Saat kawanan itu melewati lembah dan hendak mendaki sebuah bukit kecil, mereka sontak menarik tali kekang kudanya. Di hadapan mereka berdiri menyamping seeokor kuda putih, menghadang jalan yang akan mereka lalui. Penunggang kuda itu adalah seorang laki-laki tua berkulit kuning, bermata sipit, dan janggut panjangnya sudah putih semua seperti juga kumis dan rambut panjangnya yang dikepang lipan tunggal ke belakang. Ia mengenakan pakaian yang lapang yang juga berwarna putih.
Akibat jalannya dihalangi membuat pimpinan penyamun bercodet di wajah marah. “Orang tua, kenapa kau menghalangi jalan kami! Apa kausudah bosan hidup!”
“Kami dari wilayah Zhejiang, Yeye,” ucap Baojia. “Kami keluar dari Dataran Sinae karena alasan yang mungkin agak beda. Kami merasa saat itu negeri sedang tidak nyaman, dan tak aman lagi bagi hidup kami. Pemberontan terjadi di mana-mana. Kami keluar dari Dataran Sinae sekitar sepuluh tahun yang lalu.” “Wilayah Zhejiang adalah sebuah wilayah yang indah dan makmur,” ucap Dato Hongli,” aku beberapa kali melawat ke sana ketika aku masih menjadi bagian dari militer kekaisaran. Bagaimana keadaan negeri asal kita itu saat ini, aku sama sekali tak mendengar kabarnya. Haiya...” “Maaf, Ye
Pada malam hari Paduka Sandaka Dana mengundang dan menerima semua calon panglima angkatan perang ke ruang penghadapan istananya, termasuk La Mudu alias Pendekar Tapak Dewa. Masing-masing calon didampingi oleh dua orang pendamping yang menjadi penasihatnya. La Mudu mengajak sahabatnya La Turangga dan Bumi Osu alias La Mili. Oh ya, sedikit kilas balis mengapa La Mudu menjadikan Bumi Osu alias La Mili sebagai penasihatnya, padahal laki-laki yang punya kedudukan sudah setin
Agar dapat menikahi Putri Mantika yang berwajah sangat cantik, adalah menjadi motivasi tersendiri dan pembangkit semangat bagi kesembilan calon panglima lain--selain Pendekar Tapak Dewa--untuk siap muncul sebagai pemenang dalam perang tanding itu. Tentu, laki-laki mana pun akan terpesona pada kecantikan sang putri, dan bermimpi untuk dapat menyuntingnya sebagai pendamping hidupnya. Jadi, siapa pun yang muncul sebagai pemenang, maka secara otomatis ia mendapat dua keuntungan yang luar biasa, yaitu sebagai orang kedua setelah Paduka Sandaka Dana dan sekaligus sebagai menantunya, menjadi suaminya Putri Mantika. Sudah barang tentu, perjuangan dalam memperebutk
Pagi hari, suasana Pulau Sangiang sudah terjadi kesibukan di sana-sini. Hampir di setiap kediaman sepuluh jawara tinggi yang menjadi calon panglima terjadi kesibukan yang dilakukan oleh para pendukungnya. Kesepuluh calon masing-masing dibuatkan sejenis panji-panji dengan lambang tertentu untuk jagoan mereka. Ada yang berlambangkan Tengkorak Merah, Cakar Iblis, Elang, Burung Hantu, Kerbau Mengamuk, Cakar Harimau, Kalajengking, Iblis Bertanduk, dan Pedang Berdarah. Sedangkan panjinya Pendekar Tapak Dewa bergambar sebuah tapak tangan besar berwarna merah, Tapak Dewa. Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu sendiri yang menghendaki lambang itu. Di sepanjang jalan dan gang di seantero pemukiman telah dipasang sejenis bendera-bendara panjang berwarna-warni. Sementara di alun-alun yang berada di sebelah selatan Istana Sandaka, ratusan pajuri tengah mempersiapkan arena pertarungannya. Seluruh pinggiran alu
