Di ruangan besar itu, semua mata memandang Selena. Bukan bak Cinderella yang paling cantik di istana raja, tapi karena bajunya yang super berlebihan untuk acara yang cukup santai. Untung saja beberapa rekan sesama pembaca berita mulai menghampiri dan mengajak Selena berbincang-bincang. Jika tidak, Selena akan menjadi badut lucu di tengah ruang besar itu. Hingga tidak selang beberapa lama, Rahayu datang menghampiri."Mbak, dari tadi Ayu teleponin, ga di angkat.""Sorry, Yu. HP aku ketinggalan di kantor. Tadi buru-buru ke sini, jadi kelupaan.""Mbak Selena di panggil Pak Elio, suruh gabung ke meja makan khusus keluarga dan para eksekutif, di depan sebelah panggung.""Oh, baiklah," jawab Selena sambil berjalan menuju meja VIP.Betapa jelas perbedaan sudut ruangan ini. Meja para eksekutif di sudut kanan tampak begitu mewah dengan rangkaian bunga dan orang-orang berpakaian formal, sedangkan di bagian lain, berisi karyawan In One TV yang semi formal dan hanya memakai baju rapih dan seragam.
Sejak pagi itu, Raymond sudah yakin dengan keputusannya. Ia tahu, Selena mencintainya, dan dia tidak akan menunda rencananya lebih lama lagi. Sejak bulan lalu, Raymond telah membeli sebuah cincin untuk melamar Selena kembali, hanya saja ia selalu menunda untuk menunggu waktu yang tepat. Waktu dimana Selena tidak akan bisa menolak pinangannya. Dan sejak ciuman pagi itu, Raymond yakin, kali ini, Selena tidak akan menolaknya.Kali ini Raymond sudah merencanakan semuanya, makan malam romantis di tempat yang istimewa, dengan bungan dan musik-musik cinta yang indah. Semua surprise yang disiapkannya sudah sangat sempurna. Raymond tidak sabar untuk segera sampai di Jakarta.Setelah pesawat yang membawa seluruh kru W life mendarat di Jakarta, semuanya segera bergegas untuk kembali ke kantor, sama seperti biasanya. Akan tetapi betapa kagetnya mereka ketika sampai di kantor In One TV, gedung sibuk itu tampak begitu sepi, tidak seperti hari-hari biasanya yang penuh hiruk pikuk layaknya tempat umum
Selena mendapatkan julukan baru di hari ini. "Snow queen", sang ratu berhati beku yang tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Demikianlah semua tatapan orang-orang terdekatnya begitu menghakiminya, Mas Arya, Pak Wahyu, bahkan juga Rahayu. Selena tahu dia melakukan kesalahan besar hanya dengan sebuah anggukan kepala. Dan kini ia terjebak dengan Keluarga Soedibrata beserta seluruh rangkaian acara yang telah mereka rencanakan.Selena sempat mengambil handphonenya yang sempat tertinggal di kantor, dan kini hampir setiap detik dia menunggu kabar tentang keberadaan Raymond. Selena sudah mencoba menghubungi telepon Raymond berulang-ulang kali, hanya saja mungkin Raymond terlalu marah hingga tidak menjawab semua panggilannya."Gimana? Calon Nyonya Soedibrata? Today is your happy day, right?" kata Dimitri yang sejak acara siang tadi bertingkah seperti badut yang selalu berada disisi Selena.Selena hanya tersenyum sinis. "Oh, jangan senang dulu, malam masih sangat panjang, we'll see, we wi
"Halo, Ayu? Sudah ada kabar?""Belum, Mbak.""Oh, kalau begitu, boleh tahu Mas Arya uda cari ke mana aja?" tanya Selena yang menelepon Rahayu dalam perjalanan pulang ke apartemennya."Kata Mas Arya, dia sudah cari ke tempat mereka suka jalan, Mbak. Di Mess tenpat tinggal Mar Ray juga ga ada, Mas Arya juga sempat hubungin satpam di Mess, nanti kalau Mas Ray pulang, satpamnya akan segera kabarin. Tapi sampai saat ini juga belum ada kabar. Anak-anak juga sempet nyariin ke tempat-tempat umum tapi ga ketemu juga.""Ok, Yu, terima kasih.""Mbak Selena kenapa sih?" balas Ayu dengan perasaan kecewa."Kenapa gimana?""Ya gitu deh, Mbak Selena sudah mainin perasaan banyak orang.""Yu, saya ngaku saya salah. Tapi untuk masalah siang ini, saya juga punya alasan sendiri. Yu, untuk malam ini aja, jangan ngomongin ini lagi, please,"Mendengar suara Selena yang terdengar lelah dan sedih, Rahayu terdiam sebentar. Rahayu sangat kecewa dengan kelakuan Selena tadi siang, tetapi Rahayu lupa, kalau kejadian
Selena tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Kedua tangannya menutupi mulutnya dan matanya mulai berlinang air mata. Sejak genggaman tangannya menurunkan tuas pintu di hadapannya, pemandangan inilah yang yang paling ditakutinya. Di dalam hatinya, Selena tahu, apa yang dilihatnya adalah akibat dari perbuatannya. Tetapi tetap saja apa yang dihadapannya ini sangat menyakitkan hatinya. Selena menarik nafas dalam-dalam, memejamkan matanya, membalikkan badannya dan beranjak pergi."Selena?" panggil Sonia yang tanpa sengaja terbangun karena kehadiran Selena.Selena menoleh, dan menatap Sonia. Ketika mata kedua perempuan itu saling bertemu pandang, Sonia menyadari, ia telah melakukan kesalahan yang cukup besar. Selena kembali membalikkan badannya, membuka pintu depan, dan segera berlari keluar."Selena, Tunggu!" teriak Sonia untuk mencegah Selena pergi. Jika bukan karena badannya yang tidak tertutup sehelai benangpun, Sonia pasti sudah berlari dan menghalangi Selena untuk pergi.
