Giliran rombongan kesembilan adalah rombongan dari calon yang dinaungi oleh panji bergambar Pedang Berdarah. Dia adalah Dewa Na’e (Tuan Besar), yang ketika masih bertualang di jagat persilatan oleh kalangannya, kalangan hitam, dijuluki dengan Jawara Na’e (Pendekar Agung), karena memang ia adalah jawaranya para jawara di kalangan persilatan beraliran hitam. Namun di kalangan aliran putih dia lebih masyhur dengan julukan Raja Sondi (Raja Pedang) dikarenakan permainan pedangnya yang tak tertandingi kala itu, dan kadang dijuluki dengan Raja Nda’u (Raja Jarum) dikarenakan ia memiliki senjata pamungkas lain berupa jarum-jarum baja beracun yang mematikan yang suatu saat dapat ia lemparan ke arah tubuh musuhnya . Oleh Paduka Sandaka Dana dia diangkat sebagai pemimpin pajuri khusus yang menjaga harta kekayaan negeri. Sambutan dan duk
Setelah Paduka Sandaka Dana duduk kembali di kursinya, sekelompok perwira yang mengatur jalannya perang tanding memasuki arena. Mereka adalah kelompok penyelenggara bagian pertarungan. “Ananda Jawara harus hati-hati dengan calon lawanmu yang bernama Dewa Mbani itu,”nasihat Bumi Osu setengah berbisik di samping telinga La Mudu. “Kedigdayaan dia terletak pada kepalanya. Jarang lawannya yang selamat oleh hantaman kepalanya yang sangat keras itu.” “Apalagi keunggulan dia, Bumi Osu?” bertanya La Mudu dengan tetap mengarahkan pandangannya ke tengah arena. “Dia kebal dengan segala jenis senjata tajam. Jika dia menggunakan senjata pedang atau tombak, maka Ananda Jawara harus melawannya dengan tongkat.” “Saya paha
Melihat bekas pukulan tongkat lawannya, sesaat Dewa Ngoja tercekat kaget juga. Namun ia harus dibuat sibuk menghindar dan menangkis serangan tongkat Dewa Meti yang kian gencar dan mematikan dengan pedangnya. Cepat dan kerasnya serangan demi serangan tongkat lawan membuat ia tak diberi kesempatan untuk melakukan serangan balasan sedikit pun, sampai akhirnya sang lawan, Dewa Meti, mampu mengayunkan tongkatnya ke kiri, dan... Tranggg...!!! Pedang di tangan Dewa Ngoja terlepas dan terlempar dari tangannya. Pedang itu jatuh dan menancap di tanah, beberapa tombak di sampingnya. Saat ia bergerak untuk memungut kembali senjatanya itu, pedang besi kuning kembali menghantam dengan keras, sehingga ia harus menarik kembali pergelangan tangannya, dan.... Blarrr...!!!&n
Namun lagi-lagi Dewa Kambala tertipu, karena tiba-tiba tubuh Dewa Seta Me’e hanya tinggal berupa bayangan menghitam yang mengepungnya. Itulah jurus pamungkas yang bernamaJurus Seta Me’e (Jurus Iblis Hitam) yang dimiliki oleh Dewa Seta Me’e. Dewa Kambala benar-benar dibuat tak berdaya. Jangankan untuk lanjut menyerang, untuk mempertahankan diri saja dia sudah kehilangan siasat dan akal. Sampai pada akhirnya... Crasss...!!! Crasss...!!! Crasss...!!! Terdengar suara kulit yang koyak akibat terkena tebasan demi tebasan golok yang entah berapa kali jumlahnya yang berbarengan dengan jeritan-jeritan yang menyayat hati yang keluar dari mulutnya Dewa Kambala, lalu kemudian sepi. Tubuh laki-laki yang tin
