Belum lagi usai rasa kaget mereka, mereka malah dibuat kaget lanjutan karena tiba-tiba sosok di hadapan mereka tertawa kecil yang membuat tubuhnya bergoncang-gincang. “Haahh??” Kelima anggota begal mendesahh kaget sembari mundur ke belakang dengan golok siap menebas. Pendekar Macan Tutul tiba-tiba mengangkat wajahnya, dan langsung mennatap tajam ke depan sembari mengaum dan menggerung keras. Pada saat yang sama kesepuluh ujung jari tangannya bermunculan kuku-kuku tajam dan melengkung seperti cakar seekor macan. “Hati-hati!” Ki Gobang memperingatkan keempat temannya. “Naga-naganya kita sedang berhadapan dengan sesosok siluman harimau! Kita harus... eh, awaaas!!” Belum selesai Ki Gobang berucap, Panji Jagat tiba-tiba bergerak menyerang ke depan dengan sebuah gerakan menyergab yang sangat cepat. Tak ada waktu bagi kelima anak buahnya Ki Barong Seta untuk menyerang, dan hendak membuat formasi bertahan pun gagal. Cakaran cepat dari kedua tangan sang lawan den
PENDEKA Habis berkata demikian, murid Ki Raksa Jagat langsung melesat ke arah barat sembari meninggalkan suara gerungannya laksana seekor macan. “Siapakah gerangan dia? Seumur-umur, baru kali ini aku melihat manusia yang sangat sakti mandraguna seperti itu?” ucap Jarot. “Apakah dia sesosok siluman?” tanya Ki Jolang pula tanpa ditujukan pada siapa pun. “Siapa pun dia, kita sudah berjanji padanya!” tandas Ki Jolang. “Kita harus memenuhi janji kita untuk menjadi manusia yang baik. Sejak saat ini, kita harus bubar dan kembali mengurus keluarga masing-masing.” Ucapan Ki Jolang itu langsung disetujui oleh keempat temannya.*** Ketika matahari sudah condong ke arah barat, Panji Jagat baru dapat melihat dari kejauhan rombongan pedati kerajaan yang dilihat tadi siang. Ia tidak mengikut jalan untuk menyusul rombongan itu, tetapi berlari dengan kecepatan tinggi melalui sisi hutam yang cukup lebat di kiri kanan jalan itu. Ketika telah berada sejajar dengan rombon
Ki Arya Bendut memerintahkan seluruh rombongan untuk turun dan menikmati daging dan ikan panggang yang telah disiapkan oleh Panji Jagat. “Nanti saja dirikan tendanya. Kalian nikmati dulu daging rusa dan ikan-ikan panggang ini,” seru Ki Arya Bendut. “Oh ya, perkenalkan pemuda dermawan ini, namanya Panji Jagat. Katanya dia memang sengaja menyiapkan semua ini buat kita semua. Terima kasih, sekali lagi, Panji Jagat.” “Sama-sama, Ki Arya,” sahut Panji Jagat, lalu kepada para segenap anggota rombongan ia berkata, “Silakan Tuan dan Ni semuanya, nikmati sajian sederhana saya ini.” Mungkin karena memang sudah lapar atau karena makanan itu memang makanan yang lezat, semua rombongan, baik para prajurit pengawal maupun para gadis calon dayang istana menikmati daging dan ikan panggang itu dengan lahapnya. Setelah semuanya merasa kenyang semuanya duduk santai di atas hamparan pinggiran sungai yang terdiri dari hamparan bebatuan. “Jadi, Dik Panji ini hendak mengadu nasib ke
