Setelah terlebih dahulu menyelesaikan sholat asharnya, La Mudu menuju ke rumah Kanokwan. Ia diantar beramai-ramai oleh Sarta sekeluarga.
Suami dari U Nan Kanokwan kondisinya memang sangat memprihatinkan. Laki-laki yang berusia 40-an tahun itu hanya tergolek lemah di tempat tidur kayunya yang reot. Namun saat La Mudu mengajaknya jabat tangan ia masih bisa mengulurkan tangannya dan mengucapkan sesuatu yang kurang jelas. Suaranya serak, mungkin karena terlalu lama berdiam diri.
“Mau saya obati?”
Laki-laki yang kemudian diketahui bernama Kamnan langsung mengangguk dengan wajah yakin.
“Baik. Semoga Allah mengangkat penyakit di tubuhmu,” ucap La Mudu sambil tersenyum untuk memberikan semangat kepada laki-laki itu.
Tak ingin berl
Hingga menjelang magrib, acara pengobatan itu baru selesai. Semua menghela nafas lega dan haru, terutama Satra sekeluarga. Selesai melaksanakan sholat maghribnya, La Mudu baru ingat, bahwa mereka belum makan. Nasi dan lauk sisa tadi siang sudah tak layak lagi untuk dinikmati, karena sudah mulai basi. Lalu kepada Satra ia bertanya, “Apakah di perkampungan ini ada toko yang menjual bahan makanan?” “Tentu, Syeh. Agak sedikit jauh dari sini. Terletak di sebelah timur sana.” “Belilah bahan makanan untuk dimasak. Beli yang mampu dibawa pulang. Apakah Pak Satra bisa ke sana...?” “Kami saja yang ke sana, Tuan Syeh...!” Itu yang berkata adalah Sakda. “Oh baiklah. Sakda akan pe
Saat itu kedua putri Sarta keluar dari dalam membawa bakul nasi dan lauk pauknya. Malam itu mereka makan dengan lahap dan penuh kekeluargaan. Setelah makan malam, La Mudu melaksanakan sholat isya’yang didahului dengan sholat sunat dua rakaat dan diakhiri dengan sholat sunat dua rakaat, lalu dilanjutkan dengan zikir dan wirid. Saat itu terdengar orang yang mengetuk pintu rumah. Sakda yang membukakan pintu. Ternyata tamu itu adalah Tuan dan Nyonya Kob Sinn. Keduanya dipersilakan masuk oleh Sakda. Ketika dilihatnya La Mudu sedang duduk tafakur di sisi lain ruangan itu, keduanya tak berani bersuara besar-besar, dan langsung menyalami Sarta dan istrinya lalu duduk di atas tikar, setelah dipersilakan oleh Sarta. La Mudu mengakhiri ziki
“Benar kata, Tuanku, jalan satu-satunya untuk mempermalukan orang asing yang mengaku diri sebagai seorang Dukun Sakti itu adalah Tuanku harus menantangnya. Suruh dia melakukan sesuatu hal yang mustahil!” usul salah seorang anak buahnya. “Benar, Tuanku, aku setuju! Tuanku harus menguji ilmu dia!” usul yang lain pula. Boon Nam mengangguk-angguk dengan bibir dicibirkan. Wajah pongahnya terlihat nyata. “Iya, aku memang akan menantang laki-laki itu. Aku telah memikirkan suatu tantangan apa yang harus aku berikan pada laki-laki sok sakti itu! Hua ha ha ha...!” Lalu beberapa hari kemudian, Boon Nam benar-benar membuktikan kata-katanya. Dengan diiringi oleh puluhan anak buahnya, sang dukun sakti yang juga seorang jawara itu datang ke rumahnya Sarta. Saat itu di halaman rumah itu sedang banyak orang
Pada suatu hari datang utusan dari istana kerajaan. Utusan itu merupakan salah seorang pembesar kerajaan yang dikawal oleh puluhan prajurit diterima oleh La Mudu di halaman depan rumah Sarta yang sederhana. Ia membawa pesan Baginda Raja agar Syeh Mudu datang ke istana di pusat kota, agar Baginda Raja sangat membutuhnya saat itu. La Mudu menyanggupi undangan itu dan akan segera datang menghadap baginda raja di istananya. “Silakan Tuan balik duluan ke istana, saya akan segera menyusul,” ucap La Mudu kepada sang utusan. “Baiklah, Tuan Syeh. Sekali lagi, Baginda Raja sangat mengharapkan kedatangan Tuan Syeh ke istananya. Ada hal yang sangat penting yang hendak Baginda Raja sampaikan kepada Tuan Syeh,” sahut pejabat utusan itu. “Baiklah, Tuan.” Lalu san
