"Kesalahanmu tidak bisa dimaafkan. Aku lebih baik menjadi janda sampai mati, dari pada harus balik sama laki-laki rendahan sepertimu!"Rudi diam terpaku, sorot mata Rissa yang begitu tajam mengisyaratkan luka yang begitu dalam. Membuat hatinya hancur, dengan seribu penyesalan."Ma-af," gumaman hanya bisa didengar sendiri olehnya, suara bagai tercekat ditenggorokan.Teringat pengkhianatannya, Rudi sadar, kesalahannya memang benar-benar sangat fatal.Andai, Rudi tidak tergoda oleh nikmat sesaat.Andai dia bisa menahan diri ....Andai waktu dapat berputar kembali.Tentu saja Rudi tidak akan pernah menyakiti, perasaan Rissa.Namun semua sudah terjadi. Kehancuran yang kini menimpa, membuat Rudi sangat menyesal dengan segala keterpurukan.Hati begitu nelangsa, kenangan Indah yang pernah tercipta menari-nari di kepala.Keluarga yang begitu penuh keceriaan dan ketenangan. Membuat tubuh itu bergetar, menahan tangis yang ingin meledak.Rudi kalah, dia mengaku salah, namun tentu saja semua sudah
"Saya duluan ..." Bagas menekan klakson, melambaikan tangan kearah, Rissa."Oke, hati-hati ya." jawab Rissa dengan senyum cerah. Bagas mengangguk, menghidupkan mesin mobil lalu melajukannya.Samar, terlihat semu di pipi, Bagas."Huuft ..." Bagas melepas nafas panjang, entah mengapa setiap kali Rissa menatapnya lekat, debaran di dalam dada seolah tidak terkendali.Rissa tersenyum senang, dipandangnya dengan lega surat dari pengadilan Agama dengan hati haru yang membuncah."Alhamdulillah ..." ucap Rissa penuh syukur dan perasaan begitu lapang.Rissa segera mengayunkan langkah, masuk kedalam mobil lalu menghidupkan mesin dan melajukannya menuju rumah.Tanpa diketahui, sepasang mata sayu tengah memperhatikan, Rissa dari jauh sejak tadi. Hatinya berkedut sakit, melepas cinta yang sudah dia koyak dengan keji."Semoga kamu bahagia, Mah ..." lirih Rudi dengan mata merah berkaca-kaca. Hatinya benar-benar sakit, melihat Rissa yang terlihat senang saat menerima keputusan dari Hakim."Aku memang
"Loh, Ibu ikut?" Ika terpogoh-pogoh keluar pagar sambil menggendong, Bayu."Iya. Ibu mau lihat sendiri. Lembur kemana, Bapakmu selama ini." tegas Hanum.Wisnu dan Ika saling berpandangan, gurat kecemasan terpancar jelas diwajah Ika."Tapi, Buk--""Ayok cepat. Nanti kehilangan jejak!" titah Hanum, tidak memperdulikan, Ika."I-bu yakin?" tanya Wisnu ragu."Kurang yakin gimana?" mata Hanum melotot."Oh i-ya, Buk." jawab Wisnu cepat."Dek, tolong ambilkan helm." titah Wisnu pada istrinya. Ika berdecak, wajahnya sangat cemas."Cepat, Ka. Lama banget!" timpal Hanum, tak sabar."Iya." jawab Ika lemas, lalu melangkah menuju rak sepatu yang beralih fungsi menjadi tempat penyimpanan helm."Hati-hati, Mas." ujar Ika seraya menyerahkan helm pada, Ibunya."Ayok, Nu. Jangan sampai lolos!" titah Hanum sambil memakai helm."Sudah siap, Buk?" "Sudah!" jawab Hanum.Ika menganggukkan kepala, Wisnu pun melajukan kendaraan dengan hati tak menentu."Tuh, kan. Hilang?" gerutu Hanum dengan mata awas, mencar
Mendengar suara keributan, dan jerit tangis dari luar, membuat Jaya memakai pakaiannya dengan cepat.Namun belum beres, Jaya memakai celananya pintu kamar sudah terbuka dengan lebar."I--bu ..." lirih Jaya dengan nafas tersenggal dan mata terbelalak."SETTTAAAANNN!!" jerit, Hanum begitu histeris. Melihat sang suami hanya menggunakan kaus oblong juga celana kolor di dalam kamar.Seperti ada ribuan pedang yang menghunus jantung, rasanya begitu sakit hingga meluluh lantakan seluruh jiwa."Buk, tenang, Buk. Tenang ..." Jaya mencoba bernegoisasi. Ketar-ketir, khawatir istrinya berbuat nekat."Kurang ajar kamu, Pak! Binatang!!" Hanum berhamburan menuju, Jaya, memukuli tubuh gemuk suaminya dengan seluruh kekuatan membab1 buta.Bugh ... bugh!"Tenang, Buk, tenang!" Jaya kembali bersuara, membuat Hanum semakin kesetanan."Iblis, koe, Pak. Kelakuanmu percis binatang!" gelegar, Hanum, kedua tangannya terangkat, meraih leher Jaya, menancapkan kuku dengan sangat kencang."Aduh! Sakit, Buk. Jangan