Ketika di beranda depan istana muncul dua laki-laki muda, puluhan prajurit kawal istana segera berdiri berbaris menyambut keduanya. Kedua pemuda itu tentu saja dua pangeran istana itu. Panji Jagat terkagum-kagum melihat penampilan kedua putra Sang Prabu Nata itu. Dan betapa senangnya jika kelak ia bisa mengenal lebih dekat dengan kedua pangeran dan calon raja itu. Pangeran yang berjalan di depan berusia mungkin dua puluh tahun, sementara pemuda yang berjalan di belakang tampak sedikit lebih tua, namun wajahnya lebih tampan dan posturnya lebih tinggi dan kekar. Wajah keduanya tampan namun namun keangkuhannya sebagai putra bangsawan terlihat sekali. Saat hendak hendak mengambil alih tali kekang kuda yang akan ditunggamnginya, pandangan mata sang pangeran yang di depan melihat ke arah Panji Jagat yang saat itu kebetulan sedang menatap tak berkedip ke arahnya. “Siapa dia?” tanyanya tanpa ditujukan khusus pada salah satu prajutir kawal istana. “Oh, kami
Ki Arya Dhanu menatap wajah Panji Jagat. “Apa kaupunya semacam keahlian khusus, Anak Muda?” “Ampun, Gusti,” sahut Panji, “saya hanya seorang pemuda desa. Saya hanya memiliki keahlian sebagai anak desa seperti berburu dan bertani.” “Hm. Tapi pernah mengurus kuda?” “Bisa dikata belum terlalu berpengalaman, Gusti, karena kakek saya tak memiliki peternakan kuda. Tetapi saya sudah terbiasa membantu teman-teman saya yang punya kuda untuk memandikan kuda-kuda mereka, termasuk melatih kuda untuk berpacu.” “Hm, itu berarti kamu pernah menangani kuda, walau hanya sekali-sekali,” ucap Ki Arya Dhanu. “Benar, Gusti. Jika saya diberi kesempatan untuk bekerja, saya berjanji untuk bekerja sambil belajar untuk menjadi pengurus kuda yang baik.” “Ya, ya, ya. Memang, semua orang itu bisa menjadi pekerja yang baik bahkan ahli di suatu pekerjaan setelah ia menekuninya,” ucap Ki Arya Dhanu bijak. “Baiklah, aku akan memberimu kesempatan bekerja di sini. Aku ingin melih
Saat melihat kehadiran Panji dan Ki Lugana, kuda-kuda itu tiba-tiba serentak meringkik dan berusaha untuk melepaskan diri dari kandang. Hal itu membuat para pengurusnya menjadi heran dan kebingungan. Bahkan Ki Arya Dhanu melihat kejadian itu langsung datang mendekat dan bertanya kepada para pengrus kuda kenapa tiba-tiba kuda seperti ingin berontak seperti itu? “Kami juga tahu, Ki Arya. Tiba-tiba mereka seperti itu.” Tanpa sepengetahuan siapa pun, saat itu Panji Jagat sengara memunculkan Ilmu Malih Rupanya, sehingga kuda-kuda itu melihat sosoknya sebagai seeokor macan tutul yang siap menerkam mereka. “Ki Arya,” ucap Panji Jagat, “bolehkan saya mendekat ke kandang itu? Mungkin saya dapat menenangkan kuda-kuda itu.” “Hm?” Ki Arya Dhanu menoleh kepada Panji Jagat dan menatapnya sesaat dengan dahi mengerut. “Kamu pernah memelihara kuda juga, Panji?” “Belum pernah memelihara dalam bentuk dikandang seperti ini, Ki, hanya dilepas umbar begitu saja di padang lal
Tepuk tangan pun makin menggemuruh. Pegawai istana pun makin banyak yang berkerumun karena ingin menyaksikan peristiwa yang langka itu. “Baiklah, Sahabatku, sekarang angkat kedua kaki depanmu tinggi-tinggi sembari meringkik yang keras!” pinta Panji lagi, yang lagi-lagi diikuti oleh sang kuda. Kuda itu pun mengangkat tinggi-tinggi kedua kaki depannya sembari mengeluarkan ringkikan yang yang keras. Untuk yang kesekian kalinya tepuk tangan kembali bergemuruh. Kali ini malah diselingi dengan teriakan-teriakan yang menyebutkan nama Panji Jagat. Panji turun dari punggung sang kuda dan memintanya dengan bahasa pikiran agar ia kembali ke dalam kandang. Kuda itu pun patuh dan kembali masuk ke dalam kandang dengan sendirinya. Selesai menyajikan kepiwaiannya yang luar biasa itu, Panji Jagat menghadap ke seluruh orang-orang yang menyaksikan lalu memberi tabik hormat sembari menundukkan kepalanya. Tepuk tangan yang disertai teriakan-teriakan menyebut namanya kembali memb
