Tepuk tangan pun makin menggemuruh. Pegawai istana pun makin banyak yang berkerumun karena ingin menyaksikan peristiwa yang langka itu. “Baiklah, Sahabatku, sekarang angkat kedua kaki depanmu tinggi-tinggi sembari meringkik yang keras!” pinta Panji lagi, yang lagi-lagi diikuti oleh sang kuda. Kuda itu pun mengangkat tinggi-tinggi kedua kaki depannya sembari mengeluarkan ringkikan yang yang keras. Untuk yang kesekian kalinya tepuk tangan kembali bergemuruh. Kali ini malah diselingi dengan teriakan-teriakan yang menyebutkan nama Panji Jagat. Panji turun dari punggung sang kuda dan memintanya dengan bahasa pikiran agar ia kembali ke dalam kandang. Kuda itu pun patuh dan kembali masuk ke dalam kandang dengan sendirinya. Selesai menyajikan kepiwaiannya yang luar biasa itu, Panji Jagat menghadap ke seluruh orang-orang yang menyaksikan lalu memberi tabik hormat sembari menundukkan kepalanya. Tepuk tangan yang disertai teriakan-teriakan menyebut namanya kembali memb
“Angger tahu tentang mendiang Gusti Prabu Kertadana?” Pertanyaan Ki Arya Dhanu itu membuat Panji Jagat sedikit kaget dan menatap wajah laki-laki itu sesaat dalam diam. Namun kemudian ia tersenyum dan menjawab, “Tentu saya tahu, Ki. Mendiang kakek saya suka bercerita tentang Gusti Prabu Kertadana. Menurut cerita kakek saya dulu, Gustri Prabu Kertadana adalah seorang raja yang adil dan bijaksana.” “Hm.” Ki Arya Dhanu manggut-manggut dan tersenyum. “Apa yang diceritakan oleh kakekmu itu benar adanya. Hampir segenap rakyat di kerajaan ini sangat berduka ketika beliau mangkat. Bahkan kuda kesayangan beliupun sepertinya sangat berduka dan terpukul atas kehilangan tuannya.” “Lalu di manakan kuda itu dikandangi, Ki?” “Kandangnya sengaja dibuat di luar lingkungan istana, di kandang utama kerajaan, tapi tetap terawat dengan baik. Kuda itu akan seperti sangat marah jika ada orang asing yang mendekati kandangnya, apalagi memasukinya,” cerita Ki Arya Dhanu. Lalu bertanya
Si Kuda Gila yang kini dinamai oleh Panji Jagat dengan Kuda Hebat langsung keluar dan langsung meletakkan lehernya pada lehernya Panji Jagat. Ki Arya Dhanu dan semua yang menyaksikan langsung terkagum-kagum menyaksikan pemandangan yang luar biasa itu. Bagaimana bisa si Kuda Gila yang terkurung bertahun-tehun dan suka mengamuk itu bisa menyambut Panji Jagat seperti seseorang yang sedang menyambut sahabat lamanya yang hilang? “Ke manakah Tuan Muda selama ini sehingga baru muncul sekarang?” tanya Kuda Hebat. “Ceritanya panjang,” jawab Panji Jagat. “Tapi aku berjanji untuk menceritakannya padamu di lain kesempatan. Saat ini aku butuh bantuan kamu, Kuda Hebat.” “Apa yang Tuan Mudaku butuhkan padaku?” “Kemarin aku menunggang kuda remaja dan memintanya untuk melakukan seperti yang aku lakukan. Rupanya kedua pangeran istana penasaran dan ingin menyaksikan aku melakukan pertunjukan itu lagi. Tetapi ia menginginkan aku menunggangmu. Bagaimana menurutmu, Kuda Hebat?”