"Ayok, Nu! Kita pergi. Bantu Ibu melempar baju bandot itu ke jalanan!" ujar Hanum tegas, lalu melangkah pergi.Para tetangga yang melihat menatap prihatin, setelah Hanum dan Wisnu keluar dari rumah. Kini tatapan jijik mengarah pada, Hella."Mbak Hella--" Nining membuka suara.Sebelum mendengar omongan buruk, gegas Hella berjalan menunduk memasuki kamar belakang, tanpa peduli dengan tatapan yang masih menghujaninya dengan penuh benci dan tanda tanya."Sssuuttt, berisik ya, Dek." ujar Hella sambil menenangkan anaknya. Hamdan masih menangis menjerit-jerit, sebab terlalu lama didiamkan.Hella menarik nafas, sudut bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah berdenyut perih saat dia mengeluarkan suara.Hati gelisah, merasa rumah yang tadinya aman tentram kini porak-poranda akibat ulah, Hanum.Padahal, Hella sudah sangat nyaman dengan kehidupannya saat ini. Selain Jaya yang selalu memenuhi segala ke inginannya, para tetangga dilingkungan ini sangat ramah dan baik padanya.Tapi saat ini, para te
Ika menatap sedih, pandangannya tertuju pada Hanum yang diam mematung di depan televisi.Televisi dibiarkan menyala, namun Hanum bergeming dengan pandangan kosong. Sudah lima hari, Jaya tidak kembali pulang. Lima hari pula di habiskan, Hanum dengan merenung sendirian.Hanum seperti orang linglung, hanya diam, bahkan saat di ajak bicara sekali pun.Di atas meja, terlihat sarapan yang di sediakan Ika masih utuh tidak tersentuh."Pulang, Mbak. Kasihan, Ibu ..." lirih Ika dengan suara sendu di sambungan telepon."Ibu kenapa?" tanya suara perempuan di balik telepon dengan cemas."Ibu sakit. Pulang, Mbak ..." jawab Ika sesegukan."Mbak tidak bisa janji--""Jangan bilang tidak ada ongkos, apa harus menunggu Ibu mati dulu, baru Mbak Vira mau pulang kerumah?" jerit Ika tak sabar.Vira tercenung, hati dan matanya terasa panas mendengar ucapan, Adiknya."Iya, Mbak pulang." lirih Vira, sambil menutup sambungan.Ika memejamkan mata, di rapalnya beberapa kalimat Tuhan, untuk menenangkan sekaligus m
"Ayok, Buk. Kok malah melamun." ujar Wisnu sambil melepas helm."I-ya." jawab Hanum gugup.Entah mengapa, mata dan hatinya sudah terasa panas. Padahal, Hanum belum bertemu dengan, Rudi."Ayok ..," Wisnu memberi jalan agar, Hanum lebih dulu didepannya. Hanum mengangguk, menegakkan badan, lalu berjalan pasti memasuki kantor Polisi."Tunggu disini, Buk." titah Wisnu sambil melangkah mendahului menuju meja Polisi. Hanum sudah tidak tenang, berkali dia mengatur nafas untuk menghalau kegugupan."Ayok," ajak Wisnu seraya memasuki ruang khusus menjenguk para tahanan."Ibu duduk saja," ujar Wisnu. Hanum hanya manut, duduk dengan tegang menunggu, Rudi."Ibu ..." suara Rudi terdengar, Hanum langsung menoleh, rasa haru langsung menyeruak saat melihat anak lelaki satu-satunya berjalan mendekat."Ru--" suara Hanum tercekat di tenggorokan. "A--lloh ..." bulir bening berlomba-lomba keluar dari sudut matanya."Ibu ..." Rudi langsung menubruk dinding kaca yang menjadi penghalang untuk memeluk Ibunya."
Sementara, Rudi hanya mematung. Dunia nya kembali runtuh dalam sekejap."Ru--di ..." lirih suara, Hanum. Entah kapan dia terbangun. Melihat wajah anak lelakinya begitu pias, membuatnya mengerti tentang apa yang sudah terjadi."Ru--di ..," lagi, Hanum memanggil. Air mata kembali berderai. Hanum terlihat sangat-sangat lemah dan menyedihkan."Buk ..." parau suara, Rudi. Hati begitu perih melihat kondisi, Ibunya."Ba-pak mu." isak Hanum, memegangi dada. Hanum bahkan tidak bisa menggerakkan tubuh saking lemahnya.Rudi tergugu pilu, memegangi tangan Hanum. Tubuhnya bergetar hebat, menyesali segala kebodohannya."Ma-af, Ibu maaf ... ini semua salah, Rudi." cicit Rudi dengan air mata berderai."Hu ... hu. Jalang itu menggoda, Bapakmu, Rud. Huhu." Hanum meracau dengan perasaan begitu kacau."Bapak mu gila, Rud ... huhu.""Jalang itu ... huhu, jalang itu ...."Rudi memeluk tubuh ringkih, Hanum. Dadanya begitu sakit, melihat Hanum yang sangat kepayahan.Rudi sadar diri, dia tidak bisa melakukan
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.