu yakin, tetapi Selena tidak ingin kehilangan pria yang telah mengisi hidupnya selama beberapa bulan ini .Jadi pada siang ini, sebelum Selena memberikan jawaban pada Raymond malam nanti, Selen
"Mon, Mon.....," teriak Pak Wahyu sambil terburu-buru berlari, masuk ke dalam ruangan Wildlife Adventure."Ya, Pak? Ada apa?" jawab Raymond bingung.Nafas Pak Wahyu terengah-engah, tangannya memegang dadanya seperti menahan jantungnya yang hampir copot dan keluar dari dadanya."Pak, Bapak, ga apa-apa?" tanya Raymond mengkhawatirkan kondisi Pak Wahyu."Ga pa-pa, Mon. Sebentar ya, ngumpulin nafas dulu."Raymond segera mengambilkan segelas air putih dan memberikannya kepada Pak Wahyu."Ada masalah apa, Pak? Bapak membuat saya khawatir."Pak Wahyu memegang bahu Raymond, dan tersenyum lebar."Mon, barusan rapat produser, lo percaya ga? Di 2 episode kemarin, ratting and share acara kita tinggi. Apalagi episode minggu lalu, rattingnya paling tinggi di antara seluruh episode-episode Wildlife Adventure. Ahahahaha, itu ibu Popi, produser B blog sampai bengong lihat pencapaian kita. Ide kamu berhasil, Mon. Yes, Yes!" jawab Pak Wahyu sambil mengepalkan tangannya senang."O, Ya?" tanya Raymond s
Selena kembali masuk ke dalam kantornya untuk mengambil helm dan tasnya. Segera semuanya siap, Selena segera menggandeng Raymond menuju lift yang akan membawa mereka ke pintu depan kantor In One TV. Hati Selena cukup gembira karena minggu ini Raymond tidak pergi bekerja ke daerah, akan tetapi sesungguhnya kesibukkannya sendiri yang membuat Selena tidak dapat sering-sering menemui Raymond.Sesungguhnya ia takut Raymond marah dan mengomel dengan kegiatannya yang super padat dan banyak, tetapi lelaki itu cukup sabar dan penuh pengertian. Jika Selena terlalu sibuk, Raymond selalu mengirimkan makanan dan itulah yang membuat Selena bersyukur memiliki kekasih seperti Raymond."Kamu tunggu di sini, aku ambil motor dulu," kata Raymond sambil berlari ke arah parkiran motor.Selena tersenyum dan mengangguk. Siang ini memang cukup panas, matahari terik, apalagi sudah lama tidak turun hujan. Hampir saja Selena menyesali pilihannya. "Hahaha, seharusnya aku tidak memaksa untuk naik motor hari ini,"p
Tidak ada yang menyangka, acara makan siang yang awalnya begitu menyenangkan, kini berbuah menjadi sebuah musibah. Sungguh siang hari yang santai bagi Raymond dan Selena, dimana mereka bisa menikmati makan siang dan berbincang berdua, berubah menjadi horror ketika semua orang di dalam Mall memperhatikan mereka seperti seorang narapidana. Belum lagi beberapa jepretan kamera handphone yang mengabadikan kebersamaan mereka secara diam-diam."Ini ada apa sih?" bisik Selena bingung."Aku juga ga tau, kenapa ya mereka pada ngeliatin kita begitu, ga biasanya," jawab Raymond yang juga merasa kebingungan seperti Selena."Emang, ada yang aneh di muka aku?" tanya Selena kembali."Ga, Sayang," kata Raymond melanjutkan. "Kamu cantik, atau jangan-jangan mereka ngliatin kamu gara-gara kamu terlalu cantik.""Harus, ya?""Harus apa?""Ngegombal di saat seperi ini?""Beda tahu, kalau gombal itu memuji secara berlebihan, tapi kalau untuk kasus kamu, ini betulan. Cantik, pinter lagi, pacar aku, hahaha."Ra
Andrea menaruh dagunya tepat pada topangan tangannya. Sambil memandangi bulan yang bersinar indah, pikirannya melayang-layang entah kemana. Diambilnya kedua amplop yang berada di atas meja belajarnya. Sebuah amplop coklat berisi panggilan test beasiswa yang akan menjadi masa depannya, dan satu amplop lagi yang sudah berisi surat pengunduran dirinya yang akan diberikannya pada Daniel esok hari. "Mungkin memang sudah jalannya, ini yang terbaik, Andrea, yang terbaik," bisik Andrea untuk menghibur dirinya sendiri. Sesungguhnya Andrea ingin keluar saat semuanya selesai, tetapi perkataan Daniel tadi siang membuatnya sadar. Seberapa lamanya Andrea berada di sisi Daniel untuk membantunya, pada akhirnya ia memang harus meninggalkannya. Saat ini, atau nanti, tidak menjadi masalah. "Tok..., tok...,tok...," pintu kamar Andrea berbunyi. "Masuk," kata Andrea mempersilahkan bapak untuk masuk kamarnya. "Dea, Bapak bikinin teh hangat untuk kamu," kata Bapak sambil menaruh segelas teh di atas meja