Melihat kemunculan kuda yang bertubuh besar dan tinggi dan penunggangnya itu, seluruh penyaksi langsung menyambut dengan tepuk tangan dan teriakan-teriakan senang yang membahana. Panji jagat meminta Kuda Hebat untuk berlari ke depan Rumah Tajug, di mana keluarga istana sedang menyaksikan. Si Kuda Hebat langsung berlari indah ke arah yang dipinta. Ketika telah berada tepat di hadapan keluarga agung itu, Panji Jagat meminta Kuda Hebat untuk meringkik sekencang-kencangnya sembari mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Si Kuda Hebat melaksakannya dengan baik. Melihat itu, Gusti Prabu sekeluarga dibuat tertawa dan memberikan tepukan tangan. Hal serupa pun terjadi pada segenap penonton. Selanjutnya Panji Jagat berkata, “Ayo, Kuda Hebat, lari sekencangmu mengelilingi halaman istana ini.” Teriakan Panji Jagat itu dimengerti juga oleh Si Kuda Hebat, lalu diikutinya. Kuda Hebat berlari kencang. Pada saat itu tiba-tiba Panji Jagat menjatuhkan dirinya ke sampi
Siang itu Ki Arya Dhanu mengajak Panji Jagat ke bagian belakang istana. Saat itu sedang terjadi kesibukan dari para abdi dalem istana. Menurut Arya Dhanu, beberapa hari ke depan akan ada hajatan besar dalam lingkungan istana. Gusti Prabu akan menikahkan adik perempuannya dengan seorang pangeran dari sebuah kerajaan di Pulau Swarnadwipa. Tampaknya di tempat itu akan dijadikan sebuah pawon (dapur) besar untuk mengolah berbagai masakan untuk para tetamu undangan yang entah berapa jumlahnya. “Kamu bantu-bantulah di sini, aku akan tinggalkan sebentar,” ucap Ki Arya Bentu kepada Panji Kagat lalu keluar kembali dari lingkungan itu. Panji Jagat akan membantu untuk melakukan apa pun seperti yang dilakukan oleh para laki-laki saat itu. Ternyata di situ juga ada Ki Bendut juga. Laki-laki itu sedang membelah potongan-potongan kayu untuk dijadikan kayu bakar dengan membelakanginya. “Selamat siang, Ki Bendut.” Laki-laki itu menghentikan ayunan kampak besarnya dan
“Sebenarnya,” sahut Ki Bendut, “si penderita adalah salah satu selir dari Gusti Prabu. Bahkan bisa dikatakan sebagai selir utama.” Sedikit kaget Panji Jagat mendengar kabar itu. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba pandangannya menangkap bayangan seorang wanita di dalam kamar bangunan yang berpondasi tingi itu. Ternyata sejak tadi wanita dengan rambut yang awut-awutan itu seperti mengintai ke arahnya. Tapi saat ia balik menatap, wanita yang katanya sedang sakit lama itu langsung mengelakkan wajahnya ke samping. “Ada apa?” tanya Ki Arya Bendut. “Eh, itu, Ki. Saya melihat, seakan-akan wanita dalam kamar itu terus mengintai ke arah saya sejak tadi, Ki Bendut,” bisik Panji Jagat kepada Ki Bendut. “Apa iya?” Ki Bendut bertanya balik sembari mengarahkan pandangannya ke arah jeruji jendela. “Ah, Dik Panji salah lihat mungkin? Dia sangat takut untuk melihat manusia lain. Satu-satunya manusia yang boleh masuk ke dalam kamarnya adalah ...” Ki Bendut
“Oh ... tidak ada-apa, Ngger,” sahut Ki Arya Dhanu tanpa mampu menyembunyikan kegugupannya. Sejak saat itu sikap Ki Arya Dhanu menjadi berbeda dari biasanya. Ia seperti orang yang gundah dan suka merenung. Bila ada yang mengajaknya bicara, hanya disahuti secukupnya saja. Selebihnya ia suka diam-diam memperhatikan Panji Jagat dengan tatapan aneh. Tampaknya, tanda lahir yang dilihatnya pada punggung Panji Jagat tempo hari yang menjadi penyebab perubahan sikapnya. Tanda lahir yang ada di punggung Panji Jagat sama persis tanda lahir yang dimiliki oleh Pangeran Sandaka, dan itu membuatnya berfirasat kuat, bahwa Panji Jagat sesungguhnya tak lain adalah sang pangeran yang pernah ia buang di sebuah jurang kurang lebih dua puluhan tahun yang lalu. “Jika memang keduanya adalah orang yang sama, maka bagaimana bisa ia selamat?” pikirnya Ki Arya Dhanu. Dulu, ia benar-benar telah melempar bocah itu ke mulut jurang terjal dan dalam. “Dulu aku sangat yakin, bahwa Pangera
