La Mudu menanggapi permintaan Baginda Raja dengan tersenyum lalu mengatupkan kedua tangannya ke depan dada dan berkata, “Ampun, Yang Mulia. Saya memberikan mendoakan kedua buah hati Yang Mulia semata-mata atas dasar keikhlasan, dan sama sekali tidak mengharapkan imbalan apa-apa. Itu sudah merupakan kewajiban sesama manusia saja, Yang Mulia.”
Mendapat jawaban yang demikian, Baginda Raja menoleh kepada permaisuri dan kedua buah hatinya, sebelum memandang kepada La Mudu dan berkata, “Seperti yang saya sampaikan tadi, Tuan Syeh, bahwa apa yang hendak saya berikan itu bukan dalam sebagai imbalan maupun upah, tetapi sebagai hadiah dan rasa terima kasih saya saja. Mohonlah kiranya, agar Tuan Syeh dapat menerima ucapan terima kasih dan hadiah dari saya itu. Karena itu sudah menjadi ikrart saya.”
Karena melihat kesungguhan di wajah dan ucapan Baginda Raja, La Mudu pu
Hanya butuh waktu sebulan, mesjid berikut bangunan lain di sekelilingnya selesai. Peresmiannya bahkan dihadiri oleh Baginda Raja sendiri, dan disambut sangat gembira dan meriah oleh segenap wargaDaw Maphraw. Peristiwa peresmian mesjid besar itu juga ditandai oleh kelahiran anak pertama dari pasangan Tuan Kob Sinn. Pasangan itu melahirkan tiga bayi kembar sekaligus. Dua laki-laki dan satu perempuan. Tuan dan Nyonya Kob Sinn mengundang Tuan Syeh alias La Mudu ke rumahnya, sehari setelah peresmian mesjid itu, dan meminta agar ketiga bayi mereka diberikan namanya. Oleh La Mudu kedua bayi laki-laki diberi nama Hasan dan Husain, seperti nama kedua cucu Rasulullah SAW. Sementara bayi perempuan diberi nama Siti Fatimah, seperti nama putri rasulullah SAW, yaitu ibu dari cucu beliau, Hasan dan Husain. Setelah cukup lama berdiam dan menjadi guru dan tabib di
Hanya beberapa hari La Mudu berada di Bukit Tasyakur, kemudian kembali ke Sumbawa setelah mampir satu hari di Desa Pring Kuning. Ia menginap di rumah Ki Prada. Rumah Ki Prada adalah rumah hadiah darinya setelah ia mengalahkan pemiliknya terdahulu yang merupakan tokoh lalim dan serakah yang bernama Juragan Tuwuh. Kehadirannya di desa itu langsung membuat gempar seisi desa. Segenap warga mengelu-elukannya. Sejak ia berhasil membebaskan desa itu dari cengkeraman juragan lalim, Juragan Tuwuh, ia telah dianggap sebagai pahlawan bagi desa tersebut. Keadaan Desa Pring Kuning jauh lebih bagus saat ia tinggalkan beberapa tahun yang lalu. Di desa itu juga telah dibangun sebuah padepokan yang cukup besar, yang pelan tapi pasti berkembang pesat. Santrinya berdatangan di pedepokan itu dari berbagai daerah. Padepokan itu bernama Tasyakur. Pemimpin dari padepokan itu adalah sah
Setelah melewati sebuah tikungan jalan yang membelah pemukiman yang cukup luas itu, La Mudu menghentikan langkahnya saat dilihatnya sebuah tempat yang ramai dikunjungi oleh banyak laki-laki. Aroma masakan yang berasal dari tempat itu membuat perutnya langsung minta diisi. “Tampaknya itu sebuah kedai makan. Sebaiknya aku makan dulu,” gumamnya. Lalu melangkah dan memasuki halaman kedai makan yang tak terlalu luas itu. “Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh...” Semua pelanggan warung makan yang sedang menikmati makan siang mereka sontak mengangkat wajah mereka dan menoleh mendengar suara seseorang dengan bahasa yang tak mereka paham itu. Mereka tak menjawab, tetapi hanya mengamati wajah laki-laki yang berpakaian jubah putih bersih itu. Aroma harum yang dibawanya membuat nyaman terasa dalam
