Atas meninggalnya Wiyasa Baswara, maka Watek Bukit Uwi digantikan oleh wiyasa baru. Sang wiyasa baru adalah seorang pemimpin yang jauh lebih baik dari Wiyasa terdahulu. Lalu tak berselang lama, sang wiyasa baru diperintahkan untuk menyelenggarakan pemilihan lurah baru di Desa Ulu Watu.
Para calon lurah pun bermunculan. Mereka terdiri dari tokoh-tokoh yang punya nama di wilayah Watek Bukit Uwi. Namun calon yang sangat masyhur adalah Ki Lanang Jagat.
Pencalonan Ki Lanang Jagat sebagai lurah bukan atas kemauannya sendiri, tetapi atas desakan segenap warga di dua dusun sekaligus, yaitu Dusun Kidul dan Dusun Lor. Dukungan utama tentu dari Raden Anom juga. Puluhan anak buahnya Ki Lurah Wilulang juga memberikan dukungan penuh terhadap Ki Lanang Jagat alias Ki Masura.
“Tentu, Juragan...!” sahut Raden Anom tegas dan meyakinkan. “Ayam jagoan saya ini dapat mengalahkan ayam-ayam jagoan Juragan itu sekaligus...!” “Haah...!?” Kembali semua orang terperangah, termasuk Juragan Lewi. “Kau jangan main-main denganku, Anak Muda! Apa taruhanmu jika ayammu kalah...?”tanya Juragan Lewi dengan suara tinggi. Raden Anom hanya tersenyum dan tertawa pendek. “Jika ayam saya kalah, maka saya akan mempertaruhkan diri saya, Juragan. Saya siap menjadi budak Juragan seumur hidup saya. Lantas apa taruhan juragan jika ayam-ayam Juragan dapat dikalahkan oleh ayam saya?” “Baik! Aku teri
Sepanjang sore itu Raden Anom mengajak Purwati dan Galih untuk menikmati suasana Kota Watu Galuh. Ada banyak hiburan yang dapat mereka nikmati di kota yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa itu, termasuk menikmati berbagai hidangan makanan dari laut yang warung-warung makan yang bertebaran di mana-mana. Saat berjalan menuju ke rumahnya, Purwatih bertanya tentang asal dari Raden Anom. “Saya berasal dari Kerajaan Palingga. Negeri saya tak seluas negeri kalian ini. Ibu kota kerajaannya pun tak lebih luas dari Watu Galuh ini,” jawab La Mudu. “Lalu tujuan Mas Anom datang ke Watu Galuh apa?” “Hanya mengembara saja, untuk menikmati masa muda.”&nb
Malam itu tampaknya si raja judi sabung ayam itu tengah mengadakan sebuah pesta dengan berbagai pertunjukan tari-tarian. Acara itu bertempat di joglo depannya yang luas. Berbondong-bondong masyarakat setempat datang ke tempat itu, baik laki-laki maupun para wanitanya. Menurut bisik-bisik yang Raden Anom dengar, pesta hiburan malam itu adalah dalam rangka untuk menyambut kehadiran Si Raja Merah. Ayam jago yang ia berikan kemarin sebagai hadiah. Terlihat Juragan Lewi sedang asyik menikmati pertunjukkan tari-tarian yang dipersembahkan oleh para gadis cantik. Ia didampingi oleh dua orang istrinya dan anak-anaknya, putra dan putri. Di belakang joglo tempat pertunjukan itu terdapa sebuah rumah joglo lagi yang lebih besar dan mewah yang merupakan tempat kediaman dari sang juragan itu dan keluarganya. Di bagian depan, belakang, serta
Siang itu Purwati membawa pulang ayahnya. Ayahnya menunggang kuda yang tadi dipakai oleh Raden Anom. Ia sangat bahagia karena dapat membawa pulang sang ayah. Namun dalam waktu yang bersamaan, ia merasakan kekosongan lain dalam ruang batinya yang lain. “Mengapa Mas Anom pergi begitu saja dariku?” jerit hatinya, sedih. “Apakah kalian masih tinggal di rumah kita yang dulu, Nduk?” Agak sedikit kaget Purwati mendapat pertanyaan boponya itu. “Ah, tidak Bopo. Rumah itu kan sudah lama disita oleh kepatihan. Tapi sekarang kami tinggal di rumah yang tak kalah bagusnya dari rumah kita yang dulu, Bopo.” “Ohya syukurlah.” Tetapi saat