Kedua mata Ki Arya Dhanu kembali berkaca-kaca, pandangannya kosong di arahluruskan ke depan. Ia pun mulai bercerita: “Sebenarnya, kematian Gustri Prabu Kertadana Adijaya bukanlah karena sakit yang alami, tetapi akibat diracun.” Wajah Panji Jagat sontak menoleh. “Diracun? Siapakah manusia biadab yang membunuh ramaku!” “Nayosoma,” jawab Ki Arya Dhanu. “Dia tak lain adalah Prabu Natanala.” “Jadi manusia iblis itu adalah Prabu Natanala? Bangsat biadab!!” umpat Panji Jagat penuh amarah. Kepalan tangan kanannya langsung menghantam tanah di sampingnya. Bumi di sekitar terasa bergetar. “Benar, Gusti Pangeran. Nayasoma adalah manusia berbulu domba. Dia sangat pandai menjilat dengan tutur katanya yang teratur dan menghanyutkan, padahal ia tak lebih dari sosok Durna, sehingga tak heran jika ia sebagai orang yang sangat dipercaya oleh Gusti Prabu Kertadana. Ia adalah seorang mahapatih, namun sekaligus sebagai penasehat utamanya mendiang Gusti Prabu Kertadana
Panji Jagat alias Prabu Kertabhumi harus berpikir untuk menetap sedikit lebih lama di Kuwu Kradenan ini. Ia harus menyelesaikan permasalahan di desa itu dengan tuntas. Warga harus dibebaskan dari segala penderitaan yang ditimbulkan oleh pemimpin lalimmereka, Lurah Arga Seta. Mungkin langkan yang paling bagus adalah ia harus melenyapkan sang lurah itu tanpa menimbulkan gejolak apa pun. Dan itu ia mampu melakukannya dengan kesaktian yang dimilikinya. Hanya saja, tentu ia akan melakukan secara pelan-pelan dan bertahap. Pada suatu siang Panji Jagat mengajak Arya Wening untuk jalan-jalan berkeliling dengan menunggang kuda. Keduanya berkeliling hingga ke kawasan persawahan yang di sebelah timur desa atau kuwu. Kawasan persawahan itu merupakan persawahan yang bisa ditanami tiga kali dalam setahun karena memiliki bendungan yang bisa mengairi persawahan itu di sepanjang tahun. Sementara kawasan persawahan di sebelah barat desa kebanyakan tanah tadah hujan. Hanya sedikit lahan
Beberapa hari setelah keluarga itu kembali menempati rumahnya, keadaan berangsur-angsur membaik. Ada perasaan tenang di wajah mereka, walau rasa waswas itu tetap ada dalam hati mereka. Mereka masih belum yakin akan jaminan kedamaian hidup mereka. Ki Lurah Arga Seta adalah orang yang licik dan culas. Ia punya banyak cara untuk tidak membiarkan warganya untuk menikmati hidup aman dan tenteram. Seolah-olah hanya dia saja yang boleh tenteram dan makmur hidupnya, sementara rakyatnya tak boleh lebih dari hanya sekelompok sapi perah saja baginya. Siang itu wajah Nyi Utari, Nyi Utanti, Ajeng Kumalahari, serta Nismara terlihat cerah ketika melihat Panji Jagat dan Arya Wening kembali dari padang perburuan dengan membawa hasil perburuan mereka. Di punggung kuda kedua laki-laki itu masing-masing membawa dua ekor kijang jantan yang besar-besar. Semuanya ada empat ekor rusa yang berhasil mereka buru. Tetangga kiri kanan yang melihat kepulangan dua laki-laki itu dari perburuan, se