Selanjutnya, pertarungan yang keempat adalah antara Dewa Rontinawa dan Dewa Poro. Ada pun kedua tokok ini sama-sama merupakan tokoh besar di Pulau Sangiang dan menjadi orang-orang kepercayaan mendiang Panglima maupun Paduka Sandaka sendiri. Tingkat kedigdayaan keduanya pun berada pada taraf yang sama, dan merupakan raja dalam memainkan senjata andalannya masing-masing.Dewa Rontinawa(Tuan Perenggut Nyawa) yang dahulu di jagat persilatan dikenal dengan julukanJawara Kondo Peke Tuta(Pendekar Kalung Tengkorak), dan juga masyhur dengan julukanRaja Tiki (Dewa Tongkat), karena permainan tongkatnya sangat ampuh untuk melumpuhkan lawan-lawannya. SementaraDewa Poro(Tuan Cebol) atau dahulu di jagat persilatan berjulukJawara Poro Ta Ele(Pendekar Cebol dari Timur). Jawara yang bertubuh pendek ini s
“Nanda Jawara,” bisik Bumi Osu di dekat telingan La Mudu, “ calon yang bernama Dewa Na’e itu adalah petinggi yang paling tinggi ilmunya di antara kedelapan calon tua lainnya. Dulu ia dikenal sebagai Jawara Na’e(Pendekar Agung), namun juga masyhur dengan julukanRaja Sondi(Raja Pedang) danRaja Nda’u(Raja Jarum). Nanda Jawara tentu paham mengapa ia diberi julukan itu. Namun senjata rahasia yang paling mematikan adalah jarum-jarum beracunnya yang sebesar lidi yang sewaktu-waktu dapat ia lepaskan untuk membunuh lawan-lawannya. Jika di tengah pertarungan tiba-tiba ia memasukkan tangan kanannya di balik baju lapangnya itu, maka waspadalah.” “Sekali lagi, terima kasih banyak, Bumi Osu atas peringatannya,” sahut La Mudu tanpa menoleh. Matanya memandang lurus ke tengah gelanggang pertarung
Persembahan hiburan itu hanya berlangsung sepeminuman kopi. Setelah itu pajuri pengatur pertandingan kembali memasuki arena pertarungan. Usai menghaturkan tabik kepada Paduka Sandaka Dana, ia lalu mengumumkan empat calon yang akan melanjutkan perang tanding di babak kedua. “Baiklah, untuk babak kedua ini, kita akan menyaksikan dua pasang calon yang akan bertemu di babak ketiga atau babak penghujung untuk hari ini. Setelah kami merundingkan, maka kami telah menetapkan, bahwa, Dewa Seta Me’e akan berhadapan dengan jawara muda kita yaitu pendekar Tapak Dewaaa...!!” Baik Dewa Seta Me’e maupun Pendekar Tapak Dewa sama-sama bangkit berdiri dari kursinya lalu saling menghaturkan tabik hormat dengan setengah membungkukkan badannya.
Sebuah retakan bumi yang menganga memanjang tampak di depan mata mereka. Tubuh Dewa Seta Me’e lenyap di tempatnya. Namun, tiba-tiba terdengar suara teriakan dalam rengkahan bumi yang membahana. Itu suara Dewa Seta Me’e yang sedang meminta tolong. Tak ada yang berani menengok di pinggir rengkahan apalagi untuk menolongnya. Pendekar Tapak Dewa tak peduli dengan suara minta tolong yang menyayat hati itu. Karena saat itu pula gendang telinganya seolah-olah mendengar ribuan orang yang berteriak meminta tolong, lalu suara mereka terhenti. Mereka dibantai secara tanpa ampun!&n
Namun betapa heran keduanya, karena mereka tak merasakan mata pedangnya telah menebas sasarannya. Terasa seperti hanya menebas asap. Dan lebih terhenyak lagi keduanya saat menyaksikan, bahwa pemuda itu telah lenyap di tempatnya. Mata keduanya terbuka lebar ketika di hadapannya mereka menyaksikan sebuah bekas lobang yang sudah tertutup. Haahh...!” “Hei, saya di sini...!” Mendengar sebuah suara tiba-tiba ada di belakang mereka, keduanya pun serta-merta membalikkan tubuhnya. Namun belum lagi keduanya menghadap ke belakang dengan sempurna, dada mereka sudah langsung disambut dengan hantaman dua tapak tangan Pendekar Tapak Dewa dengan cukup keras. Bugghhkk...!!!&nbs
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de