Sudah 2 hari berlalu sejak Selena tidak muncul di kantor. Semua pekerjaannya menumpuk di meja tanpa ada kabar akan kehadirannya. "Yu, Selena masuk ga hari ini?" tanya Pak Dimas. "Ayu ga tau, Pak." "Aneh, sejak di lamar Bos Kecil kok dia malah ngilang gitu, apa udah siap-siap jadi ibu rumah tangga ya?" "Ih, Pak Dimas kok mikir begitu. Lagipula Mbak Selena bukan tipe orang kaya gitu," jawab Rahayu. "Dia sih workaholic, tapi coba dipikir deh, Yu. Kalau uda dapet orang kaya kan, memang ga usah kerja." "Ehm,ehm...." Pak Dimas menoleh mencari arah suara dehaman tersebut. "Hai Selena!" sapa pak Dimas pada Selena yang tidak sengaja mendengar pembicaraannya dari belakang. Selena hanya menatap Pak Dimas dengan sinis. "Rahayu, temui saya di kantor," kata Selena yang langsung berjalan menuju kantor pribadinya. "Permisi, pak," pamit Rahayu. Rahayu segera berjalan mengikuti Selena ke kantor pribadinya. Sesungguhnya Rahayu sudah tahu kalau Selena berdiri di belakang Pak Dimas cukup lama,
"Mon? Lo uda siap?" tanya Arya yang sedang menyiapkan kameranya sejak tadi."Udah dari tadi. Nungguin lo bersihin alat. Lo ga pernah bersihin kamera setiap kali kita pulang, dan lo selalu bersihin mepet-mepet pas kita mau pergi," keluh Raymond yang sudah menunggu dari tadi."Hahaha, abis kalau pulang dari hutan, bawaanya pingin istirahat. Cape, Nyet. Elo sendiri begitu sampe Jakarta juga ga pernah bantuin gue.""Jangan salahin gue. Gue mau aja bantuin lo, tapi dari dulu, lo paling anti kalau ada orang yang pegang peralatan lo, jadi jangan salahin gue," jawab Raymond sambil menyalakan rokok yang dari tadi sudah digigitnya."Eh, temen lama lo balik lagi?" tanya Arya sambil menunjuk rokok di ujung bibir Raymond."Daripada gue gila, lagian ini kan temen lo juga," jawab Raymond."Gue uda berenti sih, uda dua bulan, off sama sekali. Tapi, pagi ini gue temenin deh, bagi," jawab Arya sambil meminta sebatang rokok dari Raymond."Enak aja, ga boleh. Lo masih punya masa depan, ga kaya gue," jawab
Selena tidak dapat melupakan apa yang dikatakan Pak Wahyu tadi siang. Kakinya telah melangkah pergi, tetapi pikirannya tidak beranjak dari kedai kopi tempat mereka berbincang. Sejak siang hari hingga sore ini Selena sudah berusaha memusatkan seluruh konsentrasi pikirannya hanya untuk pekerjaan, tetapi otakknya selalu bergumam memikirkan sebuah kata, "kepastian". Ucapan Pak Wahyu memang ada benarnya. Selena memang tidak dapat menggantungkan begitu saja hubungannya dengan Raymond. Dipandanginya cincin yang masih tersemat di jari manisnya. Sudah hampir 6 bulan cicin itu melingkar di jarinya dan hampir tidak pernah dilepaskannya. Sekarang? Dengan situasi seperti ini? Siapkah Selena untuk melepaskannya? Selena mengingat kembali semua yang terjadi di hotel itu. Kekecewaan yang kembali datang seiring dengan kembalinya memori kejadian di malam itu. Sudah seminggu Selena berhasil kabur dari kenyataan, kenyataan kalau dia harus memberikan sebuah kepastian. Tetapi mau tidak mau, perkataan Pak