Tubuhku semakin lemas, saat sedang mandi membersihkan badan tubuhku langsung ambruk dengan pandangan yang semakin gelap.***Ofd.Mata terbuka pelan, tempat asing berwarna putih dengan aroma obat menguar diindra penciuman. Kepala berdenyut ngilu, ditanganku sudah terpasang selang infusan.Mwngejrapkan mata berulang kali, tak ada siapapun disini, aku ada dimana? Mengapa aku bisa ada ditempat ini?Beragam pertanyaan menumpuk di kepala, membuat semakin pusing untuk sekedar menoleh kekini dan kanan. Kembali aku menutup mata meski telinga mendengar suara kecil yang ada di dalam ruangan.Tak lama suara pintu terbuka, kupaksa membuka mata meski berat. Samar aku melihat laki-laki berbadan tegap memasuki ruangan, ditemani dua orang perempuan berseragam senada."Pasien masih belum sadarkan diri ya?" tanya Dokter laki-laki yang masih muda dan terlihat tampan itu."Eh ... pasien sudah membuka matanya Dok?" suster berwajah imut menelisik wajahku. Aku tersenyum tipis, mengisyaratkan sudah sadar dari
Tatapannya kini beralih pada perempuan gila itu, bukannya segera menolong. Mas Mahesa hanya diam ditempat dengan tubuh seakan membeku."Mas ... kenapa diam! Usir perempuan gila ini," sentakku menyadarkannya."Eh ..." Mas Mahesa terlonjak mendengar suaraku."Mas!!""I-iya ..." aku mendicih sinis, kenapa Mas Mahesa seperti orang bodoh. Dia terlihat menggaruk tengkuk lehernya, menatap takut pada sosok preman didekatku.Perempuan gila itu tersenyum miring, menatap Mas Mahesa dengan dingin. Siapa sebenarnya perempuan ini, kenapa Mas Mahesa diam saja?Dengan susah payah aku bangkit, dan berjalan menuju Mas Mahesa."Telpon Polisi sekarang, Mas. Dia sudah menganiaya aku," titahku di balas dengan senyum kecut oleh Mas Mahesa."Mas ... iish," aku mengguncang lengannya."Telpon dong, Mahes ... jangan diam saja, sekalian bawa jendral kesini. Tanggung kalau cuma Polisi," ucap perempuan gila itu dengan senyum mengejek."Mah ..." liris, calon suamiku.Aku menautkan alis, Mas Mahesa nampak meneguk sa
Pov Diana.Selepas anak-anak pergi sekolah dan Mas Mahesa berangkat kerja, aku bergegas menuju garasi. Melajukan mobil dengan kecepatan sedang, tujuanku pergi kerumah Mamah mertua.Aku ingin mengeluhkan tentang sikap Mas Mahesa selama ini. Akan aku terima segala petuahnya, bagiku mertua adalah orangtuaku sendiri. Aku yakin mereka akan memberi nasihat yang bijak, seperti masalah sebelumnya."Hei ... kok datang tidak mengabarkan?" Mamah Hana tersenyuma manis, menyambut kedatanganku."Maaf Mah, tidak sempat. Mamah lagi sibuk?" Tanyaku setelah mencium tangan dan mencium kedua pipinya."Tidak juga, Mamah free hari ini," jawabnya sumringah. "Ayok masuk, kita ngobrol di dalam," ajaknya sambil mengamit lenganku.Aku dan Mamah memang cukup dekat, kami mempunyai hobi dan selera yang sama itulah yang menyebabkan kami menjadi lebih akrab."Si Tuti bikin pizza, cobain, Di." Mamah menyodorkan pizza dengan toping sosis dan daging dengan lelehan mozarela diatasnya."Gimana, Nyonya?" tanya Tuti, asist
"Ini siapa ya?" tanyanya."Saya Diana, benar ini dengan nomer Mbak Larissa?" jawabku tegas."Benar ...." sahutnya. Bibirku melengkung tipis, untuk beberapa detik aku terdiam. Memikirkan harus memulai pembicaraan dari mana."Maaf, Diana siapa ya?" suara Larissa terdengar."Eh iya Mbak, saya ... saya ada perlu dengan Mbak Larissa. Bisa kita bertemu?" aku menggigit bibir, mencerna kata-kataku sendiri."Bertemu? Apa sebelumnya kita pernah kenal?" tanyanya."Kita memang belum pernah kenal, tapi saya membutuhkan bantuan Mbak Larissa," jawabku."Butuh bantuan?" nadanya terdengar heran."Maaf saya sibuk.""Ini masalah, Hella," ucapku kemudian, sebelum Mbak Larissa memutuskan sambungan. Dia pasti berpikir, aku seorang penipu, yang butuh bantuan uang. Larissa terdiam, aku memeriksa gawai. Detik panggilan masih berjalan."Hella? Hella siapa?" tanyanya."Hella ... Perempuan yang sudah merusak keluarga Mbak," jawabku.Terdengar helaan nafas dari, Larissa."Maaf, saya tidak ada urusan dengan mereka