Namun, baru saja ia bergerak ke depan sembari hendak mencabut golok panjangnya, di luar dugaannya, laki-laki yang hendak diserangnya menarik sorban panjang yang ada dilehernya dan langsung mengebetnya ke samping. Dan... Breeett...! “Auwww...!!” Ujung sorban yang telah berubah menjadi senjata yang mematikan itu langsung menghantam dan melemparkan tubuh laki-laki itu ke belakang. Dan... Bubruaakk...!! Tubuhnya jatuh menimpa meja di belakangnya dan menghancurkannya.Di mulutnya langsung menyemburkan darah segar akibat kuatnya hantaman sorban tadi pada bagian dadanya. Semua orang dalam ruangan itu yang sama sekali tak menduga akan demikian peristiwanya, langsung
“Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh...” Habis mengucapkan itu, La Mudu mengajak LaluMuseng dan Lalu Gilising untuk meninggalkan tempat itu, dan berkata, “Apa boleh saya mampir di tempatnya Lalu?” “Oh...tentu, Datu...! Mari...!” sahut Lalu Museng dan melangkah mendahului La Mudu dan putranya, Lalu Galising. Belum jauh mereka melangkah, kesepuluh kawanan perusuh berlari mengikuti sembari menyebut-nyebut nama Jawara Mudu. “Ada apa...?” jawab La Mudu sembari menghentikan langkahnya, tetapi tidak menoleh ke belakang. “Ijinkan kami untuk menyertai perjalanan Jawara Mudu...!” Itu yang berkata adalah sang pemimpin kawanan perusuh, La Garompa.&nb
Lalu Galising hanya mengamatinya saja seolah matanya tak ingin berkedip semua apa yang dilakukan oleh La Mudu, sejak ia mengambil air wudhu hingga melaksanakan sholat. PemudA itu hanya merasa heran cara penyembahan Tuhan yang dilakukan oleh sang jawara besar Pulau Sumbawa itu. La Mudu tak lama melaksanakan sholat asharnya. Setelah mengangkat kedua tangannya, berdoa, ia pun bangkit. Tatapannya kembali ditebarkannya ke segala penjuru sungai. Di mana orang-orang desa makin terlihat banyak. Mereka datang untuk mandi dan bercuci, atau mencari ikan dengan cara merogohnya ke dasar lubuk-lubuk. Dan ada juga yang melempar jaring. Tapi ketika pemilik jaring itu menarik jaringnya, tak banyak ikan yang berhasil terjaring. “Apakah di sungai ini banyak ikannya, Galising?” tanya La Mudu kepada Lalu Galising tanpa melihat kepada pemuda.
Ba’da Isya’ Lalu Museng menjemput saudara kandungnya yang mengalami sakit. Namanya Lalu Ruteng. Oleh istri Lalu Museng digelarkan tikar pandan di untuk membaringkan saudara iparnya itu. Laki-laki yang berusia baru menginjak usia empat puluh itu terlihat kurus dan pucat. Ia batuk tiada henti-henti. Saat ia bentrok tatap dengan La Mudu yang saat itu tengah menatapnya dalam diam, laki-laki itu seperti sangat ketakutan dan tiba-tiba berteriak dan langsung bangkit duduk. Namun dengan cepat La Mudu menekan pundaknya adat tidak bangkit. “Tenanglah, kau tak perlu takut kepadaku. Kita sesama mahluk Allah,” ucap La Mudu tenang. Namun ketika mendengar La Mudu menyebut nama “Allah”, wajah Lalu Ruteng terlihat makin pucat. Keringatnya terlihat mengucur keluar dari wajah dan lehernya
“Sebenarnya, siapakah yang membuat adik saya jadi sakit seperti itu, Datu?” bertanya Lalu Museng ketika adiknya sudah dibawa pulang oleh anak dan istrinya. Lalu Galising, istri Lalu Museng, dan anak gadis mereka duduk di sekitar La Mudu. Mereka tampaknya sangat ingin mengetahui siapa orang yang telah menzalimi keluarga mereka itu dengan demikian teganya. “Tubuh Lalu Ruteng didiami dan digerogoti oleh sesosok jin jahat atas suruhan ahli sihirnya,” ujar La Mudu lalu menghembuskan nafas halusnya. “Tapi jin jahat itu telah saya belenggung...” “Lalu siapakah tukang sihir biadab itu, Datu?” potong Lalu Museng. Ada kegeraman yang terpancar pada raut wajahnya. “Mungkin sebaiknya saya tidak mengatakan tentang siapa dia, tetapi yang jelas
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de