Saat pintu sedikit terkuak, ia mengintip ke dalam. Ternyata ada dua orang wanita. Dua wanita yang ia lihat duduk di samping Lurah Lewi semalam di joglo depan. Kedua wanita itu tampak sedang tidur siang. Namun agar aksinya berjalan aman, ia pun perlu untuk membuat wanita itu tertidur lebih lelap lagi, ia pun merapalkan Ajian Sirep sembari ditiupkan ke dalam kamar melalui pintu yang sedikit terbuka. Setelah dirasakan aman, ia pun masuk. Pada pojokan kamar di antara pundi-pundi ia melihat ada kantong-kantong dari kulit hewan yang disusun rapi. Dia mengambil dua kantong, lalu dengan gerak cepat ia mengisi kedua kantong itu dengan keping-keping emas dari tiap-tiap guci. Setelah dirasa perlu, ia pun keluar. Semuanya berjalan lancar. Malam itu ia menginap di sebuah penginapan yang terletak di tengah kota Watu Galuh yang tak jauh dari kepatiha
Seperti yang sudah diduga, ternyata Gusti Patih memang membersihkan nama baik Rake Abiseka di hadapan segenap pejabat bawahannya. Rake Abiseka diumumkan terbukti tidak bersalah. Dia difitnah oleh dua orang temannya sendiri, sesama pejabat di lingkungan pura kepatihan. Dalam kesempatan itu pun, Gusti Patih mengumumkan bahwa ia menempatkan kembali Rake Abiseka pada kedudukannya semula, yaitu sebagai penghulu perbendaharaan di puri kepatihan. Mendengar kabar tersebut, Purwati dan Galih sangat gembira. “Benar kata Mas Anom, bahwa semua hal itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi sudah diatur oleh Sang Hyang Maha Kuasa. Pasti ada kebaikan di balik sebuah ujian dan musibah,” ucap Purwati. “Benar sekali, Nduk,” sahut Rake Abiseka. “Tapi
Si pemilik warung dan semua orang yang ada dalam warung langsung menoleh pada Raden Anom dengan tatapan keheranan. “Benarkah demikian, Cah Bagus?” “Tentu saja, Nyi. Nyi tenang saja,” sahut Raden Anom sambil tersenyum. “Hei, Anak Muda! Dengan cara apa Anak Muda mengatasi masalah di pasaran ini dari cengkeraman putri sang adipati itu? Anak Muda ini siapa?” Itu yang bertanya adalah laki-laki yang duduk di meja sebelah sampingnya. Raden Anom tersenyum dan menjawab, “Saya orang Palingga juga, Kisanak.” Saat rombongan putri sang adipati berada di depan warung
Begitu turun dari punggung kudanya, laki-laki berusia empat puluhan tahun yang disebut Adipati Tadakara itu langsung menyambup pelukan dari putrinya sembari bertanya, “Apa yang terjadi, Nduk?” Belum lagi putrinya menjawab, Raden Anom muncul di pintu warung makan dan bertanya, “Sampean yang bernama Adipati Tadakara?” Bukan saja sang adipati sendiri yang kaget mendapat pertanyaan yang terkesan tidak bertatakrama itu, namun semua orang pasar yang berkerumun langsung saling berpandangan satu sama lain. Bahkan seorang bintara yang memimpin pengawalan terhadap sang adipati merasa geram. “Heh, Anak Muda! Apakah kautidak tahu kausedang berhadapan dengan siapa!”ucap sang bintara bhayangkara itu dengan membentak.&