Perlu kamu ingat Mas, jika kita berpisah. Aku tidak akan membiarkan kalian hidup bahagia. Aku akan melakukan apapun, agar hidup kalian tersiksa bagai di neraka.Langkah terasa melayang, kujatuhkan tubuh diatas pembaringan luas ini. Meraba sprai dan bantal tempat istirahat Mas Mahesa, ada perih yang tidak bisa untuk dijabarkan.Nafasku sesak, air mata ini mengalir dengan deras. Berkali aku menghapus bulir yang keluar, namun semakin deras dia keluar. Aku biarkan dia mengalir, menyakinkan diri bahwa ini adalah air mata yang terakhir."Mih ... Mamih," suara Mas Mahesa masih terdengar diluar pintu. Aku menoleh, menatap nanar pintu yang mungkin dia bersandar dibaliknya.Sikap Mas Mahesa yang kian berubah, rasa sayang yang mulai terkikis. Membuat aku bertekad untuk mengakhiri segalanya, aku sudah berusaha untuk mempertahankan keluarga kecil ini. Namun apa artinya jika disatu sisi, Mas Mahesa malah menghancurkannya.Menyedihkan! Aku merasa terhina, dia lebih memilih gundiknya, dari pada aku y
Penglihatanku mengabur, perlahan mata tertutup dengan sendirinya. Kini bukan hanya suara Mas Mahesa yang menggema ditelinga, suara anak-anak pun terdengar meneriaki namaku.***Ofd.Pov Mahesa."Gimana ini, Mas? Kamu tidak akan meninggalkan aku, bukan?" Hella terus saja mencecarku."Apa aku bilang, perempuan sialan itu pasti sudah tahu semuanya. Dan dia mengadu sama Mamah kamu, Mas," sambung Hella. Wajah cantiknya terlihat panik, dia takut aku akan mengakhiri hubungan ini."Please!! Aku sayang sama kamu, jangan tinggalkan aku ya. Buang saja si Diana itu, dia tidak pantas menjadi istrimu lebih lama lagi," Hella meraih kedua tanganku, lalu menciuminya. Dia menatap iba, dan menyapu wajahku dengan tangan lembutnya. Kini kedua tangan itu membingkai wajahku."Mas ... jangan diam saja, aku takut!" Hella menatap lekat, hembusan nafasnya hangat menerpa wajahku. Ini yang aku suka dari Hella, bagaimana pun ekpresinya, dia tetap kelihatan sexy."Iya ... Mas tidak akan meninggalkan kamu." Jawabku b
"Pasien mengalami benturan keras, Dok. Saat ini pasien kekurangan banyak darah!" Ucap perawat sambil berjalan tergesah, beriringan dengan Dokter lalu masuk ke dalam ruangan UGD."Mamih!!" teriak Adit sambil mendongkakkan wajah, tatapan kebencian dia layangkan padaku.Pak Dody merangkul tubuh anakku, nafas Adit memburu masih menatapku dengan tajam. Aku mengurut kening, mengapa Adit terlihat marah padaku. Sangat tidak sopan sekali?Atau jangan-jangan ....Jantung berdetak cepat, kepalaku pusing mencerna prilaku Adit. Aku memeluk Deo yang terus menangis, sesekali melirik Adit yang masih menatapku dengan murka.Adit menghentak kaki, menatap lurus nafasnya memburu seolah bersiap untuk menyerangku."Mahesa ...."Mamah dan Papah terlihat berlari kearah kami, aku langsung bangkit menyambut mereka."Diana, kenapa bisa terjatuh?" Mamah langsung menyerang dengan pertanyaan. "Kamu kemana, heh!" kali ini Mamah mencengkram kemeja, dan mengguncang tubuhku."Adit!!" kini Ibu dan Ayah mertua datang, j
Gawai berbunyi nyaring, dengan lemas aku merogoh saku celana. Nama Hella tersemat didalam layar, aku tekan tombol on-off lalu kembali memasukkannya ke dalam saku.Saat ini aku tak ingin memikirkan apapun, aku hanya ingin Diana selamat dan baik-baik saja.Hella ... dia pasti akan menanyakan kabar, dan menekan agar aku berpisah dengan Diana. Kembali aku menarik rambut, denyutan dikepala semakin menjadi-jadi, otakku seakan mengeluarkan asap saat ini."Mahesa!" Mamah melambaikan tangan kearahku. Aku cukup terkejut, tak menyangka Mamah mencari keberadaanku."Iya, Mah?" sahutku lesu."Duduk disana, awas kalau sampai kamu pergi kerumah gundik itu!" ancam Mamah dengan kilat kemarahan. Aku hanya diam tak menyahut, namun langkah berjalan sesuai perintahnya. Satu jam menunggu, Dokter keluar dari ruangan UGD. Keluargaku langsung menyerbu, menanyakan kabar Diana. Istriku."Gimana anak saya, Dokter?" tanya Ibu mertua dengan wajah cemas."Gimana, Dok?" Mamah tak kalah panik."Alhamdulillah ... pasie