“Angger tahu tentang mendiang Gusti Prabu Kertadana?” Pertanyaan Ki Arya Dhanu itu membuat Panji Jagat sedikit kaget dan menatap wajah laki-laki itu sesaat dalam diam. Namun kemudian ia tersenyum dan menjawab, “Tentu saya tahu, Ki. Mendiang kakek saya suka bercerita tentang Gusti Prabu Kertadana. Menurut cerita kakek saya dulu, Gustri Prabu Kertadana adalah seorang raja yang adil dan bijaksana.” “Hm.” Ki Arya Dhanu manggut-manggut dan tersenyum. “Apa yang diceritakan oleh kakekmu itu benar adanya. Hampir segenap rakyat di kerajaan ini sangat berduka ketika beliau mangkat. Bahkan kuda kesayangan beliupun sepertinya sangat berduka dan terpukul atas kehilangan tuannya.” “Lalu di manakan kuda itu dikandangi, Ki?” “Kandangnya sengaja dibuat di luar lingkungan istana, di kandang utama kerajaan, tapi tetap terawat dengan baik. Kuda itu akan seperti sangat marah jika ada orang asing yang mendekati kandangnya, apalagi memasukinya,” cerita Ki Arya Dhanu. Lalu bertanya
Panji Jagat alias Prabu Kertabhumi harus berpikir untuk menetap sedikit lebih lama di Kuwu Kradenan ini. Ia harus menyelesaikan permasalahan di desa itu dengan tuntas. Warga harus dibebaskan dari segala penderitaan yang ditimbulkan oleh pemimpin lalimmereka, Lurah Arga Seta. Mungkin langkan yang paling bagus adalah ia harus melenyapkan sang lurah itu tanpa menimbulkan gejolak apa pun. Dan itu ia mampu melakukannya dengan kesaktian yang dimilikinya. Hanya saja, tentu ia akan melakukan secara pelan-pelan dan bertahap. Pada suatu siang Panji Jagat mengajak Arya Wening untuk jalan-jalan berkeliling dengan menunggang kuda. Keduanya berkeliling hingga ke kawasan persawahan yang di sebelah timur desa atau kuwu. Kawasan persawahan itu merupakan persawahan yang bisa ditanami tiga kali dalam setahun karena memiliki bendungan yang bisa mengairi persawahan itu di sepanjang tahun. Sementara kawasan persawahan di sebelah barat desa kebanyakan tanah tadah hujan. Hanya sedikit lahan
Beberapa hari setelah keluarga itu kembali menempati rumahnya, keadaan berangsur-angsur membaik. Ada perasaan tenang di wajah mereka, walau rasa waswas itu tetap ada dalam hati mereka. Mereka masih belum yakin akan jaminan kedamaian hidup mereka. Ki Lurah Arga Seta adalah orang yang licik dan culas. Ia punya banyak cara untuk tidak membiarkan warganya untuk menikmati hidup aman dan tenteram. Seolah-olah hanya dia saja yang boleh tenteram dan makmur hidupnya, sementara rakyatnya tak boleh lebih dari hanya sekelompok sapi perah saja baginya. Siang itu wajah Nyi Utari, Nyi Utanti, Ajeng Kumalahari, serta Nismara terlihat cerah ketika melihat Panji Jagat dan Arya Wening kembali dari padang perburuan dengan membawa hasil perburuan mereka. Di punggung kuda kedua laki-laki itu masing-masing membawa dua ekor kijang jantan yang besar-besar. Semuanya ada empat ekor rusa yang berhasil mereka buru. Tetangga kiri kanan yang melihat kepulangan dua laki-laki itu dari perburuan, se