Namun saat hampir semua warga sudah pulang ke rumahnya masing-masing, tiba-tiba seorang ibu dan anak gadisnya datang dengan tergopoh-gopoh dan langsung memeluk tubuh Nyi Utari dan Ajeng Kumalahari semari memecahkan tangis mereka. Menurut Ki Martani, keduanya adalah adik dan kemenakan dari istrinya. Namanya Nyi Utanti dan putrinya Nismara. Rumah mereka berada di ujung perkampungan di sebelah timur. Nyi Utanti tinggal bertiga dengan kedua anaknya, Bayuaji dan Nismara, setelah setahun yang lalu suaminya meninggal. “Kalian dari mana kok baru tiba sekarang?” tanya Nyi Utari pada Nyi Utanti dan Nismara. “Kami baru pulang dari persawahan untuk mencari sisa-sisa padi, Yu. Kami sangat kaget sekaligus gembira karena kalian sudah kembali di rumah ini.” “Iya, Nimas. Itu karena Angger Panji yang melunasi semua hutang kami,” jawab Ki Martani. “Tole Bayuaji ke mana kok tidak bersama kalian?” “Dia belum pulang dari menjagakan ternak Ki Lurah dimpadang sebelah ut
Melihat pemberian di luar dugaan itu, membuat Poranda dan kesembilan anak buahnya kaget, terbelalak, dan girang yang bercampur aduk. Setelah meletakkan segenggam keping emas itu di tangannya Ki Poranda, Panji Jagat pun segera bergegas masuk dengan mengabaikan ucapan terima kasih dari laki-laki itu dan anak buahnya, menyusul Ki Martani dan keluarganya. Saat ia menyusul masuk ke dalam rumah besar yang tadi dilihatnya, Ki Martani dan Nyi Utari sedang menangis berpelukan haru dengan putrinya, Ajeng Kumalahari. “Apakah Anak Muda ini yang akan melunaskan hutangmu, Ki Martani?” tanya Ki Lurah Arga Seta sembari menatap kepada Panji Jagat. Dan pertanyaan itu langsung dibenarkan sendiri oleh Panji Jagat. “Baik, silakan duduk,” Ki Lurah Arga Seta mempersilakan Panji Jagat duduk, sebelum lanjut bertanya, “Apakah kalian sudah tahu berapa hutang kalian sekarang? Jumlahnya masih delapan ratus keping emas ! Apakah kalian membawa keping emas sejumlah itu?” Mendengar juml
Benar saja apa yang diceritakan oleh Ki Martani, dalam kamar itu tersimpan berpeti-peti keping emas dan perak (selaka). Selain disimpan dalam peti-peti yang terbuat dari bahan yang sama dengan isinya, keping-keping emas dan perak disimpan dalam kantong-kantong dari bahan kulit hewan. Kantong serupa banyak dijual di pasar-pasar dan kedai. Panji Jagat memperkirakan, tiap kantong itu berisi lebih dari lima ribu keping emas atau perak. “Benar-benar gila ini lurah. Seolah-olah jika dia mampus seluruh harta yang ditumpuknya akan dibawanya serta ke neraka,” gumannya sambil menggeleng-geleng. “Hm, jika aku ambil dua kantong saja, tentu si lurah fasik dan zalim itu tak akan menyadarinya,” desahnya pula. Karena kantong-kantong itu hanya disusun dan ditumpuk begitu saja. Dan ia sama sekali tak merasa akan menjadi pencuri atas harta itu, karena ia merasa bahwa harta-harta itu diperoleh oleh Ki Lurah Arga Seta dengan jalan fasik dan zalim. Ia mengambilnya untuk dikembalikan kepada
Terenyuh sekaligus geram hati Panji Jagat mendengar cerita laki-laki yang malang di depannya. “Lalu dangau dan sawah yang Ki Martani tanami dan jaga ini milik siapa?” “Ini milik saudara laki-laki saya, Ngger. Dia seorang perwira di kerajaan. Dia menyerahkan kepada saya untuk menggarapnya.” “Saudara laki-laki Ki Martani seorang perwira kerajaan? Mengapa dia tak turun tangan untuk membantu permasalahan yang dihadapi oleh Ki Martani?” “Pastinya dia sangat ingin melakukannya,” sahut Ki Martani sembari menyelesaikan makanannya. “Tapi dia tak memiliki kuasa apa pun, kendati ia seorang perwira kerajaan. Sementara Ki Lurah Arga Seta masih merupakan kerabat istana. Tentu raja akan membela trahnya sendiri. Salah-salah saudara saya justru mendapat masalah. Raja kami bukanlah seorang raja yang adil dan bijaksana, Ngger.” Kendati dirinya juga seorang raja dari sebuah kerajaan besar, namun Panji Jagat belum begitu paham dan kenal tentang kerajaan-kerajaan lain beriku