Tanganku mulai merogoh ke dalam saku jas, mencari benda yang dengan susah payah kudapatkan hari ini. Aku tahu, pengumumannya sudah keluar dan kami kalah. Agak berat untuk diterima, tapi, sama seperti apa kukatakan sebelumnya... aku tidak peduli. Aku sudah berusaha dan tetap akan berusaha lebih keras lagi. Bagaimanapun juga, aku akan mencari cara agar kita berdua dapat keluar dari jeratan Madam Devil. Aku tahu, perjuanganku masih sangat panjang. Tapi saat ini, ada hal penting yang harus kulakukan. Dan aku tidak mau menundanya lebih lama. Ok, Steven! Sekarang, kamu tinggal mengatakannya. Sandra Bayu Hutama, maukah engkau menikah denganku? Mudah bukan? Tapi...tunggu! Apa cukup jika hanya denga kata-kata seperti itu saja? Apa aku harus menambahkan sedikit kata-kata yang lebih poetic agar peristiwa ini lebih berkesan? Sandra, o sayangku...? Hiiiii, kenapa itu terdengar menjijikan, kurang manly, dan... oh Shit!! Komohon, otak... jangan malas! Ayo bantu aku! Apa yang harus kukatakan padanya?
"Andrea, gue udah nungguin lo dari tadi, eh.., baru nongol sekarang," kata Pak Mamat divisi ME di rumah sakit ini. "Sorry Pak, tadi pagi bu Novi sudah ngabarin, cuma saya aja yang kelupaan," jawab Andrea sambil mengatupkan kedua tangannya sebagai tanda permintaan maaf. "Ya udah, nih, barang lo udah gue benerin. Cek dulu aja!" kata Pak Mamat sambil memberikan sebuah raket listrik alat penangkap nyamuk pada Andrea. Andrea segera mencari nyamuk kecil yang sudah sejak tadi berdenging di telinganya. Diayunkannya raket itu dan dengan seketika, suara keras dan kilatan listrik muncul dari alat tersebut. "TEK!" bunyi keras muncul ketika alat itu mengenai seekor serangga. "Tuh, udah bagus kan? Gue bilang juga apa," kata Pak Mamat begitu melihat alat itu sudah kembali berfungsi dengan baik. "Makasih Pak. Ng..., saya harus bayar berapa untuk biaya perbaikannya?" tanya Andrea. "Ah, Ga usah, raket lo sih masih bagus, cuma baterenya aja yang melendung. Pas kemaren ada tetangga yang raket nya
Baru satu jam ia resmi bekerja dengan Daniel, Andrea mulai menyesali keputusannya. Baru saja ia memberikan surat pengunduran diri pada Bu Novi, Daniel sudah menyeretnya pergi tanpa memberikannya waktu untuk mengucapkan selamat tinggal kepada rekan-rekan lainnya. Andrea masih tidak enak hati melihat kegundahan di hati bu Novi, sepertinya perempuan malang itu akan menerima banyak komplain hari ini karena pengunduran diri Andrea yang serba tiba-tiba. Untung saja, foto bersama Daniel Leo, cukup dapat menghibur hati Bu Novi di hari buruknya ini.Dan sialnya, bagi Andrea, kejadian buruk di hari ini masih akan terus berlangsung. Melihat Daniel berjalan keluar rumah sakit, beberapa fans dan wartawan sudah menunggunya di koridor luar rumah sakit."Daniel!!!" teriak mereka memanggil nama idola mereka.Melihat kerumunan banyak orang, Andrea merasa begitu tidak nyaman. Ia ingat terakhir kali ia betemu dengan fans-fans Daniel, kejadian yang berakhir dengan perundungan menyebalkan. Setelah beberapa
" dalam kepalaku, aku tidak akan pernah membuatnya menghentikan langkahku. Tidak hari ini, tidak juga nanti. "Selamat sore, hadirin yang terhormat, salam sejahtera bagi kita semua," salamku untuk memulai presentasi hari ini. "Sttt... ga salah ya? Speaker personnya Ruanna masih muda banget!" "Iya, padahal aku berharap Anna Gunadi sendiri yang akan presentasi hari ini. Aku sudah menunggu penampilannya." "Yah, padahal kukira Anna Gunadi sendiri yang akan presentasi mewakili bironya. Tahunya orang lain. Aneh, mengapa mereka mempercayakan presentasi penting seperti ini pada anak kecil itu? " "Atau mungkin mereka sudah pasrah... Tapi masa sih? Sekelas Anna Gunadi pasrah begitu saja? Tapi, aku ngerti sih, kalau mereka takut dengan Architext." Aku mendengar banyak bisikan ketika mereka melihatku berdiri di tengah panggung. Aku tidak tersinggung. Benar-benar tidak tersinggung. Hahaha... memang tidak perlu tersinggung jika mereka memanggilku dengan sebutan anak kecil atau anak baru. Toh, a
Dug... dug... Dug... dug... Dug... dug... "Waaaa... plok...plok… plok..." Dug... dug... Dug... dug... , ok? Setelah membereskan ruangan ini dan membangunkan 'kucing' malas itu," katanya sambil memandang Cat. "Ok!" kataku sambil berjalan keluar mengikuti panitia. "Hei Sandra, break a leg!" sahut Steven sebelum aku meninggalkan ruangan. Hahaha, Sialan... apa dia berharap aku naik panggung untuk menyanyi atau menari balet? Dia tidak perlu mengucapkan mantra sukses pemeran broadway sebelum mereka tampil. Tapi untuk humornya yang super random dan menghibur, kuucapkan sedikit terima kasih. Sedikit saja... ga banyak-banyak. Aku berjalan menuju ke belakang panggung. Yang ternyata hanya berjarak sekitar 10 meter dari ruangan kami bekerja. Tidak jauh, dan kuharap, Steven bisa langsung menyusulku kemari jika aku membutuhkan bantuannya. "t right now!"