Namun saat hampir semua warga sudah pulang ke rumahnya masing-masing, tiba-tiba seorang ibu dan anak gadisnya datang dengan tergopoh-gopoh dan langsung memeluk tubuh Nyi Utari dan Ajeng Kumalahari semari memecahkan tangis mereka. Menurut Ki Martani, keduanya adalah adik dan kemenakan dari istrinya. Namanya Nyi Utanti dan putrinya Nismara. Rumah mereka berada di ujung perkampungan di sebelah timur. Nyi Utanti tinggal bertiga dengan kedua anaknya, Bayuaji dan Nismara, setelah setahun yang lalu suaminya meninggal. “Kalian dari mana kok baru tiba sekarang?” tanya Nyi Utari pada Nyi Utanti dan Nismara. “Kami baru pulang dari persawahan untuk mencari sisa-sisa padi, Yu. Kami sangat kaget sekaligus gembira karena kalian sudah kembali di rumah ini.” “Iya, Nimas. Itu karena Angger Panji yang melunasi semua hutang kami,” jawab Ki Martani. “Tole Bayuaji ke mana kok tidak bersama kalian?” “Dia belum pulang dari menjagakan ternak Ki Lurah dimpadang sebelah ut
Melihat pemberian di luar dugaan itu, membuat Poranda dan kesembilan anak buahnya kaget, terbelalak, dan girang yang bercampur aduk. Setelah meletakkan segenggam keping emas itu di tangannya Ki Poranda, Panji Jagat pun segera bergegas masuk dengan mengabaikan ucapan terima kasih dari laki-laki itu dan anak buahnya, menyusul Ki Martani dan keluarganya. Saat ia menyusul masuk ke dalam rumah besar yang tadi dilihatnya, Ki Martani dan Nyi Utari sedang menangis berpelukan haru dengan putrinya, Ajeng Kumalahari. “Apakah Anak Muda ini yang akan melunaskan hutangmu, Ki Martani?” tanya Ki Lurah Arga Seta sembari menatap kepada Panji Jagat. Dan pertanyaan itu langsung dibenarkan sendiri oleh Panji Jagat. “Baik, silakan duduk,” Ki Lurah Arga Seta mempersilakan Panji Jagat duduk, sebelum lanjut bertanya, “Apakah kalian sudah tahu berapa hutang kalian sekarang? Jumlahnya masih delapan ratus keping emas ! Apakah kalian membawa keping emas sejumlah itu?” Mendengar juml
Benar saja apa yang diceritakan oleh Ki Martani, dalam kamar itu tersimpan berpeti-peti keping emas dan perak (selaka). Selain disimpan dalam peti-peti yang terbuat dari bahan yang sama dengan isinya, keping-keping emas dan perak disimpan dalam kantong-kantong dari bahan kulit hewan. Kantong serupa banyak dijual di pasar-pasar dan kedai. Panji Jagat memperkirakan, tiap kantong itu berisi lebih dari lima ribu keping emas atau perak. “Benar-benar gila ini lurah. Seolah-olah jika dia mampus seluruh harta yang ditumpuknya akan dibawanya serta ke neraka,” gumannya sambil menggeleng-geleng. “Hm, jika aku ambil dua kantong saja, tentu si lurah fasik dan zalim itu tak akan menyadarinya,” desahnya pula. Karena kantong-kantong itu hanya disusun dan ditumpuk begitu saja. Dan ia sama sekali tak merasa akan menjadi pencuri atas harta itu, karena ia merasa bahwa harta-harta itu diperoleh oleh Ki Lurah Arga Seta dengan jalan fasik dan zalim. Ia mengambilnya untuk dikembalikan kepada
Terenyuh sekaligus geram hati Panji Jagat mendengar cerita laki-laki yang malang di depannya. “Lalu dangau dan sawah yang Ki Martani tanami dan jaga ini milik siapa?” “Ini milik saudara laki-laki saya, Ngger. Dia seorang perwira di kerajaan. Dia menyerahkan kepada saya untuk menggarapnya.” “Saudara laki-laki Ki Martani seorang perwira kerajaan? Mengapa dia tak turun tangan untuk membantu permasalahan yang dihadapi oleh Ki Martani?” “Pastinya dia sangat ingin melakukannya,” sahut Ki Martani sembari menyelesaikan makanannya. “Tapi dia tak memiliki kuasa apa pun, kendati ia seorang perwira kerajaan. Sementara Ki Lurah Arga Seta masih merupakan kerabat istana. Tentu raja akan membela trahnya sendiri. Salah-salah saudara saya justru mendapat masalah. Raja kami bukanlah seorang raja yang adil dan bijaksana, Ngger.” Kendati dirinya juga seorang raja dari sebuah kerajaan besar, namun Panji Jagat belum begitu paham dan kenal tentang kerajaan-kerajaan lain beriku