Setelah itu La Mudu beralih kepada sang pangeran yang berada di kamar berjeruji di sebelahnya lagi. Kondisi pemuda itu seperti yang diceritakan oleh ayahandanya, Baginda Prabu, tak kalah memprihatinkan. Pemuda itu lebih mirip pemuda pandir sejak lahir dengan wajah seperti ditekuk ke samping. Ketika La Mudu menyapanya dengan salam, pemuda itu hanya mempu menggerakkan posisi duduknya agar bisa melirik ke arah orang yang menyapanya. La Mudu meminta ijin kepada Baginda Raja agar ia bisa menemui langsung putranya ke dalam ruangan. Baginda Raja pun memerintahkan kepada penjaga agar membukakan pintu agar sang Tuan Syeh bisa masuk. La Mudu masuk, dan tanpa berkata apa-apa pun ia langsung duduk bersila di samping sang pangeran. Ia mengangkat kedua tangannya sembari mengangkat juga wajahnya ke atas dan memanjatkan doa untuk beberapa saat lamanya.&n
La Mudu menanggapi permintaan Baginda Raja dengan tersenyum lalu mengatupkan kedua tangannya ke depan dada dan berkata, “Ampun, Yang Mulia. Saya memberikan mendoakan kedua buah hati Yang Mulia semata-mata atas dasar keikhlasan, dan sama sekali tidak mengharapkan imbalan apa-apa. Itu sudah merupakan kewajiban sesama manusia saja, Yang Mulia.” Mendapat jawaban yang demikian, Baginda Raja menoleh kepada permaisuri dan kedua buah hatinya, sebelum memandang kepada La Mudu dan berkata, “Seperti yang saya sampaikan tadi, Tuan Syeh, bahwa apa yang hendak saya berikan itu bukan dalam sebagai imbalan maupun upah, tetapi sebagai hadiah dan rasa terima kasih saya saja. Mohonlah kiranya, agar Tuan Syeh dapat menerima ucapan terima kasih dan hadiah dari saya itu. Karena itu sudah menjadi ikrart saya.” Karena melihat kesungguhan di wajah dan ucapan Baginda Raja, La Mudu pu
Hanya butuh waktu sebulan, mesjid berikut bangunan lain di sekelilingnya selesai. Peresmiannya bahkan dihadiri oleh Baginda Raja sendiri, dan disambut sangat gembira dan meriah oleh segenap wargaDaw Maphraw. Peristiwa peresmian mesjid besar itu juga ditandai oleh kelahiran anak pertama dari pasangan Tuan Kob Sinn. Pasangan itu melahirkan tiga bayi kembar sekaligus. Dua laki-laki dan satu perempuan. Tuan dan Nyonya Kob Sinn mengundang Tuan Syeh alias La Mudu ke rumahnya, sehari setelah peresmian mesjid itu, dan meminta agar ketiga bayi mereka diberikan namanya. Oleh La Mudu kedua bayi laki-laki diberi nama Hasan dan Husain, seperti nama kedua cucu Rasulullah SAW. Sementara bayi perempuan diberi nama Siti Fatimah, seperti nama putri rasulullah SAW, yaitu ibu dari cucu beliau, Hasan dan Husain. Setelah cukup lama berdiam dan menjadi guru dan tabib di
Hanya beberapa hari La Mudu berada di Bukit Tasyakur, kemudian kembali ke Sumbawa setelah mampir satu hari di Desa Pring Kuning. Ia menginap di rumah Ki Prada. Rumah Ki Prada adalah rumah hadiah darinya setelah ia mengalahkan pemiliknya terdahulu yang merupakan tokoh lalim dan serakah yang bernama Juragan Tuwuh. Kehadirannya di desa itu langsung membuat gempar seisi desa. Segenap warga mengelu-elukannya. Sejak ia berhasil membebaskan desa itu dari cengkeraman juragan lalim, Juragan Tuwuh, ia telah dianggap sebagai pahlawan bagi desa tersebut. Keadaan Desa Pring Kuning jauh lebih bagus saat ia tinggalkan beberapa tahun yang lalu. Di desa itu juga telah dibangun sebuah padepokan yang cukup besar, yang pelan tapi pasti berkembang pesat. Santrinya berdatangan di pedepokan itu dari berbagai daerah. Padepokan itu bernama Tasyakur. Pemimpin dari padepokan itu adalah sah
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de