Sejak matahari sudah mulai condong ke barat, sekeliling alun-alun yang menjadi ajang perang tanding para calon panglima angkatan perang sudah dipadati oleh para penonton. Semua sangat antusias untuk menyaksikan jalannya pertarungan hidup dan mati itu tersebut hingga akan muncul calon tunggal pada hari itu. Segenap penduduk Negeri Sangiang masih meramal-ramal tentang siapakah di antara sepuluh calon itu yang akan keluar jadi jawaranya di hari pertama. Namun mayoritas penduduk Sangiang yang berusia di atas tiga puluh tahun masih menjagokan sembilan calon selain daripada La Mudu, yang merupakan calon termuda yang sama sekali belum mereka tahu kemampuannya yang sebenarnya. Namun hal itu tak menjadi pikiran bagi pendukung Pendekar Tapak Dewa yang mayoritas dari kalangan muda. Ketika matahari kian condong ke barat, tiba-tiba terdengar bunyi mendengung te
Giliran rombongan kesembilan adalah rombongan dari calon yang dinaungi oleh panji bergambar Pedang Berdarah. Dia adalahDewa Na’e(Tuan Besar), yang ketika masih bertualang di jagat persilatan oleh kalangannya, kalangan hitam, dijuluki denganJawara Na’e(Pendekar Agung), karena memang ia adalah jawaranya para jawara di kalangan persilatan beraliran hitam. Namun di kalangan aliran putih dia lebih masyhur dengan julukanRaja Sondi(Raja Pedang) dikarenakan permainan pedangnya yang tak tertandingi kala itu, dan kadang dijuluki denganRaja Nda’u(Raja Jarum) dikarenakan ia memiliki senjata pamungkas lain berupa jarum-jarum baja beracun yang mematikan yang suatu saat dapat ia lemparan ke arah tubuh musuhnya . Oleh Paduka Sandaka Dana dia diangkat sebagai pemimpin pajuri khusus yang menjaga harta kekayaan negeri. Sambutan dan duk
Setelah Paduka Sandaka Dana duduk kembali di kursinya, sekelompok perwira yang mengatur jalannya perang tanding memasuki arena. Mereka adalah kelompok penyelenggara bagian pertarungan. “Ananda Jawara harus hati-hati dengan calon lawanmu yang bernama Dewa Mbani itu,”nasihat Bumi Osu setengah berbisik di samping telinga La Mudu. “Kedigdayaan dia terletak pada kepalanya. Jarang lawannya yang selamat oleh hantaman kepalanya yang sangat keras itu.” “Apalagi keunggulan dia, Bumi Osu?” bertanya La Mudu dengan tetap mengarahkan pandangannya ke tengah arena. “Dia kebal dengan segala jenis senjata tajam. Jika dia menggunakan senjata pedang atau tombak, maka Ananda Jawara harus melawannya dengan tongkat.” “Saya paha
Melihat bekas pukulan tongkat lawannya, sesaat Dewa Ngoja tercekat kaget juga. Namun ia harus dibuat sibuk menghindar dan menangkis serangan tongkat Dewa Meti yang kian gencar dan mematikan dengan pedangnya. Cepat dan kerasnya serangan demi serangan tongkat lawan membuat ia tak diberi kesempatan untuk melakukan serangan balasan sedikit pun, sampai akhirnya sang lawan, Dewa Meti, mampu mengayunkan tongkatnya ke kiri, dan... Tranggg...!!! Pedang di tangan Dewa Ngoja terlepas dan terlempar dari tangannya. Pedang itu jatuh dan menancap di tanah, beberapa tombak di sampingnya. Saat ia bergerak untuk memungut kembali senjatanya itu, pedang besi kuning kembali menghantam dengan keras, sehingga ia harus menarik kembali pergelangan tangannya, dan.... Blarrr...!!!&n
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de