“Jadi Angger Panji ini berasal dari Kerajaan Gundala Brajanegara yang sedang melakukan pengembaraan?” tanya Ki Martani saat mereka menikmati lezatnya daging rusa yang dimasak dengan kuat dan juga dibakar siang itu di beranda dangau. Nyi Utari rupanya seorang pengolah makanan yang hebat. Panji Jagat pun sangat menikmati hasil olahannya itu. “Benar sekali, Ki,” sahut Panji Jagat. “Semalam saya tiba di atas punggung bukit itu, tapi sudah hampir larut malam. Saya melihat ke bawah sini dan melihat di dangau ini ada nyala apinya? Dan herannya, yang saya lihat hanya dangau ini yang terlihat kelap-kelip nyala apinya.” “Di atas sana pasti sangat dingin dan banyak embunnya. Iya benar, Ngger, hanya kami saja yang tinggal di kawasan persawahan ini,” sahut Nyi Utari pula sembari menambahkan daging kuah ke dalam mangkuk yang terbuat dari gerabah. “Lantas mengapa AnggerPanji tidak langsung turun dan tidur di sini? Di atas sana pasti sangat dingin dan banyak embunnya, jadi sangat bu
Panji Jagat atau Prabu Kertabhumi Adijaya terbangun saat dirasakan wajahnya ditimpa oleh sinar matahari. Ternyata matahari memang sudah naik ke sepertiga bola langit di arah terbitnya. “Ya Tuhan, lelap sekali tidurku,” gumamnya sembari bangun dan menghalangi sinar matahari yang masuk ke matanya dengan tangannya. Pandangannya diarahkan ke arah bawah, ke hamparan persawahan yang cukup luas. Tampaknya persawahan itu belum lama dipanen, sehingga yang terlihat adalah batang-batang padi yang tak berbulir lagi. Selanjutnya pandangan mata Panji Jagat alias Prabu Kertabhumi diarahkan ke sebuah pondok di tengah persawahan yang tadi malam dilihatnya ada nyala apinya. Ia melihat dari pondok itu mengepulkan asap dan terlihat seorang laki-laki dan seorang wanita melakukan kegiatan di sekitar pondok. Mungkin keduanya adalah suami istri. Lalu sesaat kemudian terlihat seorang laki-laki muda. Mungkin ia adalah anak laki-laki dari sepasang suami istri itu. Panji Jagat menebarka
Di bawah kepemimpinan Prabu Kertabhumi Adijaya alias Pangeran Sandaka alias Panji Jagat, dalam waktu beberapa tahun saja Kerajaan Gundala mampu menapak ke arah puncak masa keajayaannya. Kemakmuran, ketentraman, serta keadilan benar-benar telah dirasakan oleh segenap rakyat. Pertanian dan peternakan tumbuh dengan pesat, begitu pun di dunia perdagangan. Untuk urusan antar kerajaan, Kerajaan Gundala melakukan hubungan dengan berbagai kerajaan, sehingga hubungan perdagangan antar negeri pun berjalan lancar. Ketika usia kepemimpinannya memasuki tahun kelima, Prabu Kertabhumi Adijaya kedatangan seseorang yang sangat dikenang dan dirindukannya. Ia adalah sang guru, Ki Raksa Jagat. Beliau tidak datang sendiri, melainkan ditemani oleh dua orang muridnya, yaitu Karta dan Golong, adik seperguruannya sendiri. Kehadiran sang guru dan kedua adik seperguruannya itu membuat sang prabu sangat senang. Pelukan erat penuh kerinduan terjadi di antara keempatnya. “Maafkan Ananda,