"It's not her fault...!" kataku untuk menurunkan tensi di ruangan ini. "It Is NOT her fault?" tanya Steven seolah-olah tidak percaya dengan perkataanku. Kini matanya beralih padaku, ia memandangku begitu tajam. Ok, kini amarahnya juga berpaling padaku. "Sandra! Kumohon, jangan belain dia lagi. Sejak awal, kalau kamu mendengarkanku..., kalau kamu tidak memasukkan dia dalam team ini, maka semua kejadian ini tidak akan terjadi!" "Kamu benar, aku setuju," kataku sambil memandangi Cat. Berharap kemarahan Steven beralih padaku. Berharap, jika ia melupakan anak itu sebagai luapan emosinya. "Ya, kuakui ini salahku! Silahkan marah padaku! Aku akan menerima semua amarahmu. Tapi..., tidak sekarang, ok? Karena daripada kita menghabiskan waktu untuk marah, untuk berkelahi dan menyalahkan satu sama lain, bisakah kita memikirkan, rencana apa yang harus dilakukan kedepan?" "ak pada kita. Mereka tidak akan mentolerir kasus plagiarisme. Mereka sudah menyelidiki desain yang dikumpulkan Tyo. Jo sebelum
"kata seorang karyawan yang sedang merapihkan barang pajangan di etalase depan. "Iya,Kuakui, aku memang tidak berencana melamarnya hari ini. Sejak lama aku berpikir tentang hubungan kami, dan segala hal yang terjadi di antara kami berdua. Betapa dia begitu berbeda dengan perempuan-perempuan lain yang pernah mengisi hidupku. Seorang di luar akal sehat. Dia tulus, dan apa adanya, dia mengucapkan semua yang ada di hatinya. Dia tidak bisa berbohong, dan yang paling penting, dia wanita bodoh yang tidak pernah meninggalkanku. Siapa yang dapat menduga, jika dia memutuskan untuk kembali, saat kupikir dia akan pergi meninggalkanku senidirian. Dia... dia tidak gentar dengan besarnya masalahku, dia tidak mengatakan apapun tentang dendamku. Dia tidak memintaku untuk memilih antara dirinya atau ambisiku. Dia selalu berdiri di sampingku, menemaniku, bahkan saat aku membenci diriku sendiri, saat aku kesepian. Saat tidak ada satupun yang sanggup bersamaku, wanita cantik itu tidak meninggalkanku sen
""Jam tiga lebih empat puluh lima menit. Ok I get it. Oh, satu lagi... Architext, mereka dapat urutan berapa? Kurasa akan sangat menarik untuk melihat presentasi mereka lebih dahulu. Kita bisa mengambil apa yang baik, lalu bisa membuat strategi untuk melawan mereka." "an mereka?" "Sepertinya begitu," jawabku pasrah. " Hahaha... ya sudahlah..., nanti kita lihat lagi situasinya seperti apa." "Ok, Steven." "Ng... Sandra! Sayang, ini masih pagi, belum jam sepuluh juga. Aku pergi beli sarapan sebentar. Kamu mau makan apa?" "Oh...," jawabku bingung. Sebenarnya aku sedikit mengharapkan Steven untuk kembali ke sini secepatya. Aku tidak peduli betapa laparnya diriku, aku hanya ingin dia menemaniku. Tapi..., biasakah aku memintanya untuk selalu ada di sisiku? Bisakah aku bertindak begitu egois? Walaupun hanya untuk hari ini saja, karena ini hari yang penting untukku, tapi.... "Sayang...? Sandra sayang? Aku beneran lapar," lanjut Steven. "Kamu tidak keberatan jika aku pergi makan sebentar