“Jadi Angger Panji ini berasal dari Kerajaan Gundala Brajanegara yang sedang melakukan pengembaraan?” tanya Ki Martani saat mereka menikmati lezatnya daging rusa yang dimasak dengan kuat dan juga dibakar siang itu di beranda dangau. Nyi Utari rupanya seorang pengolah makanan yang hebat. Panji Jagat pun sangat menikmati hasil olahannya itu. “Benar sekali, Ki,” sahut Panji Jagat. “Semalam saya tiba di atas punggung bukit itu, tapi sudah hampir larut malam. Saya melihat ke bawah sini dan melihat di dangau ini ada nyala apinya? Dan herannya, yang saya lihat hanya dangau ini yang terlihat kelap-kelip nyala apinya.” “Di atas sana pasti sangat dingin dan banyak embunnya. Iya benar, Ngger, hanya kami saja yang tinggal di kawasan persawahan ini,” sahut Nyi Utari pula sembari menambahkan daging kuah ke dalam mangkuk yang terbuat dari gerabah. “Lantas mengapa AnggerPanji tidak langsung turun dan tidur di sini? Di atas sana pasti sangat dingin dan banyak embunnya, jadi sangat bu
Panji Jagat atau Prabu Kertabhumi Adijaya terbangun saat dirasakan wajahnya ditimpa oleh sinar matahari. Ternyata matahari memang sudah naik ke sepertiga bola langit di arah terbitnya. “Ya Tuhan, lelap sekali tidurku,” gumamnya sembari bangun dan menghalangi sinar matahari yang masuk ke matanya dengan tangannya. Pandangannya diarahkan ke arah bawah, ke hamparan persawahan yang cukup luas. Tampaknya persawahan itu belum lama dipanen, sehingga yang terlihat adalah batang-batang padi yang tak berbulir lagi. Selanjutnya pandangan mata Panji Jagat alias Prabu Kertabhumi diarahkan ke sebuah pondok di tengah persawahan yang tadi malam dilihatnya ada nyala apinya. Ia melihat dari pondok itu mengepulkan asap dan terlihat seorang laki-laki dan seorang wanita melakukan kegiatan di sekitar pondok. Mungkin keduanya adalah suami istri. Lalu sesaat kemudian terlihat seorang laki-laki muda. Mungkin ia adalah anak laki-laki dari sepasang suami istri itu. Panji Jagat menebarka
Di bawah kepemimpinan Prabu Kertabhumi Adijaya alias Pangeran Sandaka alias Panji Jagat, dalam waktu beberapa tahun saja Kerajaan Gundala mampu menapak ke arah puncak masa keajayaannya. Kemakmuran, ketentraman, serta keadilan benar-benar telah dirasakan oleh segenap rakyat. Pertanian dan peternakan tumbuh dengan pesat, begitu pun di dunia perdagangan. Untuk urusan antar kerajaan, Kerajaan Gundala melakukan hubungan dengan berbagai kerajaan, sehingga hubungan perdagangan antar negeri pun berjalan lancar. Ketika usia kepemimpinannya memasuki tahun kelima, Prabu Kertabhumi Adijaya kedatangan seseorang yang sangat dikenang dan dirindukannya. Ia adalah sang guru, Ki Raksa Jagat. Beliau tidak datang sendiri, melainkan ditemani oleh dua orang muridnya, yaitu Karta dan Golong, adik seperguruannya sendiri. Kehadiran sang guru dan kedua adik seperguruannya itu membuat sang prabu sangat senang. Pelukan erat penuh kerinduan terjadi di antara keempatnya. “Maafkan Ananda,